Você está na página 1de 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.

Diagnosis SLE1,6 Diagnosis SLE dibuat dengan kombinasi data-data temuan klinis, patologi dan laboratorium, berdasarkan kriteria dari American College of Rheumatology (ACR). Kriteria ini semula disusun untuk kriteria inklusi clinical trials dan studi populasi bukan untuk diagnosis. Kriteria ini mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99% untuk dapat membedakan dengan artritis reumatoid dan penyakit lainnya.

Tabel 2. Kriteria ACR untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik

Kriteria

Definisi

1. Malar rash/ Ruam pada wajah Eritema yang rata atau sedikit menimbul diatas permukaan kulit muka, menyerupai kupu-kupu,

biasanya tidak mengenai plika nasolabialis 2. Lupus diskoid Ruam berbentuk bulatan menimbul diatas pemukaan kulit dengan lapisan terkelupas disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin berbentuk jaringan parut. 3. Fotosensitif Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap sinar matahari, diperoleh dari anamnesis atau pemeriksaan fisik. 4. Ulserasi oral/nasofaring Biasanya tidak terasa nyeri, didapatkan dari

pemeriksaan fisik 5. Artritis Artritis non erosif mengenai 2 sendi atau lebih, bengkak dan terasa nyeri atau terdapat efusi sinovial. 19

6. Serositis

a) Pleuritis adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar bunyi gesekan pleura pada pemeriksaan atau ada efusi pleura atau b) Perikarditis dari EKG atau didapatkannya bunyi gesekan perikardium atau ada efusi perikardium

7. Kelainan ginjal

a) proteinuria menetap > 0.5 g/hari atau pemeriksaan proteinuria urin sewaktu > 3+ atau b) Celular cast dapat berupa sel eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

8. Kelainan neurologis

a) Kejang spontan bukan karena obat-obatan atau gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit. atau b) Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan metabolisme seperti uremia,

ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit. 9. Kelainan hematologik a) Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau b) Leukopenia kurang dari 4000/mm3 pada 2/ lebih pengukuran c) Limfopenia kurang dari 1500/mm3 pada 2/ lebih pengukuran d) Trombositopenia kurang dari 100.000/mm3 tanpa obat-obatan yang dapat menimbulkan trombositopenia 10. Kelainan immunologi a) Anti-DNA: titer abnormal antibodi terhadap native DNA atau 20

b) Anti-SM: adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos atau c) Antiphospholipid antibodi positif berdasarkan pada (1) Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi anti-kardiolipin atau, (2) Antikoagulan lupus positif dengan

menggunakan metode standar atau (3) Uji serologis positif semu selama minimal 6 bulan dan dikonfirmasi oleh uji imobilisasi

Treponema pallidum atau uji fluorosensi absorpsi antibodi treponema

11. Antibodi Antinuclear

Titer ANA abnormal diperiksa dengan metode imunoflurosensi atau cara lain yang setara, yang dilakukan pada waktu yang sama atau adanya sindroma lupus karena obat

a.

Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria. Untuk kepentingan studi klinis, seseorang dikatakan LES apabila didapatkan 4 atau lebih dari 11 kriteria, baik secara serial maupun berkelanjutan selama interval atau observasi.

Modifikasi kriteria no.10 dibuat tahun 1997.

Pada pasien ini penegakan diagnosis: Anamnesa Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang 1. Anemia normositik

1. Nyeri sendi siku dan 1. Stomatitis pergelangan kanan tangan 2. Artritis 3. ROM siku

normokromik dan 2. Leukopeni

21

2. Sariawan

pergelangan kanan turun.

tangan 3. Sedimen urin (tubular, granula ) (+) 4. Proteinuria 5. ANA 84,8 (+)

Skor : 5 Berdasarkan studi epidemiologi yang dilakukan oleh Puslitbang ekologi dan status kesehatan didapatkan beberapa faktor resiko yang meningkatkan penyakit SLE, diantara nya : 1. penyakit LES pada wanita lebih banyak dari pada pria . 2. wanita usia produktif: 15-44 3. Penyakit yang sering dialami sebelum sakit adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur dan atau virus seperti : infeksi saluran

pernafasan atas lebih.tinggi (58,9%), diikuti dengan penyakit tifus/paratifus (33,1%), penyakit kulit/jamur (18,8%), herpes (2,9%) dan penyakit-penyakit selain infeksi adalah : sukar tidur (21,2%), nyeri kepala (4,4%), darah tinggi (3,9%), penyakit tuberkulosa (4,4%), asma (1,9%), gastritis (1,4) dan rematik (0,9%). 4. Faktor kimia seperti obat-obat yang sering digunakan sebelum sakit LES adalah: golongan ampisilin/amoksisilin (63,1%), golongan antipiretik/analgetik (36,6%), golongan siprofloksasin (23,7%), golongan diasepam (21,2%), golongan grisefulvin (18,3%), CTM (17,3%), golongan sulfa/kotrimoksasol (9,4%), golongan kloramfenikol (8,9%), golongan INH (3,9%), golongan captopril (3,4%), golongan acyclovir (2,9%), golongan fenitoin/dilantin (1,4%), golongan procainamide (1,4%) dan golongan hidralasin (0,9%). Faktor kimia lain seperti responden yang merokok (11,9), diantara keluarga ada yang merokok dalam ruangan (40,1%), dan menghirup asap rokok ditempat kerja (28,2%).

22

5. Faktor psikologis seperti stres yang sering dialami responden sebelum sakit LES relative tinggi (85,6%). 6. Faktor herediter dari responden yang pernah sakit LES hanya 1,5%. 7. Pengetahuan responden masih rendah antara lain pengetahuan tentang penyakit LES (41,1%), faktor risiko seperti sinar matahari (41,3%), obat-obatan tertentu (28,2%), stres (43,1%) dan faktor herediter (28,7%) dan merokok (13,4%). Perilaku responden sehari-hari masih relatif kurang seperti : pola makan teratur (63,4%), istirahat teratur (61,4%), seks aman (52,5%), olahraga teratur (19,3%), minum minuman keras (5,0%) dan menggunakan narkoba (1,0%).

Prinsip umum dalam penatalaksanaan LES : Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan pasien LES, terutama pada pasien yang baru terdiagnosis. Pada umumnya, pasien LES mengalami fotosensitifitas, sehingga pasien harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari, baju lengan panjang, topi, atau payung bila akan berjalan di siang hari. Karena infeksi sering terjadi pada pasien LES, maka pasien harus selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada pasien yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, pasien dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit, dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada pasien LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasive lainnya. Sebelum pasien LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah pasien tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada umunya, pasien LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.

23

Terapi pada SLE o Menghindari faktor pencetus o NSAID o Antimalaria ( hydroxycloroquine ) o Steroid : a. Ringan ( demam, eritema, serositis ringan ) : 30mg/hr b. Sedang ( proteinuria, hematuria ) : 30-60 mg/hr c. Berat ( perikarditis & tamponade, anemia hemolitik, sistem saraf sentral ) : 80-100 mg/hr Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason sebaiknya dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian

glukokortikoid oral sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara berahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai dosis efektif sebelumnya sampai beberapa minggu, kemudian dicoba diturunkan kembali. Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosos tinggi tidak menunjukkankan perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya.

24

Komplikasi SLE Sistemic Lupus Eritematosus memiliki gambaran klinik yang cukup luas dan dapat melibatkan banyak organ tubuh, serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan eksaserbasi. Keterlibatan ginjal sebagai salah satu manifestasi SLE telah diketahui sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Prevalensi keterlibatan ginjal dari SLE yang dinamakan nefritis lupus sangat bervariasi dan berbeda-beda, bervariasi antara 31-65% ( rata-rata 40%) pada awal SLE. Sedangkan komplikasi lebih lanjut pada SLE dewasa terhadap ginjal rata-rata 60% kadang-kadang pada 3-6% pasien, manifes kelainan ginjal merupakan kelainan pertama yang ditemukan sebelum gejala klinis lain muncul. Peningkatan risiko nefritis lupus dihubungkan dengan HLA-DR2, HLA-DR3, HLA-DR8, dan HLA DQ-beta, defisiensi komplemen seperti C1q, C2, dan C4, serta produksi Tumor Necrosis Factor ( TNF ) yang rendah. Manifestasi klinis nefritis lupus bervariasi mulai dari kelainan urinalisis tanpa keluhan dan ditemukan pada pemeriksaan rutin maupun dalam keadaan sindroma nefrotik atau keadaan darurat medis (sindroma nefritik akut dan syndrome rapidly progressive glomerulonephritis). Gejala nefritis lupus biasanya berkorelasi baik dengan tingkat keterlibatan glomerulusnya. Gambaran klinis nefritis lupus : y y y y y y y Glomerulonefropati/nefropati asimptomatik Sindrom nefritik akut Sindroma RPGN (Rapidly progressive glomerulonephritis) Sindrom glomerulus progresif dan kronis Sindroma nefrotik Hipertensi Penurunan fungsi ginjal Diagnosis klinis nefritis lupus ditegakkan bila pasien SLE terdapat proteinuria 1 gram/24 jam dengan/atau hematuria (>8 eritrosit/LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus ditegakkan

25

dengan biopsi ginjal dan berdasarkan klasifikasi morfologi dari WHO (1992) nefritis lupus dibagi dalam 6 kelas.9 Pada pasien ini ditemukan edema anasarka, hipoalbuminemia, dan proteinuria (500 mg/dl) yang mengarah pada gambaran klinis sindroma nefrotik. Dibutuhkan pemeriksaan trigliserida dan kolesterol untuk membuktikan bahwa telah terjadi komplikasi sindroma nefrotik pada pasien ini. Kriteria diagnosis dari sindroma nefrotik antara lain edema anasarka, hipoalbuminemia, proteinuria masif, dan dislipidemia. Trombosis seringkali merupakan manifestasi dari SLE dan sering

berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid. Dalam keadaaan ini, antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya, misalnya warfarin, dan mempertahankan nilai INR (International Normalization Rate) 3-3,5. Hal ini terutama sangat penting pada trombosis arteri karotis interna. Trombosis arteri biasanya mempunyai prognosis buruk. Antikoagulan lupus, biasanya mempunyai respon yang baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan antibodi antikardiolipin (ACA) sangat resisten baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lain.1 Autoantibodi, baik Lupus Anticoagulant (LA) maupun antikardiolipin (ACA) selanjutnya dikenal sebagai Antiphospholipid Syndrome (APS). Ditemukan antifosfolipid antibodi, yaitu ACA atau LA, sangat menarik, karena pentingnya dalam patogenesis dari pembekuan pada sindrom antifosfolipid. Sindrom antifosfolipid tidak hanya pada penyakit-penyakit autoimun sistemik, khusunya SLE, tapi juga para pasien yang tidak menampakkan gejala yang nyata dari gangguan autoimun seperti sindrom antifosfolipid primer, dimana yang menjadi perhatian utama ialah pada peristiwa vaskuler. Prevalensi APL dan sindrom APL yang berkaitan dengan antibodi kardiolipin yang terdapat pada pasien SLE kurang lebih 40%. Antikoagulan lupus lebih kurang 30%. Gejala yang timbul di semua cabang pembuluh darah adalah trombosis. Trombosis vena dalam dan superfisial tungkai bawah yang paling sering ditemukan. Trombosis vena dalam dapat mengakibatkan komplikasi emboli paru. Stroke adalah bentuk yang sering terjadi 26

pada trombosis arteri yang diketahui pada pasien dengan APL. Trombosis pun dapat menjadi penyakit dasar dari beberapa gejala klinik dari pasien APL, misalnya abortus ( karena trombosis plasenta dan infark), disfungsi ginjal (karena trombosis vasa darah internal ), ulkus kutaneus ( karena trombosis vasa darah kulit ), gangguan susunan saraf pusat ( multi infark demensia ), dan hipertensi pulmonal (emboli paru berulang). Pasien ini memiliki riwayat Deep Venous Thrombosis (DVT) pada Agustus 2008 sehingga apabila pasien ini menikah dan kemudian hamil perlu mendapat perhatian khusus karena bahaya abortus berulang dan Intra Uterine Fetal Death (IUFD). Riwayat DVT perlu dipastikan pasif dengan pemeriksaan antibodi kardiolipin (ACA) untuk mencegah komplikasi-komplikasi tersebut. Aspek umum terapi trombosis pada pasien dengan APS mengikuti terapi baku yang terdiri atas heparin, dilanjutkan dengan warfarin. Pengobatan untuk pasien hamil dengan abortus yang berulang masih kontroversial, dan ini termasuk beberapa kombinasi dengan prednison, heparin, dan aspirin. Pengobatan dengan imunosupresif jarang digunakan tetapi dapat diberikan pada individu yang refrakter terhadap pengobatan lain. Karena prednison sering mengakibatkan efek samping termasuk infeksi, preeklampsia, diabetes gestasional, dan osteonekrosis, maka para ahli lebih menyukai pemberian heparin.Regimen heparin diberikan dosis 500-10000 unit subkutan tiap 12 jam, dengan tambahan aspirin dosis rendah. Heparin dihentikan saat partus, dan diberikan ulang setelah 4-6 minggu persalinan. Bila heparin dan prednison gagal dapat dipertimbangkan pemberian imunoglubulin intravena.8 2. Anemia Hemolitik Autoimun ( AIHA )2,5 Anemia hemolitik autoimun ( AIHA ) adalah suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan destruksi ( hemolisis ) eritrosit. Klasifikasi AIHA : 1. Tipe panas ( Warm AIHA ) a. Idiopatik 27

b. Sekunder ( karena CLL, limfoma, SLE, penisilin, metildopa ) 2. Tipe dingin ( Cold AIHA ) a. Idiopatik b. Sekunder ( viral, sifilis )

Patofisiologi : Karena sebab yang belum diketahui, mungkin akibat gangguan regulasi imun, terbentuk antibodi terhadap eritrosit sendiri ( autoantibodi ). Eritrosit yang diselimuti antibodi ini ( sering disertai komplemen, terutama C3b ) akan mudah difagositir oleh makrofag terutama pada lien dan juga hati oleh adanya reseptor Fc pada permukaan makrofag yang kontak dengan porsi Fc dari antibodi. Hemolisis terutama terjadi dalam bentuk hemolisis ekstravaskuler yang akan menimbulkan anemia dan ikterus hemolitik. Pada AIHA tipe dingin juga terbentuk krioglobulin.

Pada pasien ini terdapat penyakit sistemik lupus eritematosus yang diduga menjadi penyebab sekunder dari anemia hemolitik autoimun tipe panas. Pasien ini seorang wanita usia 19 tahun dengan ditemukan gejala umum anemia yaitu lesu, cepat lelah, pucat pada kulit dan konjungtiva palpebra, serta ditemukannya splenomegali dan urin yang berwarna seperti teh.

Diagnosis AIHA tipe panas dapat ditegakkan jika dijumpai : 1. Tanda anemia hemolitik didapat ( gejala klinik, anemia normokrom normositer, hemolisis ekstravaskuler, kompensasi sumsum tulang ). 2. Tes antiglobulin direk ( Comb ) positif.

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pasien ini tanggal 23 Juni 2010 ditemukan : Hb : 6,37 gr% ( 12 15 ) 28

Ht Eritrosit MCH MCV MCHC

: 17,8 % ( 35 47 ) : 2,08 juta/mmk ( 3,09 5,6 ) : 30,60 pg ( 27 32 ) : 85,60 fl ( 76 96 ) : 35,80 g/dl ( 29-36 )

Terapi AIHA : 1. Obati/hilangkan penyakit dasar. Pada pasien ini kemungkinan penyakit dasarnya adalah SLE. 2. Kortikosteroid dosis tinggi merupakan salah satu obat pilihan untuk AIHA tipe panas. Steroid bekerja dengan memblok fungsi makrofag dan menurunkan sistesis antibodi. Prednison per oral dengan dosis 60-100 mg per hari. Jika terdapat kenaikan Hb yang baik maka dosis obat dapat diteruskan selama 2 minggu setelah Hb stabil, kemudian dilakukan tappering off untuk mendapatkan dosis pemeliharaan yang paling kecil yang dapat mempertahankan Hb. Usahakan dosis pemeliharaan kurang dari 15 mg/hari. Yang paling ideal jika dosis pemeliharaan diberikan selang-seling (alternate day). Turunan steroid lain seperti

metilprednisolon dapat diberikan dengan dosis yang disesuaikan. Efek samping steroid harus diawasi ketat. 3. Splenektomi dipertimbangkan jika tidak ada respon terhadap steroid dalam waktu 2-3 minggu atau dosis pemeliharaan steroid ( prednison ) melebihi 15 mg/hari. 4. Obat imunosupresif lain yang dapat dipakai adalah azathioprim atau siklofosfamid. Siklofosfamid diberikan dalam bentuk pulse dose 1000 mg i.v. dalam 1-3 kali pemberian. 5. Transfusi dipertimbangkan hanya jika terdapat anemia berat yang dapat mengancam fungsi jantung. Sebaiknya dipakai washed red cell.

29

6. Dalam keadaan gawat dapat dipertimbangkan pemberian hyperimmune globulin ( high dose immunoglobulin). 7. Penderita AIHA perlu diberikan tambahan asam folat untuk mencegah krisis megaloblastik.

3. Nyeri Epigastrik Rasa nyeri di perut atas dapat disebabkan oleh kelainan organ dalam rongga perut dan organ dalam rongga dada. Organ di dalam rongga perut yang sering memberikan keluhan nyeri di perut atas, antara lain penyakit saluran makanan (lambung, duodenum, usus halus, usus besar ), hati,empedu dan salurannya, pankreas. Sedangkan organ dalam rongga dada yang sering memberikan keluhan nyeri di perut atas, adalah esofagus, jantung. Keluhan yang sering ditemukan dalam praktek praktis sehari-hari salah satunya adalah sindroma dispepsia. Keluhan dispepsia beragam, antara lain : rasa sakit atau nyeri atau tak enak di ulu hati, sebah, kembung, lekas kenyang, makanan tak mau turun, nafsu makan kurang, mual, muntah, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas di dada tengah.4 Pada pasien ini datang dengan keluhan nyeri ulu hati disertai rasa sebah dan mual. Secara garis besar, penyebab sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit organik ( seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu ) dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku ( radiologi, endoskopi, laboratorium ) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi, atau disebut juga dispepsia fungsional. Sebagai usaha untuk membuat praktis pengobatan, dispepsia fungsional dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : 1. Dispepsia tipe seperti ulkus, yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik 2. Dispepsia tipe seperti dismotilitas, yang lebih dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang. 3. Dispepsia tipe non-spesifik, tidak ada keluhan yang dominan.

30

Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium ( gula darah, fungsi tiroid, fungsi pankreas ), radiologi ( USG ), dan endoskopi merupakan langkah yang paling penting untuk eksklusi penyebab organik atau biokimiawi.

Terapi dispepsia : 1. Dietetik : prinsip dasar adalah menghindari makanan pencetus serangan seperti makanan pedas, asam, dan tinggi lemak. 2. Antasida ( menetralisir asam lambung ) 3. Penyekat H2 reseptor ( menghambat sekresi asam lambung ) Penghambat pompa proton ( menghambat sekresi asam lambung ) 4. Sitoproteksi ( meningkatkan ketahanan mukosa : sucralfate, cetraxate, prostaglandin ) 5. Prokinetik ( meningkatkan motilitas/peristaltik saluran cerna ) :

Metoklopramid, Domperidon, Cisapride 6. Agonis motilin : eritromisin yang dapat meningkatkan pengosongan lambung pada gastroparesis. 7. Lain-lain : Kappa agonist fedotoxine dapat menurunkan hipersensitivitas lambung.3 4. Sindroma Nefrotik10 Sindroma nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif 3,5 g/hari, hipoalbuminemia < 3,5g/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria, 31

gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik. Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung ( SLE ), obat atau toksin ( NSAID, preparat emas, penisilamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin ), dan akibat penyakit sistemik. 5. Hipoalbuminemia7 Hipoalbuminemia secara konvensional didefinisikan sebagai tingkat albumin di bawah 3,5 gram/dl. Hipoalbuminemia adalah masalah yang umum ditemukan pada kondisi medis akut maupun kronis. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh berbagai kondisi seperti sindroma nefrotik, disfungsi ginjal, sirosis hepatis ( sintesis menurun karena berkurangnya sel-sel hepatik ), gagal jantung, luka bakar derajat berat, dan malnutrisi protein, namun kasus terbanyak penyebab hipoalbuminemia adalah akibat respon inflamasi akut maupun kronis. Kadar albumin serum tergantung pada sintesis albumin oleh hepatosit, jumlah yang di sekresi oleh hati, distribusi dalam cairan tubuh, dan tingkat degradasinya. Hipoalbumin terjadi oleh karena gangguan dari prosesproses tersebut. Pada pemeriksaan fisik yang umumnya ditemukan antara lain edema pada wajah atau ekstremitas, ascites, hilangnya lemak subkutan, muscle wasting, dan rambut tipis. Pada pasien ini ditemukan edema pada wajah, tangan, kaki, dan ascites. Pemeriksaan laboratoris ditemukan kadar albumin yang rendah yaitu 1,5 gr/dl. Diagnosis banding dan pemeriksaan yang dibutuhkan antara lain : 1. Malnutrisi : jumlah limfosit dan kadar BUN menurun. 32

2. Inflamasi : peningkatan CRP dan sedimen eritrosit 3. Sindroma nefrotik : peningkatan protein > 3 gram pada urin tampung 24 jam. 4. Sirosis : LFT ( level transaminase ) meningkat. 5. Malabsorbsi : Sudan test positif. 6. Hipergammaglobulinemia : serum protein elektroforesis

33

DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio Harry, dkk. Lupus Eritematosus Sistemik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. 2. Parjono Elias, Widayati Kartika. Anemia Hemolitik Autoimun, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. 3. Djojoningrat Dharmika. Dispepsia Fungsional, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. 4. Hadi Sujono. Nyeri epigastrik Penyebab dan pengelolaannya, dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 8 Thn 1983. Jakarta : Cermin Dunia Kedokteran. 1983. 5. Bakta I Made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007. 6. Fauci, dkk. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition. USA : McGraw-Hill Company, 2008. 7. Peralta Ruben. Hypoalbuminemia. http://emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 26 Juni 2010. 8. Sunarto. Sindroma Antifosfolipid-Antibodi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. 9. Bawazier AL, dkk. Nefritis Lupus, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006. 10. Prodjosudjadi Wiguno. Sindroma Nefrotik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.

34

Você também pode gostar