Você está na página 1de 7

Dilihat dari bentuknya, faham yang menyimpang berawal dari sebuah penafsiran terhadap teks-teks agama, baik al-Quran

maupun Hadis. Ketika faham ini diajarkan kepada orang lain, maka kini ia disebut ajaran. Ketika ajaran itu diturunkan dan mengalir dari generasi ke generasi, ia disebut aliran. Dan ketika kemudian berbentuk sebuah organisasi atau lembaga, ia disebut gerakan. Begitulah kira -kira proses perjalanan aliran itu. Namun secara umum, konotasi istilah -istilah itu adalah sama. Faham, ajaran, aliran, dan gerakan yang menyimpang adalah sebuah ajaran yang sudah dinilai keluar dari rel induknya, yaitu tuntunan Nabi Muhammad saw. Sementara dari segi sifatnya, ada sementara orang yang menyebutnya sebagai Faham Sempalan, dan bila sudah menjadi gerakan, disebut Gerakan Sempalan. Ada juga sementara orang yang tidak setuju dengan istilah sempalan itu, karena, ibarat dahan pohon yang sempal, ia tidak akan membahayakan pohon aslinya. Karena dahan yang sempal akan segera kering, kemudian mati, sementara pohon aslinya akan tetap hidup tegak berdiri. Padahal kenyataan yang ada, aliran -aliran yang menyimpang itu justru sering membahayakan pohon aslinya. Bahkan apabila dibiarkan terus begitu, pohon aslinya akan digerogoti, dan bisa mati. Karenanya, ada orang yang senang menyebut aliran semacam itu sebagai aliran atau gerakan benalu. * Makalah disampaikan pada Pelatihan dan Pembekalan Terhadap Para Pelaku Dakwah di Kota Batam . Batam, 26 Jumadil Akhir 1432 H/ 30 Mei 2011 M Terlepas dari istilah sempalan atau benalu, sekurang-kurangnya ada lima kriteria sehingga suatu ajaran, aliran, atau gerakan dapat disebut sebagai menyimpang dari ajaran asalnya, yaitu ajaran atau tuntunan yang diberikan oleh Allah dan Rasul -Nya. - 2

1. Menutup Diri (Eksklusif) Kriteria pertama dari aliran yang menyimpang ini adalah sifat yang tertutup. Orang orang yang menyebarkan aliran yang menyimpang ini cenderung tidak terbuka untuk orang lain. Dalam mengajarkan ajarannya, mereka sembunyi -sembunyi, padahal situasi keamanan baik-baik saja. Apabila pengajarannya berupa pengajian, diskusi, dan lain sebagainya, ia tidak terbuka untuk umum, dan hanya khusus untuk anggota saja. Bahkan tidak sedikit pengajian kelompok yang menyimpang ini dilakukan pada waktu tengah malam, saat orang lain sedang tidur. Dan apabila penyebaran aliran itu melalui buku, maka buku itu tidak dijual bebas di pasar, melainkan hanya berlaku untuk kalangan sendiri. Sekiranya ajaran itu untuk umat manusia, maka siapa saja boleh ikut. Bahkan, orang kafir pun juga boleh ikut, karena diharapkan dapat memperoleh hidayah lewat pengajian itu. Penyebaran ajaran Islam seperti ini bertentangan dengan firman Allah, Surat Yusuf ayat 108: Artinya: Katakanlah, ini adalah jalanku (agamaku). Aku menyeru orang-orang untuk taat kepada Allah secara jelas, aku dan orang -orang yang mengikuti aku. (QS. Yusuf ayat 108) Ayat ini menjelaskan tentang bagaimana dakwah Nabi saw, yaitu jelas, tidak ada yang ditutup-tutupi, dan terbuka untuk semua orang. Memang, pada masa-masa awal, Nabi saw pernah berdakwah secara sembunyi -sembunyi, tetapi masalahnya lain. Pada waktu itu karena keamanan tidak memungkinkan, di mana orang -orang kafir akan menteror umat Islam, khususnya Nabi saw apabila beliau berdakwah secara terbuka. Namun demikian, pada saat itu dakwah beliau juga terbuka untuk siapa saja. Termasuk dalam pengertian jelas dan terbuka ini adalah kesediaan pelaku dakwah untuk berdiskusi, karena karakter ajaran Islam memang seperti itu. - 3 -

2. Fanatik Aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar, selanjutnya dapat dideteksi dari watak para pengikutnya dalam menyikapi kelompok lain. Di satu sisi mereka fanatik terhadap ajaran atau aliran mereka, namun di pihak lain mereka sangat radikal terhadap kelompok lain. Mereka hanya menganggap bahwa kelompok mereka sendiri yang disebut pengamal ajaran Islam, sementara kelompok lain mereka anggap sudah keluar dari Islam, kelompok lain sudah halal darahnya, musyrik, tidak berhak masuk surga, dan lain sebagainya. Nabi saw bersabda dalam sebuah Hadis riwayat Imam Hakim sebagai berikut: Artinya: Apabila seorang hakim berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua kebajikan. Dan apabila berijtihad, kemudian ijtihadnya keliru, maka ia mendapatkan satu kebajikan. (HR. Hakim) 3. Radikal Aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar, selanjutnya dapat dideteksi dari sikap mereka terhadap kelompok lain, dimana mereka bertindak keras terhadap kelompok lain di luar kelompok mereka, karena merasa bahwa kelompok lain di luar kelompok mereka adalah sesat. Sekiranya mereka mau mengetahui ajaran yang benar sesuai petunjuk Nabi saw, dan sekiranya mereka mau kembali ke rel ajaran yang benar, tentu mereka tidak akan semudah itu menuduh kelompok lain sudah keluar dari I slam. Sebab Nabi saw bersabda: Siapa yang menuduh saudaranya (seagama) sebagai kafir, maka salah satu dari mereka adalah benar -benar kafir. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini artinya adalah, apabila orang yang dituduh kafir itu bukan kafir, mak a orang yang menuduh kafir justru akan - 4 -

benar-benar menjadi kafir. Karenanya, sungguh sangat berat risikonya bila ada seorang muslim menuduh muslim yang lain sebagai kafir. 4. Mempersulit Diri (Tasyaddud) Ajaran Islam itu sarat dengan kemudahan. Apabila terdapat hal -hal yang dianggap menyulitkan muslim, Islam memberikan jalan keluar dengan prinsip rukhshah (dispensasi). Dalam keadaan darurat misalnya, babi yang haram dimakan itu justru boleh, bahkan harus dimakan. Namun demikian, Islam tidak membenarkan umatnya untuk mempermudah, alias menyepele -kan dalam menjalankan syariat agama. Dengan prinsip rukhshah ini mungkin diharapkan tidak akan mendapatkan kesulitan dalam menjalankan agamanya. Dan itulah yang dike hendaki Allah, sebagaimana dalam firman Nya: Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan Allah tidak menghendaki kesulitan bagi kamu. (QS. Al-Baqarah ayat 185) Apabila di satu sisi Islam melarang umatnya untuk mempermudah dalam menjalankan agamanya, maka di sisi lain Islam juga melarang umatnya untuk mempersulit diri. Dalam sebuah Hadis shahih riwayat Imam Bukhari, Nabi saw bersabda: Aku diutus oleh Allah dengan membawa ajaran yang mudah. Karenanya, tidak ada seorang pun yang mempersulit dalam agama ini kecuali ia akan terperosok dalam kesulitan itu. Sikap mempersulit diri ini antara lain adalah tidak mau menggunakan kemudahan kemudahan yang diberikan oleh Allah, atau bahkan cenderung untuk mengharamkan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah. Misa lnya, seseorang mengharamkan dirinya untuk memakai atau menggunakan hal -hal yang bagus, baik berupa pakaian, makanan, tempat tinggal, dan sebagainya. Padahal Allah tidak mengharamkan hal -hal itu. Allah berfirman: - 5 -

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan hal -hal yang baik dari apa yang telah dihalalkan oleh Allah untuk kalian. Dan janganlah kalian melampaui batas, karena Allah tidak menyukai orang -orang yang melampaui batas. (QS. al-Maidah ayat 87) 5. Berlebih-lebihan (Ghuluw) Apabila dalam pekerjaan sehari -hari Islam melarang umatnya dari sikap mempersulit diri, maka dalam bidang akidah dan ibadah, Islam juga melarang umatnya dari sikap berlebih-lebihan, atau yang disebut ghuluw. Sikap ghuluw ini merupakan salah satu gejala dari pemahaman yang menyimpang, dan hal ini pernah dilakukan oleh orang orang Nasrani, di mana mereka berlebih -lebihan dalam menilai Nabi Isa as, sehingga mereka menganggapnya sebagai tuhan. Sikap ini dikecam oleh Allah dalam firman -Nya: Artinya: Wahai ahli kitab, janganlah kalian bersikap ghulluw (berlebih -lebihan) dalam agama kaian, dan janganlah kalian mengatakan tentang Allah kecuali dengan benar. (QS. al-Nisa ayat 171) Karenanya, Islam juga melarang umatnya untuk mengkultuskan seseorang seray a menganggapnya memiliki kekuasaan di luar kemampuannya sebagai manusia. Para wali, bahkan para nabi adalah manusia biasa yang tidak mempunyai kekuasaan seperti yang dimiliki Allah, misalnya menciptakan dunia ini. Sekiranya para wali atau para nabi itu memiliki keluarbiasaan dalam suatu hal, maka hal itu masih dalam batas -batas adanya izin dari Allah. Karenanya, aliran yang beranggapan bahwa seorang alim, seorang wali, atau seorang imam memiliki kekuasaan seperti Allah, jelas merupakan aliran yang menyimpang dari ajaran Islam. - 6 -

Itulah antara lain sikap ghuluw yang berkaitan dengan masalah akidah. Sementara sikap ghuluw dalam masalah ibadah adalah sikap yang pernah diperlihatkan Abu al Darda kepada Salman al-Farisi. Dua orang sahabat itu sudah dipersaudarakan oleh Nabi saw. Suatu saat Salman datang ke rumah Abu al -Darda. Salman melihat isteri Abu al-Darda dalam keadaan ti dak bergairah, kusut, dan layu. Kenapa Kamu kelihatan tidak punya semangat begitu? Tanya Salman kepada Isteri Abu al -Darda. Lihat saja saudaramu, Abu al-Darda, jawab isteri Abu al-Darda, Ia sudah tidak mau lagi dengan dunia, tambahnya. Abu al-Darda memang selalu berpuasa setiap hari, shalat tahajud setiap malam, sehingga isterinya tidak pernah diperhatikan. Abu al -Darda tidak pernah makan bersama isterinya, dan tidak pernah tidur bersama isterinya, karena pada siang hari ia berpuasa dan malam hari se lalu shalat. Maka pada siang itu, ketika waktu makan siang sudah tiba, Abu al -Darda menyiapkan makanan untuk tamunya, Salman al -Farisi. Silakan anda makan, hai Salman. Saya minta maaf tidak dapat menemani Anda karena sedang berpuasa, begitu Abu al-Darda menawari Salman. Saya tidak mau makan kecuali kamu juga ikut makan, begitu jawab Salman tegas. Akhirnya Abu al-Darda kalah, ia membatalkan puasanya dan makan bersama Salman. Begitulah, dan ketika malam sudah tiba, keduanya shalat Isya berjamaah. Kemudia n kedua sahabat Nabi ini bersiap -siap tidur. Namun tiba-tiba Abu al-Darda bangun dan pergi meninggalkan Salman. Mau ke mana hai Abu al-Darda? tanya Salman. Mau berwudlu untuk shalat malam, jawab Abu al-Darda. Jangan, begitu kata Salman, Sekarang kita harus tidur, tambahnya. Begitulah, Abu al -Darda kalah lagi, akhirnya ia tidur. Tidak lama kemudian Abu al -Darda bangun, dan pergi meninggalkan Salman. Ke mana lagi? Tanya Salman cepat. Mau berwudlu untuk shalat malam, jawab Abu al-Darda. Jangan, ayo kita tidur lagi, pinta Salman. Akhirnya Abu al -Darda kalah lagi, ia tidur kembali. Dan begitulah. Ketika waktu menjelang Subuh tiba, Salman bangun dan dilihatnya Abu al -Darda masih tidur. Bangun, hai Abu al -Darda, begitu Salman membangunkan. Mari sekarang kita shalat malam, begitu ajaknya. - 7 -

Malam itu Salman shalat tahajud bersama Abu al -Darda, kemudian mereka shalat Subuh berjamaah. Setelah itu Salman berkata, Wahai Abu al-Darda, sesungguhnya Allah mempunyai hak yang harus kamu penuhi, badanmu juga mempunyai hak yang harus kamu penuhi, keluargamu juga mempunyai hak yang harus kamu penuhi, dan tamumu juga mempunyai hak yang harus kamu penuhi. Maka penuhilah hak -hak dari masing-masing itu semuanya. Pagi harinya kedua sahabat Nabi itu menghadap Nabi saw dan menceritakan apa yang terjadi pada mereka berdua sejak kemarin, tadi malam, dan pada waktu Shubuh tadi. Nabi saw kemudian berkomentar singkat, Shadaqa Salman. (Benar Salman). Wallahul Muwaffiq. Jakarta, 23 Jumadil Akhir 1432 H 27 M e i 2011 M

Você também pode gostar