Você está na página 1de 4

Thu, Jan 6th 2011, 10:02

Mengapa Korupsi Berlanjut?


Fuad Mardhatillah UY. Tiba - Opini ARTIKEL berjudul Jangan Berhenti Korupsi yang ditulis Saifuddin Bantasyam (Serambi Indonesia, 29/12/2010), telah merangsang saya untuk melanjutkan perbincangan seputar fenomena korupsi yang tampak anomalik itu. Khususnya untuk menjelaskan lebih jauh tentang alasan-alasan tekstual dan kontekstual, mengapa kemaksiatan korupsi di negeri ini, dalam berbagai modus, bentuk, lingkup dan kadarnya, memang masih harus terus berlanjut, meski ada sejumlah orang tampak menentangnya. Keberlanjutan korupsi itu bukan hanya karena pelaksanaan proyek pembangunan merupakan peluang bagi aksi maksiat korupsi. Tetapi juga karena banyak faktor-faktor tektual dan kontekstual lain yang secara signifikan menyebabkan maksiat korupsi, yang telah mewabah secara pandemic di negeri ini, masih terus dapat berlanjut. Secara tekstual, berbagai muatan aturan, sistem, kebijakan, hukum dan perundang-undangan yang disusun kaum elit, menyangkut tata-kelola pemerintahan dan keuangan negara (public), memang masih menunjukkan adanya skenario koruptif. Kesimpulan ini ditarik berdasarkan sifat-sifat dari aturan pengelolaan pemerintahan/keuangan yang amat berpihak pada pemegang otoritas kekuasaan (subjective heavy). Indikasinya, pengelolaan kekuasaan yang bersifat terpusat, tertutup, tidak transparan, elitis, tidak partisipatif dan akuntabilitas publik yang lemah, hanya bersifat seremonial dan simbolis. Sementara hubungan pimpinan dengan bawahan dalam suatu organisasi pemerintahan berlangsung dalam pola patron and client, bersifat menindas dan feudalistic. Pola hubungan seperti inilah yang menjadi sarang dan muara bagi berbagai aksi manipulasi dan korupsi bagi para pimpinannya. Sementara para bawahannya hanya bisa bungkam, tak berani menggugat dan protes. Itulah karakter dasar dari sistem dan aturan-aturan hukum yang hingga saat ini masih berlaku, walau reformasi sempat bergemuruh menjadi tuntutan rakyat. Proses semacam itu berlangsung secara sistematis semasa rezim Orde Baru berkuasa. Dan masih terus dipertahankan oleh para kader pewaris Orba, yang kini masih banyak yang berkuasa. Baik penguasa di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif maupun

yudikatif, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan kita. Maka jangan heran jika korupsi terus mewabah. Bahwa hasil survei dari berbagai lembaga riset lokal, nasional, dan internasional telah secara metodologis mampu menunjukkan bukti-bukti indikatif tentang massifnya kejahatan korupsi di Indonesia/Aceh. Namun ironisnya, jumlah koruptor yang berhasil ditangkap dan dihukum ternyata sangat sedikit. Sehingga Aceh/ Indonesia pantas dijuluki sebagai kawasan surgawi bagi para koruptor. Sejalan dengan ironi dan anomali itu, banyak terdakwa korupsi yang sempat diajukan ke pengadilan, tetapi ternyata hukum-hukum formal, material beserta semua jarajan penegak hukumnya, sering gagal membuktikan mereka sebagai koruptor. Baik kegagalan pembuktian dalam proses peradilan di tingkat pertama PN, Banding di PT maupun Kasasi di MA. Karenanya, fenomena korupsi di Indonesia/Aceh ibarat, maaf, kentut, yang bau busuknya mencemari atmosfir ke mana-mana dan menusuk hidung banyak orang. Namun kita tidak pernah tahu siapa orangnya yang telah mengeluarkan angin busuk itu. Jadi, walau kejahatan korupsi itu telah ditetap oleh PBB sebagai kejahatan berat kemanusiaan, yang dapat mengakibatkan kemiskinan serta penderitaan massal bagi rakyat Indonesia/Aceh, namun para pelakunya nyaris sama sekali tidak merasa bersalah. Apalagi mereka merasa dilindungi oleh berbagai ketentuan yang ada dalam aturan, sistem, prosedur dan perundang-undangan itu sendiri, melalui klausula, premis, manuver, trik, alibi dan paradigma hukum: praduga tak bersalah (presumption of innocent). Di samping rasa malu (sense of ashameness) memakan harta-harta haram, gagal ditumbuhkan oleh pendidikan agama yang berlangsung di negeri ini. Makanya hukum pembuktian terbalik tegas ditolak oleh para elite penguasa pembuat hukum dan perundang-undangan di negeri ini. Karena dengan sistem hukum ini, memberi kesempatan kepada rakyat untuk melakukan clash action terhadap para penguasa dan mantan penguasa untuk diminta membuktikan, bahwa harta-harta yang dimilikinya bukanlah hasil dari aksi maksiat korupsi. Padahal, paradigma hukum praduga tak bersalah, sungguh telah membuat aksi maksiat korupsi di Indonesia menjadi merajalela, saat kekuasaan tunggal otoriter Orba secara mutlak berada di tangan Presiden Soeharto (Pasca-Asas Tunggal, 1984). Sehingga Indonesia sempat digelar sebagai Negara Kleptokratis (Prof T. Jakob, 2004). Sampai akhirnya Soeharto harus lengser, akibat desakan kemarahan rakyat dan krisis moneter. Maka pembangunan ekonomi melalui Repelita yang selalu dikabarkan menghasilkan

fundamental ekonomi yang kuat dan siap untuk tinggal landas, ternyata hanya bual, keropos dan kandas di landasan. Namun Orde Baru meninggalkan ajaran budaya politik yang menempatkan aksi korupsi sebagai perbuatan yang dianggap wajar oleh para politisi dan sebagian besar masyarakat di semua strata sosialnya. Bahkan banyak orang menilai bodoh dan sok-alim atas seorang penguasa yang tidak mau korupsi dan berbagi proyek dengan kelompok dan kerabatnya. Maka suasana kehidupan menjadi semakin materialistik, sekuleristik, individualistik, dan hedonistik. Birokrasi pemerintahan cenderung mempersulit dan menindas, dengan gaji pegawai yang sangat tidak rasional, merupakan alasan-alasan kontekstual, yang ikut membuat maksiat korupsi terus berlanjut. Sehingga jajaran para penegak hukum dan para elit masyarakat, di semua strata sosialnya, khususnya para penguasa anggaran dan para pengelola anggaran publik, termasuk di lembaga-lemabaga non pemerintah, sulit diajak untuk tidak korupsi di tengah peluang yang menganga. Dalam konteks situasi kehidupan yang demikian, tentu bukanlah momentum yang kondusif bagi membangkitkan semangat anti korupsi dan meningkat jumlah pejuangnya. Sehingga jumlah warga masyarakat yang anti-korupsi hingga saat ini masih belum mencapai jumlah bilangan yang memadai. Sehingga perjuangan untuk perubahan demi mencegah dan memberantas aksi korupsi masih terasa sangat lemah. Karenanya, masyarakat tentu jangan terlalu banyak berharap, bahwa maksiat korupsi, dalam berbagai modus, bentuk dan kadarnya, mulai dari aksi potong-memotong, suap-menyuap dan berbagai jenis manipulasi data dan laporan lainnya, akan bisa berhenti dalam kurun waktu 20 tahun ke depan. Karena maksiat korupsi itu masih menjadi keinginan kontekstual banyak orang di semua strata, profesi dan lingkungan. Terakhir, fenomena sistem politik dalam rekrutmen para penguasa di negeri ini, baik di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, termasuk lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan, tampak masih memerlukan banyak uang, baik untuk sogokan maupun ongkos politik. Faktor ini juga menjadi alasan kontekstual lain yang menyebabkan korupsi masih harus berlanjut. Karena ketika berhasil merebut jabatan, mereka pasti akan mengembalikan modal dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Jadi, meski tuntutan perubahan tampak telah disuarakan banyak orang, namun kalangan yang resisten, terutama mereka yang diuntungkan status quo, masih lebih dominan. Sehingga semangat anti korupsi masih belum menjadi semangat zaman.

Mungkin kita masih harus terus menonton aksi maksiat korupsi para pejabat publik, hingga mayoritas masyarakat mengalami social discontent dan mengamuk akibat kelaparan. * Fuad Mardhatillah UY. Tiba adalah dosen IAIN Ar Raniry, Banda Aceh

Você também pode gostar