Você está na página 1de 3

PSIKOTERAPI TRANSPERSONAL

SEJARAH DAN PENGERTIAN PSIKOTERAPI TRANSPERSONAL Psikoterapi transpersonal telah diketahui sejak 2200 SM, dari dokumen budaya Mesir Kuno yang berisi dialog antara orang yang mau bunuh diri dengan Soulnya. Sebelum istilah Psikoterapi transpersonal muncul dan diteliti oleh para ilmuan, psikoterapi transpersonal pengalaman transpersonal dan psikologi transpersonal. berawal dari

Pengalaman transpersonal dapat

didefinisikan sebagai pengalaman identitas diri yang melewati individu atau pribadi untuk mencakup aspek yang lebih luas dari kemanusiaan, kehidupan, jiwa dan kosmos (Boorstein, 1996). Sedangkan Psikologi transpersonal adalah wilayah psikologi yang memfokuskan pada kajian terhadap pengalaman transpersonal dan fenomena yang berkaitan. Fenomena ini meliputi penyebab, pengaruh, dan hubungan dari pengalaman dan perkembangan transpersonal, sebagaimana halnya dengan disiplin dan teknik-teknik yang dipengaruhinya (Boorstein, 1996). Menurut Frances Vaughan, salah satu asumsi yang mendasari psikoterapi transpersonal adalah setiap manusia memiliki gerakan untuk pertumbuhan spiritual, kapasitas untuk belajar dan tumbuh sepanjang hidup, dan proses ini dapat difasilitasi oleh psikoterapi. Sedangkan, menurut Rowan (1993) psikoterapi adalah tentang keberanian seseorang untuk membuka apa yang di dalam dirinya. Metode-metode spiritual juga sebagai cara memberanikan diri membuka apa yang di dalam diri. Oleh karena itu, psikoterapi berarti juga merupakan latihan spiritual. Rowan juga mengatakan psikoterapi adalah sebuah jembatan yang menghubungkan dengan spiritualitas. Dengan kata lain, psikoterapi transpersonal adalah jembatan yang menghubungkan psikologi dengan spiritualitas. Psikoterapi/Konseling transpersonal bukanlah sebuah mazhab dengan identitas terpisah, namun merupakan suatu dimensi dari semua konseling/psikoterapi, yang dapat diindahkan atau diabaikan Psikoterapi transpersonal tidak mengabaikan tujuan terapi tradisional, namun sebenarnya menambahkannya dengan tujuan seperti mendisidentifikasikan atau mentransendensikan prosesproses dalam psikodinamika (Walsh & Vaughan, 1996)

Landasan psikoterapi transpersonal adalah bagaimana memandang klien sebagai mahluk yang mempunyai potensi kesadaran spiritual, dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan semesta. Dalam tataran praktisnya, proses gangguan mental, lebih diakibatkan faktor internal dalam dirinya yang tidak bisa menempatkan diri dalam bagian keseluruhan tersebut. Dalam beberapa metode, jenis terapi yang diberikan ada beberapa kesamaan dengan psikoterapi humanistik. Konsep bahwa manusia menerapkan bagian yang tak terpisahkan dari semesta secara keselutuhan, sangat kuat dalam pandangan mistik Timur. Dalam agama hindu, kita mengenal konsep Hiranyagarbha, sebagai pikiran universal yang menjadi basis penciptaan dunia. Sehingga dengan mencoba menghubungkan dan menjernihkan pikiran kita dalam pikiran Brahman, dengan sendirinya potensi spiritual kita akan tergali.

MODEL PSIKOTERAPI TRANSPERSONAL Menurut Davis (2005) psikoterapi transpersonal adalah betul-betul eklektik, penggambaran dari teknik-teknik dan pemahaman dari variasi psikologi yang luas dan sumber-sumber spiritual. Psikoterapi transpersonal berhadapan dengan permasalahan psikologis dengan cakupan yang luas dan penggunaan teknik-teknik yang luas pula, di antaranya adalah modifikasi perilaku, restrukturisasi kognitif, praktek Gestalt, psikodinamika, dream-work, terapi musik dan seni, serta meditasi. Dengan berbagai kombinasi teknik-teknik kesadaran, maka sangat berpeluang untuk dibangunnya hal-hal baru. Beberapa terapis transpersonal berikut membuktikan anggapan ini. Segall (2005) mengeksplorasi konsep dan teknik mindfulness (meditasi dari Budhisme) bagi pengembangan diri dalam psikoterapi pada konteks psikologi klinis Barat. Judith Blackstone (2006) mengembangkan teknik intersubjektif dan nondualitas (nonduality) dalam hubungan psikoterapeutik. Blackstone mengembangkan metode Proses Realisasi (Realization Process) untuk membantu klien dalam mengalami kesadaran nondual dalam seting klinis. Asha Clinton (2006) memperkenalkan metode Seemorg Matrix Work sebagai psikoterapi transpersonal energi baru. Baik secara teoritis maupun metodologis, dasar dari Seemorg adalah sintesa dari pendekatan spiritualitas Timur, psikologi Barat, dan psikoneuroimunologi. Rowan (1998, 2000) mengembangkan linking dan menggunakan meditasi, spiritual bibliotherapy, serta latihan kesadaran lainnya seperti holotropic breathwork, LSD, hipnosis, yoga, visualisasi, dan psikodrama. Berdasarkan pengalaman Penulis dalam mempraktekkan psikoterapi transpersonal,

teknik-teknik kesadaran yang digunakan adalah terapi meditasi, terapi musik, visualisasi, letting go, dan spiritual bibliothetapy. Dengan menangani beragam kasus seperti diabetes melitus, obesitas, korban KDRT, psikosomatis, korban poligami, dan korban perselingkuhan; dapat dikembangkan model psikoterapi transpersonal. Dari semua model ilmuan paling sering memakai meditasi dalam terapinya. Dalam meditasi, persepsi seseorang dilatih untuk mengamati isi mental dan bukannya mencoba untuk merubahnya. Sebagai tambahan, dalam mengamati isi mental seseorang juga dapat mengarahkannya untuk mendisidentifikasikannya, suatu proses dengan eksplorasi tidak hanya bertanya Siapa Saya? Namun juga Seperti apa Saya? Meditasi adalah teknik atau metode latihan yang digunakan untuk melatih perhatian, untuk dapat meningkatkan taraf kesadaran, yang selanjutnya membawa proses-proses mental dapat lebih terkontrol secara sadar (Walsh, 1983 dalam Subandi, 2002). Dua teknik meditasi yang paling populer adalah meditasi transendental dan mindfulness. Keduanya membawa keranjingannya para peneliti psikologi pada era yang berbeda. Banyak penelitian eksperimen dilakukan untuk menguji manfaat meditasi transendental pada era 1970an, sementara sejak era 1990an meditasi mindfulness yang menjadi primadona baru. Boorstein (2000) mengatakan tanpa keyakinan yang mendasar dan atau pengalaman

transpersonal atau spiritual, seseorang mungkin tidak bisa menjadi psikoterapis transpersonal atau spiritual. Boorstein menambahkan bahwa ia bekerja pada konteks spiritual tertentu dimana ia membayangkan bahwa pasien adalah bagian darinya di dalam suatu gambaran yang lebih besar, atau dalam istilah filsafat perenial merupakan interkoneksitas tanpa batas. Boorstein tetap menjaga sikap kontekstual ini meskipun pasiennya memiliki atau tidak memiliki sistem keyakinan agama atau spiritual. Senada dengan Boorstein, Davis (2005) menyarankan agar terapis dapat menggunakan empatinya dan memberi perhatian pada kliennya agar meyakini interkoneksitasnya.

Você também pode gostar