Você está na página 1de 12

Tentang Sebuah Mimpi

By : Ayu Bangkitaryani

Dua orang anak duduk bersebelahan di bangkunya masing-masing. Bersama belasan anak-anak lain sedang asyik menggambar di atas kertas A3. Di tengah papan tulis dan di sudut kanan atas setiap kertas tertulis cita-citaku. Ibu guru berkeliling dan mengamati pekerjaan murid-muridnya di kelas itu. Anak perempuan berkata, Ngapain kamu ngeliatin aku terus?. Aku gak ngeliatin kamu, aku ngeliatin gambar kamu. Gambarmu cantik. Kamu juga cantik, jawab si anak laki-laki. Anak perempuan melihat ke gambar anak laki-laki, Kamu gambar apa? Punyamu juga bagus, hehe. Aku gambar robot. Aku pengen jadi insinyur. Nanti aku bikin robot untuk melindungi bumi. Selain bumi aku juga bakal ngelindungi kamu. Hm..kamu gambar apa? Rumahmu yah?, kata anak laki-laki itu lagi. Anak perempuan menjawab, Iya, aku gambar rumah. Tapi bukan rumahku yang sekarang, ini rumah masa depanku. Nanti aku, kamu dan kakek-nenekku bisa main sama-sama. Robot kamu juga boleh ikut. Peter, Marsha tolong jangan ribut!, tegur ibu guru. Serempak keduanya menjawab, Iya buuuu. Peter dan Marsha saling tersenyum. Sejak saat itu mereka berteman hingga sekarang. Dimana ada Peter disana ada Marsha mereka tak terpisahkan, bagai variabel dan koefisiennya. Peter melengkapi hidup Marsha yang sepi, begitu pula Marsha membuat hidup Peter semakin berwarna. Namun tak ada kata cinta diantara mereka. Entah apakah mereka memang tak memendam rasa itu ataukah mereka belum menyadarinya. Tak terasa persahabatan mereka berkembang hingga mereka beranjak remaja. Mereka lulus sekolah dasar, kemudian melanjutkan ke SMP dan akhirnya ke SMA yang sama. Ayah Peter adalah seorang pengusaha sukses yang berhasil mengembangkan toko kecil yang kini berkembang menjadi minimarket yang telah memiliki cabang dimana-mana. Marsha tinggal besama kakek dan neneknya sejak kecil. Marsha sering mengunjungi kakeknya di proyek bangunan untuk

membawakan makanan ataupun sekadar ingin jalan-jalan. Peter pun sering diajak ayahnya ke perusahaan untuk mebantu sekaligus belajar menjadi businessman yang handal. Peter dan Marsha masih berteman hingga saat ini.saat ini nusa dan rei sedang menikmati masa remaja mereka. Mereka bebas bertemu, bepergian dan bermain dengan bebas. Betapa bahagianya hidup mereka, tidak ada apapun yang dapat menghalangi kegembiraan mereka. *** Teeeeeet, bel tanda pulang berbunyi. Beberapa saat kemudian muridmurid SMU Tunas harapan berhamburan ke luar kelas. Tiga murid laki-laki yang mendapat tugas piket hari itu masih berada di dalam kelasnya. Salah satunya adalah Peter . Albert: "Gimana kalau kita undi siapa yang piket hari ini, lainnya boleh pulang?" Kevin: "Aku suka itu. Gimana kalau kita undi berdasarkan jumlah lembaran dalam dompet kita? Siapa yang paling banyak, tinggal." "Setuju", kata Albert Albert segera mengeluarkan dompetnya, lalu menunjukkan isinya. "Empat uang kertas dan satu uang logam. Jadi, empat lembar", katanya lagi Kevin mengeluarkan memperlihatkan isinya. dompetnya dengan penuh semangat, lalu

"Tiga uang kertas dan dua uang logam. Jadi, tiga lembar. Aku lebih sedikit, sahut Kevin Peter mengeluarkan dompetnya, mengintip isinya, lalu membukanya lebarlebar di hadapan kedua temannya. "Dua uang kertas dan tiga uang logam. Jadi, dua lembar. Aku paling sedikit. Aku pulang, dong?", tanya Peter "Eits, tunggu dulu! Lihat, itu ada dua lembar struk dan satu lembar foto. Semuanya lima lembar. Jadiii, kami pulang dulu yaaa...", sela Albert "Peter, jangan lupa yaaa", tambah Kevin "Apa?", tanya Peter bingung

"Jendela masih terbuka, lantai masih kering, tanaman kehausan", kata Kevin lagi. "Heh?", kata Peter tak terima Albert dan Kevin berlari keluar dari kelas. "Hei! Apa kalian ga bawa ktp, kartu siswa, plastik, kertas, daun, atau lainnya?", teriak Peter Peter tertinggal sendirian di dalam ruangan itu. Papan tulis dipenuhi tulisan, susunan meja-kursi berantakan, lantai kotor, dan beberapa hal lainnya yang masih harus dibereskan. Peter melakukan tugas piket sendirian. Tas dan dompetnya ditinggal begitu saja di atas salah satu meja. Ketika Peter sedang bekerja, sebuah suara mengejutkannya. "Peter", sapa Marsha yang tiba-tiba datang "Eh. Hai, Sha!", balas Peter "Sudah kuduga, kamu masih di sini. Piket sendirian lagi nih?" "Aku juga sudah menduga kalau sepulang sekolah aku akan piket bersama seorang gadis cantik ,kata Peter jahil. "Gadis cantik piket sama ketua kelas, apa kata dunia?", sembur Marsha dengan nada bercanda. "Udah ah, bantuin dong Sha, Peter mulai merajuk Ugh, oke deh sebagai sahabat yang baik aku rela bantuin kamu, kata Marsha Marsha tersenyum. Marsha membantu Peter melakukan tugas piket. Marsha membersihkan papan tulis dan merapikan meja-kursi, sedangkan Peter mengerjakan lainnya. Setelah itu mereka berjalan menyusuri koridor-koridor sekolah sambil mengobrol ringan.

Peter mengantar Marsha pulang, dan mampir sebentar untuk berbincang dengan kakek-nenek Marsha. Walaupun mereka sudah tua, tapi mereka masih tetap up to date. Boleh dibilang mereka kakek dan nenek gaul. Oleh karena itu Peter senang mengobrol dengan mereka. Tiba-tiba Marsha mengambil sebuah toples dari dalam kamarnya. Apaan tuh Sha?, tanya Peter. Ini origami bintang tau. Kalau lagi gak ada kerjaan aku suka bikin ini. Lucu deh. Mau liat?, tawar Marsha. Boleh-boleh. Wah iya lucu banget. Ajarin dong, pinta Peter. Gampang banget bikinnya, kamu nutup mata pun bisa buatnya, sahut Marsha. semangat. Horeeee, jadi juga thanks yah udah ngajarin, kata Peter. Sip deh, aku seneng lagi bisa ajarin kamu. Tau nggak kata orang-orang, kalo kita berhasil bikin seribu origami bintang, satu keinginan kita bakal dikabulin, kata Marsha Serius kamu? Pengen buat ah., kata Peter dengan enteng Emang kamu pengen apa?, tanya Marsha. Ohiya kamu pengen bisa diterima di MIT kan, biar bisa bikin robot, lanjut Marsha. Iya sih, tapi keinginanku adalah biar papa-mamaku berhenti maksa aku buat sekolah manajemen. Duh, bosen banget deh belajar ekonomi. Lebih keren teknologi padahal, keluh Peter. Hmsabar yah Pit, semoga aja papa mama kamu berubah pikiran. Kasian nanti kamu tertekan, sahut Marsha dengan nada prihatin. Gini nih caranya., Marsha pun mengajari Peter dengan penuh

Iya, moga aja. Eh Sha malem nih aku pulang dulu yah. Udah gerah nih pengen mandi, kata Peter. Oke, hati-hati di jalan yah. Bye, ujar Marsha. Bye Sha, balas Peter. Dalam perjalanan pulang Peter termenung akan pembicaraan singkat antara dirinya dan Marsha. Kelulusan sebentar lagi, tapi dia bimbang akan melanjutkan studi ke universitas mana. Hidupnya dihadapkan dalam dua pilihan, disatu sisi orangtuanya menuntut agar ia mengambil jurusan manajemen Universitas Indonesia. Orangtuanya ingin mengarahkan dia untuk menjadi pengganti ayahnya mengelola perusahaan mereka yang berkembang pesat. Di sisi lain ia ingin mengejar cita-citanya menjadi seorang insinyur hebat dan bisa menciptakan robot demi kemajuan bangsa Indonesia seperti impiannya sejak sekolah dasar. Huhseandainya saja aku bukan anak tunggal. Pasti aku bebas milih mau jadi apa. Ga tertekan gini. Ah siaaaal, rutuk Peter sembari memukul stir. Ciiiiiiit, suara derit ban terdengar. Hampir saja Peter melewati jalan menuju rumahnya. Huh, gara-gara melamun nih, sungutnya. Darimana Pit? Kok baru pulang?, tanya mama Peter Dari main di rumah Marsha, Ma, jawabnya singkat dan beranjak menuju kamarnya. Mama Peter menghela nafas panjang. Akhir-akhir ini Peter sering murung. Ia sadar penyebab utamanya adalah kelulusan yang semakin dekat. Sudah lama suami dan anaknya berselisih paham tentang masa depan Peter. Namun dia bingung mana yang harus didukungnya, kelangsungan perusahaan ataukah keinginan anaknya. ***

Tak terasa Ujian Nasional telah ditempuh, Ujian Sekolah pun telah dilalui. Kini saatnya menunggu kelulusan. Hal ini semakin membuat Peter resah. Orangtuanya, terutama sang papa semakin keras memaksa Peter memilih sekolah manajemen. Hal ini mebuat Peter semakin gundah. Bila tak dituruti, ia akan dicap durhaka. Kasihan juga papanya yang semakin tua nantinya tak memiliki pengganti. Bila perusahaan mereka bangkrut, akan makan apa keluarganya. Namun Peter tak bisa juga mengingkari bahwa ia sangat ingin mewujudkan cita-citanya. Cita-cita yang dipendamnya sejak kecil. Hal itu tersa semakin sia-sia, bila ia mengingat pencapaiannya hingga level Olimpiade Sains Nasional dalam bidang Fisika. Dan juga kejuaraan-kejuaraan Fisika yang telah banyak dimenangkannya. Mana mungkin kita bisa menghitung laba perusahaan menggunakan Hukum Newton. Peter sadar betul bahwa bakatnya bukanlah dalam bidang ekonomi, namun dalam bidang teknik. Tapi apa daya kini ia hanya bisa mengubur angan-angan itu, demi mewujudkan keinginan papanya. Keinginan yang begitu egois. Peter, kemari sebentar Papa ingin bicara, perintah papanya suatu hari. Iya, kenapa Pa?, tanya Peter Papa sudah daftarkan kamu di UI. Semua persyaratan sudah Papa urus. Jadi setelah kelulusan kamu harus bersiap untuk memasuki dunia perkuliahan, jelas Papa Peter. Baik Pa, sahut Peter dengan pasrah Tumben kamu nurut-nurut aja. Gak ngotot pengen kuliah di MIT lagi, sahut papanya dengan heran. Gak Pa, keputusan Peter udah bulat. Peter pengen nurutin kemauan Papa. Peter anak Papa, Peter harus nurutin Papa, balas Peter dengan nada bosan.

Bagus. Itu baru anak Papa. Kamu gak usahlah sekolah jauh-jauh gitu, Cuma pengen bisa bikin robot pula! Kita gak akan mungkin bisa kalahin Jepang, omel papanya. Yaya, Peter balik ke kamar yah, sahut Peter sambil melangkah ke markasnya. Di dalam kamar Peter menangis. Dia begitu sakit hati tak bisa mewujudkan cita-cita yang telah lama terpendam. Ia pun mengirim pesan kepada Marsha. Re, aku kalah, Papa menang. Habislah aku. Send to: 08573904xxx Ponsel Peter berbunyi, masuk sms dari Marsha Hiks, sabar yah Yo. Aku ikut prihatin. Kamu tetap fokus aja. Gak bisa menggapai cita-cita bukan halangan menjadi sukses. Gudluck Yo. Anytime you need me, just call me. Peter hanya menghela nafas panjang dan bersiap untuk hari kelulusan besok. Setelah hari kelulusan. Siswa-siswi SMA Tunas Harapan berpisah untuk menggapai cita-citanya masing-masing. Hanya Peter yang tidak bersemangat. Hari ini dia akan mengantar Marsha ke bandara. Marsha melanjutkan studi ke Perancis memilih jurusan arsitektur. Dalam hatinya ia iri dengan Marsha, gadis itu begitu bersemangat dan bebas menggapai cita-citanya, sungguh ironis bila dibandingkan dengan dirinya yang hidup di bawah tekanan. Namun ia ikut bahagia, setidaknya hanya ia yang merasakan itu, biarlah sahabatnya berbahagia. Mereka pun berpisah. Perpisahan mereka diiringi tangis bagai adegan dalam film ada apa dengan cinta. Namun disini tokoh Rangga dipegang oleh Marsha. ***

Peter kini sudah memasuki dunia perkuliahan. Ia terlihat seperti zombie. Hidup segan mati tak mau. Mamanya begitu khawatir akan keadaan Peter, tapi Papanya berkata bahwa Peter sedang dalam tahap penyesuaian. Hari-hari kuliah bagi Peter begitu membosankan, tak ada tantangan. Harihari dilalui dengan membicarakan masalah bisnis, ekonomi pasar, meningkatkan laba serta hal-hal lain yang membuatnya muak. Ia sering berkhayal bila saat ini ia sedang berada di MIT bukan di UI. Bukan membicarakan masalah produksi, tapi membuat sketsa robot untuk masa depan. Merancang konstruksi yang sesuai impiannya, pasti akan sangat mengasyikkan. Hingga Ujian Tengah Semester pun tiba, sejujurnya tak ada satupun ilmu yang diserap Peter selama kurang lebih tiga bulan kuliah. Waktu luang yang seharusnya ia pergunakan untuk belajar textbook manajemen dan keuangan malah ia pergunakan untuk menonton NHK, merancang konstruksi robot sederhana dengan Macbooknya. Alhasil nilai ujiannya buruk dan papanya marah besar. Papa sangat kecewa dengan kamu Peter. Bikin malu saja. Bagaimana bila kolega-kolega Papa mengetahui hal ini, citra perusahaan kita akan buruk karena memiliki penerus yang tidak berkompeten seperti kamu, hardik papanya. Terserah papa mau ngomong apa. Peter tidak peduli. Peter telah menuruti keinginan papa untuk sekolah manajemen dan harus mengubur cita-cita Peter menjadi seorang insinyur. Jangan salahkan bila Peter tidak berbakat di bidang yang sangat Papa agung-agungkan itu!, balas Peter dengan nada sengit. Dia berlari ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras. Peter membuka jendela kamarnya. Awan gelap memenuhi langit dan petir menyambar. Dunia sudah tidak bersahabat lagi kepada Peter. Peter menjejakkan salah satu kakinya pada dasar jendela. Kaki Peter bersinggungan dengan toples origami yang pernah ia buat bersama Marsha. Toples itu terjatuh ke luar rumahnya dan pecah berkeping-keping. Tiba-tiba ia teringat kepada Marsha. Maafin aku Sha, kamu gak bisa ketemu aku jadi orang sukses. Semoga kamu bisa meneruskan

perjuanganku, gumam Peter pada dirinya sendiri. Dan dengan sekali lompatan ia meluncur turun dari kamarnya di lantai tiga. Braaaak, terdengar bunyi sesuatu menyentuh tanah dengan keras. Mama Peter segera menengok keluar. Tidaaaaaaaak!!! Papa toloooooong!!!!, teriaknya dengan kencang kemudian jatuh pingsan. Papa Peter segera datang tergopohgopoh dan betapa terkejutnya ia. Istri dan anaknya sama-sama tergeletak di tanah. Dilihatnya darah mengucur dari kepala Peter. Sejenak otaknya membeku, lalu sedetik kemudian beliau sadar dan segera meminta pertolongan. *** Peter selamat, ia mengalami patah tulang tertutup dan cedera ringan di kepalanya. Namun keajaiban terbesar adalah ia masih tetap hidup, dan hal tersebut amat sangat disyukuri oleh orang tuanya. Namun tidak bagi Peter, ia merasa begitu hancur. Ia kini cacat, hidupnya akan sia-sia. Ia begitu menyesal, mengapa Tuhan tidak sekalian saja mencabut nyawanya, ia akan merasa lebih bahagia jika itu terjadi. Sehari setelah Peter diopname, Marsha datang menjenguknya. Sedikit terlambat, sebab pesawat yang ditumpanginya mengalami delay beberapa kali. Hi, Peter. Gimana keadaan kamu?, sapa Marsha Buruk Sha, aku gak ada semangat hidup lagi. Kakiku patah, aku cacat. Aku gak akan jadi manusia yang berguna, sahut Peter dengan wajah murung. Hei, sobat. Mana Peter yang dulu? Peter yang selalu bersemangat. Masih ada kesempatan buat ngerubah jalan hidupmu. Now or never, kata Marsha dengan tegas. Kata-kata Marsha menyadarkannya. Selagi ia belum terpuruk terlalu jauh. Ia akan menggapai citan-citanya, yang begitu diimpikannya.

Sekarang kamu fokus dulu sama proses penyembuhan kamu. Kalau udah sembuh, baru deh kamu tata hidupmu dari awal. Nanti aku bantu bujukin papamu deh, biar diijinin sekolah di MIT, kata Marsha sembari tersenyum. Makasih ya Sha, beruntung banget aku punya sahabat kaya kamu, kata Peter dengan tulus. Hoo, iya dong. Kapan lagi kamu punya temen seperfect aku. Hahaha, kata Marsha sambil tertawa. Huuu, dasar narsis kamu, kata Peter sambil mengacak-acak rambut Marsha. Mereka pun tertawa dengan bahagia. Sirna sudah kesedihan dalam wajah Peter. Ia begitu semangat menjalani fisioterapi untuk kesembuhan tungkainya yang patah. Tiga bulan kemudian ia sembuh total, tantangan berikutnya adalah meminta restu dari orangtuanya untuk kuliah di MIT. Welcome home Peter!!!, sambut kedua orangtuanya begitu Peter tiba di rumah. Makasih Pa, Ma, kata Peter dengan sumringah kemudian dibantu kedua orangtuanya duduk di sofa. Udah Pa, gak usah. Peter bisa sendiri kok nih liat, kata Peter sambil memamerkan kesembuhannya. Peter, papa sangat menyesal atas sikap papa selama ini. Tidak seharusnya papa memaksakan kehendak. Papa terlalu egois, kamu berhak menentukan jalan hidupmu sendiri. Iya, Pa. Maafkan Peter juga, aku gak bisa jadi seperti yang papa harapkan. Hmberarti Peter boleh kuliah di MIT nih?, kata Peter harap-harap cemas. Tentu saja Peter. Kalau dipikir-pikir keren juga punya anak seorang pembuat robot. Hahahaha

Asyiiiiik, makasih yah Papa Mama. Akhirnya cita-cita Peter bisa terwujud, katanya dengan sumringah. Mereka sekeluargapun tertawa bahagia. Ini bukanlah akhir, melainkan awal perjalanan hidup Peter. Peter sang insinyur robot. *** Lima tahun kemudian, Selamat datang di Massauchets Robotic Expo 2015, suara seorang master ceremony menggelegar di gedung mewah tersebut. Kita akan menampilkan mahakarya dari Robotic Institution MIT, dengan ketua tim Mr. Peter Widjaja, terdengar tepuk tangan bergemuruh memenuhi seluruh ruang. Baiklah, bagi para pengunjung selamat menikmati dan bersiaplah menyelami kemajuan teknologi yang sangat menakjubkan, sambung MC itu lagi. Om, Tante itu Peter!, seru Marsha bersemangat Wah iya, ayo kita samperin, kata Mama Peter Dia pasti surprise deh sama kedatangan kita, sambung papanya Mereka pun mendatangi Peter yang sedang sibuk mempresentasikan robot ciptaannya kepada para pengunjung. Jadi robot ini kami buat melalui teknologi terbaru yang disebut Nanotech, atau teknologi nano. Dengan menggabungkan partikel terkecil dari sinar alfa, beta dan gama.. Ehm Mr. Peter, apa yang menginspirasi anda membuat robot pendeteksi keinginan ini?, tanya Papa Peter tiba-tiba.

Pengalaman hidup sayalah yang menjadi inspirasinya, Papa Mama Marsha?? Kapan kalian kesini? Dasarrrr gak bilang-bilang!!, kata Peter terkejut sekaligus senang. Kita kan mau ngasi kejutan buat kamu, Peter, kata Marsha centil Alah, bilang aja kamu kangen sama aku, goda Peter Sorry yah, om sama tante tuh yang udah kangen berat sama kamu. Jarang pulang sih!, sungut Marsha Duu, iya deh. Aku salah, rajuk Peter. Peter tujuan kamu bikin robot itu buat nyindir Papa yah?, tanya Mama Peter seraya menyikut lengan papa Hahaha, mama tau ajadeh. Iya biar gak ada lagi anak yang punya nasib sama seperti Peter. Harus patah kaki dulu baru dikuliahin di MIT, kata Peter jahil. Hahahahaha, mereka semua pun sontak tertawa. Tiba-tiba Marsha nyeletuk, Pit, kapan nih kamu mau ajak robotmu main di rumah rancanganku?

*TAMAT* LUH AYU BANGKITARYANI O5/IX IPA1

Você também pode gostar