Você está na página 1de 3

Kekerasan dalam Beragama

Filed Under artikel Problem kehidupan beragama di Indonesia masih cukup banyak. Untuk menjalankan kehidupan beragama secara bersama-sama antarpemeluk dengan semangat toleransi tinggi masih menghadapi tantangan yang tidak kecil. Walaupun wacana pluralisme dan toleransi antaragama sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, namun prakteknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama, namun pandangan atas agamaku , keyakinanku justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan. Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, namun praktek di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antarumat beragama. Salah satu persoalan mendasar dalam demokrasi Indonesia adalah kebebasan menjalankan ibadah dan keyakinan. Pada 2007 adalah saat di mana pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat tampak di permukaan. Serangkaian perusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap kelompokkelompok yang dianggap sesat dan kelompok agama lain terjadi. Sepanjang Januari-November, Setara Institute mencatat 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori. Jumlah terbanyak kelompok (korban) yang mengalami pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah al qiyadah al Islamiyah. Aliran ini ditimpa 68 kasus pelarangan, kekerasan, penangkapan dan penahanan. Kelompok berikutnya adalah jemaat Kristen/Katolik yang mengalami 28 pelanggaran, disusul Ahmadiyah yang ditimpa 21 tindakan pelanggaran. Dari pelaku 185 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah negara. Sejumlah 92 pelanggaran dilakukan oleh negara (commission) dalam bentuk pembatasan, penangkapan, penahanan, dan vonis atas mereka yang dianggap sesat. Termasuk dalam tindakan langsung ini adalah dukungan dan pembenaran otoritas negara atas penyesatan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu. Sedangkan 93 tindakan pelanggaran lainnya terjadi karena negara melakukan pembiaran terhadap tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh warga atau kelompok. Berbagai laporan yang dikeluarkan menunjukkan eskalasi kekerasan berbasis agama yang terjadi sepanjang 2007 mengandung destruksi yang sangat serius dan mengkhawatirkan. Kegagalan Negara Penyerahan otoritas negara kepada organisasi keagamaan korporatis negara dalam menilai sebuah ajaran agama dan kepercayaan merupakan bentuk ketidakmampuan negara untuk berdiri di atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan keyakinan. Padahal, institusi penegak hukum adalah institusi negara yang seharusnya bekerja dan bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang. Dapat dilihat di sini negara telah gagal mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara, bahkan telah bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan dan membiarkan warga/ organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan. Di sini kita melihat banyak kontradiksi. Dalam konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan umat beragama dan melakukan ibadah dijamin, tapi dalam peraturan di bawahnya terdapat kecenderungan menghambat umat untuk beribadah. Ada pengekangan. Misalnya, dalam konteks rumah ibadah, itu bukanlah soal bagaimana suatu rumah ibadah diserbu bahkan dibakar oleh sekelompok orang yang menjadi persoalan utama. Itu sekadar ekses saja. Jauh lebih penting dipikirkan adalah bagaimana peran pemerintah menjadi mediator, perumus, dan pelaksana kebijakankebijakan yang mengatur pendirian rumah ibadah. SKB yang menjadi dasar aturan itu terkesan tidak adil. Dengan demikian pelaksanaannya melahirkan dampak umat yang tidak dewasa memandang umat lain.

Bukanlah umat beragama yang serta-merta dipersalahkan dalam kasus ini, melainkan ketidakmampuan pemerintah untuk melihat pluralitas dengan kacamata lebih adil dan menguntungkan bagi semua. Negara gagal memberikan perlindungan dan kesempatan yang adil bagi semua pemeluk agama untuk beribadah sesuai keyakinannya. Jika demikian, lalu Pancasila untuk apa? Apa untuk gagah-gagahan saja? Untuk apa para founding fathers merumuskan falsafah bangsa yang demikian berharga dan terhormat itu jika dalam perilaku sehari-hari kita tidak bisa mempraktekkannya dengan sepenuh hati? Membuka Ruang Dialog Walaupun kehidupan sosial politik kita sudah mengalami kebebasan, nyatanya itu belum berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk beribadat. Beribadat, seperti kata Romo Magnis, adalah hak warga paling asasi, dan hanya rezim komunis yang melarangnya. Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam beragama tanpa adanya ruang dialog untuk membicarakan ulang secara lebih manusiawi? Pemerintah berkewajiban untuk menjaga, melestarikan, dan meningkatkan kesadaran dan kedewasaan umat terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan beragama yang dianggap lain . Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pencerahan dan pendewasaan pemikiran umat akan toleransi dan pluralisme. Itulah yang dimaui Pancasila. Dengan begitu kebijakan yang berpeluang untuk menumbuhsuburkan antipati terhadap saudara sebangsanya yang lain perlu didudukkan ulang untuk dibahas dan diganti dengan kebijakan yang lebih adil dan mencerahkan. Buat apa mempertahankan sesuatu yang dianggap tidak adil? Pemerintah harus mendengar dan benar-benar mendengar tuntutan seperti ini. Kekerasan telah menjadi model yang sering dibungkus dengan ornamen keagamaan dan kesukuan. Inilah yang membuat wajah kekerasan semakin hari semakin subur di Bumi Pertiwi ini. Meski kita seharusnya merajut nilai persaudaraan yang secara jelas mengacu pada Pancasila, tapi kian hari Pancasila tidak lagi menjadi tujuan hidup bersama. Pancasila yang seharusnya menjadi perekat kehidupan bangsa tampak semakin hari semakin terkikis oleh kefasikan keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan. Pancasila sering diucapkan, tapi sama sekali tak dipahami maknanya. Pancasila tidak dijadikan pembatinan nilai kehidupan bersama untuk mewujudkan bangsa yang beradab. Peradaban bangsa yang diukur dengan komitmen warga untuk mewujudkan nilai kemanusiaan dan keadilan tidak pernah berhasil. Sampai sejauh ini dapat dilihat bahwa Komisi III DPR belum bersikap dan bertindak sama sekali atas setiap peristiwa kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Adalah fakta bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak konstitusional warga yang dijamin oleh konstitusi. Karena itu, pengingkaran terhadap pemenuhan hak-hak tersebut tidak hanya melanggar HAM, tapi juga melanggar konstitusi.

Perisai.net - KEBEBASAN melaksanakan agama di Indonesia dijamin Undang-Undang Dasar.


Tetapi, kata Menteri Agama Maftuh Basyuni, kebebasan itu ada batasnya, yakni dibatasi pelaksanaan agama oleh umat lain dan juga Undang-Undang (UU). "Kalau masing-masing umat memahami batasan-batasan itu, maka benturan dapat dihindarkan dan keutuhan negara dapat dipertahankan," kata Menag. Hal itu dikemukakan Menag di Denpasar, Bali, Jumat (22/5), dalam acara silaturrahmi dan dialog antara Menag dengan tokoh-tokoh umat Islam di Bali. Hadir dalam acara itu Kakanwil Depag Provinsi Bali, IGAK Sutayasa, Ketua MUI Bali KH Hasan Ali BA dan pimpinan sejumlah Ormas Islam Provinsi Bali. Dikatakan Menag, peran umat beragama di Indonesia sangat penting dan pemeluknya diberi kebebasan untuk melaksanakan agamanya masing-masing. Masalahnya, masih ada sebagian umat yang melaksanakan kegiatannya tanpa memperhatikan pemeluk agama lain. "Mereka melakukan kegiatan, yang tujuannya mengajak pemeluk lain mengikuti mereka. Ini bisa menimbulkan masalah," katanya. Namun ia mengaku bersyukur, sudah ada keputusan bersama Menag dengan Menteri Dalam Negeri, yang mengatur kegiatan berdakwah umat beragama, sehingga kebebasan yang dimiliki tetap ada batasnya. Menag berharap keputusan bersama dua menteri itu kelak bisa menjadi UU.

Menag menyebutkan, dalam Islam berdakwah adalah suatu kewajiban, walaupun hanya mengetahui satu ayat. Tetapi, dalam berdakwah, banyak tantangannya, termasuk yang diajak menolak untuk mengikuti dakwah itu. Mendapat penolakan itu, lanjut Menag, seorang dai tidak boleh marah. "Karena tugas seorang dai hanya mengajak, sedangkan hasilnya adalah urusan Allah." Menjawab pertanyaan tentang pelaksanaan haji dan kuota yang diberikan bagi umat Islam di Bali, Maftuh menyebutkan penentuan kuota sudah sesuai dengan kaidah yang diberikan Organisasi Konferensi Islam, yakni masing-masing negara sebesar satu per mil dari jumlah penduduk muslim. Indonesia, lanjutnya, memperoleh kuota sebesar 189 ribu orang. Soal peningkatan kuota haji, dikatakan Menag, bisa saja diperjuangkan, tapi dia tidak mau melakukannya. Karena akibatnya adalah Depag yang nantinya akan dimaki-maki masyarakat, karena pelayanan yang diberikan bisa kurang maksimal, terutama masalah pemondokan. "Tetapi dengan kuota yang diperoleh sekarang, soal pemondokan sudah bisa teratasi," katanya. Sebenarnya, kata Menag, menangani masalah haji sangat mudah, karena Indonesia memiliki perangkat yang lengkap untuk mendukung kegiatan haji. Yang menjadi masalah adalah bila ada oknum-oknum yang kotor dan sengaja merusak tatanan yang ada. [nuo]

Dharmaputra.mega@gmail.com

Você também pode gostar