Você está na página 1de 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka,

yaitu kekuasaan yang bebas dari campur tangan pihak

kekuasaan negara lainnya. Kekuasaan inilah yang akan

menentukan penerapan hukum manakala terjadi pertentangan

antara perorangan dengan perorangan pada peradilan perdata

maupun antara perorangan dengan kepentingan umum pada

peradilan pidana atau pada peradilan tata usaha negara.

Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tugas tersebut

dilaksanakan oleh hakim yang disebut sebagai tugas


2

mengadili. Pengertian mengadili dalam Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut

KUHAP) Pasal 1 angka 9,1 adalah serangkaian tindakan hakim

untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana

berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang

pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini. Mengadili secara sederhana dapat

diartikan sebagai menemukan hukumnya terhadap suatu perkara

yang dimajukan ke pengadilan.

Tujuan dari proses peradilan adalah untuk menentukan

suatu kebenaran dan berdasar atas kebenaran itu akan

ditetapkan suatu putusan hakim, untuk menentukan suatu

kebenaran dalam proses peradilan diperlukan suatu

pembuktian. Menurut Subekti, membuktikan ialah meyakinkan

hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang

dikemukakan dalam suatu persengkataan.2 Darwan Prinst

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah

pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi


1

Indonesia, Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8, LN No. 76 tahun 1981,
TLN. No. 3258.
2

R. Subekti,Hukum Pembuktian, cet. 13, (Jakarta: Pradnya


Paramita, 2001), hal. 1.
3

dan terdakwa yang bersalah melakukannya sehingga harus

mempertanggungjawabkannya.3

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo pembuktian

adalah:

”pembuktian secara juridis tidak lain merupakan


pembuktian secara historis. Pembuktian yang bersifat
juridis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi
secara konkret. Baik dalam pembuktian secara juridis
maupun ilmiah, maka membuktikan pada hakikatnya
berarti mempertimbangkan secara logis mengapa
peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.4

Dalam pembuktian diperlukan suatu media yang terdiri

dari barang bukti dan alat bukti, melalui media inilah

hakim dapat memutuskan menjatuhkan pidana atau membebaskan

terdakwa yang disertai keyakinan diperolehnya. Dalam KUHAP

Pasal 183 dinyatakan bahwa;

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang


kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, cet. 2,


(Jakarta: Djambatan, 1998), hal. 133.
4

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ed. 5,


cet. 2, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal.109.
4

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa


terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Sedangkan mengenai alat bukti yang sah dalam Pasal

184 ayat (1) dinyatakan:

Alat bukti yang sah ialah:

a. keterangan saksi

b. keterangan ahli

c. surat

d. petunjuk

e. keterangan terdakwa.

Salah satu alat bukti yang mempunyai kedudukan

penting adalah keterangan ahli, jika dilihat dari urutan

penempatan dalam uraian ayat tersebut di atas diletakkan

setelah keterangan saksi. Hal ini amat disadari oleh

pembuat undang-undang bahwa hakim tidak akan mempunyai

pengetahuan yang cukup tentang segala hal yang terkait

dengan berbagai tindak pidana, oleh karena itu amat

diperlukan keterangan ahli sehingga hakim dapat memperoleh

keyakinan dalam mengambil keputusan untuk menetapkan suatu

putusan.

Salah satu tindak pidana yang telah meluas dan

berakar dalam masyarakat kita adalah tindak pidana korupsi.


5

Kita dapat merasakan bahwa hampir di seluruh lapisan

birokrasi, lembaga-lembaga negara maupun lembaga tinggi

negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif tindak

pidana ini telah terjadi.

Faktor yang amat menentukan dalam suatu tindak pidana

korupsi adalah adanya nilai kerugian yang selalu dikaitkan

dengan jumlah tertentu dalam satuan nilai mata uang, oleh

karena itu dibutuhkan seorang ahli untuk menilai tidak

semata-mata terkait hanya pada jumlah nilai tertentu akan

tetapi juga menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi.

Untuk menjelaskan berbagai aspek dalam pengelolaan

keuangan badan usaha maupun pengelolaan keuangan negara

diperlukan peranan ahli sebagai pihak yang dapat memberikan

keterangan yang membuat jelas terhadap perkara yang

terjadi. Di antara berbagai keahlian yang menyangkut aspek

yang dibutuhkan dalam proses pembuktian perkara tindak

pidana korupsi adalah keterangan ahli akuntan atau auditor.

Di antara lembaga audit yang ada dalam sistem

pemerintahan seperti BPK, BPKP, Inspektorat Jendral dan

Bawasda Propinsi dan Kabupaten/Kota, yang sering kali dan

dianggap mampu memberikan keterangan ahli adalah auditor

BPKP. Mengingat tindak pidana korupsi adalah merupakan


6

tindak pidana yang amat kompleks di mana peranan keterangan

ahli amat diperlukan untuk membuat terang dan jelas perkara

tersebut maka penulis menganggap penting untuk membahas

peranan keterangan ahli auditor dengan judul “peranan

keterangan ahli auditor BPKP dalam perkara tindak pidana

korupsi”.

B. Pokok Permasalahan.

Pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi amat

kompleks karena akan melibatkan banyak pihak khususnya

dalam perkara-perkara korupsi di bidang pengadaan barang

dan jasa yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD, juga

akan melibatkan ahli yang menguasai aspek-aspek keuangan

negara.

Tindak pidana korupsi mempunyai dimensi waktu yang

panjang dan seringkali terdiri dari serangkaian bukti-bukti

yang terpisah-pisah dan terpecah-pecah. Dalam memperjelas

suatu tindak pidana korupsi seringkali dibutuhkan

keterangan ahli yang memahami hal-hal yang terkait dengan

masalah yang menyangkut sistem dan prosedur akuntansi

keuangan. Keterangan ahli dalam perkara tindak pidana


7

korupsi diantaranya sering diberikan oleh Auditor lembaga

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka

pokok-pokok permasalahan di dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Apakah Auditor BPKP berkompeten untuk memberikan

keterangan ahli dalam perkara tindak pidana korupsi?

2. Apakah auditor BPKP berperan dalam mengungkap tindak

pidana korupsi?

3. Bagaimana kedudukan Auditor BPKP pada perkara tindak

pidana korupsi dalam proses peradilan mulai dari

penyidikan sampai pembuktian di pengadilan?

C. Tujuan Penulisan

1. Umum

Penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu

syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum. Sesuai

dengan Program Kekhususan yang diambil penulis adalah

PK III (praktisi hukum) maka pokok bahasan yang

diambil adalah mengenai kasus proses beracara

dipengadilan.
8

2. Khusus

Tujuan khusus penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk memeproleh pengetahuan dan informasi mengenai

kompetensi Auditor BPKP sebagai ahli guna memberikan

keterangan ahli dalam perkara tindak pidana korupsi.

b. Untuk mengetahui kedudukan kedudukan keterangan ahli

auditor BPKP terkait dengan tindak pidana korupsi mulai

dari penyidikan sampai pembuktian di pengadilan.

c. Untuk mengetahui peranan Auditor BPKP dalam mengungkap

perkara tindak pidana korupsi.

D. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam

pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini

disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk

mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan

konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan

analisa dan konstruksi terhadap data yang dikumpulkan dan

diolah.5 Penelitian merupakan aktivitas mencari pengetahuan

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu tinjauan Singkat, Ed.1,
Cet. 6, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2001), hal. 1.
9

atau kebenaran secara ilmiah. Dengan demikian hal-hal yang

bersangkutan dengan metodologi ilmiah harus diperhatikan

agar penelitian benar-benar bermutu.6

Masing-masing ilmu pengetahuan mempunyai ciri dan

identitas sendiri sehingga selalu akan terdapat perbedaan.

Oleh karena itu metodologi yang diterapkan juga disesuaikan

dengan ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Penelitian dalam

ilmu hukum menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai

berikut:

”Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah,


yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum
tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
gejala yang bersangkutan.”7

S. Hadibroto. Masalah Akuntansi, Buku Empat. (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 1990), hal. 21.
7

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3. , (Jakarta: Penerbit Universitas


Indonesia (UI-Press), 1986), hal. 43.
10

Dilihat dari sudut sifatnya, dikenal adanya

penelitian eksploratoris (menjelajah), penelitian

deskriptif dan penelitian eksplanatoris.8 Suatu penelitian

deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti

mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala

lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas

hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat

teori-teori lama, atau dalam kerangka menyusun teori-teori

baru.9

Penelitian hukum dilihat dari sudut tujuan penelitian

hukum terdiri dari penelitian hukum normatif dan penelitian

hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif

dilakukan dengan dengan cara meneliti bahan pustaka dan

disebut juga penelitian hukum kepustakaan.10 Sedangkan pada

penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama

diteliti adalah data primer. Data primer (atau data dasar)

Soerjono Soekanto. Ibid. hal. 9.

9
Soerjono Soekanto. Ibid. hal. 10.
10

Ronny Hanitijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Cet. 4., (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990). Hal.9.
11

yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat,

sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimya

dinamakan data sekunder.11

Dalam penulisan ini metode penelitian yang digunakan

bersifat deskriptif analitis, yaitu berdasarkan kondisi

yang ada sesuai data-data yang diperoleh dalam penelitian,

dihubungkan dan dibandingkan dengan teori-teori yang ada

sesuai dengan tema skripsi.Sedangkan dilihat dari tujuan

penelitian adalah penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif, yaitu menggunakan data-data sekunder yang

diperoleh dari bahan-bahan pustaka.

Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen atau

kepustakaan, disamping itu juga dilakukan penelitian

lapangan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang

terkait dan berkompeten.

Data yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan

merupakan data-data sekunder, yaitu data-data yang dalam

keadaan siap pakai.

11

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudj. op.cit., hal. 12.


12

Dalam penulisan ini bahan pustaka yang dipergunakan

terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang mempunyai

kekuatan mengikat seperti norma dasar, peraturan

perundang-undangan atau keputusan pengadilan.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat

membantu menganalisis dan memberi penjelasan mengenai

bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang

digunakan meliputi hasil penelitian, buku, artikel

atau hasil karya lainnya dari kalangan hukum.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang yang

memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer maupun sekunder. Bahan yang digunakan

meliputi kamus dan ensiklopedi yang digunakan yang

terkait dengan masalah yang dikaji.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penyajian atas masalah yang akan

dibahas, maka penulis membuat kerangka dasar yang

sistematis atas skripsi ini. Sistematika penulisan dibagi

dalam bab yaitu:


13

Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, pokok

permasalahan, maksud dan tujuan penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Dalam bab ini akan dibahas mengenai bukti, alat bukti

dan alat bukti keterangan ahli menurut KUHAP, berdasarkan

teori maupun pendapat para ahli. Dalam bab ini juga dibahas

pengertian bukti menurut terminologi audit.

Bab III : Peran dan Fungsi BPKP

Dalam bab ini akan dibahas tentang peran dan fungsi

BPKP secara kelembagaan khususnya dalam hubungannya dengan

tindak pidana korupsi dalam kedudukannya sebagai Lembaga

Pengawasan Fungsional Pemerintah.

Bab IV: Auditor BPKP Sebagai Keterangan Ahli

Auditor

Dalam bab ini akan dibahas mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan fungsi, kedudukan, dan peran keterangan

ahli auditor BPKP dalam kasus tindak pidana korupsi.


14

Pengamatan dilakukan terhadap kasus tindak pidana korupsi

yang telah dan sedang disidangkan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini memuat simpulan dari pembahasan serta saran

dari penulis yang sekiranya bermanfaat dalam kaitannya

dengan topik penulisan skripsi.

Você também pode gostar