Você está na página 1de 3

Liberalisme Islam, antara Konsep Idela dan Fakta Bedah Buku: Ambivalensi Agama: Konflik dan Nirkekerasan Ahmad

Gibson Al-Bustomi Secara umum, dalam amatan ilmu-ilmu sosial, agama memiliki dua wajah yang ambivalen dan paradoks: sebagai unsur integrasi dan solidaritas sosial di satu sisi; dan sebagai unsur disintegrasi atau pemecah sosial, di sisi lain. Sebagai landasan moral dan doktrinal yang memunculkan dimensi kemanusia (humanitas), dan secara aktual sosiologis menjadi pijakan justivikasi bagi prilaku kekerasan atas nama agama, Tuhan. Asumsi-asumsi tersebut menjadi dasar bagi lahirnya pandangan yang menyebutkan bahwa agama merupakan matahari yang memancarkan kasih sayang Ilahiyah pada setiap penganut agama, dan sekaligus sebagai mata air bagi lahirnya imaji kekerasan agama. Zakiyuddin Baidhawy, memandang bahwa persoalan fenomena ambivalensi agama tersebut lebih signifikan terjadi pada tipologi agama misionary (dakwah), yang berasumsi bahwa agama tersebut merupakan agama universal yang harus dianut oleh seluruh manusia di muka bumi. Lain halnya dengan tipologi agama tradisi dan partial yang lebih berpijak pada komunitas yang terbatas. Karena, tipologi agama yang kedua tersebut sangat terbuka terhadap persoalan-persoalan pluralitas masyarakat. Agama misionari, semisal Islam dan Kristen, yang kini menjadi kekuatan besar yang menghegemoni sistem agama dunia berhadapan secara prontal. Hegemoni, yang menemukan justivikasi historisnya semnjak awal penyebaran agama Islam dan penaklukan Islam atas Eropa, tempat berkembangnya Kriten. Fenomena historis yang melahirkan Perang Salib. Perang yang kini menjadi trauma mitologis bagi penganut agama Islam dan kriten. Dalam buku AAKN, disebutkan paling tidak terdapat empat momentum sejarah yang dapat diidentifikasi sebagai akar historis kekerasan agama: Pertama, Momentum penyebaran agama agama dunia aelama abad 4-7 M. Agama Kristen menjadi agama dominan di Eropa. Proses penyebaran yang dilakukan tidak hanya melalui penyingkiran agama-agama asli bahkan juga menjadikan Agama Kristen sebagai agama resmi negara dalam Kerajaan Romawi. Kristen juga selanjutnya menyebar ke Afrika dan Asia Selatan. Hindu (dan Budha) menyebar ke kepulauan Nusantra, Budha secara spesifik menyebar ke Cina, Korea dan Jepang, dari India. Dan, pada abad 8 M, Islam menyebar hingga ke Spanyol dan Dunia Arab serta Sind.

Penyebaran Islam yang sangat cepat dalam sejarah penyebaran agama, telah melahirkan konfik agama dan sekaligus politik. Dalam dimensi keagamaan konflik tersebut paling tidak dipicu oleh tiga hal, antara lain: 1. Kristen dan Islam masing-masing memandang yang lainnya sebagai rival utama dalam maslaah missi agama. 2. Keduanya sama-sama memaksakan keimanan dan kredonya terhadap yang lain, dengan jargon imam-kafir. 3. Adanya ketakutan Kristen Eropa terhadap (ekspansi) Muslim, pasukan Muslim. Ketiga pemicu tersebut telah melahirkan kebangkitan negara-negara (Kerajaan dan Imperium) Eropa melawan kekhalifahan Islam dengan mengobarkan Perang Suci, atau perang yang di Dunia Islam dikenal dengan Perang Salib. Selama penyebaran agama tersebut, tercatat banyak terjadi kekerasan, dengan berbagai istilah yang bernuanasa menghaluskan fenomena kekerasan tersebut. Kedua, periode kolonilisme yang ditandai superioritas rasial (the whitemans burden, hegemoni kulit putih atas kulit berwarna). Pada periode ini, dominasi politik, ekonomi, kekerasan agama ikut pula mewarnai sejarah kolonialisme tersebut. Kolonialisme dan proses penyebaran agama menyatui sebagau suatu paket yang dibungkus dengan slogan memanusiakan atau civilisasi dan modernisasi dunia Timur. Hakikat intensitas kekerasan menjadi bervariasi antara pemaksaan peralihan agama dan kolonialisme. karena adanya keterlibatan kepentingan Negara, maka kekerasan proses penyebaran agama pun sangat bernuansa politis, dan menjadi dendam politik agama. Sehingga terjadi ketidak jelasan antara nuansa dendam yang diakibatkan oleh hegemoni agama ataukah hegemoni politik. Apakah penyebaran agama atau penyebaran kekuasaan Negara, kolonialisme. Keduanya bercampur secara permanen dan absurd. Selain itu, Missionarisme Eropa tidak menganggap agama asli (lokal, pribumi) sebagai agama, dan tidak memperlakukan mereka sebagai mansuia yang utuh. Mak munculah proses Genoside dan Culturocide (pembasmian ras dan suku bangsa secara sistematis). Ketiga (?) Hegomini peradaban Barat sebagai simbol dari peradaban Modern dan Maju melahirkan model kolonialis baru. Barat yang maju yang dalam kategori tertentu diidentifikasi sebagai Kristen, melahirkan rasialisme yang melahirkan pemilahan Dunia dalam terminologis Dunia Barat-Timur yang dikotomis. Dunia Timur dianggap sebagai dunia gelap, primitif, terbelakang. Maka, secara interaktif, terjadi proses peralihan budaya Barat ke Timut. Keempat, adalah periode perang dingin yang membagi dunia dalam tiga bagian: Demokrasi Kapitalisme di Dunia Pertama, Sosialisme di Dunia Kedua, dan wilayah bekas kolonislisme sebagai Dunia Ketiga. Dan,

kejatuhan Dunia Kedua pada dekade 80-an telah menegaskan hegemoni dan superioritas Barat Kristen yang melahirkan tipologi kekerasan baru. Karakteristik missionari agama Islam dan Kristen yang memandang sistem keyakinan di luar agama-agama tersebut sebagai keyakinan yang sesat, kafir, berimbas pula terhadap relasi Islam-Tradisi Lokal. Kareakteristik yang melahirkan apa yang dalam perspektif Kultural Studies sebagai resistensi tradisi lokal terhadap hegemoni sistem budaya dan keyakinan Agama (Islam dan kristen). Resitensi yang pada akhirnya secara kultural menghubungan Islam dengan tradisi Arab, Arabisme. Dan, Kristen dengan Barat Eropa (dan Amerika). Dengan demikian, Kekerasan agama melebar dan meluas dalam lingkup kekerasan etnik dan lokalitas budaya. Keberhadapan agama dengan agama lain dan sistem kepercayaan dan budaya lokal, secara sistematis melahirkan gerakan-gerakan fundamental dari agama. Furitanisme agama menjadi akar potensil bagi lahirnya sikap fundamental dari agama. Problematika keyakinan (doktrin aqidah) ketika berhadapan dengan keyakinan lain, ideologisasi agama, problematik akultural, politik global, krisis ekonomi dan politik negara dan dubia dan lain sebagainya, telah melahirkan gerakan fundamentalisme global dari sebagain masyarakat Islam. Gerakan yang menjadi kambing hitam bagi fenomena terorisme dunia oleh Dunia Barat. Gerakan ini menjadi buah simalakama bagi Dunia Islam. Pro atau pun Kontra diasumsikan memiliki akibat yang kurang lebih sama. Dengan pendekatan Hermenetika Dialog Liberatif Antar Iman sebagai alternatif bagi penyelesaian krisis Ekologis-Kemanusiaan. Dalam konteks ini, teologi yang senantiasa berpijak pada kebenaran apriori degantikan dengan dialog. Kebenaran-kebenaran apriori ditarik sebagai fenomena dan persoalan yang sangat pribadi. Aspek yang haris disimpan dan tanda kurung ketika berhadapan dengan krisis kemanusiaan. Dalam berhadapan dengan teks, dengan pendekatan Hermeneutik, manusia harus keluar dari horizon yang membatasi dalam memamahi dan menafsirkan teks, person atau budaya yang tidak dimiliki dalam horizon pemahaman kita sendiri. Yaitu dengan merelasikan antara teks dengan konteks. Karena kontesk sesungguhnya tiada lain dari horizon yang membuat teks menjadi kaya dan hidup bahkan bermakna.

Você também pode gostar