Você está na página 1de 24

Artikel: Penerapan Metode Simulasi Tematis Untuk Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris siswa Bahan ini cocok untuk

Informasi / Pendidikan Umum. Nama & E-mail (Penulis): Nurdin Somantri Saya Guru di SMU 8 Yogyakarta Tanggal: 26 Januari 2003 Judul Artikel: Penerapan Metode Simulasi Tematis Untuk Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris siswa Topik: Metode Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris Siswa Artikel: Ini naskah lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran tahun 2002 lalu. Meskipun belum berhasil memenangkan lomba tersebut, tetapi saya melihat penting untuk diketahui publik.Semoga bermanfaat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada pepatah Yunani yang mengatakan bahwa Non scolae sed vitae discimus yang apabila diartikan secara bebas bahwa sekolah itu tujuannya bukan untuk mencari skor/angkaangka tetapi sekolah itu belajar untuk kehidupan, bahkan hidup itu sendiri. Kata sekolah itu sendiri berasal dari kata skhole, scolae, atau schola yang berarti waktu luang atau waktu senggang. Pada waktu senggang tersebut dahulunya para orang tua Yunani menitipkan anak-anaknya kepada orang yang dianggap pintar agar memperoleh pengetahuan dan pendidikan tentang filsafat, alam dan sejenis itu lainnya. Sekolah pada jaman itu adalah suatu aktifitas yang mengasyikkan, menyenangkan karena mereka dapat memperoleh berbagai hal yang ingin mereka ketahui. Mencoba melihat kondisi sekarang sekolah masih dianggap suatu aktifitas yang menyenangkan oleh sebagian siswa justru di luar jam pelajaran tetapi jika di dalam jam pelajaran adalah suatu aktifitas yang membebani. Belum ada penelitian yang khusus mengkaji tentang hal tersebut, tetapi sepanjang pengamatan penulis, jika para siswa berada di kelas mereka inginnya keluar kelas atau pulang, jika ada pengumuman pulang pagi, atau libur, mereka gembiranya tidak kepalang, bersorak sorai, seolah terlepas dari beban berat yang menghimpit. Hal serupa juga terjadi pada diri penulis dan mungkin guru yang lain. Rasanya pergi ke sekolah bukan lagi sebagai kegiatan yang diidam-idamkan ketika pertama kali melamar menjadi guru tetapi sudah cenderung menjadi rutinitas. Apa yang penulis rasakan sepertinya cocok dengan karakter guru yang dikemukan Zamroni dalam bukunya Paradigma Pendidikan Masa Depan. Ada lima karakter kerja guru. Kelima karakter tersebut adalah pertama, pekerjaan guru bersifat individualistis non colaboratif, kedua dilakukan dalam ruang terisolir dan menyerap seluruh waktu, ketiga kemungkinan terjadinya kontak akademis antar guru rendah, keempat tidak pernah

mendapatkan umpan balik, dan kelima pekerjaan guru memerlukan waktu untuk mendukung waktu kerja di ruang kelas (Zamroni, 2000:76). Senada dengan itu Paul Suparno mengemukakan alasan mengapa guru sulit melakukan perubahan antara lain pertama, guru sering tidak jelas mengerti apa isi kurikulum baru ataupun perubahan yang diinginkan. Kedua, banyak guru meragukan perubahan atau pembaruan yang ada. Ketiga banyak guru lama telah bertahun-tahun terbiasa dengan cara mereka yang mapan dan sudah merasa enak. Keempat, moral guru sebagai tukang yang pasif dan menanti. Kelima penghargaan guru yang kecil. Keenam, pendidikan guru yang statis. Ketujuh, tugas guru dipahami sebagai konservatif. Kedelapan, menjadi guru karena terpaksa (Suparno, 2002: 4). Padahal dalam sistem pendidikan kita guru itu adalah sentral. Sebagai pusat, apa konsekuensi bagi guru apabila hasil pembelajaran tidak menghasilkan generasi yang diharapkan? Kritik terhadap guru datang dari mana-mana. Musman Hadiatmadja, 20 tahun yang lalu, mengatakan bahwa guru lebih tepat disebut melaksanakan mengajar saja secara tradisional dan konservatif. Tradisional karena melaksanakan tugas dengan mendasarkan diri pada tradisi atau apa yang telah dilaksanakan oleh para guru terdahulu tanpa ada usaha memperbaiki dengan daya kreasi yang ada padanya. Konservatif karena bertindak secara kolot menurut cara-cara lama yang kurang atau tidak sesuai dengan perubahan dan kemajuan jaman. Akibatnya siswa dijejali dengan berbagai pengetahuan sesuai kehendak guru atau kurikulum karena siswa adalah ibarat botol kosong yang tidak diberi kesempatan berfikir, mengolah atau mencerna apalagi berkreasi. Mereka pasif dan reseptif saja (Hadiatmadja, 1982:39). Mungkin sebagian guru masih seperti itu, sering penulis masuk kelas menemukan situasi yang tidak menyenangkan. Penglihatan para siswa sayu, raganya nampak ada di depan penulis, tetapi pandangannya kosong. Penulis mencoba menghidupkan situasi, dan berhasil untuk saat tersebut, tetapi pada kesempatan berikutnya keadaan itu tidak berubah. Apa yang harus penulis lakukan? Di sisi lain penulis melihat keanehan atas kondisi kemampuan Bahasa Inggris para siswa. Sudah minimal 4 tahun mereka belajar Bahasa Inggris, dari SLTP kelas 1 sampai dengan SMU kelas 1, bahkan ada yang mulai kelas 4 SD, tetapi mengapa sebagian besar mereka masih belum mampu berbicara Bahasa Inggris? Jika kita melihat input prestasi siswa ketika masuk, di sekolah swasta yang belum begitu baik, mungkin saja mereka tidak mampu berbahasa Inggris karena nilai EBTANAS Bahasa Inggris mereka rata-rata di bawah 5, tetapi di sekolah negeri favoritpun hal tersebut terjadi juga, padahal rata-rata nilai masuk mereka adalah 7 ke atas. Bahkan penulis pernah menemukan beberapa siswa yang nilai EBTANAS Bahasa Inggris SLTP-nya 10, tetapi mereka tidak bisa berkomunikasi dengan penulis. Mungkin ini yang disebut oleh Zamroni sebagai dampak problem pendidikan kita yang pertama, cenderung menjadi stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer the dead knowledge, pengetahuan yang telalu bersifat text bookish yang ibarat sudah diceraikan baik dari akar sumbernya

maupun aplikasinya karena tersusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (Zamroni, Ibid.:2-5). Penulis sering mempertanyakan bagaimana para siswa akan mensiasati hidup mereka padahal dunia mereka adalah dunia global yang penuh dengan komunikasi dalam Bahasa Inggris? Sebagai contoh internet, mereka mungkin tidak gagap teknologi karena mereka cukup mengenal kemajuan teknologi tersebut, tetapi Bahasa pergaulan yang dipakai sehubungan dengan teknologi tersebut adalah Bahasa Inggris, bagaimana mereka bisa menang dalam kompetisi global tersebut? Dari dua kenyataan tersebut, suasana belajar yang tidak menyenangkan, proses pembelajaran Bahasa Inggris yang belum berhasil meski sudah bertahun-tahun, menyiratkan ada masalah yang menghadang di hadapan kita. Menyadari hal tersebut, penulis banyak bertanya kepada para senior baik di lingkungan SMU 8 Yogyakarta sendiri maupun di forum MGMP. Penulis juga mencoba berkirim email di situs-situs Bahasa Inggris dan saling bertukar pikiran dan pendapat dengan mereka. Dari banyak persinggungan dengan banyak pihak tersebut penulis mendapatkan ide untuk membuat media bantu yang disamping murah juga membantu penulis meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris para siswa khususnya speaking sekaligus membuat suasana kelas menyenangkan bagi para siswa. Media bantu tersebut adalah berbentuk papan simulasi yang sederhana yang bisa dibuat secara manual atau dengan komputer, dari karton atau papan. Selain itu dibutuhkan dadu dan beberapa asesoris sebagai identitas. Dan yang lebih penting adalah kumpulan pertanyaan atau instruksi yang sesuai dengan tema yang kita bawakan di kelas. Untuk tujuan ini penulis membuat contoh tema Culture and Art, tahun lalu penulis membuat yang berkaitan dengan tema Work. Untuk kegiatan ekstra kurikuler penulis pernah membuat tema Tourism (tema untuk kelas I), sedangkan untuk kelas tiga tema Women Role. Media tersebut tidak saja bisa difokuskan pada speaking tetapi juga bisa digabungkan dengan bermain peran dalam bentuk instruksi. Bermain peran bisa juga dalam bentuk hukuman yang ditentukan oleh kelompok. Hal ini merupakan penjabaran dari pepatah cina yang mengatakan "Saya dengar dan saya lupa, saya lihat dan saya ingat, saya kerjakan dan saya mengerti". Sepanjang pengalaman penulis, media ini sangat cocok dipakai di kelas yang siswanya sudah mendapatkan materi untuk komunikasi dasar atau sederhana khususnya kelas 2 SMU. Apa yang penulis lakukan didasarkan pada pemikiran bahwa siswa harus dipandang sebagai pribadi yang utuh, unik, memiliki nilai sendiri, bukan hanya bereaksi tetapi juga beraksi dan tak dapat diukur. Lebih-lebih apabila penulis mendasarkan pada hasil angket bahwa para siswa tidak percaya diri apabila guru Bahasa Inggris memberi pertanyaan atau mengajak bicara mereka dalam Bahasa Inggris. Hal tersebut penulis artikan bahwa

komunikasi tidak berjalan wajar maka perlu dilakukan pewajaran komunikasi. Komunikasi yang harus digunakan adalah komunikasi sebagai transaksi yang di dalamnya terjadi relasi yang seimbang antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Dengan bantuan analisa transaksional akan memungkinkan seorang guru mengatur dan merencanakan komunikasinya dengan para siswa dalam rangka mempercepat tercapainya tujuan pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan pribadi siswa (Hadiatmadja, Ibid.:47). Melalui media ini penulis melihat ada komunikasi yang wajar baik antara penulis dengan para siswa maupun diantara para siswa sendiri. B. Permasalahan 1. Mengapa suasana kelas begitu membosankan bagi para siswa dan juga mungkin guru? Apakah karena faktor guru? Siswa? Sekolah? Atau muatan kurikulum? Banyak orang mengatakan bahwa beban kurikulum kita terlalu padat, tidak lagi mencerminkan suara masyarakat. Peran sekolah cenderung hanya mengajar dan tidak lagi mendidik. Otak anak dijejali kurikulum yang belum tentu perlu. Menghargai NEM tinggi, nilai hafalan nama kecamatan, nama tokoh, tahun sejarah, dan hal-hal yang tak ada keperluannya buat bekal memecahkan masalah hidup yang di negara maju diangap hanya menambah sempit disket memori otak anak (Nadesul, 2002:4). Penulis pernah membandingkan kurikulum Bahasa Inggris dengan guru Bahasa Inggris dari Yunani dan Norwegia. Mereka mengatakan bahwa kurikulum Bahasa Inggris Indonesia aneh. Apabila pembelajaran Bahasa Inggris itu meliputi empat keahlian membaca, menulis, mendengar, dan berbicara, mengapa dalam ujian justru tidak ada ujian mendengar dan berbicara? Lalu untuk apa prose s pembelajaran speaking dan listening selama ini? 2. Mengapa menjamur kursus-kursus Bahasa Inggris? Mengapa para siswa masih mencari lembaga lain di luar sekolah untuk belajar Bahasa Inggris khususnya speaking? Kalau begitu apa fungsi sekolah dan atau guru-guru Bahasa Inggris? Bahkan seorang pejabat di Kanwil Depdiknas DIY pernah mengatakan dalam suatu pelatihan bagi guru Bahasa Inggris yang diadakan atas kerjasama Kanwil dan Global Partners bahwa siswa yang mampu berbahasa Inggris di DIY hanya 5% saja, itupun mereka yang ikut kursus di lembaga Bahasa Inggris di luar sekolah. Banyak guru Bahasa Inggris protes, lalu meminta kanwil untuk mengadakan penelitian yang mendalam tentang data tersebut. Apabila memang kondisinya demikian, berarti fungsi guru Bahasa Inggris itu sangat kecil. Dengan demikian terjadi pemubaziran anggaran negara untuk membayar sekian ribu guru Bahasa Inggris negeri, belum yang dibayarkan masyarakat ke sekolah-sekolah swasta. Apabila kita melihat dari sudut pengeluaran masyarakat, maka mereka membayar dua kali, ke sekolah dan ke lembaga-lembaga Bahasa Inggris tadi. Dan yang bisa membayar adalah mereka dari keluarga yang paling tidak memiliki dana cukup. Yang tidak punya dana? Mereka tetap mengandalkan sekolah dan akhirnya harus rela dengan kemampuan Bahasa Inggris yang lemah, maka bersiaplah nasib mereka untuk kalah dalam kompetisi global ini. Kasihan, sudah miskin, juga diprediksikan akan bernasib miskin pula pada masa datang. 3. Kurikulum Bahasa Inggris 1994, suplemen 1999, jelas-jelas menekankan pada reading dengan mengadopsi bacaan-bacaan yang bersifat ilmiah. Akibatnya sudah bisa ditebak, para siswa lebih mengerti industrialisasi, tentang Astronomi, atau hal-hal lain seperti

tuntutan kurikulum, tetapi mungkin tidak tahu apa Bahasa Inggrisnya selokan, celengan, atau kata-kata yang sangat penting jika ada turis tersesat, misalnya arah utara selatan. Apakah siswa jika berkomunikasi dalam kehidupan nyata akan berdiskusi langsung tentang Astronomi, Politik atau Ekonomi? 4. Buku-buku paket Bahasa Inggris baik terbitan pemerintah lebih-lebih swasta lebih berorientasi uang atau keuntungan. Ada LKS Bahasa Inggris yang hampir tiap tahun ganti cover dan halaman depannya saja, yang lainnya sama, hanya agar siswa tidak menggunakan LKS bekas tahun lalu. Isi LKS tersebut adalah soal-soal. Para siswa harus membeli buku dan LKS agar nilai ulangan atau ujian baik, tetapi tetap mereka tidak bisa berbicara Bahasa Inggris meskipun nilai ulangan atau latihan LKS-nya 9 bahkan 10. Apa kegunaan buku dan LKS tersebut apabila ternyata para siswa tidak mampu berbicara Bahasa Inggris? Mengapa kemampuan speaking para siswa lemah padahal mereka sudah minimal 4 tahun belajar Bahasa Inggris, sudah mempelajari buku paket dan LKS? Apakah faktor intern atau ekstern siswa? 5. Apa dampak psikologis terhadap siswa apabila guru Bahasa Inggris menanyai mereka dalam Bahasa Inggris dan bagaimana dampaknya jika peran guru itu diganti oleh teman sekelas/sebaya dengan mereka? Apakah pendekatan tutor sebaya mampu memotivasi para siswa sehingga mereka mendapat pengalaman berbicara Bahasa Inggris? Apakah keterampilan emosional para siswa juga berkembang? C. Tujuan 1. Untuk memberikan suasana baru dan memunculkan imej baru kepada para siswa bahwa belajar Bahasa Inggris tidak harus selalu melalui metode konvensional, membuka buku paket, mengerjakan LKS, sehingga para siswa tidak merasa jenuh/bosan di kelas. 2. Untuk memberikan suatu gambaran bagi para rekan sejawat, membuka wawasan bahwa mereka bisa menggunakan metode simulasi tematis selain metode yang ada untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris siswa. 3. Sebagai alat bantu untuk memperlancar proses tanya jawab tentang tema tertentu dengan pendekatan teman sebagai tutor sebaya dengan demikian diharapkan terjadi pemahaman yang lebih baik atas tema yang dibawakan di kelas. 4. Suapaya siswa berlatih untuk memiliki rasa percaya diri dengan mengurangi peran dominan guru, sehingga mereka dapat mengungkapan kemampuannya, berlatih speaking secara bebas dan leluasa. 5. Untuk melihat apakah ada perubahan kemampuan para siswa yang signifikan setelah dilakukan metode simulasi tematis baik itu dalam pemahaman, speaking maupun writing. D. Pengertian Simulasi adalah sebuah metode permainan bernomor yang disertai kartu-kartu berisi instruksi atau pertanyaan tertentu dari setiap nomor. Permainan ini seperti monopoli atau

ular tangga hanya lebih sederhana. Metode ini membutuhkan media bantu lain seperti dadu, identitas peserta, kartu-kartu dan amplop-amplop kecil untuk menyimpan kartukartu. Tematis, karena dikaitkan dengan tema-tema atau sub-sub tema dalam GBPP Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Hal ini penting agar proses pembelajaran tidak melenceng dari tujuan semula dan masih terkait dengan kurikulum. Kelompok, karena harus dilakukan secara berkelompok minimal 2 orang. Untuk kelas klasikal idealnya beranggotakan 5 - 6 siswa. Pembagian kelas ke dalam kelompokkelompok kecil bisa menjadi solusi masalah-masalah pembelajaran Bahasa Inggris. Salah satu keuntungan yang jelas adalah dapat mendorong anggota kelompok untuk secara aktif melakukan apa yang telah menjadi kesepakatan kelompok tersebut. BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS DENGAN METODE SIMULASI TEMATIS A. Persiapan 1. Kemampuan berbahasa Inggris kelas 2 angkatan 2002/2003 SMU 8 Yogyakarta berdasarkan angket Guna mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kondisi dan persebaran kemampuan berbahasa Inggris para siswa kelas 2 angkatan 2002/2003 SMU 8 Yogyakarta, penulis pertama-tama melakukan pengamatan dalam beberapa kali tatap muka sambil mencari masukan-masukan langsung. Pada tahap ini berbagai metode penulis coba baik dalam reading, writing, listening dan speaking termasuk juga grammar dan vocabulary. Setelah mendapatkan hipotesa-hipotesa tentang kondisi kemampuan Bahasa Inggris siswa per kelas, kemudian penulis menyebarkan angket agar diperoleh hasil yang lebih valid (Angket pra simulasi lihat LAMPIRAN VIII). Berikut ini hasil angket yang dilakukan pada tanggal 21 Agustus 2002. Dari 6 kelas, hadir 240 siswa/responden. Sebanyak 63 siswa atau 26,25% merasa bingung dan tidak tahu harus menjawab apa apabila guru Bahasa Inggris bertanya atau berbicara kepada mereka. Sebanyak 57 siswa atau 23,75% merasa nervous, 18 siswa (7,5%) merasa kadang-kadang mengerti kadang-kadang tidak dan karenanya menjawab semampunya, 28 siswa (11,67%) memilih diam saja, yang merasa biasanya sama sekali tidak mengerti pertanyaan atau pembicaraan guru tersebut sebanyak 15 siswa (6,25%), 1 siswa (0,42%) merasa nervous dan tidak tahu harus menjawab apa, dan 2 siswa (0,84%) tidak menjawab. Sedangkan yang merasa percaya diri dan menjawab/merespon guru tersebut kurang dari seperempatnya yakni hanya 56 siswa (23,33%) saja. Rasa percaya diri siswa justeru muncul jika yang mengajukan pertanyaan atau mengajak berbicara Bahasa Inggris tersebut adalah teman sekelas/sebaya dengan mereka yakni ada 173 siswa (72,08%). Sedangkan yang merasa tidak mengerti pembicaraan teman mereka ada 3 siswa (1,25%), yang merasa tidak tahu harus menjawab apa ada 21 siswa (8,75%), nervous ada 12 siswa (5%), memilih tetap diam saja ada 17 siswa (7,08%), menjawab semampunya ada 10 siswa (4,17%), sedangkan sisanya tetap tidak tahu harus menjawab apa sebanyak 21 siswa (8,75%) dan tidak memilih ada 4 siswa (1,67%).

Kondisi demikian bisa terjadi karena berdasarkan pengakuan mereka, yang merasa bagus sekali kemampuan berbicara Bahasa Inggrisnya hanya 1 orang (0,42%), merasa bagus ada 6 siswa (2,5%) merasa buruk 76 siswa (31,67%), buruk sekali ada 13 siswa (5,42%) sedangkan bagian terbesar merasa sedang-sedang saja yakni sebanyak 141 siswa (58,75%). Siswa yang merasa kemampuan berbicara Bahasa Inggrisnya bagus sekali memberikan bukti bahwa orang asing dan guru Bahasa Inggris jika berbicara dengannya sangat mengerti perkataannya dan tidak ada kesalahpahaman. Yang merasa kualitasnya bagus, 1 orang (16,67%) memberikan bukti bahwa orang asing mengerti perkataannya dan tidak ada kesalahpahaman, 2 orang (33,33%) memberi bukti bahwa orang asing atau guru Bahasa Inggris mengerti perkataannya tetapi kadang-kadang ada kesalahpahaman, sedangkan 3 orang (50%) memberi bukti bahwa guru Bahasa Inggris mengerti perkataanya dan tidak ada kesalahpahaman. Jumlah terbesar, 69 siswa (48,94%), merasa berkemampuan bicara sedang dengan memberikan bukti bahwa guru Bahasa Inggris cukup mengerti perkataan mereka dan kadang-kadang ada kesalahpahaman, sebanyak 50 siswa (35,46) memberikan bukti bahwa orang asing atau guru Bahasa Inggris cukup mengerti perkataan mereka dan kadang-kadang ada kesalahpahaman, 4 siswa (2,84%) merasa orang asing cukup mengerti perkataan mereka dan kadang-kadang ada kesalahpahaman, sedangkan sisanya sebanyak 18 siswa (12,77%) merasa bahwa komunikasi mereka nyambung baik dengan teman atau guru meski memiliki lafal dan grammar yang salah. Mereka yang merasa berkemampuan speaking buruk, 28 siswa (36,84%) memberi bukti bahwa orang asing atau guru Bahasa Inggris kadang-kadang mengerti kadang-kadang tidak perkataan mereka dan cukup sering terjadi kesalahpahaman, 18 siswa (23,68%) merasa guru Bahasa Inggris kadang-kadang mengerti kadang-kadang tidak perkataan mereka, 2 siswa (2,63%) merasa orang asing kadang-kadang mengerti kadang-kadang tidak perkataan mereka, 1 siswa (1,32%) tidak memberikan bukti apa-apa, sedangkan 27 siswa (35,53%) memberikan alasan beragam misalnya mereka dan orang lain sama-sama tidak mengerti, lafal dan grammar buruk, mengerti tetapi tidak bisa merespon, sering dikoreksi guru Bahasa Inggris jika bicara, atau tidak mengerti jika guru Bahasa Inggris bicara dalam Bahasa Inggris. Sebanyak 13 siswa merasa buruk sekali dengan perincian 6 siswa (46,15%) memberi bukti bahwa orang asing atau guru Bahasa Inggris sama sekali tidak mengerti perkataan mereka kecuali yang sangat sederhana dan sering terjadi kesalahpahaman, 2 siswa (15,38%) merasa orang asing sama sekali tidak mengerti perkataan mereka kecuali yang sangat sederhana, 1 siswa (7,69%) merasa guru Bahasa Inggris sama sekali tidak mengerti perkataannya kecuali yang sangat sederhana, sedangkan sisanya 4 siswa (30,77%) memberi alasan bahwa mereka tidak mengerti perkataan mereka sendiri kecuali yang sederhana. Alasan-alasan bahwa kualitas speaking mereka termasuk dalam kategori tertentu didasarkan pada pengalaman mereka. Sebanyak 115 siswa (47,92%) pernah mendapatkan penilaian kualitas speaking, baik oleh teman sebangsa atau asing, orang tua

atau anggota keluarga, juri perlombaan, instruktur kursus atau ekstra kurikuler, guru Bahasa Inggris, native speaker atau guide. Meskipun begitu 43 siswa (17,92%) merasa belum pernah dites speaking. Hal ini bisa dipahami karena meskipun ada ujian di sekolah tetapi tidak ada tes khusus speaking. 77 siswa (32,08%) merasa lupa atau tidak tahu, sisanya 5 siswa (2,08%) tidak menjawab. Yang pernah dinilai speaking, 28 siswa (24,35%) mengatakan bahwa kemampuan speaking mereka bagus, mendapat nilai sedang ada 57 siswa (49,57%), nilai buruk ada 28 siswa (24,35%), mendapat nilai buruk sekali ada 1 siswa (0,87%) dan 2 siswa (1,74%) menjawab tidak jelas. Dari yang pernah dites speaking, 97 siswa (84,35%) merasa diberi saran oleh penguji antara lain harus meningkatkan kemampuan dengan memperbanyak praktek baik itu pada grammar, vocabulary, pronunciation, atau sikap dengan menonton film berbahasa Inggris, sering berkomunikasi dengan orang asing atau guru Bahasa Inggris, dan yang lebih penting lagi jangan menyerah. Sedangkan sisanya 22 siswa (19,13%) merasa tidak diberi saran oleh penguji. Para siswa sendiri sudah memiliki solusi untuk peningkatan kemampuan speaking. Sebanyak 56 siswa (23,33%) dengan cara kursus di lembaga Bahasa Inggris, 26 siswa (10,83%) dengan cara mempraktekkan teori dari buku paket, 13 siswa (5,42%) dengan cara berbicara sebanyak mungkin dengan guru Bahasa Inggris, 1 siswa (0,42%) memanggil guru privat, 7 siswa (2,94%) mengkombinasikan cara-cara yang sudah disebutkan tadi, dan sisanya 136 siswa (56,67%) dengan cara praktek sendiri, les di bimbingan belajar, melalui internet, menonton film atau berita Bahasa Inggris di TV, mendengarkan lagu-lagu barat atau siaran radio Bahasa Inggris. Dikaitkan dengan penerimaan siswa terhadap pola pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah-sekolah, ada 186 siswa (77,5%) merasa bosan/jenuh dengan metode pembelajaran Bahasa Inggris yang konvensional misalnya dengan melalui text book/ceramah, dan hanya 16 siswa (6,67%) menjawab tidak bosan/jenuh, sisanya 36 siswa (15%) menjawab sangat jenuh, kadang-kadang jenuh kadang-kadang tidak, atau mengantuk/melamun. Rasa bosan/jenuh membuat mereka tidak apresiatif terhadap Bahasa Inggris sebab metode konvensional menurut 85 siswa (45,70%) tidak membuat mereka mampu berkomunikasi, 36 siswa (19,35%) merasa bahan semuanya dari buku (kurikulum), 31 siswa (16,67%) berpendapat bahwa metode konvensional hanya membuat mereka bingung. Jumlah yang sama ,31 siswa, menganggap selama ini terlalu banyak kosa kata sulit yang terlalu jauh dengan kehidupan mereka, 3 siswa (1,61%) menganggap bahan semuanya dari guru, 9 siswa (4,84%) berpendapat gabungan dari semuanya itu dan 1 siswa (0,54%) memberi jawaban tidak jelas. Sedangkan yang berpendapat metode konvensional tidak membosankan, 3 siswa (18,75%) memberikan alasan karena metode tersebut mampu membuat mereka berkomunikasi, 3 siswa juga merasa guru sangat bagus menerangkannya, 6 siswa (37,5%) menganggap kosa katanya mudah dipelajari dan diingat, sedangkan sisanya 4 siswa (25%) memberi alasan gabungan yang disebutkan tadi dan memudahkan sistem pembelajaran.

Metode pembelajaran Bahasa Inggris secara keseluruhan katanya mendukung kemampuan speaking mereka diungkapkan oleh 112 siswa (46,67%), 43 siswa (17,92%) menganggap tidak mendukung, 84 siswa (35%) merasa sedikit dukungannya, malah membingungkan, sisanya 1 siswa (0,42%) tidak memberikan jawaban. Jika kelasnya klasikal maka metode yang sebaiknya diterapkan menurut 128 siswa (53,33%) adalah simulasi/game, 24 siswa (10%) memilih metode diskusi, 22 siswa (9,17%) memilih bermain peran, 57 siswa (23,75%) memilih gabungan ketiganya, 8 siswa (3,33%) meminta dikelompokkan berdasarkan kemampuan, dan sisanya 2 siswa (0,83%) tidak memberi jawaban. Metode simulasi/game disarankan diterapkan untuk peningkatan speaking karena 208 siswa (85,83%) pernah mendapatkan metode tersebut baik itu di SLTP, di SMU, dalam pelajaran ekstra, atau di tempat kursus. Hanya 15 siswa (6,25%) yang tidak pernah mendapatkan metode tersebut, 18 siswa (7,5%) merasa tidak tahu, sisanya 1 siswa (0,42%) tidak memberi jawaban. Sebanyak 113 siswa (47,08%) merasa jarang sekali mendapatkan metode simulasi, 66 siswa (27,5%) pernah mendapatkan 2-3 kali, 24 siswa (10%) pernah sebanyak 4-5 kali, 7 siswa (2,92%) hanya 1 kali, sedangkan sisanya 25 siswa (10,42%) tidak memberi jawaban. Sebanyak 120 siswa (50%) menyimpulkan bahwa guru sangat perlu membawa permainan/simulasi di kelas untuk meningkatkan kemampuan speaking mereka, 113 siswa (47%) menjawab perlu, 4 siswa (1,67%) menjawab tidak perlu, 3 siswa (1,255) menjawab tidak tahu, dan sisanya 1 siswa (0,42%) tidak memberi jawaban. 2. Media Yang Dibutuhkan Adapun media bantu yang dibutuhkan adalah sejenis papan ular tangga. Untuk keperluan ini penulis membuat sendiri dengan menggunakan program MS Excell. Dulu pertama kali penulis membuat media ini dengan 15 nomor/angka dan setelah diujicobakan ternyata kurang jika digunakan di kelas berisi 40 siswa, tetapi sampai sekarang maksimal nomor yang bisa dibuat hanya sampai 19 nomor. Pembuatannya tidak terlalu sukar, hanya yang penting di sini adalah memberi warna atau diprint warna, sehingga menimbulkan daya tarik sendiri bagi siswa. Apabila kita membuat dengan ukuran folio maka perlu difotokopi/diperbesar baru diberi warna yang kemungkinan disukai siswa. Di tengahtengah papan tersebut kita tuliskan kata-kata yang bisa menggugah semangat mereka, misalnya: Let's speak up!, Let's improve our English!, Let's talk about .! Atau sejenis itu lainnya. Supaya awet dan dapat digunakan berulang-ulang kita perlu melaminatingnya. Jumlah papan yang kita buat disesuaikan dengan kebutuhan berdasa rkan jumlah siswa per kelas. Media ini bisa dipakai secara berpasangan atau berkelompok. Apabila satu kelas berisi 40 siswa paling tidak kita harus membuatnya 8 sehingga per kelompok ada 5 siswa. Sediakan pula dadu masing-masing 2 buah atau lebih per kelompok. Dadu minimal harus 2 buah guna mengantisipasi angka yang muncul kecil terus atau sama terus padahal papan simulasi ini sampai nomor 19. Usahakan dadunya berwarna warni pula sehingga

bisa menarik para siswa. Bisa pula kita membuatnya dari kayu yang dicat dan dinomori. Media lain yang dibutuhkan adalah daftar pertanyaan atau instruksi yang berkaitan dengan tema/sub-tema. Paling tidak kita harus menyediakan 19 pertanyaan/instruksi. Kita juga harus menyediakan pertanyaan/instruksi cadangan untuk mengantisipasi dadu jatuh pada nomor yang sudah dibaca/dilakukan instruksinya sehingga siswa tidak bosan dan tetap ingin tahu. Pertanyaan-pertanyaan/instruksi-instruksi itu kita tuliskan di kertaskertas kecil seukuran amplop kecil. Alangkah baiknya juga berwarna dan diberi gambar latar belakang. Untuk tema Culture and Art bisa berupa orang sedang bermain musik, sedang menari atau sejenis itu. Hal inipun bisa kita dapatkan dari MS Word. Sebenarnya pertanyaan bisa langsung di kertas begitu saja asalkan bagian belakangnya dinomori, tetapi lebih baik kertas-kertas tadi dimasukkan ke dalam amplop-amplop kecil dan amplopnyalah yang dinomori. Untuk pertanyaan/instruksi cadangan bisa dimasukkan ke dalam amplop tersendiri. Hal ini guna tetap mempertahanka n rasa ingin tahu siswa dan keterkejutan atas pertanyaan/instruksi. Identitas pemain juga perlu disediakan. Penulis biasanya menggunakan benda-benda dari pantai, batu-batu karang kecil, bekel, keong, atau sejenis itu, yang penting menarik bagi para siswa. Bisa juga kita meminta siswa membawa sendiri-sendiri, kadang-kadang kalau yang penulis bawa tidak cukup mereka menggunakan karet penghapus, tutup pensil, permen, atau potongan kapur. Perangkat lainnya adalah kartu kendali simulasi untuk mencek apa yang terjadi di dalam kelompok apakah pertanyaan/instruksi dilakukan dengan tepat atau tidak. Selanjutnya kertas koleksi kosa kata baru. Setiap siswa dalam kelompok wajib menyediakan kertas kosong yang digunakan untuk menulis setiap kata baru yang ia dapatkan selama permainan simulasi tersebut. Pada akhir permainan kertas-kertas tersebut dikumpulkan untuk dilihat guru kemudian nantinya dikembalikan kepada siswa. Terakhir adalah aturan permainan yang berisi langkah-langkah yang harus dilakukan selama permainan simulasi berlangsung. Organizer atau pengatur memegang peranan penting dalam hal ini. Oleh karena itu kita harus membuat mereka mengerti dulu permainan simulasi ini sebelum itu dibawakan dalam kelompok (Contoh-contoh media yang penulis buat, untuk papan simulasi lihat LAMPIRAN XI, kartu kendali simulasi lihat LAMPIRAN II, peraturan simulasi lihat LAMPIRAN III, daftar pertanyaan/instruksi lihat LAMPIRAN IV). B. Proses Pembelajaran Langkah-langkah pembelajaran meliputi pre-Activity, whilst-Activity, dan post Activity. Guna mengetahui apakah ada perubahan yang signifikan pada kemampuan berbahasa Inggris siswa maka perlu diadakan tes baik sebelum maupun sesudah proses pembelajaran (Untuk butir-butir soal tes lihat LAMPIRAN I). 1. Pre-Activity Pertama-tama, apabila jam pelajaran dimulai pada jam pertama, seperti biasa para siswa kita ajak berdoa, setelah selesai guru memberi salam dan menanyakan kabar mereka, setelah itu dicek ada berapa siswa yang tidak masuk. Langkah kedua adalah pemberian

tes sebagai pre-test yang berhubungan dengan tema Culture and Art. Waktu untuk mengerjakan tes ini 10 menit. Kemudian para siswa kita arahkan ke tema yang akan dibahas misalnya dengan menanyakan beberapa pertanyaan atau memperlihatkan gambar/foto. Untuk tema Culture and Art penulis kebetulan memiliki foto-foto upacara Sekatenan di Kraton Yogyakarta sehingga dengan mudah para siswa diarahkan ke tema. Langkah berikutnya penjelasan umum kepada siswa mengenai metode simulasi yang akan digunakan dalam proses pembelajaran, memilih organizer atau pengatur dan pembagian kelompok berisi 5 - 6 siswa termasuk pengatur. Pemilihan pengatur bisa berdasarkan pendapat siswa atau kita yang menentukan. Setelah terpilih 8 orang organizers, kemudian mereka disuruh maju ke depan untuk menerima penjelasan lebih rinci. Organizer tersebut akan menerima 1 papan simulasi dan perlengkapan lainnya seperti telah disebutkan di muka. Untuk pengisian kartu kendali simulasi bisa dijelaskan sambil proses berjalan supaya menghemat waktu. Setelah semuanya siap, maka simulasi sudah bisa dimulai. 2. Whilst-Activity Selama simulasi berjalan tugas guru yang utama adalah memonitor jalannya simulasi, guru harus bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain guna melihat apakah simulasi berjalan sesuai yang dinginkan atau tidak, mengingatkan mereka apabila tidak menggunakan Bahasa Inggris, mencatat ungkapan-ungkapan berbahasa Inggris yang salah yang perlu didiskusikan sambil memberikan penilaian proses. Kadang-kadang guru juga harus memberikan respon apabila ada siswa yang terkena hukuman yang mungkin karena malu atau hal lainnya menjadi tidak sportif, maka guru perlu mendorong supaya mereka memiliki rasa percaya diri. Kadang-kadang ada siswa yang tidak paham dengan pertanyaan atau instruksi, maka guru harus memilih mana yang terbaik untuk siswa tersebut apakah dijelaskan dalam Bahasa Indonesia atau disuruh membuka kamus. Begitulah seterusnya sampai waktu yang disediakan untuk simulasi tesebut selesai. Biasanya 3 putaran sudah dapat mencakup semua pertanyaan/instruksi. Untuk kepentingan ini, penulis dibantu seorang siswa kelas 3 yang tahun lalu mendapatkan metode serupa, melakukan pengambilan gambar menggunakan handycam, sehingga proses pembelajaran ini bisa dipelajari dengan jelas, begitu pula bisa dievaluasi kelemahan-kelemahannya. Pengambilan gambar ini dilakukan di kelas yang untuk pertama kalinya mendapatkan metode simulasi tematis, sehingga penulis sendiri masih melihat banyak kekurangannya. 3. Post-Activity Setelah selesai, langkah selanjutnya adalah mendiskusikan kesalahan-kesalahan ungkapan Bahasa Inggris tadi kemudian menyimpulkan. Langkah terakhir adalah memberikan post test. Untuk keperluan penulisan makalah ini soal post test sama dengan soal pre-test oleh karena itu para siswa dapat mengerjakannya lebih cepat dari waktu yang disediakan selama 10 menit. Kemudian penulis menyebarkan angket guna mengetahui tanggapan mereka tentang metode simulasi tematis ini (Angket pasca

simulasi lihat LAMPIRAN IX). Setelah selesai, proses pembelajaran bisa diakhiri dengan membaca hamdalah dan mengucap salam (Untuk proses langkah demi langkah bisa dilihat di LAMPIRAN XIII). C. Hasil Pembelajaran 1. Hasil Pembelajaran Dalam Ranah Kognitif Sebelum diterapkan metode simulasi tematis ini, penulis mengadakan pre-test tentang tema Culture and Art yang akan dibawakan. Begitu pula setelah selesai kegiatan tersebut diadakan post test. Berikut ini hasil skor pre dan post test dari 3 kelas sampel (Untuk hasil selengkapnya lihat LAMPIRAN V). Tabel 1 NILAI RATA-RATA PRE & POST TEST PEMAHAMAN SISWA Kelas Jumlah Siswa Hadir Mean Pre-Test Mean Post test Skor terendah Pre/Post Skor tertinggi Pre/Post Deviasi Standar Pre/Post 2A 40 7,05 7,13 4 / 5 9 / 9 1,94 / 1,42 2B 42 7,36 7,43 4 / 5 9 / 9 2,08 / 1,42 2D 37 7,03 7,03 4 / 4 9 / 9 2,16 / 1,91 2. Hasil Pembelajaran Pada Kemampuan Speaking Dari 3 kelas yang dijadikan sampel, penulis mengambil 8 - 9 siswa untuk di tes kemampuan speaking-nya dengan diberi tiga pertanyaan yang sama baik pada pre-test maupun post test speaking. Adapun ketiga pertanyaan tersebut penulis ambil dari bahan pertanyaan/instruksi simulasi. Pertanyaan pertama adalah What do you thnik about western culture compared with eastern culture? Kedua, Do you know the differences between Javanese dances and Balinese dances? Ketiga, Tell me the uniqueness of your province! Pre-test dilakukan pada Hari Jumat tanggal 5 September 2002 sedangkan post test dilaksanakan berbeda-beda. Untuk kepentingan ini penulis paparkan hasil pre dan post test kelas 2B, karena post test untuk kelas 2B langsung dilakukan setelah selesai simulasi. Untuk kelas 2A dilakukan sebagian siswa Hari Kamis tanggal 12 September 2002 sebagian lagi Hari Selasa tanggal 17 September 2002. Untuk kelas 2D dilaksanakan Hari Rabu tanggal 18 September 2002. Untuk pemilihan sampel didasarkan pada pendapat siswa yakni 3 orang yang dianggap baik speaking-nya, 3 orang sedang, dan 3 orang dianggap buruk. Kemudian dicocokkan pendapat itu kepada yang bersangkutan dan terakhir penulis minta pendapat dari rekan guru Bahasa Inggris yang juga mengampu kelas tersebut. Untuk norma penilaian penulis mengacu pada norma Princeton Evaluation (lihat LAMPIRAN XII) yang meliputi Pronunciation and Accent, Grammar, Vocabulary, Fluency, Comprehension. Bandingkan dengan Harris yang menggunakan norma penilaian yang meliputi fonologi, struktur, kosa kata, dan kecepatan kelancaran umum (Harris, 1977:11) Adapun hasil pre dan post test Kelas 2 B adalah sebagai berikut : Tabel 2 NILAI PRE-TEST SPEAKING SISWA Nomor Sampel Pronunciation and Accent Grammar Vocabulary Fluency Comprehension Total Rerata 1 70 65 70 75 60 340 6,80

2 60 60 65 60 65 310 6,20 3 70 70 70 70 65 345 6,90 4 65 60 60 60 60 305 6,10 5 50 60 50 55 50 265 5,30 6 45 45 45 50 50 235 4,70 7 40 40 40 45 45 210 4,20 8 40 45 50 40 45 220 4,40 9 55 55 55 50 60 275 5,50 TOTAL 495 500 505 505 500 2.505 50,10 RERATA 5,50 5,56 5,61 5,61 5,56 5,57 Tabel 3 NILAI POST TEST SPEAKING SISWA Nomor Sampel Pronunciation and Accent Grammar Vocabulary Fluency Comprehension Total Rerata 1 70 70 75 65 75 355 7,10 2 60 65 70 55 70 320 6,40 3 70 70 75 70 75 360 7,20 4 60 70 70 60 65 325 6,50 5 65 75 70 65 70 345 6,90 6 55 60 65 55 65 300 6,00 7 50 55 60 45 60 270 5,40 8 50 55 60 45 60 270 5,40 9 50 55 60 55 60 280 5,60 TOTAL 530 575 605 515 600 2.825 56,50 RERATA 5,89 6,39 6,72 5,72 6,67 6,28 Berikut ini naskah dari pre dan post test speaking sample 1 mewakili yang baik, sampel 4 mewakili yang sedang dan sampel 9 mewakili yang buruk. Untuk sampel yang lain lihat LAMPIRAN VII. 1. Sampel 1 1.1. I think it's very different culture because we know that in the western we don't emh they don't have emh like javanese emh no like sopan santun is different and different emh freedom and then in the eastern we have kraton that very what is it very great culture like in the western. They can do may be a free sex like a wine because oh yes in the eastern religion is very strong and that makes the differences too. 1.2. Yes may be a little. In Javanese dances we do very slow moving and then and Bali dance is a very what is it very emh why I don't know. 1.3. The uniqueness? I think the kraton is the most uniqueness in my city. We have very strong culture that famous in the world we have batik, we have very traditional tradition like garebegan and so on and then we have sultan emh we have a lot of dances and my city may be the only city that emh the best keeping for their culture in Indonesia. That's all. 2. Sampel 4

2.1. Western I think western culture is more wild I mean western culture there usually wear clothes different with eastern culture they wear like thing top. It's very usual in city but in eastern culture is very strange we wear in eastern culture like in Indonesia and about the language I think eastern culture is more polite than western culture emh I think that's. 2.2. Javanese dances like classic? I think is more emh the body is more beautiful than Bali about the make up is more thick in the face and in Bali usually they use their eyes with dances in Bali dances. 2.3. Excuse me? Unique. I think like the dance about classic dance like Gambir Anom or ya I think like Prambanan emh dance. Yogyakarta has many traditional food like gudeg and about the tourist object they have Borobudur and Kraton. It's very special if we from Indonesia province it does especially. 3. Sampel 9 3.1. I think western culture has a free emh free from rules. There is just a few rules and about eastern culture has a more rules than western culture. I think eastern culture have emh eastern culture more fine than western culture. That's all. 3.2. Javanese dance has a very slowly and very beautifully and about Balinese dance is very-very fast like Kecak dance and like what just like Kecak and many-many that have that Javanese dance have like emh symbol of glory, symbol of war etc. and Bali like too but the symbol is so different like Javanese Dances. 3.3. Of Yogyakarta? The unique province of Yogyakarta. Yogya has a good culture like a what is it like a dance like a song and etc. and Yogya has many predict for Yogya never ending Asia and Yogya kota pelajar in Indonesia and Yogyakarta has a predict unique province like daerah istimewa just Yogya and Aceh and a Yogya has emh very very what is it Yogya has more a more what is it more Yogya has more tourist object like Parangtritis, Borobudur and song, Prambanan. I think Yogya has more fine culture like Bedoyo dance, Srimpi dance from Kraton Yogyakarta Hadiningrat. There is Yogya has emh very very friendly people has friendly 3 language like kromo ingggil, ngoko Naskah Post Test Speaking 1. Sampel 1 1.1.Western culture and eastern culture have very differences cultures. It is very complicated differences. So for example the eastern have a kraton, have a very strong, what is it, impolite but in the western the impolite is not too strong than in the eastern. We get hot season and the western have a cold season so is make the clothes and everything different and the western and the eastern have a very different habits may be in the western free sex is usually teenagers usually do that and it's not big problem for them and in the eastern we have big problem if we do that. I think that's all. 1.2. Balinese dance have the movement is more dynamic and then the Javanese is slow and may be Balinese may apa use the eyes more than Javanese like some stress the movement may be. Ok? 1.3. My province have a very big place. It is kraton . The culture is still strong until now. The other town I think the culture in other town I think not as strong as my province. My province have very much emh ceremony that Kraton held and then we still have the king

sultan and then I think .... is still strong the religion strong and then we have so many what is it emh kerajinan tangan like batik and then ukir-ukir that's all. 2. Sampel 4 2.1. I think emh western culture is more exotic I mean like the clothes. They more vulgar. I think western culture is more impolite, eastern culture is polite and about the art I think in eastern culture is more slow and classic, has more classic art. I think but eastern is more polite and has many art classic than western. 2.2. I think Javanese dance is more slowly, about the custom (costum?) is more beautiful like the textile and in Bali they use a glitter for their eyes but I think Bali is more beautiful because they use their eyes because like flower to dance and to dancing some dances. 2.3. Excuse me? Emh I think like Indonesia has, Yogya has Prambanan emh and Kasultanan Yogyakarta. It's very beautiful to see and like Sekaten there and other province there's no Sekaten because Sekaten is special for Yogya and about dance Yogya has many dances like Jago Menak and so on. That's enough. 3. Sampel 9 3.1.Yes like before, I think that western culture is very-very free and the south culture is . is very very have form of what is it very-very . too much what is it, yes like something to . and the western culture is have many many negatif thinking like free sex. Yes, it's so bad and the east culture is more fine that western culture. 3.2. Yes, the Balinese dance is very very fast and the Javanese dance is very slow and has more what is it, sorry has .. Javanese dance is more fine than Balinese dance because Javanese dance is more beautifully that Balinese dance. I think that's all. 3.3. Ok. My province is Yogyakarta has fine art, fine culture and friendly people and more tourist object. I think I think the tourist object of Yogyakarta is is is more fine that the other. That's the one of Yogyakarta. And Yogya has more predicate like emh kota pelajar, kota gudeg, etc. I think that's all. 3. Hasil Pembelajaran Pada Kemampuan Writing Pada minggu berikutnya yaitu tanggal 18 September 2002 diadakan tes writing bagi seluruh kelas baik untuk kelas yang telah melaksanakan metode simulasi tematis (2A, 2B, 2D) maupun yang tidak (2C,2E,2F). Untuk sampel di sini penulis mengambil kelas 2A dan 2C dengan pertimbangan kelas tersebut lebih dulu melakukan tes writing ini sehingga penulis koreksi lebih dahulu pula. Adapun norma untuk tes writing ini mengacu pada tulisan Harris yaitu meliputi Ortoghraphy, Grammar, Vocabulary, dan Comprehension (OGVC). Pertanyaannya juga sama seperti pertanyaan untuk tes speaking. Para siswa harus menulis di kertas yang sudah disediakan yang formatnya sudah penulis buat yakni yang biasa penulis pakai untuk peningkatan kemampuan writing siswa (Lihat LAMPIRAN XIV). Format tersebut mampu meningkatkan kemampuan writing siswa. Tahun lalu penulis gunakan juga untuk kelas 2 sebelum mereka menerima tugas penulisan Autobioghraphy. (Hasil proses ini sudah penulis tuliskan dalam artikel berjudul "Improving Writing Skill Through Power Point" yang sedang dalam proses publikasi di WWW.ACEN.OR.KR - WEBZINE .

Berikut hasil tes writing dari 2 kelas, 2A dengan simulasi, 2C tidak (Hasil selengkapnya lihat LAMPIRAN VI). Tabel 4 Nilai Writing Test Kelas Sampel Kelas Sampel Jml Siswa hadir Ortoghraphy Grammar Vocabulary Comprehension Total Rerata 2A 39 2.640 2.560 2.620 2.705 10.525 6,42 2C 40 2.580 2.325 2.445 2.480 9.830 5,85 4. Hasil Pembelajaran Pada Ranah Afeksi 4.1. Tanggapan Siswa Terhadap Metode Simulasi Tematis Melalui Angket. Dari 3 kelas atau 119 siswa yang menjadi sampel pelaksanaan simulasi tematis tersebut, yang kemudian diberi angket, tanggapan-tanggapan yang muncul adalah sebagai berikut: Ada 52 siswa (43,70%) yang mengerti sebagian saja pertanyaan/instruksi dari simulasi tersebut, 42 siswa (35,29%) merasa mengerti pertanyaan/instruksi simulasi tersebut dan tahu harus menjawab apa, 19 siswa (15,97%) merasa tidak mengerti sebagian kecil pertanyaan/instruksi tersebut, 4 siswa (3,36%) merasa tidak mengerti pertanyaan/instruksi tersebut dan tidak tahu harus menjawab apa, sisanya 2 siswa (0,84%) merasa tidak tertarik dengan pertanyaan/instruksi tersebut sehingga memilih diam saja. Adapun penilaian mereka terhadap simulasi ini dalam hubungannya dengan peningkatan kemampuan speaking mereka adalah sebanyak 63 siswa (52,94%) merasa cukup bermanfaat dan mereka termotivasi untuk berbicara Bahasa Inggris, 38 siswa (31,93%) merasa bermanfaat dan mampu membangkitkan motivasi mereka untuk berbicara dalam Bahasa Inggris, 12 siswa (10,08%) merasa kurang bermanfaat karena kurang memotivasi mereka untuk berbicara dalam Bahasa Inggris. Sisanya 6 siswa (5,04%) merasa tidak tahu bermanfaat atau tidak bagi mereka. Dalam hal confidence atau rasa percaya diri siswa ketika mendapat giliran pertanyaan/instruksi dari simulasi tersebut, 54 siswa (45,38%) merasa percaya diri meskipun harus meminta pertanyaan/instruksi dibacakan lagi oleh teman mereka, 39 siswa (32,77%) merasa percaya diri dan menjawab pertanyaan atau melakukan instruksi, 6 siswa (5,04%) merasa tidak percaya diri dan lebih baik menerima sangsi, 7 siswa (5,88%) tidak percaya diri karena tidak tahu harus menjawab/melakukan apa, 6 siswa (5,04%) merasa bingung, dan 4 siswa (3,36%) merasa nervous, sisanya 1 siswa (0,84%) tidak memberi jawaban. Simulasi tersebut menurut siswa ternyata mampu menambah kosa kata baru, hal ini diutarakan oleh 92 siswa (77,31%). Hanya 16 siswa (13,45%) saja yang merasa tidak ada penambahan kosa kata. Sedangkan sisanya 11 siswa (9,24%) merasa tidak tahu. Seberapa banyak penambahan kosa kata baru bagi mereka, 77 siswa (83,70%) menjawab antara 5 - 10 kata, 10 siswa (10,87%) antara 11 - 20 kata, 1 siswa (1,09%) mendapat 21 - 30 kata, 4 siswa (4,35%) menjawab ada yang kurang dari 5 kata, ada yang menjawab sedikit. Keenam belas siswa yang menjawab tidak ada penambahan kosa kata memberikan alasan bahwa kata-kata dalam simulasi tersebut sudah cukup mereka kenal yakni 9 siswa (56,25%), 6 siswa (37,5%) mengaku kata-kata simulasi sudah mereka ketahui, dan 1 orang (6,25%) mengatakan kata-kata dalam simulasi tersebut tidak berhubungan dengan kesenangannya. Dalam hubungannya dengan kemampuan speaking, ternyata ada 69 siswa (57,98%) merasa cukup yakin bahwa simulasi tersebut meningkatkan kemampuan speaking-nya, 7 siswa (5,88%) merasa yakin sekali simulasi tersebut meningkatkan kemampuan speaking, 41 siswa (34,45%) merasa

kurang yakin meningkatkan kemampuan speaking mereka, sisanya 2 siswa (1,68%) merasa tidak yakin simulasi tersebut meningkatkan kemampuan speaking-nya. Beragam bukti yang mereka ungkapkan mengapa mereka yakin sekali simulasi tematis tersebut mampu meningkatkan kemampuan speaking antara lain membuat berani/tidak grogi, mendorong untuk berusaha menjawab pertanyaan karena ada sangsi, ada penambahan kosa kata baru, sudah mulai berani bicara meski kosa kata yang digunakan salah, menambah percaya diri, dan tidak malu karena tidak ada yang mengejek. Siswa yang merasa cukup yakin memberikan bukti antara lain mereka menjadi berani meskipun sering salah yang penting berbicara dulu, menjadi tahu kosa kata baru, dapat memperbaiki struktur kalimat, menimbulkan rasa percaya diri, tidak nervous, dapat memahami ucapan teman, termotivasi untuk menjawab pertanyaan dalam Bahasa Inggris, dapat membiasakan diri berbicara Bahasa Inggris dengan orang lain, teman mulai mengerti ucapan mereka, ada keharusan berbicara dalam Bahasa Inggris, bisa berekspresi dalam Bahasa Inggris, dapat berbicara Bahasa Inggris secara leluasa, membuat berfikir untuk menjawab dalam Bahasa Inggris, lebih nyaman berbicara di depan teman, mulai terbiasa berbicara dalam Bahasa Inggris, menjadi mudah berbicara, membuat mulai berbicara dalam Bahasa Inggris, membuat mereka membuka kamus, bisa menjawab pertanyaan dengan lancar karena dibantu teman, dapat menjawab pertanyaan dengan senang hati, dapat mempraktekkan Bahasa Inggris, bicara Bahasa Inggris menjadi menyenangkan, kita dituntun untuk berbicara Bahasa Inggris, menambah wawasan, ada penambahan kosa kata baru, menumbuhkan minat untuk berbicara dalam Bahasa Inggris meskipun belum betul. Siswa yang merasa kurang yakin memberikan bukti antara lain: tidak mendapat kosa kata baru, tidak merasa kemampuan speaking bertambah, tidak bisa menjawab tetapi tidak ada teman yang membantu, hanya bicara kalimat singkat, kurang mampu memotivasi untuk speaking, kurang serius/bergurau, masih bingung/tidak mengerti pertanyaan, memilih menerima hukuman, teman-teman tidak memberi kesempatan menjawab lengkap, masih gagu, masih campur Bahasa Indonesia/Jawa, banyak kata-kata Indonesia yang Inggrisnya tidak tahu, masih dipengaruhi bertanya dalam Bahasa Indonesia/Jawa, tidak maksimal menyampaikan pendapat karena dibatasi waktu, lebih baik menerima sangsi, tidak serius, grammar dan struktur kalimat tidak dipedulikan, kebingungan menjawab karena sulit mengungkapkannya, belum bisa menyusun kata-kata dalam Bahasa Inggris, tidak ada kosa kata baru, sudah terlanjur diberi hukuman sebelum menjawab, kemampuan speaking kurang, ada kosa kata yang tidak tahu artinya, lebih memikirkan hukuman daripada jawaban, dan kurang mengerti pertanyaan. Yang merasa tidak yakin memberikan bukti antara lain waktu terlalu singkat, tidak ada waktu untuk mengingat kosa kata baru, kemampuan tidak bertambah karena tidak percaya diri. Sebagian besar siswa memberikan kesan positif terhadap metode simulasi tematis ini yakni 73 siswa (61,34%) menyatakan bahwa simulasi tersebut menarik, Bahasa Inggris menjadi menyenangkan/enak, mengesankan, bisa hiburan/refreshing, bagus, memotivasi, cukup baik, lumayan, melatih untuk percaya diri dan kekompakan, asyik, very great, seru, ramai, pertanyaan tidak monoton, suasana baru, tidak membosankan, tidak ngantuk, menambah wawasan bidang seni dan budaya, sangat menantang, suasana akrab, membangkitkan semangat, dapat berekspresi di depan umum,

menghilangkan kejenuhan, dan menimbulkan rasa gembira. Ada 30 siswa (25,21%) menyatakan bahwa simulasi tematis ini menarik dan menyenangkan tetapi kelas menjadi ramai, 4 siswa (3,36%) menyatakan biasa saja, 4 siswa juga menyatakan lucu. Sedangkan kesan negatif dinyatakan oleh 8 siswa (6,72%) bahwa simulasi ini memaksa siswa untuk melakukan sesuatu/kurang berkenan dihati, kurang bermanfaat, kurang berkesan, kurang ramai, hukuman terlalu mudah, kurang tertib, menyimpang dari sasaran, menjengkelkan, dan kurang bervariasi. . Adapun pandangan siswa tentang kelemahan/kerugian simulasi tersebut antara lain sebanyak 32 siswa (26,89%) menyatakan tidak ada, mungkin keasyikan dengan simulasi tersebut sehingga tidak menemukan titik titik lemahnya, 23 siswa (19,32%) melihat bahwa siswa terfokus pada permainan bukan pada belajar karena mereka sibuk memikirkan sangsi atau hukuman, 19 siswa (15,96%) menyatakan bahwa banyak waktu terbuang, 18 siswa (15,12%) menyatakan kelas jadi ramai sehingga suasana belajar tidak nyaman, 12 siswa (10,08%) menyatakan tidak efektif dan efisien karena banyak waktu bercanda, 10 siswa (8,40%) menyatakan program belajar kurang terencana, tidak banyak mengembangkan kemampuan dan tidak ada pengawasan. Sedangkan sisanya 5 siswa (4,20%) menyatakan tidak tahu, sulit dijalankan dan membosankan. Adapun saran-saran yang diajukan siswa untuk kebaikan simulasi tersebut antara lain permainan harap ditingkatkan sebanyak 47 siswa (39,49%), 26 siswa (21,84%) menyarankan agar lebih sering diadakan, sisanya memberikan saran yang bervariasi antara lain dibuat seperti monopoli, bahan diskusi diperluas, topik dibuat semenarik mungkin, tambah waktu, siswa harus memperhatikan yang dihukum, harus diawasi dan dilihat jika ada kosa kata yang tidak dimengerti harus dibantu, membuat anak aktif, kosa kata kurang banyak, selang seling dengan metode konvensional, topik harus mengena dengan dunia siswa (remaja), kelompok dicampur putra-putri, tidak ada kelompok, hukuman jangan kekanak-kanakan, banyak peran aktif melakukan pekerjaan, simulasi harus berguna, waktu game jangan terlalu lama, diadakan secara reguler, bobot soal ditingkatkan, organizer harus valid, jangan ada sangsi, mencakup semua tema, kelompok ditentukan guru, lebih diperbanyak, hukuman/sangsi tidak sama, permainan tebaktebakan, didampingi orang yang mampu berbahasa Inggris, berjenjang dari yang mudah ke yang sulit, diberi pengarahan, dibuat lebih menarik dengan komputer, dilakukan di ekstra kurikuler, tidak boleh kacau, diberi kesempatan untuk menjawab, menang dapat hadiah, dan harus lebih teratur. 4.2. Tanggapan Rekan Sejawat Terhadap Metode Simulasi Tematis Beragam komentar terhadap simulasi tematis ini khususnya ketika metode ini penulis bawakan pada forum pelatihan guru Bahasa Inggris yang diadakan oleh Kanwil Depdiknas dan Global Partners 3 tahun lalu. Banyak diantara mereka yang meminjam media tersebut untuk digunakan di kelas-kelas mereka. Seorang senior guru Bahasa Inggris yang aktif di bimbingan belajar Primagama juga meminjam media ini untuk digunakan dalam pelatihan instruktur Bahasa Inggris seluruh Indonesia. Seorang rekan, guru BP, yang meminjam VCD proses pembelajaran menggunakan metode simulasi

tematis ini berkomentar bahwa kemampuan speaking siswa tidak jelas nampak dalam VCD tersebut. 5. Hasil Pembelajaran Pada Penambahan Kosa Kata Berdasarkan hasil angket, ada 92 siswa (77,31%) siswa menyatakan adanya penambahan kosa kata yang bervariasi. Tetapi apakah kosa katanya yang berkaitan dengan tema yang disimulasikan atau juga termasuk kata-kata yang sederhana yang mereka tidak ketahui. Seperti penulis kemukakan dalam Bab I bahwa sering anak justeru mengerti kosa kata tentang Ekonomi, Politik, Astronomi tetapi malah tidak tahu kata-kata yang justeru berkaitan erat dengan dunia mereka misalnya membolos, ban sepeda bocor atau sejenis itu. Penulis menduga terjadi penambahan kosa kata umum baik yang berhubungan dengan tema Culture and Art ataupun tidak. Tetapi apabila penulis perhatikan hasil post test speaking ataupun writing test, penambahan kosa kata dalam tema tersebut cukup signifikan. BAB III ANALISIS HASIL PEMBELAJARAN Sebenarnya fungsi dan peran guru Bahasa Inggris yang dituntut masyarakat itu seperti apa? Hal tersebut tentu berkaitan dengan kemampuan siswa dalam masyarakat baik ketika masih sekolah maupun setelah lulus, terutama kemampuan komunikasi oral. Bukan hanya nilai rapot sebab nilai rapot belum menjamin siswa tersebut mampu. Memang dilematis bagi guru yang mengajar siswa yang input NEM masuknya sudah baik. Apabila kita beri nilai jelek, dan memang kenyataannya siswa tersebut tidak mendapatkan hasil yang baik meskipun sudah dites perbaikan, salah-salah dikira kita tidak bisa mengajar. Akhirnya sering muncul istilah 'ngaji' kependekan dari ngarang biji sewaktu pengumpulan nilai rapot. Apakah para siswa memiliki kemampuan sesuai harapan orang tua mereka? Seorang pendidik dari Australia, Ian Briggs, dalam sebuah seminar "Towards More Innovative and Communicative English Language Teaching" mengatakan bahwa banyak lulusan SLTA tak mampu berbahasa Inggris dengan baik kendati sudah mempelajarinya selama 6 tahun di sekolah formal, kesalahannya bukan pada materi pelajaran tapi karena guru kurang aktif menciptakan strategi pengajaran yang dapat memotivasi siswa. Padahal motivasi berperan penting dalam mempelajari Bahasa Inggris. A. Metode Simulasi Tematis Dengan Kemampuan Pemahaman Siswa Apabila diperhatikan tabel 1 di muka, maka perbandingan nilai pre-test dengan post test diprosentasekan sbb: Tabel 5 Perubahan Pemahaman Siswa Kelas Prosentase Pre-Test Prosentase Post Test Keterangan 2A 32,88% 33,03% Naik 0,15% 2B 34,33% 34,41% Naik 0,08% 2D 32,79% 32,56% Turun 0,23%

Dari tabel tersebut terjadi perubahan pemahaman siswa yakni 2 kelas mengalami kenaikan dan 1 kelas mengalami penurunan. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi pada nilai rata-rata tetapi juga pada skor sebagian siswa yang dalam pre-test menjawab A (jawaban yang benar) setelah simulasi menjawab B (salah). Berarti proses simulasi tersebut telah memberikan perubahan pada visi siswa, merubah daya resepsi/tanggapan yang terdahulu dimiliki siswa, meskipun dari sudut kebenaran jawabannya pilihan kedua (second choice) tersebut salah. Jadi secara implisit simulasi tematis telah merubah daya resepsi siswa. Untuk kelas 2D meskipun prosentasenya mengalami penurunan tetapi persebaran nilainya relatif lebih mendekati rata-rata. Hal itu bisa dilihat pada LAMPIRAN V nilai terendah 4 menjadi hanya 1 yang pada pre-test ada 2. Perlu diketahui bahwa para siswa SMU 8 Yogyakarta sudah terbiasa menghadapi tes-tes seperti itu. Kelas 2 dan 3 harus masuk pukul 6.30 pagi guna mengikuti tes pendalaman materi selama 45 menit termasuk Bahasa Inggris. Materi soalnya mengacu pada materi UAN dan SPMB, sehingga mendapatkan tes sesulit apapun mereka tidak terkejut. B. Metode Simulasi Tematis Dengan Kemampuan Speaking Siswa Seorang dosen Akaba 17 Semarang, Suwandi, mengatakan bahwa siswa yang pasif dapat dibantu dengan menggunakan metode diskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Strategi tersebut perlu dilakukan terutama di kelas yang berisi lebih dari 30 siswa karena dalam kondisi semacam itu guru tidak cukup waktu melatih percakapan setiap siswa. Dengan diskusi kecil, guru dapat mudah mengetahui siswa mana yang aktif berbicara. Jika setiap kelompok memiliki seorang pembicara aktif, ia tentu akan mengajak anggota yang lain untuk aktif dalam percakapan. Pengelompokan merupakan cara yang efektif, dengan memilih organizer yang dianggap lebih mampu dari yang lain dalam kelompoknya akan mendorong mereka untuk berbicara dalam Bahasa Inggris. Praktek kelompok ini disarankan untuk dilakukan secara simultan, dan mengenai kelemahannya sebelumnya sudah diprediksikan bahwa suasana kelas akan ramai (Tillit and Mary Newton Bruder, 1985:ix). Di pundak pengatur itulah kesuksesan simulasi tersebut sebenarnya terletak. Metode simulasi yang penulis praktekkan nampaknya sesuai dengan anjuran dosen tersebut. Ada keraguan pada diri penulis untuk mengadakan tes speaking Apakah hasilnya subjektif atau objektif? Oleh karena itu penulis berdiskusi dahulu dengan para senior dan menyediakan alat perekam agar hasil tes tersebut bisa dituliskan sehingga ada pembanding. Untuk kepentingan penulisan makalah ini, penulis juga mencoba mentransfernya ke CD sehingga pihak lain dapat memberikan penilaian pula. Sedangkan untuk norma penilaian, penulis menggunakan Princeton Evaluation yang lebih lengkap. Adapun perkembangan kemampuan speaking siswa sebelum simulasi tematis dapat diprosentasekan sebagai berikut: Tabel 6 Prosentase Kemampuan Speaking Siswa Pra Simulasi Pronunciation and Accent Grammar Vocabulary Fluency Comprehension 19,76% 19,97% 20,15% 20,15% 19,97%

Sedangkan prosentase kemampuan speaking siswa setelah simulasi adalah sebagai berikut: Tabel 7 Prosentase Kemampuan Speaking Siswa Pasca Simulasi Pronunciation and Accent Grammar Vocabulary Fluency Comprehension 18,76% 20,36% 21,41% 18,22% 21,25% Peningkatan kemampuan speaking siswa terjadi pada vocabulary, grammar dan comprehension, sedangkan kemampuan pronunciation and accent dan fluency mengalami penurunan. Hal ini masuk akal karena mana mungkin pengucapan dan aksen dan kefasihan seseorang dapat berubah dalam waktu cepat hanya karena simulasi? Meskipun kemungkinan tersebut tetap ada. Penurunan tersebut juga diakibatkan semakin banyaknya kosa kata yang mereka dapatkan yang pengucapannya belum sempurna sehingga nilai untuk bidang tersebut turun. Yang menarik adalah bahwa metode simulasi tematis ini mampu menghilangkan rasa nervous dan justru membangkitkan rasa percaya diri bagi siswa yang rendah rasa percaya dirinya. Keterampilan berbicara memang secara teoritis langsung, produktif dan ekspresif yang apabila itu dirangsang oleh seorang guru, bagi siswa tertentu mungkin malah sebagai penghambat kelancarannya berbicara. Lain halnya apabila stimuli itu diberikan oleh teman sebaya dengan demikian mereka juga mengembangkan listening yang sifatnya juga langsung, apresiatif, reseptif dan fisikal. Namun tidak serta merta stimuli teman itu menghilangkan rasa nervous, perlu bantuan alat peraga. Berbicara dengan bantuan alat peraga diyakini akan menghasilkan penangkapan informasi yang lebih baik pada pihak penyimak (Tarigan, 1985:5). Apabila kita perhatikan naskah pre dan post speaking maka akan nampak kejanggalankejanggalan. Masalahnya adalah terdapat perbedaan antara komunikasi lisan dan komunikasi tulis. Tarigan mengatakan bahwa ekspresi lisan cenderung ke arah kurang berstruktur, lebih sering berubah-ubah, tidak tetap, dan biasanya lebih kacau serta membingungkan. Namun begitu berbicara dan menulis erat hubungannya, keduanya merupakan cara untuk mengekspresikan makna atau arti (Ibid.:6-8). C. Metode Simulasi Tematis Dengan Kemampuan Writing Siswa Dalam kemampuan menulis siswa, terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara kelas yang mendapatkan simulasi tematis dengan kelas yang tidak. Dari 2 sampel kelas, dapat penulis kemukakan bahwa untuk kelas 2 A yang menggunakan metode simulasi tematis prosentase nilanya adalah 52,32% sedangkan untuk kelas 2 C yang tidak menggunakan metode simulasi tematis prosentase nilainya adalah 47,68%. Ini berarti terjadi perbedaan 4,64%. Dalam hal pengungkapan ide atau gagasan, siswa yang mendapatkan simulasi tematis cenderung menjawab lebih baik daripada yang tidak dan langsung pada permasalahan,

tidak berlebih-lebihan atau memutar-mutar, sedangkan yang tidak mendapatkan simulasi cenderung sebaliknya. D. Metode Simulasi Dengan Perubahan Sikap Seperti yang dikatakan Ian Briggs di muka, memang motivasi memegang peranan penting dalam belajar Bahasa Inggris. Motivasi tentu tidak muncul begitu saja pada diri siswa, perlu ada stimulus atau perlu dimunculkan. Barangkali untuk Bahasa Inggris lebih mudah membangkitkan motivasi siswa, karena penulis yakin, sebagian besar siswa tahu bahwa Bahasa Inggris itu penting sehubungan dengan tuntutan dunia global. Sehubungan dengan itu pula, siswa juga tidak akan mempertanyakan Apa Manfaatnya Bagiku (AMBAK) belajar Bahasa Inggris. Hanya jika penulis perhatikan ketika mereka harus bicara yang muluk-muluk, yang jauh dari dunia keseharian, mereka merasa nilai manfaatnya berkurang. Oleh karena itu, pemilihan sub-tema yang cocok amatlah penting. Penulis pernah mengembangkan tema Culture and Art dengan sub-tema free sex justru karena siswa memintanya. Kebetulan waktu itu penulis sedang mengaitkan pembelajaran Bahasa Inggris dengan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan siswa, maka dengan merespon keinginan mereka tersebut muncullah proses penulisan dan pendiskusian makalah berbahasa Inggris sub-tema seks bebas oleh kelas 2 angkatan 2001/2002 SMU 8 Yogyakarta. Dengan metode tersebut ada 3 hal yang diperoleh yakni pertama, adanya peningkatan kemampuan Bahasa Inggris baik dalam speaking maupun writing, kedua, munculnya kesadaran dan filter terhadap seks bebas, dan ketiga, adanya peningkatan imtaq berupa kehendak untuk menjauhi seks bebas (Somantri, 2002:16-21). Disamping motivasi adalah mood, suasana hati. Kelas 2 SMU menurut penulis, umumnya sedang ada dalam puncak hormon. Hal-hal yang menganggu suasana hati mereka seperti putus pacar, rebutan pacar dan sejenis itu lainnya sangat mempengaruhi resepsi/tanggapan mereka terhadap semua mata pelajaran, termasuk Bahasa Inggris. Seorang guru perlu menyikapi hal tersebut misalnya dengan mengembangkan metode. Sebenarnya mood dan motivasi adalah urusan intern siswa, merekalah yang harus menata mood dan menjaga agar motivasinya tetap kuat untuk belajar sesuatu, tetapi kenyataannya tidak begitu. Justru banyak sikap dan metode guru yang menghilangkan mood dan motivasi siswa dan banyak pula guru yang dengan metode yang baik justru membangkitkan mood dan motivasi siswa . Metode simulasi yang penulis kembangkan sangat memungkinkan untuk membangkitkan mood dan motivasi siswa. Untuk itu lihat kembali Bab II tentang tanggapan siswa. Bahkan penulis pernah menemukan dalam catatan kartu kendali simulasi, kelompok yang menulis 'We think this day is a bad day, but we very very very happy and enjoy it,' dan 'less variation, not so cool but make the class alive'. Disamping itu, para siswa belajar keterampilan emosional. Mereka berlatih untuk menahan diri, untuk tidak asal menghukum, belajar sabar mendengarkan pendapat orang lain, tidak gampang menyalahkan orang lain dan bekerjasama dengan orang lain untuk meningkatkan kemampuan berbahasa. Hal tersebut sangat mendukung mereka mengembangkan kecerdasan emosional yang juga penting selain kecerdasan kognitif (Goleman, 2000:397-406).

E. Metode Simulasi Tematis Dengan Penambahan Kosa Kata Kosa kata memegang pernan penting dalam komunikasi, lebih-lebih secara oral. Bagi penulis, yang penting para siswa mampu menggunakan kosa kata yang sudah mereka miliki, sebab jangankan menambah, mempertahankan yang sudah siswa ketahui saja kadang-kadang sulit, maka aplikasi kemampuan kosa kata itulah yang penting. Oleh karena itu, dalam simulasi tematis ini, penulis mencoba menyusun pertanyaan/instruksi didasarkan pada 3 prinsip yakni frekuensi, rata-rata dan pilihan. Diyakini bahwa semakin banyak kosa kata yang dimiliki siswa maka semakin mudah pula mereka mengembangkan empat kemampuan berbahasa, tetapi kosa kata apa yang penting bagi siswa? Dari hasil angket ternyata para siswa mendapatkan penambahan kosa kata, tetapi seperti dugaan penulis, kosa kata yang didapatkan para siswa kemungkinan kosa kata umum, baik yang berkaitan dengan tema Culture and Art maupun kosa kata sehari-hari. Diyakini pula bahwa dengan bertambahnya kosa kata siswa akan menambah baik pula kefasihan berbicara dan menulis. Dan hal tersebut terbukti dalam hasil tes speaking maupun writing bahwa kosa kata siswa sampel dan kelas sampel cenderung mengalami peningkatan. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Muatan kurikulum Bahasa Inggris yang terlalu padat, membahas banyak tema yang belum tentu dianggap para siswa bermanfaat dalam kehidupan mereka, dengan tidak dibarengi metode pembelajaran yang menyenangkan, membuat suasana pembelajaran atau suasana kelas dalam pandangan para siswa membosankan. Hal tersebut mengakibatkan tidak adanya apresiasi siswa terhadap pelajaran Bahasa Inggris yang ujung-ujungnya kemampuan berbahasa Inggris tidak sebanding dengan jumlah anggaran yang dikeluarkan negara dan kerja keras para guru Bahasa Inggris maupun siswa itu sendiri. Oleh karena itu perlu dicari solusinya. Salah satu solusi adalah melalui penerapan metode pembelajaran. Metode simulasi tematis disamping mampu membuat suasana kelas hidup dan menyenangkan, juga mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan berbahasa Inggris siswa yang cenderung lebih baik dalam bentuk pemahaman terhadap tema tertentu maupun dalam kemampuan speaking dan writing. Meskipun begitu ada pula kelemahan metode ini. Pertama, membuat kelas menjadi ramai sehingga kadang-kadang sulit membedakan apakah keramaian itu memberikan suatu proses pembelajaran atau tidak. Kedua, tidak bisa dipakai berulang-ulang secara terus menerus. Artinya, mungkin dalam satu tahun pelajaran hanya 4 - 5 kali penggunaan dalam kelas yang sama. Ketiga, memerlukan pengawasan yang lebih daripada proses pembelajaran biasa karena dalam situasi yang demikian ramai, para siswa sering lupa untuk terus menggunakan Bahasa Inggris dalam simulasi tersebut.

Adapun keuntungannya, metode ini fleksibel, dapat digunakan untuk semua tema dan dapat dimulai dari tingkat kemampuan siswa yang sudah memiliki kemampuan komunikasi dasar. Menurut Endang Adi, metode pembelajaran Bahasa Inggris melalui simulasi ini sifatnya nor formal sehingga penentuan materi pembelajaran bisa bersifat longgar, tanpa harus mengacu pada kurikulum yang berlaku. (Adi, 2002:37). Penulis mencoba menyatukannya dengan kurikulum dan menyesuaikan dengan kemampuan siswa kelas 2 SMU. Kedua, mendorong siswa untuk secara otomatis berbicara Bahasa Inggris karena menuntut kelompok untuk membangun suasana pembelajaran Bahasa Inggris. B. Saran-saran 1. Kurikulum Bahasa Inggris perlu dikaji ulang dengan mengedepankan pendekatan kepada siswa dilihat dari sudut psikologis, usia. Klien guru adalah para siswa. Sekolah yang dianggap mampu diberi kebebasan untuk menentukan standar kurikulum sendiri sehingga para guru di lapanganlah yang lebih tahu permasalahan atau kondisi para sisiwa yang dihadapinya. 2. Meskipun sering gaji yang rendah sebagai alasan utama, guru dituntut untuk selalu mengingat sumpah jabatan. Jika menjadi guru sudah menjadi pilihan hidup, maka mau tidak mau guru harus profesional yang salah satu indikasinya selalu mengembangkan metode. Yang dihadapi adalah para siswa, maha karya Tuhan yang luar biasa sekaligus merupakan 'future decision makers' atau dalam bahasa Kahlil Gibran sebagai anak panah yang melesat ke masa depan. Oleh karena itu guru hukumnya wajib mempersiapkan mereka dan memberikan yang terbaik pada mereka. 3. Para siswa sendiri harus membantu para guru untuk kreatif. 4. Sekolah harus membantu guru dan siswa untuk kreatif misalnya dengan menyediakan sarana prasarana yang mendukung untuk proses pembelajaran khususnya pembelajaran Bahasa Inggris. 5. Pihak penerbit selayaknya tidak saja berorientasi pada keuntungan akan tetapi terus mengembangkan dan menerbitkan buku-buku pegangan yang bermutu yang memang berkorelasi positif dengan kemampuan berbahasa Inggris siswa.

Você também pode gostar