Você está na página 1de 7

Kebebasan HAM yang Berlebihan

HAM singkatan dari Hak Asasi Manusia mempunyai pengertian yaitu hak-hak dimilki setiap manusia sejak manusia itu dilahirkan di dunia. Dalam sejerahnya HAM dimulai pada tahun 1948. Yaitu Piagam PBB berisi 30 Pasal. Pasal 1 Pigam PBB, yaitu all human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood. (Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan). Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negaranegara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya. Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan. Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua. Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih

faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan. Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain. Menkominfo Tifatul Sembiring, rupanya masih mencari celah untuk tetap mengegolkan RPM Konten Multimedia yang sempat ditolak oleh berbagai elemen masyarakat. (sumber: http://politikana.com/baca/2010/03/12/kebebasan-berekspresi-di-indonesia), sebagaimana Menkominfo Tifatul Sembiring, mengatakan Bahkan banyak juga yang berlebihan kebebasannya, ujar Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring usai menghadiri pentas kebudayaan Malaysia di gedung dewan Pusat perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, Kamis (11/3/2010) malam. (sumber :

http://techno.okezone.com/read/2010/03/12/54/311828/menkominfo-kebebasan-di-indonesiaberlebihan)berlebihan.html Kita mengamini, bahwasanya kebebasan berekspresi dalam bentuk tulisan bisa dibatasi oleh Negara, sebagaimana diatur oleh Kovenan Hak Sipil dan Politik, khususnya Pasal 19 dan 20.

Namun demikian, pembatasan tersebut tidak boleh bersifat arbitrer dan memiliki berbagai prasyarat. Namun demikian, pembatasan terhadap produk kebebasan berekspresi hanya diperbolehkan bila karya tersebut mempropagandakan kekerasan atau permusuhan yang mengarah pada upaya perang, atau yang berbasis kebencian ras, etnik, kebangsaan, agama, atau sikap xenophobia. Pembatasan serupa juga diperbolehkan atas dasar melindungi hak orang lain, keamanan nasional dan publik, kesehatan, dan moralitas publik berdasarkan prinsip yang demokratis. Pasal 19 dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia sebenarnya mengandung dua sisi dari kebebasan dasar manusia. Sisi pertama adalah kebebasan dasar manusia untuk bebas menyatakan pendapat, mengungkapkan ekspresi baik secara tertulis ataupun secara lisan. Termasuk di dalamnya adalah kebebasan untuk menyebarluaskan pendapat/informasi. Kebebasan ini memberikan jaminan bahwa manusia yang hidup di dalam negara yang menghormati dan menghargai hak asasi manusia harus diberi kebebasan untuk melakukan hal itu. Kebebasan Berekspresi Bukan Merupakan Hak Yang Mutlak Meskipun kita tahu, bahwa kebebasan berekspresi (freedom of exspression) adalah hak yang tidak mutlak, tidak setara dengan hak asasi manusia yang lain seperti hak hidup (right to life), hak memilih agama, hak bebas dari penyiksaan (freedom of torture), dan lain-lain, namun dimana dalam pemenuhan hak tersebut tidak boleh ada pengurangan oleh negara meskipun dengan alasan kondisi perang sekalipun karena hak-hak tersebut bersifat absolut atau nonderogateable rights. Kebebasan berekspresi tergolong ke dalam derogate-able right, yang artinya hak yang dapat dikurang-kurangi. Dalam hal ini negara, dengan kekuasaannya, yang dapat mengurangi pemenuhan atas hak tersebut. Meski demikian, secara umum dalam konvensi Internasional tersebut tetap mensyaratkan, bahwa adanya pembatasan atas kebebasan berekspresi ini harus memenuhi beberapa syarat, pertama, harus diatur di dalam suatu perundang-undangan, atau memiliki tujuan yang

berdasarkan hukum yang berlaku misalnya untuk menghormati hak orang lain. Kedua, Melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum, atau melindungai moral dan kesehatan masyarakat; serta ketiga, memenuhi standard kepentingan yang layak (a high standard of necessity). Oleh karena itu, dalam hal ini, negara memiliki alasan untuk mengurangi kebebasan berekspresi dari warganya, dan sejauh mana pembatasan itu dilakukan harus dituangkan ke dalam UU yang legitimate. Dengan demikian jika pada penerapan nantinya, ada suatu

indikasi yang mengarah pada tindakan pembatasan oleh negara di luar dari aturan Undangundang, maka masyarakat justru memiliki hak untuk menggugat negara. Psiko-sosial Secara psikologis, pengendalian dan pengekangan yang terlalu kuat terhadap individu dalam sebuah masyarakat akan membawa individu-individunya kepada kemacetan dan kemunduran. Melemahnya daya produksi dan kreasi, melemahnya kehendak untuk memberi pengaruh terhadap dunia, serta rendahnya kemandirian individu menjadikan individu sebagai makhluk yang pasif, kehilangan daya gerak dan hasrat untuk berkembang. Individu-individu dalam masyarakat itu hanya menunggu untuk diarahkan dan digerakkan seperti robot, tak punya aspirasi dan ambisi untuk memajukan diri dan lingkungannya, kehilangan vitalitas dan spiritualitas yang merupakan daya penggerak peradaban dan kebudayaan. Sejalan dengan pandangan banyak ahli psikologi, pengekangan dan pengendalian individu yang terlalu ketat lewat undang-undang dan peraturan negara yang mengurusi perilaku perorangan sampai ke ruang privat serta penyeragaman di ruang publik punya rekor buruk dalam peradaban manusia. Sejarah menunjukkan, kemajuan selalu disertai dengan kebebasan dan keleluasaan individu untuk berpikir dan mengekspresikan pikirannya. Contohnya, masyarakat Yunani Kuno yang dicirikan oleh kebebasan dan keluasaan bagi warganya untuk berpikir dan mengekspresikan diri melahirkan filsafat yang menjadi dasar dari pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban modern. Sedangkan masyarakat Eropa di Abad Pertengahan yang sangat mengekang kebebasan berpikir dan berekspresi individu menghasilkan masamasa kegelapan, kemandegan dan dekadensi di segala bidang kehidupan. Di tempat lain, masyarakat Islam Abad Pertengahan yang memberi kesempatan kepada individu untuk berpikir dan berekspresi menunjukkan perkembangan masyarakat dan kemajuan peradaban pesat. Kebebasan berpikir, kebebasan mengeksplorasi diri dan lingkungan, kebebasan memperoleh informasi, serta kebebasan berekspresi berperan penting dalam pembentukan diri dan perkembangan kepribadian yang kuat dan sehat. Sejak masa awal kehidupan ada kecenderungan pada manusia untuk mengeksplorasi diri dan lingkungannya. Tindakantindakan anak balita bukan hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dalam rangka meredakan ketegangan, melainkan juga dalam rangka eksplorasi dan penguasaan lingkungan. Motif yang menggerakkannya bukan keinginan untuk memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit, melainkan persepsi bahwa dunia merupakan tempat yang menarik. Rasa ingin tahu merupakan bawaan manusia sejak lahir yang didasari oleh struktur kognitif yang dimilikinya. Dunia menarik dengan segala gerak-gerik dan warna-warninya.

Dunia merangsang pikiran dengan segala misterinya. Dunia menggugah harapan dengan segala potensinya. Daya tarik gerak-gerik dan warna-warni dunia, misteri dan potensi yang dikandungnya berkesesuaian dengan struktur mental manusia yang mengandung motif-motif mengembangkan diri, memahami dan mengeksplorasi dunia, serta potensi-potensi dinamis yang menggeliat terus untuk diaktualisasi. Pertemuan antara manusia individual dan dunia secara terus-menerus menghasilkan kualitas transendensi-diri, daya untuk terus-menerus melampaui diri dan melampaui apa yang ada kini dan di sini. Pertemuan manusia dan lingkungan, terutama lingkungan sosial, merupakan syarat niscaya bagi perkembangan diri setiap manusia. Lingkungan jadi menarik untuk dieksplorasi dan dikembangkan karena manusia melakukan proses pemaknaan dengan perasaan, kehendak dan pikirannya. Fasilitasi penggunaan tiga unsur mental manusia itu menghasilkan motivasi kuat untuk terus-menerus memahami dan mengembangkan dunia. Sebaliknya, penghambatan terhadap ketiganya memupuskan daya tarik dunia, memunculkan kebosanan dan kejenuhan menjalani hidup, menghentikan pemahaman dan pengembangan dunia. Dunia Informasi Dunia pers yang akrab dengan informasi menyandarkan diri kepada sisi pertama pasal 19 dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia untuk menyiarkan berita, problema, masalah atau isu-isu lain atas nama kebebasan pers. Baik sebagai individu (wartawan) ataupun sebagai sebuah kelompok (perusahaan pers), mereka menganggap bahwa pasal tersebut melindungi mereka untuk bisa menuliskan sesuatu di dalam media yang mereka miliki. Jika kemudian ada orang lain yang tidak setuju kepada tulisan atau pendapat yang diungkapkan di media tersebut maka mekanisme hak jawab menjadi sarana pertama yang bisa mereka berikan. Mekanisme hak jawab ini sebenarnya juga disandarkan kepada kebebasan menyatakan pendapat di mana pers memberikan kesempatan kepada mereka yang berbeda pendapat untuk secara bebas menyatakan pendapat mereka. Pada tahapan seperti inilah maka pers telah menggunakan kebebasan berekspresi dan sekaligus memberikan ruang kepada pihak lain juga untuk bebas menyatakan pendapatnya. Bentuk lain adalah kebebasan menyatakan pendapat yang bisa diakumulasikan ke dalam sebuah kelompok. Demonstrasi kemudian menjadi salah satu bentuk bagi terlaksananya sisi pertama dari apa yang dituliskan daslam Pasal 19 tersebut secara kelompok. Beberapa pengaturan terhadap bentuk kebebasan berekspresi secara berkelompok ini seharusnya merupakan bentuk penjaminan atas hak ini dan bukan merupakan upaya pembatasan. Penyampaian petisi sebenarnya merupakan salah satu bentuk lain dari kebebasan

berpendapat secara kelompok. Indonesia pun mengalami bagaimana kelompok Petisi 50 menjadi kelompok yang "ditakuti" dan dicoba dibungkam pada zaman Orba. Namun, kegiatan berpetisi ini tampaknya sekarang semakin tidak diminati. Padahal hampir semua LSM internasional yang memperjuangkan hak asasi manusia masih memakai sarana ini sebagai salah satu bentuk aksi mereka. Dengan jaminan bagi individu maupun kelompok untuk bisa berekpresi dan menyatakan pendapat inilah maka informasi bisa dapat disampaikan dan diterima dari dan oleh masyarakat. Meredam kebebasan seseorang untuk menyatakan pendapat dapat ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap hak dasar yang dimiliki manusia tersebut. Itulah sebabnya dunia pers yang dianggap sebagai pilar keempat dalam pemerintahan yang demokratis memberikan hak jawab. Melakukan ancaman pemidanaan terhadap penyampaian pendapat yang berbeda dengan pihak yang berkuasa hanya dapat dipahami di dalam system pemerintahan yang otoriter dan dipimpin oleh seorang tiran. Untuk sisi yang pertama ini Indonesia sudah banyak mengeluarkan peraturan-peraturan antara lain UU Pers, UU Penyiaran dan UU Unjuk Rasa. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ditemukan di dalam proses pembuatan maupun pelaksanaan hukum positif tersebut, setidak-tidaknya dicantumkan beberapa kebebasan dasar secara normatif. Sisi yang kedua dalam Pasal 19 tersebut seringkali disebut sebagai inti dari kebebasan informasi itu sendiri yaitu hak untuk tahu (the right to know). Dalam paragrap kedua disebutkan, masyarakat memiliki hak untuk tahu terhadap keputusan-keputusan penting yang menyangkut hidupnya. Harus diakui misi ini cukup terlambat diperhatikan dibandingkan dengan sisi yang pertama tadi. Amerika Serikat sebagai Negara yang dianggap kampiun dalam berdemokrasi baru memikirkan sisi kedua ini dari perspektif hukum positif pada tahun 1966 yang kemudian direvisi pada tahun 1982 melalui Freedom of Information Act dan kemudian disusul dengan The Government in the Sunshine Act tahun 1982 Hak untuk tahu merupakan tuntutan yang mulai dipertimbangkan secara serius setelah pemerintahan semakin banyak memakai mekanisme partisipatif bagi keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Oleh karena itu, hak untuk tahu dapat dipakai sebagai upaya untuk menimbulkan kewajiban bagi pihak lainnya untuk memberitahukan. Jika sisi pertama dari kebebasan informasi adalah hak untuk menyatakan pendapat maka sisi kedua darinya adalah kewajiban untuk memberikan pendapat (memberikan keterangan yang cukup). Jaminan terhadap akses akan informasi ini haruslah dituangkan secara tegas dan mudah dipahami oleh masyarakat kebanyakan. Termasuk di dalam pengertian mudah dipahami adalah penciptaan mekanisme yang tidak berbelit-belit bagi anggota masyarakat

yang ingin mendapatkan informasi tertentu yang sangat berkaitan dengan dirinya. Sebagai konsekuensinya, lembaga publik seperti pemerintah seperti berada di bawah sorotan matahari yang bersinar dengan terang. Itulah sebabnya mengapa di Amerika jaminan hukum positif atas hal ini disebut sebagai The Government in the Sunshine (Pemerintahan dalam Terang Sekalipun masih banyak lagi segi-segi yang harus dicermati dari kebebasan informasi namun dua sisi dari apa yang tertuang dalam Pasal 19 tersebut cukup membuat kehidupan demokratisasi menjadi lebih baik

Você também pode gostar