Você está na página 1de 17

Sejauhmana Kebijakan Desentralisasi Berdampak pada Pemenuhan Hak Perempuan BerKB?

Atashendartini Habsjah, MA (Wakil Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)


Makassar, 29 November 2011

Mandat ICPD ttg Desentralisasi

Program Aksi ICPD (Kairo 1994) menganjurkan desentralisasi fungsifungsi pemerintah, agar tercipta lingkungan yang kondusif bagi pembangunan sekaligus mempromosikan perlunya peningkatan partisipasi masyarakat yang jauh lebih besar dalam kegiatan pelayanan kesehatan reproduksi. Pihak-pihak yang mendukung anjuran itu mengatakan bahwa adanya desentralisasi fungsi-fungsi pemerintah maka kemampuan sistem kesehatan dalam merespon kebutuhan penduduk setempat akan meningkat dan dengan demikian memperbaiki kinerja sistem kesehatan secara keseluruhan. Sudah saatnya, lima belas tahun setelah ICPD (Kairo, 1994), kelompok perempuan mengkaji ulang dampak desentralisasi terhadap hak dan akses perempuan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi. Presentasi ini khusus akan mengkaji kasus desentralisasi keluarga berencana di Indonesia.

Desentralisasi
UU No 32/2004 ttg Pemerintah Daerah yg kemudian diubah dgn UU No.12/2008 menyatakan bidang kes.pengelolaan & penyelenggaraan sepenuhnya wewenang Pemda. Peraturan Pemerintah No.38/2007 ttg pembagian urusan antara Pusat, Pemerintah, Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota.

Lokasi Studi dan Metodologi


Kabupaten Bogor: 5 desa dari 10 desa di Kecamatan Dramaga Kabupaten terpadat di Jawa Barat: 4.316.236 jiwa (2007) Survei: 500 pasangan usia subur (random) Focus Group Discussion: 5 kelompok Key Informant In-depth Interview: pejabat di birokrasi In-depth Interview: tenaga kesehatan (swasta dan publik) In-depth Interview: PLKB, Kader Posyandu dan Klien KB Observasi: Puskesmas, Posyandu, Klinik Bidan/Dokter, Kampanye KB

TUJUAN PENELITIAN
Umum: Sejauhmana proses desentralisasi (2004-2008) berdampak pada pemenuhan kebutuhan kontrasepsi serta peningkatan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi di Kabupaten Bogor

PERTANYAAN PENELITIAN (RESEARCH QUESTIONS)


-

Apakah proses desentralisasi di Kabupaten Bogor menjadikan sistem pelayanan kesehatan setempat lebih responsif terhadap pemenuhan kebutuhan jenis-jenis kontrasepsi yg diinginkan oleh setiap perempuan maupun laki-laki (responsive to local needs and gender sensitive); Sejauhmana proses privatisasi pelayanan yg sudah berlangsung sejak awal 1990-an (termasuk KB Mandiri) ikut bertanggungjawab dalam melemahkan atau menunjang upaya peningkatan kualitas pelayanan publik di bidang kesehatan, termasuk pogram keluarga berencana; Sejauhmana lintas program dan lintas sektor berkoordinasi dalam penyelenggaraan program keluarga berencana (khususnya program outreach) serta apa saja peluang yang dapat melegitimasi pentingnya program keluarga untuk diprioritaskan, khususnya bagi perempuan miskin.

Advantages and Disadvantages of Decentralisation


Advantages Capacity to improve efficiency and quality of care. Under certain conditions, it can obtain greater equity. Increase responsiveness of the health system to local needs. Develop service delivery innovation and local adaption of service. Improve inter-sectoral coordination. Matching health services closely to local needs and preferences would increase allocative efficiency and improve quality of services from the users perspective. Fewer levels of bureaucracy, greater knowledge of local needs and greater accountability may increase technical efficiency. Disadvantages Local levels of government may not necessarily support national priorities, making the implementation of national policies and delivery of public goods difficult. Existing shortages of skilled staff may be exacerbated following decentralisation because the same pool of skills has to be spread thinly across decentralised units. Human resources are generally scarce in developing countries and this fact reduces the effectiveness of the reform process. Lack of a global strategy and poor coordination at local level may negatively affect resource gaps between jurisdictions.

HASIL SURVEI
Umur Pertama Menikah: Median 19 tahun (namun banyak yg menikah di bawah 18 tahun) Remaja berstatus Menikah & Memiliki Anak: 35% Pengetahuan ttg Kes.Repr. dari remaja yg menikah: rendah Penolong Kelahiran oleh Bidan: 51%, Dukun: 38,0% Jumlah anak: 3-4 anak = 35,6%; 5-6 anak = 11,4%; di atas 7 anak = 2,8% Aborsi spontan: 9% Bayi lahir mati: 9,8% Kehamilan ke-3, ke-4 dan ke-5 berakhir dgn bayi lahir mati cukup tinggi

Tipe Kontrasepsi di 5 Desa Studi Kasus


Tipe Kontrasepsi
Pur Pil Suntik (3 bulan) IUD Implan MOW/MOP 721 1369 87 130 52/34 Pet 821 1369 87 130 52/34

Desa
Suk 381 841 128 36 15 4 128 Bbk 121 Cik

Total

1927 3828 303 296 187

Suplai Alkon menurut Tingkat Kesejahteraan Keluarga (KS)

HASIL PENELITIAN
Desentralisasi di Kab. Bogor tidak menghasilkan: Terbentuknya infrastruktur yg baru, khususnya jaringan di masyarakat lokal yg aktif memajukan aktivitas pemenuhan KR dan KS termasuk KB bagi sesama warga; Terbentuknya kerjasama lintas program dan lintas sektor yg mengutamakan terpenuhinya kebutuhan KR dan KS (termasuk KB) masyarakat setempat; Unit tetap yg menangani/mengawasi penyelenggaraan program KB di Kabupaten Bogor, termasuk penurunan jumlah PLKB secara drastis; Mekanisme layanan KR dan KS (termasuk KB) yg optimal kualitas layanannya serta efisien dan efektif penyelenggaraannya serta memperhatikan perspektif klien/users; Terbentuknya suatu mekanisme evaluasi dan monitor program-program yg dijalankan oleh pihak pemerintah maupun swasta agar masyarakat tidak mengalami malpraktik.

(lanjutan)
Proses Privatisasi (al. KB Mandiri) yg dirintis sejak awal 1990an: Melemahkan sistem kesehatan publik di suatu wilayah & tidak ada rujukan jelas Melemahkan kualitas layanan kesehatan publik Tidak menjamin tersedianya tenaga kesehatan berkualitas Suplai Alkon pemerintah tidak mencapai sasaran

(lanjutan)
Pelayanan Implant/Strerilisasi /IUD di luar struktur Penyelenggaraannya masih ad hoc Rekruitmen calon peserta diambil secara ad hoc: tergantung Kader atau PLKB Tidak selalu ada informed consent Tidak dijelaskan prosedur pemasangannya dll Jika ada kegagalan, klien tidak mendapat jaminan pemulihan/rehabilitasi

Studi Kasus di Propinsi DKI Jakarta

Health Seeking Behaviour in DKI Jakarta


Manunggal KB-KES* setiap1 atau 3 bulan sekali

Fasilitas Kesehatan Pemerintah** Dokter/Bidan/Perawat

Faskes Swasta Dokter/Bidan/Perawat

PKB

KOMUNITAS PASIEN/KLIEN

PKB

PKB (Penyuluh KB)

PKB

Catatan: * Unsur: Polisi dan ABRI, PKK, Kecamatan dan Kelurahan, Walikota, Swasta ** Untuk KB gratis: 17 Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta. Di Jakarta Selatan : 2 RS Swasta & RS Pemerintah: RS Fatmawati, RS Marinir KKO, RS Polisi (Ciputat)

Program KB Gratis di Jakarta Sukses


Kamis, 11 Maret 2010, 18:17 WIB (diambil dari website Pemda) Terbukti pada 2009 jumlah akseptor melebihi target 0,57 persen yakni sebanyak 363.878 akseptor baru dari target 324.630 akseptor. 88% akseptor menggunakan metode sederhana: pil, suntik dan kondom. Imbasnya, tingkat pertumbuhan penduduk di Jakarta pun dinilai cukup seimbang. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 tercatat angka kelahiran atau TFR (Total Fertility Rate) di Jakarta berada pada level 2,1. Pada 2012 angka TFR di DKI ditargetkan menjadi 2. Pemprov DKI Jakarta memberlakukan program KB gratis pada sarana pelayanan puskesmas dan 17 rumah sakit pemerintah dan swasta yang ditunjuk, untuk menjaring akseptor baru. Tenaga Penyuluh KB (PKB) tahun 2010: 465 orang yang melakukan pembinaan terhadap 10 orang PUS setiap hari.

KONKLUSI
Desentralisasi di Kab. Bogor Tidak meningkatkan akses ke PUSKESMAS karena transportasi sangat mahal (lokasi PUSKESMAS hanya di jalan besar) Tidak membangun infrastruktur/mekanisme yg memungkinkan adanya koordinasi lintas program & lintas sektor serta memprioritaskan Program KB sbg bagian KR&KS; Tidak membangun jaringan (network) di masy. yg mendukung partisipasi aktif masyarakat agar terpenuhi kebutuhankebutuhan lokal dari setiap individu, khususnya KR & KS (termasuk KB); Masih tidak megintegrasikan KB dalam lingkup KR dan KS dan memperlakukan KB terpisah dari Upaya Penurunan AKI: Surat Peraturan Bupati ttg Penurunan AKI tidak menyinggung pentingnya Program KB, padahal saling terkait. Tidak mengakomodasi kegagalan KB: praktek unsafe abortion

(lanjutan)

Implikasi Desentralisasi thd Program KB (Kabupaten Bogor): - Kebijakan KB selama 4 thn tidak jelas, krn tidak ada yg bertanggung jawab. Baru Januari 2009 dilimpahkan ke Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB. - Supply alat kontrasepsi sedikit masih dari Pusat dan selebihnya beli di pasar bebas. - Anggaran utk KB kecil&outreach activities sangat berkurang, 1 PLKB untuk 3 desa. - Authoritarian population control approach masih berlanjut, belum human rights approach, krn bertumpu pada KB-massal: 300 klien sekaligus MOW & Implan & IUD satu hari kampanye setiap 3 bulan.

REKOMENDASI

Desentralisasi yg dimandatkan ICPD-Kairo adalah: partisipasi aktif seluruh pihak termasuk pemberdayaan masy. setempat utk mengorganisir diri sendiri, keluarga serta komunitasnya dan ini harus menjadi kenyataan; Hentikan pemasangan Implan & IUD di luar struktur Puskesmas (KB Massal) krn tidak ada follow-up jika ada komplikasi. Bupati serta jajaran eksekutif dan legislatif harus bersama-sama menyepakati & mendesain Plan of Action KR & KS yg komprehensif dan mengintegrasikannya dalam blue-print Rencana Pembangunan Daerah serta adanya jaminan alokasi dana; Unit khusus yg bertanggungjawab utk Monev KS & KR; termasuk menguasai kualitas layanan KB Semua organisasi profesi di bidang kesehatan, termasuk farmasi harus bersama-sama mensukseskan POA ini; Semua tokoh masyarakat/agama ikut berperan dan mensosialisasikannya. Mengapa di DKI Jakarta walaupun ada Pergub KB Gratis namun ibu-ibu kelas menengah ke bawah masih kebanyakan ke bidan swasta dan tidak ke Puskesmas? Proses privatisasi sejak 1990-an membuat bidan Puskesmas membawa pasien ke prakteknya. Penyuluh KB jumlahnya harus ditingkatkan dan harus benar-benar memotivasi penduduk untuk ber-KB.

Você também pode gostar