Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
KERANGKA PEMIKIRAN
Merujuk pada Albarran (2002), ekonomi media didefinisikan sebagai suatu kajian yang mengkhususkan dirinya pada bagaimana industri media mengelola sumber-sumber daya yang terbatas (scarce resources) guna memproduksi content yang didistribusikan di antara masyarakat konsumen sesuai dengan pemenuhan keinginan dan kebutuhan mereka. Dalam praktik, kajian ekonomi media mengaplikasikan tiga kerangka analisis yang bersifat resiprokal, yaitu market conduct - market structure - market performance. Ketiga kerangka analisis ini pada intinya terpusat pada penjelasan tentang bagaimana suatu satuan bisnis dalam industri media menyusun kebijakan harga, kebijakan produk, strategi pemasaran (market conduct) sebagai respons terhadap struktur pasar (market structure) tertentu, yaitu kompetisi, konsentrasi dan pemusatan pasar, serta bagaimana kebijakan internal perusahaan dan kondisi eksternal pasar mempengaruhi kinerja organisasi media tersebut yang meliputi efisiensi, produktivitas, kualitas produk (market performance), yang pada akhirnya bisa mempengaruhi struktur pasar kembali. Market Structure
Market Conduct
Market Performance
Market Structure Menurut Lin dan Chi (2003), struktur pasar umumnya tergantung pada enam faktor yang meliputi konsentrasi produser atau penjual (horizontal integration, ownership concentration, market concentration), integrasi vertikal (vertical integration), differensiasi produk (product differentiated), barriers to entry (natural barriers artificial barriers), struktur biaya (cost structure). Sedangkan berdasarkan topologi analisis struktur pasar, dalam mengkaji struktur pasar media massa Indonesia, terdapat dua perangkat analisis yang harus diperhatikan, yaitu konsentrasi dan barriers to entry. Konsentrasi ini terdiri dari konsentrasi kepemilikan dan konsentrasi pasar. Dalam konsentrasi kepemilikan, yang patut diperhitungkan adalah integrasi kepemilikan horizontal (horizontal integration), integrasi antar media (cross-media intergration), dan integrasi kepemilikan vertikal (vertical intergration). Konsentrasi pasar ini meliputi konsentrasi pasar audiens dan konsentrasi pasar iklan.
Sedangkan untuk barriers to entry terdiri dari penghalang natural yang meliputi natural barriers atau halangan keuangan dan artificial barriers atau halangan artifisial. Yang termasuk halangan natural ini adalah structural barriers dan financial barriers. Halangan struktural ini merupakan konsekuensi dari kondisi konsentrasi pasar, terutama akibat integrasi vertikal. Terdapat empat macam halangan yang termasuk dalam financial barriers. Pertama, absolute cost advantages for established firm atau pemanfaatan biaya mutlak. Contohnya pengurangan biaya peralatan, jaringan pemasaran. Kedua, product differentiation advantages for established firms atau pemanfaatan biaya differensiasi produk. Contohnya, pengurangan biaya promosi. Ketiga, economies of scale atau skala eknomi. Contohnya, pengurangan biaya dan harga per satuan produk. Keempat ialah cost structure atau struktur biaya, dengan contoh insentif kapital. Untuk halangan buatan atau artificial barriers, yang termasuk di dalamnya adalah halangan dari segi legal atau serangkaian regulasi dan halangan dari segi politis atau kebijakan pemerintahan. Berbagai komponen dalam menganalisis struktur pasar dapat diabstrakasi sebagai berikut
Market Structure
Concentrations
Barriers to Entry
Concentration of Ownership
Market Concentration
Natural
Artificial
Horizontal Integration
Audience Concentration
Financial
Legal
Advertiser Concentration
Structural
Political
Vertical Integration
Pengukuran Struktur Pasar a. Konsentrasi Pasar Diukur dengan menggunakan Rasio Konsentrasi (CR4) atau jumlah market share empat pemain pasar terbesar. Determinan indikator pengukuran rasio konsentrasi ditunjukkan dalam tabel berikut.
Indicator
High concentration Moderate concentration Low concentration
CR4
50 % 33% X < 50% < 33%
b. Persaingan pasar (berkaitan dengan barriers to entry) dalam rangka menentukan bentuk pasar, diukur dengan menggunakan Indeks Herfindahl (HI) atau jumlah perbandingan antara market share setiap perusahaan dengan jumlah pasar secara keseluruhan yang diperoleh dengan rumus:
=
=
Kedua komponen pengukuran tersebut (CR4 dan HI) dapat diterapkan pada berbagai unit analisis. Misalnya berdasarkan audience share yang mengacu pada jumlah audiens, serta ownership share atau kepemilikan serta ads revenue share dan ADEX (advertising expenditure) atau jumlah pendapatan dan pembelanjaan iklan yang dihabiskan di media tersebut. Market Conduct Market Conduct mengacu pada proses strategis yang diterapkan dalam internal organisasi media tersebut. Komponen yang termasuk dalam market conduct antara lain, pricing behavior (penentuan harga), product / marketing / promotion strategies (strategi pemasaran), product research and innovation (riset dan inovasi produk), plant investment (penanaman investasi), juga legal tactics (taktik legal). Dalam menganalisis market conduct dalam kajian ekonomi media, salah satu unit analisis penting yang digunakan ialah CPM (cost per miles) sebagai indikator sukses strategi media menarik pengiklan. Market Performance Market performance mengacu pada proses yang berkaitan dengan efisiensi dalam rangka mencapai kondisi perusahaan yang optimal. Kerangka analisis market performance meliputi berbagai komponen berikut, yaitu production efficiency (efisiensi produksi), allocative efficiency (efisiensi alokasi biaya), technological progress (perkembangan teknologi), full employment (operasional tenaga kerja), dan equity (permodalan). Berdasarkan kerangka analisis ekonomi media yang telah dijabarkan di atas, dapat dilakukan sebuah kajian terhadap masing-masing industri media massa di Indonesia, yang akan dipaparkan pada bagian-bagian selanjutnya.
Total
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah pembaca surat kabar di Indonesia justru menurun 2,6% dari 9,3 juta di tahun 1997 menjadi sekitar 9 juta di tahun 1997. Oleh karena itu, secara real, kondisi pasar surat kabar di Indonesia kini mengalami penurunan jumlah, tetapi diiringi peningkatan pemain pasar (sellers up, buyers down). Penurunan ini merupakan konsekuensi dari perkembangan media baru. Berkembangnya teknologi kini turut membawa berbagai alternatif media baru. Tak dapat dipungkiri, masyarakat kini meletakkan preferensinya pada media online yang lebih cepat, praktis, mudah, dan murah. Meskipun banyak terdapat pemain baru, dari segi product differentatiation, tidak banyak terjadi perubahan nama-nama surat kabar yang menguasai pasar nasional. Kompas, Pos Kota, dan Jawa Pos tetap ada di posisi 3 besar. Pemain baru yang cukup mencuri perhatian ialah Top Skor. Di tahun 1997, nama Top Skor, tak masuk ke jajaran 10 besar, tetapi di tahun 2007 Top Skor menggantikan Suara Pembaruan di posisi keempat. Menariknya, Suara pembaruan justru tak ada dalam daftar 10 teratas di tahun 2007. Meskipun demikian, liberalisasi surat kabar tetap memunculkan nama-nama media yang potensial, antara lain Top Skor, Berita Kota, Warta Kota, dan Seputar Indonesia. Jika dilihat dari segi readership share, industri surat kabar nasional dalam kurun waktu 1997-2007 menunjukkan kecenderungan menurunnya share koran-koran besar. Pos Kota yang awalnya merebut 31% pasar mengalami penurunan paling drastis menjadi 13%. Kompas mengalami penurunan sebesar 4% dari awalnya 22% menjadi 18%. Pikiran Rakyat menurun dari 8% menjadi 4%. Yang harus menjadi perhatian adalah Jawa Pos yang justru mengalami kenaikan share pembaca sebesar 7%. Peningkatan share Jawa Pos ini erat kaitannya dengan ekspansi jaringan Jawa Pos yang memperluas jangkauan koran lokalnya (suplemen Radar dearah) seiring dengan kemudahan mendirikan media dan peningkatan efisiensi dalam tubuh internal organisasi media Jawa Pos. Selain itu, Top Skor juga cukup fenomenal. Sebagai surat kabar baru, Top Skor langsung mampu merebut pembaca sebesar 8% di tahun 2007. Keberhasilan Top Skor ini diasumsikan akibat genre yang diambilnya. Dengan genre koran olahraga, Top Skor mampu membidik target pasar yang spesifik, yaitu para penikmat olahraga. Dinamika readership share ini menarik untuk menjadi dasar analisis struktur pasar surat kabar nasional, terutama dari segi tingkat persaingan dan konsentrasi pasar. Dengan menggunakan perhitungan rasio konsentrasi empat pemain terbesar (CR4) untuk menunjukkan konsentrasi pasar dan indeks Herfindahl untuk menunjukkan struktur persaingan, maka diperoleh grafik yang menunjukkan perkembangan struktur pasar surat kabar nasional sebagai berikut.
Konsentrasi Pasar Grafik di samping menunjukkan bahwa konsentrasi pasar surat kabar nasional di tahun 1997 adalah sebesar 70%. Berdasarkan indikator Albarran (1996), angka konsentrasi 50% merepresentasikan tingkat konsentrasi pasar yang tinggi. Artinya, di tahun 1997, pasar surat kabar nasional masih sangat terpusat di beberapa pemain tertentu. Di tahun 2007, angka konsentrasi pasar surat kabar nasional turun menjadi 51%. Artinya, selama kurun waktu 1 dasawarsa dari tahun 19972007, industri surat kabar nasional mulai bergerak merata. Menurunnya rasio ini merupakan implikasi menurunnya share koran-koran besar yang menguasai pasar surat kabar. Meskipun empat pemain terbesar (CR4) masih sama, penurunan rasio konsentrasi sebesar 19% menunjukkan bahwa kue readership mulai terdistribusi secara lebih merata Persaingan Pasar Dipandang dari karakteristik struktur persaingan pasar yang dikur melalui indeks Herfindahl, hasil yang terekam dalam grafik di samping menunjukkan angka di bawah 0,2. Menurut indikator yang dikemukakan Albarran (1996), angka indeks H <0,2 berarti struktur pasar persaingan sempurna. Oleh karena itu, indeks H pada grafik di samping menjelaskan bahwa struktur industri surat kabar nasional menujukkan kecenderungan karakterisktik pasar persaingan sempurna, baik di tahun 1997 maupun 2007.
Newspaper Market Competitiveness
0.2 Herfindahl Index 0.15 0.1 0.05 0.18 0.11
0
1997 2007
Meskipun demikian, tetap terjadi perubahan selama 10 tahun berjalan, yaitu penurunan indeks H sebesar 0,7 dari 0.18 menjadi 0,11. Penurunan indeks H ini menunjukkan bahwa pasar telah bergerak ke arah yang lebih bebas. Artinya, persaingan dalam industri surat kabar nasional di tahun 2007 menjadi lebih ketat dan terbuka. Meningkatnya persaingan ini disebabkan oleh menigkatnya jumlah pemain di pasar sebagai konsekuensi hilangnya barrier to entry politis, sedangkan di sisi lain, jumlah konsumen surat kabar nasional secara keseluruhan menurun. Akibatnya, ruang yang tersisa bagi masing-masing surat kabar menjadi lebih sempit dan setiap surat kabar lebih berlomba-lomba mencapai pembacanya.
1998 2008
600
Sejalan dengan kecenderungan menurunnya readership share korankoran besar sebelum dan setelah reformasi, berdasarkan grafik di samping dapat diketahui bahwa oplah penjualan surat kabar besar cenderung mengalami penurunan dari ketika sebelum reformasi (1998) dan setelah reformasi (2008). Koran yang mengalami penurunan oplah paling signifikan adalah Pos Kota yang turun 150%. Pengecualian terjadi pada Media Indonesia dan Pikiran Rakyat yang justru mengalami kenaikan oplah, meskipun tak signifikan.
Grafik di atas juga menunjukkan bahwa liberalisasi industri surat kabar Indonesia memiliki dampak positif terhadap pengembangan koran-koran baru. Terbukti dari beberapa namanama koran yang, meskipun baru, oplah penjualannya patut diperhitungkan karena hampir menyamai koran-koran yang telah berkiprah sejak lama. Contohnya, Seputar Indonesia yang mampu menembus angka 385.000 eksemplar secara nasional. Dipandang dari advertising expenditure share berbagai media di Indonesia, indutri koran di Indonesia merupakan satu-saunya media yang nilai share iklannya mengalami pergerakan progresif secara konsisten dari tahun ke tahun selama 2005-2010. Fenomena ini enarik jika dihadapkan dengan menurunnya pasar pembaca surat kabar di Indonesia dan kecenderungan menurunnya oplah koran-koran besar di Indonesia. Kenaikan share iklan koran ini terjadi sebagai konsekuensi dari nilai pembelanjaan iklan di Indonesia secara real juga cenderung meningkat setiap tahunnya juga diimbangi dengan meningkatnya sirkulasi koran di Indonesia akibat munculnya banyak koran-koran baru. Beradasarkan analisis kondisi yang telah dilakukan, dapat diperoleh pemahaman bahwa masalah utama pada industri surat kabar nasional adalah struktur pasar, terutama dalam hal barrier to entry serta market share. Hilangnya barrier to entry merupakan faktor determinan tumbuhnya industri surat kabar meski di sisi lain pasar surat kabar mengalami penurunan sebagai dampak dari perkembangan teknologi media baru.
Advertising Expenditure Share by Type of Media (%) MEDIA TOTAL Television Newspaper Magazine Tabloid Radio Outdoor 2005 2006 2007 63,7 26,9 3,2 1,4 1,9 2,8 63,9 27,9 2,8 1,2 1,6 2,6 61,3 31,2 2,7 1,2 1,4 2,2 2008 2009 2010 59,0 33,8 2,7 1,3 1,3 2,0 58,5 34,7 2,5 1,2 1,2 1,9 58,8 34,9 2,3 1,1 1,1 1,8
INDUSTRI RADIO
Berdasarkan data dari Deparpostel pada tahun 2008, jumlah lembaga penyiaran radio di seluruh Indonesia ialah 1.642 stasiun. Dari jumlah tersebut, radio yang menyandang Ijin Stasiun Radio (ISR) hanya 819 stasiun. Organisasi radio di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu jaringan radio swasta dan jaringan radio komunitas. Jaringan radio swasta bergerak untuk kepentingan komersial. Sedangkan jaringan radio komunitas biasanya didirikan oleh suatu komunitas dengan basis kawasan, isu, atau ketertarikan. Dalam perspektif ekonomi media, industri radio dipandang sebagai industri media yang memiliki karakteristik khas dalam hal audience. Audiens radio terbatas di ruang wilayah tertentu sebagai konsekuensi keterbatasan jangkauan jaringannya. Oleh karena itu, analisis ekonomi industri radio pun juga dilakukan berdsarakan skala lokal. Dalam kajian kali ini, analisis radio dibatasi pada empat kota dengan pertumbuhan penduduk tertinggi di Indonesia, yaitu Jakarta, Medan, Makassar, dan Surabaya. Berikut disajikan data audience share radio di masing-masing kota tersebut.
Radio Audience Share in Jakarta (%)
Radio GEN FM BENS DANGDUT TPI MEGASWARA ELGANGGA ELSHINTA I-RADIO POP FM RKM LESMANA CR4 2005 N/A 18,3 N/A 6,6 9,7 7,9 9,7 N/A 8,0 0,9 45,7 2006 N/A 20,9 N/A 11,6 6,8 7,1 9,5 12,7 10,7 1,7 55,9 2007 N/A 16,7 13,8 10,6 6,3 9,3 6,2 10,0 8,4 4,0 51,1 2008 13,0 13,7 14,5 7,8 5,9 7,8 6,2 7,6 9,1 5,4 50,3 2009 12,8 11,6 9,9 8,7 7,0 8,0 5,0 4,9 3,7 3,2 43
Jakarta Dari tabel tersebut, dapat dilihat industri radio di Jakarta merupakan industri media yang cukup dinamis dalam hal komposisi nama-nama pemain. Selama kurun waktu 2004-2009, banyak pemain yang bergantian menempati posisi empat teratas. Di antara berbagai radio tersebut, yang paling konsisten merebut pasar cukup tinggi adalah Radio Bens. Selama lima tahun berturut-turut, Bens selalu memperoleh tempat di kalangan emapt besar, bahkan menjadi nomor satu di tahun 2005-2007. Perubahan terjadi pada tahun 2008 saat Gen FM memasuki pasar radio. Gen yang baru saja berdiri di tahun 2008, langsung menembus posisi nomor 3 dan naik menjadi nomor 1 di tahun 2009. Nama lain yang cukup konsisten adalah radio Dangdut TPI, Megaswara, Pop FM, dan RKM. Medan Untuk Kota Medan, melalui tabel tersebut, dapat diketahui bahwa dari kurun waktu 2004-2009, nama-nama radio di Medan relatif tetap dan tidak banyak mengalami perubahan. Meskipun demikian, audience share pada setiap radio di Medan sangat dinamis dan cenderung mudah mengalami kenaikan dan penurunan, begitu pula dengan tingkat konsentrasi pasarnya secara keseluruhan. Meskipun demikian, industri radio di Medan masih terpusat pada beberapa pemain tertentu. Dua pemain utama di Medan ialah Most FM dan Radio Simfoni yang selalu menduduki empat besar perolehan pendengar. Selain kedua redio tersebut, juga terdapat radio lain yang juga memiliki cukup banyak pendengar, yaitu Sikamoni, Radio Dangdut TPI, Kardopa, KISS FM, dan RRI PRO2. Makassar Lain halnya dengan Medan dan Jakarta, industri radio di Makassar jutsru tak banyak perubahan, baik dari segi audience share per radio, maupun nama-nama pemain di pasar. Hal ini terjadi karena pilihan pendengar tampaknya telah menetap pada tiga pemain utama. Radio yang paling menonjol adalah Radio Gamasi yang selama 5 tahun dari 2004-2009 konsisten memperoleh paling banyak pendengar. Selanjutnya terdapat Venus dan Telstar yang selalu bergantian menempati posisi kedua dan ketiga. Selain ketiga radio tersebut, ada juga radio Madama dan Sonata yang juga sering menempati posisi keempat. Adanya beberapa nama lama yang telah melekat erat ini menyebabkan tak banyak nama-nama baru muncul di peta industri radio Makassar. Meskipun demikian, Makassar FM cukup berpotensi karena baru muncul pada tahun 2008 dan langsung sukses merebut 8% pendengar, bahkan progresif menjadi 11,6% di tahun 2009. Surabaya - Di industri radio Surabaya, dari segi pemain pasar, terdapat dua radio yang secara konsisten memperoleh pendengar yang paling banyak, yaitu Suara Giri dan Wijaya FM. Kedua radio tersebut memiliki tingkat audience share yang tertinggi dan cukup jauh jika dibandingkan dengan Radio Merdeka dan Radio Suzana yang menempati tempat ketiga dan keempat. Hal paling mencolok yang terjadi dalam industri radio Surabaya selama tahun 2004-2009 ialah terjadinya penurunan tingkat konsentrasi yang cukup secara gradual dengan tingkat penurunan yang cukup siginifikan. Hal ini disebabkan karena menurunnya audiende share radio-radio besar di Surabaya. Hal ini menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun selama 2004-2009, pasar audience share radio di Surabaya terdistribusi lebih merata secara konsisten.
Berdasarkan keempat tabel audience share di setiap kota di atas, dapat digambarkan bagaimana perbandingan rasio konsentrasi pasar dan tingkat persaingan di tiap kota. Radio Market Competitiveness
Indeks Herfindahl 0.40 0.30 Concentration Ratio 0.50 150% 100% 50% 0% 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009
0.20
0.10 0.00
Persaingan Pasar Untuk menganalisis tingkat persaingan industri radio, digunakan unit analisis pembelanjaan iklan radio. Industri radio yang memiliki tingkat persaingan tertinggi ditunjukkan oleh pasar Jakarta (Indeks H paling rendah). Intensitas persaingan berikutnya secara urut ditempati oleh Medan dan Surabaya, serta Makasssar. Hal tersebut dapat dilihat dari indeks H dalam pasar Jakarta yang selalu berada di bawah 0,2 selama dari tahun 2005-2009. Artinya, industri radio di Jakarta memiliki karakteristik pasar persaingan sempurna. Tingkat persaingan di pasar Jakarta selama lima tahun juga cenderung menunjukkan stabilitas. Persaingan persaingan paling ketat terjadi pada tahun 2009. Hal ini akibat nama-nama baru yang muncul pada tahun 2008 telah lebih matang. Berbeda dari Jakarta, industri radio di Medan, Makassar, dan Surabaya, menunjukkan karakteristik pasar oligopoli (0,2 < HI < 0,7). Selain itu, di ketiga kota tersebut, tingkat persaingan industri radio dari tahun ke tahun selama 2004-2009 bergerak lebih dinamis. Perkembangan paling dinamis ditunjukkan oleh pasar di Medan dan Makassar.
Konsentrasi Pasar Dalam pengukuran konsentrasi, unit analisis yang digunakan ialah audience share. Dari keempat kota, rasio konsentrasi yang paling tinggi ditunjukkan Kota Makassar (CR4 tertinggi), dan diikuti oleh Surabaya, Medan, dan Jakarta di tempat terakhir. Selama 2004-2009, tingkat konsentrasi di pasar Makassar selalu melebihi 100% kecuali di tahun 2008. Hal ini berarti, industri radio di Makassar masih sangat terpusat pada beberapa nama pemain tertentu. Perubahan cukup mencolok terjadi dari 2007 ke 2008 di pasar Makassar dan Surabaya yang mengalami penurunan CR secara gradual cukup signifikan. Hal ini berarti dari tahun 2007 ke 2008, pasar di kedua kota tersebut bergerak lebih merata. Kadar high concentration ditunjukkan oleh pasar Makassar, Medan, dan Surabaya. Hal yang berbeda ditunjukkan pasar Jakarta. Dengan CR berkisar antara 45%-55%, ratarata konsentrasi pasar di Jakarta selama 2004-2009 berada pada tingkat moderate. Artinya, industri radio di Jakarta memiliki distribusi pasar yang paling merata.
10
Berikut merupakan data yang menggambarkan kondisi pasar periklanan dalam industri radio di Indonesia.
Advertising Expenditure Share by Type of Media (%) MEDIA 2005 2006 2007 2008 2009 2010 TOTAL Television 63,7 63,9 61,3 59,0 58,5 58,8 Newspaper Magazine Tabloid Radio Outdoor 26,9 3,2 1,4 1,9 2,8 27,9 2,8 1,2 1,6 2,6 31,2 2,7 1,2 1,4 2,2 33,8 2,7 1,3 1,3 2,0 34,7 2,5 1,2 1,2 1,9 34,9 2,3 1,1 1,1 1,8 650 Advertising Expenditure Radio (Rp million) 622
600
550 500 450 537
593
559
527
535
Dari segi pasar periklanan atau advertising market, radio memiliki nilai pembelanjaan iklan (adversiting expenditure ADEX) paling kecil dibanding jenis media lainnya. Radio hanya memiliki nilai ADEX yang lebih besar dibanding iklan outdoor atau iklan pada reklame, baliho, dan media periklanan di ruang terbuka lainnya. Data pada tabel ADEX Share juga menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun selama 2005-2010, nilai iklan yang dibelanjakan di radio semakin mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Meskipun secara proporsional share iklan radio mengalami penurunan, nilai iklan radio secara real dari kurun waktu 2005-2010 justru menunjukkan tren peningkatan (lihat grafik). Hal ini disebabkan oleh kecilnya rate card radio dan minimnya peningkatan jumlah pendengar radio (tidak sebanding dengan televisi dan koran) sementara nilai real seluruh iklan yang dibelanjakan di media mengalami peningkatan dari tahun ke tahun selama 2005-2010. Walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2005 ke 2006, nilai iklan yang dibelanjakan di radio terus meningkat sampai di tahun 2010. Secara keseluruhan selama lima tahun, pendapatan iklan radio mengalami peningkatan sebesar 15,8%. Berdasarkan nilai rate card atau harga periklanan radio, dapat diukur CPM (cost per mile) pada masing-masing radio. CPM menunjukkan efektivitas dan efisiensi biaya yang dikeluarkan pengiklan iklan di tiap-tiap stasiun radio. Angka CPM diperoleh dari perbandingan antara rate card dengan jumlah pendengar masing-masing radio. Secara umum, semakin rendah nilai CPM, semakin efisien pula iklan di radio tersebut. Meskipun demikian, perlu diperhitungkan nilai real rate card dan jumlah pendengar radio tersebut. Perhitungan advertising expenditure yang menggambarkan market conduct industri radio di keempat kota menunjukkan bahwa CPM radio tidak dapat dihitung secara nasional karena sifat audiens lokal, juga dikarenakan adanya UU Penyiaran yang mengatur frekuensi siaran tiap-tiap stasiun radio di masing-masing kota. Dengan demikian, kajian karakteristik pasar radio berdasarkan kerangka analisis ekonomi media hanya dapat diimplementasikan dalam lingkup lokal.
Analisis Ekonomi Media di Indonesia
11
INDUSTRI TELEVISI
Pasar televisi dan iklan Indonesia merupakan pasar yang sangat kompleks dan dipenuhi dengan persaingan. Persaingan dalam industri televisi Indonesia menjadi semakin ketat setelah adanya horizontal integration atau integrasi antar stasiun televisi. Integrasi horizontal ini dilakukan dengan cara mengakuisisi sebagian besar saham di suatu stasiun televisi sehingga mengubah struktur kepemilikan di dalamnya. Dalam hal barriers to entry, industri televisi merupakan pasar yang sarat dengan halangan natural, terutama akibat halangan finansial dan kepemilikan. Diperlukan modal finansial yang besar untuk memulai pendirian stasiun TV dikarenakan biaya investasi, infrastruktur, dan operasional yang sangat besar. Selain itu, struktur kepemilikan yang didominasi pemain-pemain lama yang telah cukup besar menyebabkan pemain baru harus memiliki mental bersaing yang sangat besar jika ingin memasuki pasar ini. Oleh karena itulah, TV komunitas dan TV lokal, meskipun secara kuantitas telah cukup banyak, masih belum dapat diperhitungkan dalam menganalisis industri televisi dalam skala nasional. Sedangkan untuk artificial barriers, regulasi dalam bidang penyiaran merupakan halangan yang cukup berat untuk masuk ke dalam industri media massa yang terbesar ini. Terkait dengan struktur kepemilikan, regulasi dalam bidang penyiaran yang tertuang dalam UU No.32 Tahun 2002 mengatur bahwa kepemilikan saham asing dalam media penyiaran di Indonesia dibatasi maksimal 20%. Selain itu, terkait dengan konten, atau produk siaran, UU Penyiaran juga mengatur sistem pertelevisian Indonesia dalam bentuk berjaringan secara lokal. Akan tetapi, pada realitanya, kondisi tersebut belum diimplementasikan oleh stasiun televisi nasional karena adanya konsentrasi modal di pusat. Pembiayaan dan pendirian stasiun TV lokal baru yang mahal membuat stasiun TV nasional menggandeng stasiun TV lokal yang telah ada menjadi bagian dalam TV nasional tersebut.
Audience Share Televisi di Indonesia (%) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Televisi RCTI SCTV Trans TV Indosiar TPI Trans 7 Global ANTV TV One Metro TVRI 2008 16.5 19.2 13.8 16.3 10.6 6.1 5.7 5.7 4.2 1.8 0.8 2009 17.6 16.1 14.8 14.1 9.0 8.7 6.4 5.8 5.3 2.2 0.6
Kondisi market structure industri televisi di Indonesia dapat dikaji berdasarkan tabel share penonton di samping. dapat diketahui sebelas stasiun televisi yang merupakan TV nasional yang utama. Data tersebut memperilhatkan bahwa banyak televisi yang mengalami kenaikan jumlah penonton, tetapi banyak pula yang mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan audience share memiliki pergerakan yang dinamis. Meskipun demikian, terdapat empat stasiun TV besar yang konsisten menguasai pasar, selama 2008-2009, yaitu RCTI, SCTV, Trans TV dan Indosiar.
12
TV Market Competitiveness
0.134
Herfindahl Index
TV Market Concentration
67.0%
0.133
Concentration Ratio
0.132 0.13
65.8%
0.128
0.126 0.124 0.122 0.12 2008 2009 0.125
62.6%
2008
2009
Tingkat Persaingan Berdasarkan perhitungan indeks Herfindahl yang diperoleh dari audience share, dapat diketahui bahwa industri televisi Indonesia mengarah ke struktur pasar persaingan sempurna (close to perfect competition). Hal ini terbukti dari indeks H pasar televisi yang selama dua tahun berada di bawah 0.2. Karakteristik pasar ini merupakan sebuah kondisi yang unik jika dihadapkan pada tingkat kesulitan menembus pasar televisi nasional. Secara konseptual, pasar persaingan sempurna memiliki karakteristik bahwa produsen dan konsumen bebas keluar-masuk pasar Akan tetapi kebebasan ini tidak ditemui dalam pasar televisi Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya barriers to entry yang cukup ketat baik dari segi natural maupun artifisial. Dalam industri televisi nasional juga dikenal terjadinya horizontal integration seperti MNC Group (RCTI, MNC TV, Global TV), Bakrie Group (TV One dan ANTV), serta TransCorp (TransTV dan Trans7). Oleh karena itu, jika dikaji dari struktur kepemilikan, maka karakteristik pasar TV di Indonesia lebih mengarah ke oligopoli.
Konsentrasi Pasar Perhitungan konsentrasi pasar dilakukan berdasarkan tingkat audience share pada empat stasiun televisi terbesar. Dengan rasio konsentrasi lebih dari 50%, grafik di atas menunjukkan bahwa pasar televisi di Indonesia memiliki tingkat konsentrasi tinggi. Tingginya tingkat konsentrasi ini diakibatkan oleh adanya empat stasiun TV yang selama dua tahun konsisten menguasai pasar dengan tingkat share yang cukup tinggi, yaitu RCTI, SCTV, Trans TV, dan Indosiar. Dari tahun 2008 ke 2009, konsentrasi pasar televisi di Indonesia mengalami penurunan meskipun tidak signifikan. Penurunan ini menunjukkan adanya pemerataan penonton dalam pasar televisi Indonesia yang ditandai dengan menipisnya margin audience share antar stasiun televisi. Dalam hal struktur biaya, pasar televisi Indonesia tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan karena differensiasi biaya hanya bermain di tingkat efisiensi saja. Sedangkan untuk barriers to entry, lebih terfokus pada ownership (integration) dan finansial (kemapanan pemain lama).
13
Setiap stasiun televisi memiliki strategi masing-masing untuk menarik pengiklan. Terjadi penaikan advertising expenditure dalam pasar televisi Indonesia namun tetap terkonsentrasi pada 4 pemain utama.
Advertising Expenditure Share by Type of Media (%) No. 1 2 3 4 5 6 TV Newspaper Magazine Tabloid Radio Outdoor Media 2008 X (jt) 26.241 2009 (%) X (jt) 59 29.887 17.747 1.292 609 593 954 51.081 (%) 58,5 34,7 2,5 1,2 1,2 1,9 100 Advertising Expenditure Share TV (%) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Stasiun Televisi SCTV RCTI Trans TPI Global Trans 7 Indosiar ANTV TV One Metro TVRI 2008 14.3 13.8 12.4 11.4 9.9 9.6 9.1 6.9 5.8 4.5 0.4 2009 12.6 13.5 13.1 10.7 9.3 9.9 9.2 8.6 6.7 4.1 0.3
15,032 33,8 1,223 562 559 875 44.491 2,7 1,3 1,3 2,0 100
TOTAL ADEX
Angka pemasukan iklan untuk berbagai media akan terus meningkat. Peningkatan angka pemasukan iklan di media televisi karena akses yang dimiliki media televisi terhadap market. Coverage media televisi mencakup National Wide. Kenaikan angka pemasukan iklan pada periode 2008-2009 adalah sebesar 14,8%. Jika dikaji berdasarkan setiap unit stasiun TV, pasar iklan televisi Indonesia mengarah pada Pasar Persaingan Sempurna (close to perfect competititon) dengan pembeli utama (main buyer) dari perusahaan telekomunikasi, pemerintah dan iklan politik, korporasi, rokok, dan kendaraan bermotor. Stasiun televisi utama yang menjadi media primadona bagi para pengiklan adalah: RCTI, Trans TV, SCTV dan TPI. Kenaikan angka pemasukan iklan media televisi pada periode 2008-2009 sebesar 13,8%. Jika dicermati secara berkelompok berdasarkan konglomerasi yang terjadi, maka sebenarnya pasar iklan di Indonesia mengarah pada pasar oligopoli yang hanya terdiri dari 5 pemain utama. Peringkat pertama dari segi pemasukan iklan diduduki oleh MNC Group yang membawahi RCTI, Global TV, dan MNC TV, diikuti dengan Surya Citra Media Group (SCTV dan Indosiar), Trans Corp dengan TransTV dan Trans7, serta Bakrie Group (ANTV dan TVOne) dan terakhir Media Group. Akan tetapi, kecenderungan oligopoli ini tidak dapat dibuktikan karena setiap stasiun televisi didirikan atas nama perusahaan yang berbeda-beda meskipun jika ditelusuri struktur kepemiilikan sahamnya, media-media tersebut bernaung dalam grup perusahaan yang sama.
14
Berdasarkan harga slot iklan (cost of advertisement), dapat diukur CPM (cost per mile) pada masing-masing stasiun televisi. CPM menunjukkan efektivitas dan efisiensi biaya yang dikeluarkan pengiklan untuk beriklan selama satuan waktu di masing-masing stasiun TV. Angka CPM diperoleh dari biaya slot iklan dibagi dengan jumlah penonton masingmasing stasiun TV. Secara umum, semakin rendah nilai CPM, semakin efisien pula iklan di stasiun TV tersebut.
Grafik CPM Satasiun TV di Indonesia 2008-2009 (Rp juta)
Berdasarkan grafik tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan jumlah audience yang relatif tetap, CPM TV swasta di Indonesia rata-rata mengalami peningkatan setiap tahun karena belanja iklan di televisi menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa dua stasiun TV yang mengalami perubahan CPM cukup signifikan adalah ANTV dan Metro TV. Untuk ANTV, CPM dari tahun 2008 ke 2009 mengalami peningkatan drastis karena pemasukan iklan di tahun 2009 naik 42,5% dari Rp1.803.291 juta (2008) menjadi Rp2.569.466 juta (2009). Sedangkan grafik CPM Metro TV meningkat tajam karena walaupun pemasukan iklannya meningkat, tapi audience sizenya rendah, bahkan paling rendah di antara stasiun lainnya. Dalam hal market performance, industri televisi di Indonesia menunjukkan keragaman dalam hal operasionalisasi tenaga kerja dalam rangka efisiensi dan optimalisasi. Contoh yang menarik dapat ditemui di stasiun televise yang berada di bawah TransCorp, yaitu Trans7 dan TransTV. Kedua stasiun TV tersebut menerapkan kebijakan yang cukup khas terkait dengan produk dan tenaga kerja, yaitu lebih mengutamakan acara dari home production dan merekrut tenaga kerja fresh-gradute, serta menekankan multi-tasking jobs. Sementara itu, sebagian besar stasiun TV di Indonesia fokus pada perkembangan teknologi dan penambahan infrastruktur. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan jangkauan siaran agar memperoleh penonton (target pasar) lebih banyak.
15
INDUSTRI FILM
Industri film di Indonesia pada dasarnya merupakan pasar yang sangat potensial. Hal ini dikarenakan jumlah target pasar yang besar dengan minat terhadap film yang cukup tinggi. Akan tetapi, produksi film dalam negeri menunjukkan bahwa pasar film nasional cenderung masih lesu. Hal ini diperkuat oleh perbandingan jumlah film produksi nasional dan jumlah film produksi asing yang diimpor ke Indonesia. Tabel di samping menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara jumlah film nasional dan jumlah film impor yang beredar di bioskop Indonesia setiap tahunnya. Jumlah Film Nasional dan Film Impor di Indonesia
Film Nasional Film Impor
300
250
200 150 100 50 0
Namun, dari tabel tersebut, dapat dicermati bahwa film produksi dalam negeri mulai tumbuh sejak tahun 2002-2009. Dalam kurun waktu 7 tahun, produksi film dalam negeri terus meningkat sebesar hampir 800%. Artinya, pasar produksi film Indonesia sangatlah prosepektif dengan angka peningkatan hampir delapan kali lipat sejak perfilman nasional mulai bangkit di tahun 2002 melalui kemunculan film Ada Apa dengan Cinta. Berikut disajikan tabel produksi film Indonesia berdasarkan rumah produksi yang dapat digunakan sebagai unit analisis untuk mengkaji struktur pasar perfilman di Indonesia.
Jumlah Produksi Film Menurut Rumah Produksi (2007-2009) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Total Rumah Produksi Starvision Kharisma Multivision Tripar Indika Entertainment MD Pictures Maxima Pictures Rapi Films Kalyana Shira Sinemart IFI K2K Lainlain 2007 Jml Film Share (%) 5 9,43 4 7,55 4 7,55 3 5,66 3 5,66 2 3,77 2 3,77 2 3,77 28 52,8 53 100 2008 Jml Film Share (%) 6 6.89 7 8.05 4 4.59 5 5.74 5 5.74 3 3.44 3 3.44 3 3.44 51 58.6 87 100 2009 Jml Film Share (%) 8 9.41 4 4.70 4 4.70 5 5.88 7 8.23 5 5.88 5 5.88 4 43 85 4.70 50.58 100
16
30.2% 29.40%
30.0% 29.0%
28.0%
27.0% 26.0% 25.0% 24.0%
26.4%
2007
2008
2009
2007
2008
2009
Tingkat Persaingan Dari segi struktur pasar, pasar produksi film Indonesia pada tahun 2007 - 2009 tak banyak menunjukkan perubahan dalam tingkat persaingan. Selama tiga tahun, indeks H berkisar antara 0.29-0.37. Hal ini berarti bahwa pasar produksi film di Indonesia memiliki karakteristik oligopoli.
Konsentrasi Pasar Selama tiga tahun dari 2007-2009, grafik rasio konsentrasi industri produksi film di Indonesia selalu menunjukkan angka di bawah 33% yang berarti tingkat konsentrasi pasar produksi film Indonesia berada dalam level low concentration. Artinya, industri produksi film di Indonesia tidak terlalu terpusat pada beberapa nama yang menduduki posisi empat teratas. Rendahnya rasio konsentrasi ini juga merepresentasikan perbedaan yang tidak terlalu signifikan dalam hal jumlah produksi film pada setiap rumah produksi.
Kondisi pasar oligopoli ini didominasi dengan produk pasar (dalam hal ini film) yang kurang terdifferensiasi dan cenderung homogen akibat pemain di pasar (rumah produksi) yang jumlahnya sedikit, yaitu kurang dari 10. Minimnya rumah produksi ini diakibatkan karena barriers to entry dalam memasuki industri produksi film yang Meskpun demikian tetap terjadi perubahan membutuhkan modal finansial yang besar rasio konsentrasi selama 2007-2009. Di dibekali dengan skill dan pengalaman. tahun 2007 ke 2008, terjadi penurunan CR4 dimana dari 30,19% menjadi 26,42%. Hal Kenaikan tipis dari tahun 2007 ke 2008 ini sebagai akibat dari kenaikan jumlah menunjukkan indikasi bahwa kondisi pasar produksi secara keseluruhan dibanding semakin ketat dengan adanya kenaikan perkembangan jumlah film yang diproduksi jumlah produksi film dari setiap rumah empat pemain utama. Kenaikan jumlah film produksi. Di 2009, penurunan jumlah film disebabkan prospek bisnis film yang yang diproduksi juga turut memicu turunnya menguntungkan. Pada tahun 2009, CR4 indeks H yang mengakibatkan pasar naik menjadi 29,4%, karena empat pemain bergerak ke arah yang lebih bebas dari sisi utama menaikkan jumlah produksi filmnya, produksi. terutama Starvision Kharisma
17
Permasalahan fundamental dalam industri perfilman Indonesia sebenarnya terletak dalam hal distribusi film. Dalam pasar distribusi film di Indonesia, hanya terdapat dua pemain yang dapat diperhitungkan, yaitu jaringan 21 Cineplex dan jaringan Blitz Megaplex. Jaringan 21 Cineplex didirikan oleh PT Subentra (Sudwikatmono, Benny Suherman, Bambang Sutrisno) pada tahun 1987. Pada awal berdirinya, meskipun memiliki beberapa gedung bioskop sendiri, peran utama PT Subentra hanya sebagai distributor film yang membeli film-film hasil produksi dan mengedarkannya ke bioskop-bioskop. Karena industri bioskop dinilai prosepektif, PT Subentra membentuk PT Subentra Twenty One untuk menegosiasi gedung-gedung bioskop dan mengubah menjadi jaringannya. PT Subentra juga mendrikan PT Suptan Film yang merupakan importer tunggal film impor di Indonesia. Film-film yang diimpor hanya boleh diedarkan dan ditayangkan di bioskop jaringan PT Subentra. Hal inilah yang menyebabkan bioskop kecil tak mampu bertahan dan mati. Kondisi ini mulai membaik ketika pada tahun 2006 jaringan Blitx Megaplex didirikan oleh Ananda Siregar dan David Hilman. Gedung bioskop Blitz yang pertama dibangun di Paris Van Java Mall, Bandung. Karena kekuatan modal, pemasaran yang baik, target pasar yang spesifik ke kelas atas, serta pelayanan yang eksklusif, Blitz mampu bertahan hingga sekarang dan menjadi kekuatan alternatif selain 21 Cineplex. Hingga saat ini, Blitz Megaplex memiliki gedung bioskop di lima spot yang tersebar di Jakarta dan Bandung. Sebelum Blitz didirikan pada tahun 2006, hanya ada pemain tunggal yang menguasai pasar distribusi perfilman di Indonesia. Sehingga bisa dikatakan bahwa pasar distribusi film di Indonesia sebenarnya mengarah kepada pasar monopoli oleh 21 Cineplex. Sampai sekarang (2011), jaringan 21 Cineplex tetap sangat mendominasi dalam pasar distribusi film di Indonesia. Hal ini terlihat dari adanya ketidakseimbangan dalam jumlah infrastruktur perfilman, yaitu gedung bioskop, layar, jumlah kursi penonton. Meskipun demikian, karena fokus pada eksklusivitas film dan pelayanan, Blitz mampu bertahan dan menjadi pilihan utama penonton kelas atas. Berikut merupakan data perbandingan infrastruktur antara jaringan 21 Cineplex dan jaringan Blitz Megaplex yang menunjukkan perbedaan cukup signifikan serta kecenderungan dominasi jaringan 21 Cineplex di pasar.
Data Bioskop Jaringan 21 Cineplex Nama Jumlah Gedung Jumlah 21 Jumlah XXI Jumlah Layar Jumlah Kursi Jumlah Premiere Jumlah Layar 3D Jumlah 117 gedung 81 gedung 29 gedung 489 layar 94.476 kursi 7 gedung (524 kursi) 6 layar (1.616 kursi) Data Bioskop Jaringan Blitz Megaplex No Nama 1 2 3 4 5 Total Blitz Paris van Java Bandung Blitz GI Jakarta Blitz PP Jakarta Blitz MoI Jakarta Blitz BSD Banten 5 gedung Jml Layar 9 11 8 10 9 47 layar Jml Kursi 2.200 2.997 1.200 1.768 1.800 9.965 kursi
18
INDUSTRI ONLINE
Internet merupakan media yang memiliki pertumbuhan paling cepat dibanding media lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari video Advance of Technology, untuk mencapai jumlah pasar 50 juta, internet hanya membutuhkan waktu 4 tahun. Sementara radio membutuhkan waktu 38 tahun, dan televisi 13 tahun. Di tahun 1984, jumlah perangkat internet di seluruh dunia hanya seribu, jumlah ini meningkat menjadi sekitar 1 juta perangkat di tahun 1992, dan di tahun 2008, berkali lipat menjadi 1 milyar. Urban Internet Penetration (%)
20
15 8 10 5 0 2005 2006 2007 2008 2009
Age : 10+, All 9 Major Cities, Use Internet past 1 year Source : Nielsen Wave 4, 2005-2009
15 11 12
17
Pertumbuhan internet yang spektakuler ini juga terjadi di Indonesia. Sebagai media paling muda di Indonesia, yang baru berusia sekitar 20 tahun, Penetrasi internet di kalangan pengguna Indonesia telah mencapai lebih dari 30 juta pengguna. Grafik di atas menunjukkan bahwa tren peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia dengan angka penetrasi meningkat lebih dari 200% selama 2005-2009 beg. Hal ini menunjukkan bahwa internet merupakan industri media massa yang paling potensial, terutama jika dihadapkan pada jumlah pasar yang besar di Indonesia. Tingginya penetrasi pengguna internet di Indonesia ini dipicu oleh luasnya ekspansi teknologi internet dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan melalui perangkat mobile, dengan harga yang semakin murah. Selain itu, munculnya berbagai situs jejaring sosial juga menjaring banyak pasar. Internet User Penetration by Region (%)
Palembang Denpasar Sleman-Bantul Yogyakarta Makassar Medan Semarang Gerbangkertasila Surabaya Bandung Botabek Jakarta 2005 2009 0 5 14 13 19 12
26 27
11 11
3
45
17 18 15
33
14 13 24 14 19 11 15 27 10 20 30 40 50
Jika penetrasi tersebut di-breakdown berdasarkan regional seperti pada tabel disamping, dapat diketahui bahwa seluruh daerah di Indonesia mengalami pertumbuhan pengguna internet cukup signifikan. Angka pertumbuhan tertinggi terdapat di Kota Yogyakarta (termasuk SlemanBantul) dan Semarang. Kondisi ini disebabkan karena tingginya kebutuhan penggunaan internet di kedua kota tersebut dibandingkan jumlah penduduk keseluruhan.
Age : 10+, All 9 Major Cities, Use Internet past 1 year Source : Nielsen Wave 4, 2005-2009
19
TOP 10 VISITED SITES IN INDONESIA No. GENERAL INDONESIAN SITES 1. Facebook Kaskus 2. Google.co.id Detik.com 3. Google.com Kompas.com 4. Blogger.com Vivanews.com 5. Yahoo KlikBCA 6. Kaskus Tokobagus.com 7. Youtube Okezone 8. Wordpress KapanLagi.com 9. Twitter Bank Mandiri 10. 4shared Indowebster
Source : Alexa.com, 3 June 2011
Age : 10+, All 9 Major Cities, Use Internet past 1 year Source : Nielsen Wave 4, 2005-2009
Grafik di atas menunjukkan penggunaan internet oleh pengguna internet di Indonesia. Oleh pengguna di Indonesia, internet paling banyak digunakan untuk email, online games, music buffering, dan browsing. Selanjutnya, internet juga banyak digunakan untuk chatting dan download. Pemanfaatan internet bagi kegiatan yang sifatnya hiburan dan sampingan ini berkaitan dengan usia pengguna internet di Indonesia yang kebanyakan merupakan generasi muda. Berdasarkan data dari The Nielsen Company (2009), pengguna internet di Indonesia kebanyakan berusia 15-19 tahun sejumlah 33% dan usia 20-29 tahun sejumlah 30 % dari total keseluruhan pengguna internet. Bahkan internet juga telah menyentuh pengguna anak-anak usia 10-14 tahun sebanyak 20%. Tingginya penetrasi internet di kalangan pengguna muda ini disebabkan karakteristik internet yang cenderung murah dan mudah diakses di mana saja, baik melalui komputer juga perangkat mobile. Jika dilihat berdasarkan situs yang dikunjungi (perhitungan per klik), dapat diketahui sepuluh besar situs yang peling sering dikunjungi oleh pengguna internet di Indonesia. Posisi empat besar ditempati oleh Facebook, Google.com, Google.co.id, dan Blogger.com. Terkait dengan Facebook, data yang dilansir dari Kompas.com (2 Juni 2011) menyatakan bahwa jumlah pengguna Facebook di Indonesia menempati peringkat pertama di dunia tingkat pertumbuhan nomor dua di dunia setelah Brasil. Begitu juga dengan situs Twitter. Pengguna Indonesia merupakan pengguna Twitter yang paling aktif di dunia. Hal ini menunjukkan karakteristik pasar Indonesia yang menyenangi situs jejaring sosial. Tabel tersebut menunjukkan bahwa situs-situs yang banyak diakses oleh pengguna Indonesia sejalan dengan fungsi yang sering dimanfaatkan, yaitu email (Google dan Yahoo); games dan social networking (Facebook, Twitter, Kaskus); musik, hiburan, dan download (4shared, Youtube); browsing (Google); juga chatting (Facebook dan Yahoo). Yang patut dicermati, dari sepuluh besar situs yang paling sering dikunjungi oleh pengguna Indonesia, hanya Kaskus yang merupakan situs asli Indonesia. Sedangkan jika dilihat berdasarkan situs asli Indonesia, situs asli Indonesia yang paling banyak diminati ialah situs komunitas (Kaskus), portal berita dan hiburan (Kompas, Detik, Vivanews, Okezone, KapanLagi), situs perbankan (BCA Dan Bank Mandiri), dan info produk (Tokobagus), juga situs download (Indowebster).
Analisis Ekonomi Media di Indonesia
20
Audience Share Audience share ini diperoleh melalui perhitungan unique visitor atau pengunjung dengan berdasarkan IP address, bukan jumlah klik. Unique visitor dipilih agar lebih menggambarkan tingkat kondisi pasar yang sebenarnya dalam industri internet. Jika dilihat berdasarkan unique visitor, maka terjadi perubahan posisi dengan Indowebster menempati posisi keempat dan disusul KapanLagi.com. Berdasarkan angka audience share, dapat dilakukan analisis struktur pasar. Tingkat Persaingan Perhitungan tingkat persaingan pasar yang diperoleh dari unit analisis audience share menghasilkan angka indeks H = 0,27. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa industri internet di Indonesia memiliki karakteristik pasar oligopoli dengan mengarah pada pasar persaingan sempurna. Hal ini berarti dari segi jumlah pemain pasar, persaingan di industri internet cenderung bebas, akan tetapi jika mencermati kemapanan pemain lama dan kapital yang terpusat pada pemain besar, dapat dicermati bahwa industri internet di Indonesia menunjukkan karakteristik oligopoli. Dari segi differensiasi produk, pasar internet Indonesia didominasi oleh situs berita dan komunitas online.
Daily Ads Revenue Share - 2011 (%)
Bank Mandiri Indowebster Tokobagus Kapanlagi.com Okezone. Kompas.com Klik BCA Vivanews Detik.com Kaskus 0.013 1.7 2.3 4.4 5.4 7.1 9.8 11.9 17 40.1
Konsentrasi Pasar Berdasarkan tingkat audience share di atas, diperoleh perhitungan rasio konsentrasi empat pemain terbesar dalam pasar yaitu CR4 = 81,2%. Hal ini merepresentasikan tingkat konsentrasi pasar internet di Indonesia berada di level konsentrasi tinggi (high concentration). Artinya, meskipun dari segi jumlah sellers and buyers terdapat ribuan halaman website buatan Indonesia, pasar internet di Indonesia masih terfokus pada beberapa pemain tertentu. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya pilihan situs asli Indonesia dan preferensi audience yang sangat besar terhadap situs Indonesia yang tertentu yang telah mapan, yaitu Kaskus, dan portal berita yaitu Detik dan Kompas. Advertising Revenue Dari segi jumlah penerimaan iklan (ads revenue), dapat diketahui bahwa empat pemain besar dalam pasar iklan online adalah Kaskus, Detik.com, Vivanews, dan KlikBCA. Adanya KlikBCA dalam pemain utama pasar iklan ditengarai akibat nilai transaksi setiap pengunjung melakukan klik. Dalam pasar iklan online, diketahui bahwa situs berita dan komunitas online merupakan jenis situs yang paling diminati oleh para pengiklan.
Analisis Ekonomi Media di Indonesia
21
Film Internet
28.7% 81.2%
0.32 0.27
22
c. Struktur Kepemilikan
Konsentrasi Kepemilikan Jenis Media Surat Kabar Nama Media Jawa Pos Radar Kompas - Tribun - Warta Kota Pop FM - Trijaya FM FeMale - Gen FM TVOne ANTV RCTI - Global TV - MNCTV SCTV - Indosiar TransTV Trans7 MD Pictures Multivision 21 - XXI - Platinum (Bioskop) Kompas.com Tribunnews - Warta Online Seputar Indonesia - RCTI Global TV - MNCTV Okezone - Trijaya FM Radio Dangdut Indonesia ARH Indonesia - V Radio Kompas - Kompas.com Sonora TVOne - ANTV - Vivanews MetroTV - Media Indonesia TransTV - Trans7 TransFilm Production Percetakan -Distribusi Nasional - Redaksi Bioskop Distributor Film Importir Film Grup Konglomerasi Jawa Pos Network Kompas Gramedia Trijaya Group Female Network Bakrie MNC Group Surya Citra Group TransCorp Grup Punjabi Jaringan 21 Cineplex Kompas Gramedia Karakteristik Pasar Close to Perfect Competition Close to Perf Competition Oligopoly Oligopoly
Radio
Online
Oligopoly
Cross-Media Integration
Kompas Gramedia Bakrie Group Media Group TransCorp Jawa Pos Network Jaringan 21 Cineplex
Vertical Integration
Film
Struktur pasar sebagian besar media di Indonesia menunjukkan tingkat konsentrasi tinggi dengan karakteristik pasar oligopoli. Perkecualian terjadi pada industri perfilman yang memiliki konsentrasi rendah dengan struktur pasar oligopoly, dan cenderung monopoli dalam hal distribusi. Dominasi struktur oligopoli dalam pasar media massa di Indonesia ini disebabkan oleh struktur kepemilikan dengan tingkat konsentrasi kepemilikan yang tinggi sebagai konsekuensi integrasi kepemilikan. Berbagai integrasi kepemilikan ini menyebabkan indutri media massa Indonesia sarat dengan konglomerasi media.
23
Market Conduct Untuk menganalisis market conduct dalam peta industri media massa di Indonesia, digunakan kerangka market structure sebagai acuan karena market conduct pada dasarnya merupakan strategi organisasi media dalam merespon struktur pasar. Tabel di bawah merupakan perbandingan market conduct berbagai media massa di Indonesia. Perbandingan Market Conduct Industri Media Massa di Indonesia
Komponen Struktur Barriers to Entry Deskripsi - UU Penyiaran - UU Monopoli - UU Pers (Liberalisasi) - Keterbatasan Frekuensi Siaran - Konglomerasi media - Adex sesuai rating audience Staretgi / Kebijakan Industri - Penyelenggaraan Siaran 24 jam - Pendirian anak perusahaan dgn nama PT berbeda - Pendirian surat kabar baru atau koran daerah sbg anak media - Pembentukan jaringan di daerah lain - Konvergensi Media - Produksi konten yang diminati selera pasar Jenis Media - TV, Radio - TV, Distribusi Film - Surat Kabar - Radio - Surat Kabar, TV, Online - Film, TV, Online
Market Performance Berdasarkan kerangka market performance atau performa media, maka dilakukan analisis untuk mengkategorisasikan industri media massa di Indonesia dalam menjadi empat fase performance, yaitu intro, growth, maturation, dan decline. Berikut merupakan tabulasi hasil analisis industri media massa di Indonesia berdasarkan kerangka market performance.
Karakteristik Pasar Penjualan Laba Audience Barriers Entry Exit Rendah Rendah Kompetitor
Fase Siklus Hidup Media Awal Masuk (Intro) Tumbuh (Growth) Puncak (Maturation) Penurunan (Decline)
Jenis Industri Media Online TV (Media dgn Konvergensi Teknologi) Media Online, Multimedia Buku, Film, TV, Radio
Negatif
Terbatas Tumbuh signifikan Relatif tetap dan stabil Cukup banyak tapi menurun
Tumbuh
Moderat
Moderat
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Menurun
Turun
Laggard
Tinggi
Tinggi
Surat Kabar
24
KESIMPULAN ANALISIS
Berdasarkan berbagai data dan hasil analisis berdasarkan kerangka analisis ekonomi media yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan mengenai indutri media massa di Indonesia, antara lain: 1. Industri media massa di Indonesia terdiri dari lima jenis media besar, yaitu surat kabar, radio, televisi, perfilman, dan online dengan masing-masing media memiliki karakteristik pasar tersendiri. Secara umum, industri media massa di Indonesia merupakan industri yang strategis dengan tingkat pertumbuhan prospektif. Hal ini disebabkan oleh masifnya jumlah audience di Indonesia dan tingginya tingkat konsumsi terhadap media. Dari segi konsumsi audience, industri media massa yang paling stabil adalah industri televisi. Industri yang mengalami pertumbuhan adalah industri online, dan yang mengalami penurunan adalah industri surat kabar. 2. Struktur pasar sebagian besar media di Indonesia menunjukkan tingkat konsentrasi tinggi dengan karakteristik pasar oligopoli. Perkecualian terjadi pada industri perfilman yang memiliki konsentrasi rendah dengan struktur pasar oligopoly, dan cenderung monopoli dalam hal distribusi. Dominasi struktur oligopoli dalam pasar media massa di Indonesia ini disebabkan oleh struktur kepemilikan dengan tingkat konsentrasi kepemilikan yang tinggi sebagai konsekuensi integrasi kepemilikan. Berbagai integrasi kepemilikan ini menyebabkan indutri media massa Indonesia sarat dengan konglomerasi media. 3. Dalam pengukuran market conduct dengan menggunakan unit analisis CPM atau , dapat diketahui bahwa biaya periklanan tertinggi ialah di media televisi. Namun, biaya tinggi ini diimbangi dengan jangkuan audience TV yang juga luas dan massif, sehingga efisiensi biaya periklanan di TV dinilai cukup efisien. Dalam jangka waktu ke depan, media yang sebenarnya paling prospektif di Indonesia adalah media online. Hal ini dilihat dari jumlah penetrasi internet yang terus meningkat 4. Berdasarkan kerangka market performance atau performa media, industri media massa di Indonesia dapat dikategorisasikan menjadi empat fase pertumbuhan, yaitu intro, growth, maturation, dan decline. Industri yang memiliki performa paling optimal ialah industri online karena sedang berada dalam fase tumbuh dan pertumbuhannya sangat potensial. Industri radio, televisi, dan film berada di level maturation dengan industri televisi berada di level puncak karena mampu menjangkau audience yang luas. Sedangkan industri yang berada pada fase decline adalah industri surat kabar. Penurunan performa surat kabar dipengaruhi oleh faktor perkembangan teknologi yang memunculkan pesaing berupa alternatif media-media baru yang lebih diminati karena lebih mudah dan murah.
25
DAFTAR PUSTAKA
Albarran, Alan B. (2002). Media Economics: Understanding Markets, Industries and Concepts (2nd ed.). Ames: Iowa State University Press. Albarran, Alan B. (2004). Media Economics dalam The SAGE Handbook of Media Studies. New York: SAGE Publications Ltd. Alexa Website Information. (2011, 3 Mei). http://alexa.com/topsites/countries/id Compete Website Comparison. (2011, 3 Mei). http://compete.com/m/profiles/_comparison/ ?q=facebook.com&q=google.co.id&q=google.com Media Sece 2008 Media Scene 2009 Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. (2010). Media Guide 2010. Jakarta: PPPI. The Nielsen Company. (2010). Nielsen Wave 4, 2005-2009, diperoleh dari Materi Presentasi Herman Darmo dalam Perkuliahan Manajemen Media, Universitas Indonesia. Web Value Estimation. (2011, 3 Mei). http://webestimated.com
26