Você está na página 1de 19

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Bukan masalah yang sederhana untuk menentukan batas mengenai anak yang mengalami gangguan tingkah laku atau lebih dikenal dengan istilah tunalaras. Hingga kini belum ada definisi yang dapat diterima secara umum serta memuaskan semua pihak. Kenyataannya batasan atau definisi yang telah dikemukakan para profesional dan para ahli yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing untuk keperluan profesionalnya. Anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan pertentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri,mengganggu, dan menyakiti orang lain. Dengan kata lain tingkah lakunya menyusahkan lingkungan. Istilah gangguan emosi yang dipakai untuk menyebut mereka yang tunasosial masih sering menjadi persoalan. Masalahnya adalah apakah setiap perilaku antisosial selalu mengandung gangguan emosi? Atau apakah semua perilaku antisosial tersebut selalu merupakan manifestasi dari gangguan emosi? Timbul gagasan bahwa istilah yang paling tepat adalah gangguan tingkah laku (behavior disorders). Hal ini sejalan dengan batasan anak tunalaras yang digariskan oleh Departemen Pendidikan Kebudayaan (1977:13) yaitu sebagai berikut : anak yang berumur antara 6-17 tahun dengan karakteristik bahwa anak tersebut mengalami gangguan atau hambatan emosi dan berkelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat . Melihat pernyataan diatas, maka jelaslah bahwa anak tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, yang menjadi pokok permasalahan ini : Mengenal karakteristik dan masalah perkembangan anak tunalaras. Dari masalah tersebut dirumuskan menjadi sub masalah sebagai berikut :

1. Klasifikasi anak tunalaras 2. Faktor-faktor penyebab ketunalarasan 3. Perkembangan kognitif anak tunelaras 4. Perkembangan kepribadian anak tunalaras 5. Perkembangan emosi anak tunalaras 6. Perkembangan sosial anak tunalaras 7. Dampak ketunalarasan bagi individu dan lingkungan

C. Tujuan Penulisan makalah ini bertujuan untuk medapatkan informasi dan menambah pengetahuan mengenai karakteristik dan masalah perkembangan anak tunalaras. Selain itu penulisan makalah ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui karakteristik anak tunalaras 2. Mempermudah pengajar dalam melakukan pendekatan kepada anak tunalaras dalam kegiatan belajar mengajar.

BAB II PEMBAHASAN

A. Klasifikasi Anak Tunalaras Menurut S.A. Bratanata (1975:69) mengemukakan bahwa ... anak tunalaras dicirikan oleh seberapa jauh anak itu terlihat dalam tidak kenakalan, tinkat kelainan emosinya, dan status sosialnya . Secara garis besar anak tunalaras diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami kesukaran dalam menyasuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan mengalami gangguan emosi. Menurut William M. Cruicshank (1975:567) mengemukakan 2 hal,yaitu : Anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial: 1. The semi-socialize child Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial, tetapi terbatas pada lingkungan tertentu,misalnya keluarga dan kelompoknya. Keadaan ini terjadi pada anak yang menganut norma-norma sendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku dimasyarakat. 2. Children arrested at a primitive level or socialization Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan
3

kearah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingaga melakukan apa saja yang mereka hendaki. Penyebabnya adalah kurangnya perhatian orang tua, sehingga berakibat pada perilaku sesuai dengan dorongan nafsu saja. Namun mereka masih bisa bersikap ramah. 3. Children with minimum socialization capacity Anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Penyebabnya adalah kelainan pada anak yang tidak pernah mengenal kasih sayang sehingga anak tersebut mengalami sikap apatis dan egois. Anak yang mengalami gangguan emosi :

1. Neurotic behavior (perilaku neurotik) Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain, tetapi mereka mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu menyelesaikannya. Mereka sering dihinggapi sakit hati, marah, cemas, dan agresif, serta rasa bersalah. Penyebabnya adalah dari sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajar atau kesulitan belajar. 2. Children with psychotic processes Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan khusus. Mereka sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Hal ini disebabkan oleh gangguan sistem syaraf sebagai akibat keracunan, misalnya minuman keras dan obat-obatan.

B. Faktor-faktor Penyebab Ketunalarasan Dari berbagai faktor bekaitan dengan masalah ketunalarasan, berikut ini membahas :
1. K ondisi/keadaan Fisik

Ada sementara ahli yang meyakini bahwa disfungsi kelenjar endoktrin dapat mempengaruhi timbulnya gangguan tingkah laku. Bahkan dari hasil penelitiannya, Gunzburg (dalam Simanjuntak, 1947) menyimpulkan bahwa disfungsi kelenjar endoktrin merupakan salah satu penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endoktrin ini mengeluarkan hormon yang mempengaruhi tenaga seseorang. Bila secara terus menerus fungsinya mengalami gangguan, maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik dan mental seseorang sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan wataknya. Kondisi fisik ini dapat pula berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya baik berupa kebutuhan fisik biologis maupun kebutuhan psikisnya. Masalah ini menjadi kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negatif dari lingkungannya. Sebagai akibatnya, timbul perasaan rendah diri, perasaan tidak berdaya/tidak mampu, mudah putus asa, dan merasa tidak berguna sehingga menimbulkan kecenderungan menarik diri dari lingkungan pergaulan atau sebaliknya, memperlihatkan tingkah laku agresif, atau bahkan memanfaatkan kelainannnya untuk menarik belas kasih lingkungannya. 2. Masalah perkembangan Menurut Erikson (dalam Singgih D. Gunarsa, 1985:107) setiap memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga individu dapat menyesuaikan diri dengan lngkungan sosial atau masyarakatnya. Sebaliknya apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terutama terjadi pada masa kanak-kanak dan masa pubertas. Adapun ciri yang menonjol yang nampak pada masa kritis ini adalah sikap menentang dan keras kepala. Kecenderungan ini disebabkan oleh karena anak
5

sedang dalam proses menemukan aku-nya. Anak jadi merasa tidak puas dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-ledak, misalnya: marah, menentang, memberontak dan keras kepala. Emosi yang kuat seringkali meluap-luap sehingga dapat menimbulkan ketegangan dan kecemasan. 3. Lingkungan keluarga Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak, keluarga memiliki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak. Keluargalah peletak dasar perasaan aman (emotional security) pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku pada anak. Beberapa aspek yang terdapat dalam lingkugan keluarga yaitu sebagai berikut: a. Kasih sayang dan perhatian Kasih sayang dan perhatian orang tua dan anggota keluarga lain sangat dibutuhkan oleh anak. Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua mengakibatkan anak mencarinya di luar rumah. Dia bergabung dengan kawan-kawannya dan membentuk satu kelompok anak yang merasa senasib. Selain untuk memperoleh rasa aman dalam kelompoknya, dapat juga anak dengan sengaja melakukan perbuatan tercela dan menentang norma liingkungan untuk memperoleh perhatian orang tuanya. Menurut Sofyan S. Willis (1981) mereka berkelompok untuk memenuhi kebutuhan yang hampir sama, antara lain untuk mendapatkan perhatian dari orang tua dan masyarakat. Sebaliknya, jika orang tua memberikan kasih sayang yang berlebihan pada anaknya ( over protection), misalnya sikap yang memanjakan sehingga menyebabkan ketergantungan pada anak. Jika anak mengalami kegagalan dalam mencoba sesuatu ia lekas menyerah dan merasa kecewa, sehingga pada akhirnya akan timbul rasa tidak percaya diri/rendah diri pada anak. b. Keharmonisan keluarga

Banyak tindakan kenakalan atau gangguan tingkah laku dilakukan oleh anakanak yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Ketidak harmonisan ini disebabkan oleh pecahnya keluarga atau tidak adanya kesepakatan antara orang tua dalam menerapkan disiplin dan pendidiikan terhadap anak. Kondisi keluarga yang pecah atau rumah tangga yang kacau menyebabkan anak kurang mendapatkan bimbingan yang semestinya. Menurut Hetherington (dalam Kirk & Gallagher, 1986) semua anak yang menghadapi perceraian orang tua mengalami masa peralihan yang sangat sulit. c. Kondisi ekonomi Lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat pula menjadi salah satu penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan anak, padahal seperti kita ketahui pada diri anak timbul keinginan-keinginan untuk dapat menyamai temannya yang lain, misalnya: dalam berpakaian, kebutuhan akan hiburan, dan lain-lain. Tidak dipenuhinya kebutuhan tersebut di dalam keluarga dapat mendorong anak mencari jalan sendiri yang kadang-kadang mengarah pada tindakan antisosial. G. W. Bawengan (1977) menyatakan bahwa kondisi-kondisi seperti kemiskinan atau pengangguran secara relatif dapat melengkapi rangsanganrangsangan untuk melakukan pencurian, penipuan, dan perilaku menyimpang lainnya. 4. Lingkungan sekolah Sekolah merupakan tempat pendidiikan yang kedua bagi anak setelah keluarga. Tanggung jawab sekolah tidak hanya sekedar membekali anak didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan, akan tetapi sekolah juga bertanggung jawab membina kepribadian anak didik sehingga menjadi seorang individu yang dewasa yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan masyarakat yang lebih luas. Akan tetapi tidak jarang sekolah menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku pada anak seperti dikemukakan Sofyan Willis (1978) bahwa dalam rangka pembinaan anak didik ke arah kedewasaan, kadang-kadan sekolah juga penyebab dari timbulnya kenakalan remaja.

Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah antara lain berasal dari guru sebagai tenaga pelaksanaan dan fasilitas penunjang yang dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Sebaliknya, sikap guru yang terlampau lemah dan membiarkan anak didiknya tidak disiplin mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan berani melakukan tindakan-tindakan menentang peraturan. Selain guru, fasilitas pendidikan berpengaruh pula terjadinya gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas yang dibutuhkan anak didik untuk menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang mengakibatkan anak menyalurkan aktivitasnya pada hal-hal yang kurang baik. Misalnya: karena tidak ada tempat bermai, anak berkeliaran di tempat-tempat umum sehingga kadangkadang anak mengabaikan waktu belajarnya. 5. Lingkungan masyarakat Lingkungan tempat anak berpijak sebagai makhluk sosial adalah masyarakat. Menurut Bandura (dalam Kirk & Gallagher, 1989), salah satu hal yang nampak mempengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain. Disamping pengaruh-pengaruh yang bersifat positif, di dalam lingkungan masyarakat juga terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negatif yang dapat memicu munculnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat yang negatif ditambah banyaknya hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah laku.

C. Perkembangan kognitif anak tunalaras

Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi yang rendah. Memang anggapan itu tidak sepenuhnya keliru
8

karena diantara anak tunalaras juga ada yang mengalami keterbelakangan mental. Kelemahan dalam perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak dengan intelegensi yang rendah di sekolah adalah ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya, sedangkan pada dasarnya seorang anak tidak ingin berbeda dengan kelompoknya terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar. Menurut Ny. Singgih Gunarsa (1982) kecerdasan dirinya berbeda dengan kelompoknya menimbulkan kesulitan pada anak dengan cara penyelesaian yang sering kali tidak sesuai dengan cara penyelesaian yang wajar. Di samping anak yang berintelegensi rendah, tidak berarti bahwa anak yang memiliki intelegensi tinggi tidak bermasalah. Anak yang berintelegensi tinggi sering kali bermasalah dalam penyesuaian diri dengan teman-temannya. Anak yang pintar dengan hambatan ego emosional seringkali mempuyai anggapan yang negatif terhadap sekolah. Ia menganggap sekolah terlalu mudah dan guru menerangkan terlalu lambat. Masalah lain yang dihadapi anak ini dalam hubungannya dengan orang lain adalah sikap tidak mau kalah.

D. Perkembangan Kepribadian Anak Tunalaras

Kepribadian merupakan suatu struktur yang unik, tidak ada dua individu yang memiliki kepribadian yang sama. Para ahli mendefinisikan kepribadian sebagai suatu organisasi yang dinamis pada sistem psikofisis individu yang turut menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kepribadian akan mewarnai peranan dan kedudukan seseorang dalam berbagai kelompok dan akan mempengaruhi kesadaran sebagai bagian dari kepribadian akan dirinya. Dengan demikian kepribadian dapat menjadi penyebab seseorang berprilaku menyimpang.

E. Perkembangan Emosi Anak Tunalaras

Terganggunya perkembangan emosi merupakan penyebab dari kelainan tingkah laku anak tunalaras. Ciri yang menonjol pada mereka adalah kehidupan emosi
9

yang tidak stabil, ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara cepat, dan pengendalian diri yang kurang sehingga mereka seringkali menjadi sangat emosional. Terganggunnya kehidupan emosi ini terjadi sebagai akibat ketidakberhasilan anak dalam melewati fase-fase perkembangan. Freud mengemukakan bahwa kehidupan emosi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak harus berlangsung dengan baik agar tidak menjadi masalah setelah dia dewasa. Anak yang tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang dan kepuasan pemenuhan kebutuhan akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan terhadap orang lain sehingga dikemudian hari ia akan mengalami masalah dalam hubungan sosial dengan orang lain. Kematangan emosional seorang anak ditentukan dari hasil interaksi dengan lingkungannya, di mana anak belajar tentang bagaimana emosi itu hadir dan bagaimana untuk mengekspresikan emosi-emosi tersebut. Perkembangan emosi ini berlangsung secara terus menerus sesuai dengan perkembangan usia, akan banyak pula pengalaman emosional yang diperoleh anak. Ia semakin banyak merasakan berbagai macam perasaan. Akan tetapi tidak demikian halnya pada anak tunalaras. Ia tidak mampu belajar dengan baik dalam merasakan dan menghayati berbagai macam emosi yang mungkin dapat dirasakan, kehidupan emosinya kurang bervariasi dan ia pun kurang dapat mengerti dan menghayati bagaimana perasaan orang lain. Mereka juga kurang mampu mengendalikan emosinya dengan baik sehingga seringkali terjadi peledakan emosi. Ketidak stabilan emosi ini menimbulkan penyimangan tingkah laku, misalnya: mudah marah dan mudah tersinggung, kurang mampu memahami perasaan orang lain (perasaannya dangkal), berprilaku agresif, dan menarik diri. Perasaanperasaan seperti ini tentu akan mengganggu situasi belajar dan akan mengakibatkan prestasi belajar yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Karena itu mereka memerlukan pengajaran remidial. Fokus bantuan bagi mereka dalam mengatasi kesulitan belajarnya bukanlah terletak pada prestasi belajar agar mencapai tingkat yang memuaskan, akan tetapi pemberian motivasi agar mereka mau dan senang belajar. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh para pengelola pendidikan dalam usaha memunculkan motivasi belajar bagi anak tunalaras, yaitu: 1. Pengaturan lingkungan belajar
10

Lingkungan belajar hendaknya ditata atau dikelola sedemikian rupa sehingga anak tidak merasa tertekan. Contoh : lingkungan fisik, yaitu pengaturan meja dan kursi, termasuk fentilasi hendaknya memungkinkan anak merasa tenang dan timbul rasa senang diam di kelas. Warna-warna alat maupun ruang hendaknya tidak menyolok sebab akan menimbulkan kegelisahan dan anak selalu ingin marah. Karena itu gunakanlah warna yang tidak mengundang kegelisahan. Pengaturan tempat duduk hendaknya memungkinkan terjadinya komunikasi langsung antar anak dengan guru. Mengenai lingkungan atmosfer yaitu suasana (suara guru, peraturan) hendaknya tidak terlalu ketat sehingga anak merasakan ada kelonggaran dan mereka tidak merasa tertekan. 2. Mengadakan kerjasama dengan lembaga lain/lembaga pendidikan umumnya Berhubung pendidikan anak-anak tunalaras sifatnya temporer, maka guru harus menyadari bahwa anak ini belajar di sekolah khusus hanyalah sementara. Karena itu biasa disebut redukasi. Salah satu hal yang kurang dilakukan oleh pihak pengelola PLB tunalaras adalah kurang usahanya mengkomunikasikan bagaimana keadaan anak ini sebenarnya. Akibatnya, apa yang dikatakan mengenai anak tunalaras sulit mengalami perubahan ke arah kemajuan pandangan yang melihat bahwa mereka perlu disediakan lingkungan yang baik atau lingkungan yang dapat mendukung perkembanganya. 3. Tempat layanan pendidikan Melihat keadaan mereka sedemikian rupa, maka tempat pendidikannya tidak harus dipisahkan dengan anak normal, akan tetapi lebih baik bila disatukan dengan anak biasa. Hanya saja dalam mengintegrasikan mereka dengan anak biasa tentu membutuhkan persyarata-persyaratan tertentu yang perlu dipisahkan. Persyaratan yang dimaksud adalah sebagai berikut : Perbandingan jumlah anak tunalaras dengan anak biasa dalam satu kelas haruslah diperhatikan Persiapan program pendidikan secara khusus

11

Bila anak bisa mempelajari program sama untuk semua anak, maka bagi anak tunalaras tentu saja harus diperhatikan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Kesiapan orang tua atau keluarga Orang tua harus diajak untuk memikirkan hal ini dan tentu saja akan siap berunding dengan pihak sekolah bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, anak ini diejek sehingga orang tua merasa tersinggung akan hal itu. Kesiapan teman sekelas atau sekolah di mana ia akan diintegrasikan Anak-anak biasa hendaknya dipersiapkan lebih dahulu dengan memberitahukan kemampuan dan ketidakmampuan temannya yang akan datang belajar bersama-sama mereka.

F. Perkembangan Sosial Anak Tunalaras

Sebagaimana kita pahami bahwa anak tuna laras mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau lingkungannya. Hal ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk membentuk hubungan sosial dengan semua orang. Dalam banyak kejadian, mereka ternyata dapat menjalin hubungan sosial yang sangat erat dengan teman-temannya. Ketidakmampuan anak tunalaras dalam melalui interaksi sosial yang baik dengan lingkungannya disebabkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak/kurang menyenangkan. Setiap mencapai tahapan perkembangan baru, anak menghadapi krisis emosi. Apabila egonya mampu menghadapi krisis ini maka perkembangan egonya akan mengalami kematangan dan anak akan mampu menyesuaikan diri dengan baik. Emosi/perasaan mempunyai peranan yang sangat penting dalm perkembangan hubungan antar individu. Anak yang mengalami gangguan emosi menunjukkan kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan. Dapat pula anak menjadi suka menyerang, memberontak, dan susah diatur. Keaadan ini dapat terjadi dalam berbagai lingkungan,
12

baik di sekolah maupun di rumah. Di sekolah mereka menjadi malas belajar, kurang perhatian terhadap pelajaran, dan mengalami kegagalan dalam belajar. Di lingkungan rumah, mereka merasa tidak kerasan dan senang berkeluyuran. Anak tunalaras memiliki penghayatan yang keliru, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya. Mereka menganggap dirinya tidak berguna bagi orang lain dan merasa tidak berperasaan. Oleh karena itu timbulah kesulitan apabila menjalin hubungan dengan mereka, ingin mencoba mendekati dan menyayangi mereka , dan apabila berhasil sekalipun mereka akan menjadi sangat tergantung pada seseorang yang pada akhirnya dapat menjalin hubungan sosial dengannya. Masalah yang dihadapi anak yang menarik diri ini adalah pengendalian dari kelenturan ego. Mereka terlalu mengekang dorongan hati, keinginan, dan nafsu dalam berbagai situasi. Hal ini menyebabkan mereka tidak sanggup berlaku spontan. Dalam dirinya tampak suatu keadaan tidak berdaya yang dipelajari (learned helplessness) yang mana hal ini dapat menimbulkan masalah serius bila ia mengalami kekecewaan, ia merasa bahwa kekecewaan adalah bagian dari dirinya. Anak dengan masalah ini mempunyai konsep yang demikian rendah sehingga kegagalan dalam tugas sekolah atau kehidupan sosialnya hanya menunjukkan ketidakberdayaan di hadapan lingkungannya. Penampilan yang buruk dalam suatu situasi mungkin akan dilakukannya lebih buruk lagi hanya karena ia merasa pesimis dengan diri dan kemampuannya. Perasaan dan sikap rendah diri nampak menonjol dalam penampilan mereka.

G. Dampak Ketunalarasan Bagi Individu Dan Lingkungan

Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras mempunyai dampak negatif baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Salah satu dampak serius yang mereka alami adalah tekanan bati berkepanjangan sehingga menimbulkan perasaan merusak diri mereka sendiri. Bila mereka kurang mendapatkan perhatian dan penangana dengan segera, maka mereka akan semakin terperosok dan jarak yang memisahkan mereka dari lingkungan sosialnya akan semakin bertambah lebar.

13

Menurut Schloss (Kirk & Gallager, 1986) tekanan batin yang berkepanjangan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness)

Anak-anak telah mempergunakan semua perilaku penyesuaiannya untuk mencoba keadaan yang sulit. Ketidakmampuan mereka untuk mengatasi kesulitan tersebut menjadi tergeneralisasi sehingga ketika mereka mempunyai perilaku yang baik sekalipun mereka tidak mau mempergunakannya.
2. Keterampilan sosial yang minim (social skill deficiency)

Perkembangan

kepribadian

yang

tertekan

akan

menimbulkan

kurang

terampilannya dalam memperoleh penguatan (reinforcement) perilaku sosial yang positif. Kondisi ini akan mengurangi terjadinya interaksi sosial yang positif.
3. Konsekuensi paksaan (coercive consequences)

Tekanan batin yang berlarut-larut tergantung pada konsekuensi paksaan. Jika anak yang sedang cemas menarik diri menerima reaksi positif dari lingkungannya, mreka tetap gagal mengembangkan perilaku pribadi dan keterampilan sosial yang mengarah kepada perilaku yang efektif.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukan penentangan terhadap norma-norma sosial yang ada di masyarakat. Anak tunalaras bukannya tidak bisa menjalin hubungan sosial sama sekali dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya, akan tetapi mereka bisa menjalin hubungan sosial yang baik dengan teman-temannya.
14

B. Saran Sebagai sesama manusia, maka kita tidak boleh membeda-bedakan anatara satu dengan yang lain. Dalam hal ini adalah anak tunalaras yang harus dibimbing dan dididik tanpa membeda-bedakan mereka dengan anak yang normal.

15

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah Swt, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, makalah ini dapat penulis susun dan selesaikan tepat waktu. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas Pendidikan Jasmani Adaptif yang dibimbing oleh Drs. H. Kaswari, S.pd, M.pd . Dengan adanya makalah ini, semoga dapat membantu penulis dan rekan-rekan semua untuk mengetahui dan mendapatkan informasi mengenai klasifikasi dan pendidikan bagi anak tunalaras. Makalah ini sudah tentu masih belum sesuai dengan harapan, mengingat masih banyak kekurangan dan kelemahannya, sehingga secara penuh belum juga bisa diandalkan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari rekan-rekan semua agar penulis dapat membuat makalah yang lebih baik dikemudian hari. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan rekan-rekan semua dalam meningkatkan kualitas belajar.

Penulis

16

11 januari, 2010

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR................................................................................................ i DAFTAR ISI............................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN


A. Latar Belakang.................................................................................................

1
B. Rumusan

Masalah............................................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................................

2 BAB II PEMBAHASAN
A. Klasifikasi

Anak

Tunalaras..................................................................................2
B. Faktor-Faktor

Penyebab

Ketunalarasan.............................................................3
C. Perkembangan

Kognitif

Anak

Tunalaras.............................................................7
17

D. Perkembangan

Kepribadian

Anak

Tunalaras.......................................................7
E. Perkembangan

Emosi

Anak

Tunalaras................................................................7
F. Perkembangan

Sosial

Anak

Tunalaras...............................................................10
G. Dampak

Ketunalarasan

Bagi

Individu

Dan

Lingkungan........................................11 BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.....................................................................................................1

2
B. Saran..............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA

18

DAFTAR PUSTAKA

Abdoellah, Arma. Pendidikan jasmani adaptif. Jakarta Blackhurst, A. Edward. 1981. Introduction of special Education. Little Brown and Company. Boston Toronto. Crowe. W. C. Auxter. D. Pyper. J. 1981. Principles and methods of Adafted Phycical Education. St.Louis. The CV. Mosby Company.

19

Você também pode gostar