Você está na página 1de 5

Teater Tradisional Sumatera yang belum termakan zaman.

Ada agenda yang besar harus diselesaikan dalam berkesenian dan budaya saat ini. Literatur yang cenderung pasif dalam hal menggali budaya daerah masing-masing menjadi habatan yang tak bisa ditolelir. Pertunjukan teater tradisional yang masih lekat di ingatan semakin jarang dipentaskan. Aliran teater modernisme yang menjamah ranah perteateran Indonesia dan digandrungi oleh beberapa kelompok teater umum maupun kampus semakin mempersempit ruang gerak teater tradisional yang sudah lama hidup ini. Ya, sudah lama hidup akan tetapi sudah lama juga hilang dari dunia kesenian. Bahkan, pertunjukan teater tradisi dianggap sangat kuno sehingga itu salah satu alasan mengapa teater ini jarang dipentaskan dalam pertunjukan beberapa dekade akhir-akhir ini. Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut teater, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya. Konsekuensi hilangnya teater tradisi di Indonesia tentunya berpengaruh besar pada tetaer tradisi di Sumatera. Kita masih ingat ketika di gang-gang dan tanah lapang selalu dihiasi dengan pertunjukan tradisi yang juga menjadi acara favorit bagi kawula muda dan sesepuh di daerah-daerah di Sumatera. Namun kini pemandangan itu sudah habis yang ada hanyalah sebuah museum dalam ingatan kita. Bagaimana dahulunya kemasan itu menjadi penarik dan objek seni dan sastra daerah di kampung kita. Anak sampai cucu kita sekalipun akan lupa tentang historial teater tradisi ini. Bertolak dari semua itu ada secercah harapan yang masih di jawab penerus tradisi ini. Baik itu dari kalangan penggiat maupun akademisi. Ada beberapa proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya

masyarakat, sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir. Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di Sumatera. PM-TOH PM- TOH dulunya, dikenal sebagai seorang seni tutur yang berfungsi sebagai pembawa berita atau juru kabar untuk masyarakat di Aceh. Seni bertutur ini semakin berkembang pesat di Aceh besar. Hal itu kemudian dianggap sebagai suatu pola penyampaian berita yang bagus disebabkan oleh masyarakat bisa mendengar langusung apa yang disampaikan. Tidak dalam bentuk media komunikasi saat ini. Pertujukkan PM-TOH meredup beberapa dekade yang lalu namun akhirnya bisa kembali bangkit setelah beberapa tahun belakangan, PM-TOH dalam bentuk yang lebih modern kemudian dikembangkan kembali oleh Agus Nur Amal yang merupakan putra asli Aceh yang belajar di IKJ. PM-TOH menjadi pembawa keceriaan dalam suasana trauma bagi anak-anak korban TSUNAMI sehingga seni teater tradisional ini pun menjadi icon aceh dalam pengembangan seni di mata wisatawan asing. Opera Batak Opera Batak, sebuah genre teater Batak populer, yang dikembangkan dari sekitar 1925 dan seterusnya, yang terinspirasi oleh kelompok-kelompok teater Melayu dan dipopulerkan berkeliling di daerah Sumatera. Pada tahun 1988 beberapa kelompok Opera Batak sedikit demi sedikit menghilang di Sumatera Utara dan umumnya berasal dari keterlibatannya dengan budaya Batak selama sekitar dua puluh tahun. Hal ini dimaksudkan untuk membantu pemahaman dari daerah dalam hal ini Batak dan sebuah identitas dalam konteks nasional Indonesia. Adapun pendiri trend-setting Tilhang Opera Batak, atau Serindo, Tilhang Gultom, digunakan untuk memainkan nya tema tradisional dari sastra lisan (termasuk sejarah silsilah, legenda sejarah, dan kisah-kisah sensasional berasal dari artikel di koran), atau tema disesuaikan dari teks tertulis. Para pemain dalam kelompok teater Serindo menggambarkan proses ini dan mengangkatnya ke pentas/panggung, untuk menunjukkan bahwa Tilhang Gultom tidak hanya menemukan cerita. Teks-teks yang digunakan dalam pertunjukan itu tidak ditulis, namun kerangka dramatisnya diolah secara lisan dan menjelaskan kepada para pemain. Dengan latar belakang pengetahuan

umum, mereka para pemain berusaha berlatih drama itu dan disajikan di atas panggung sesuai dengan bentuk yang telah diberikan selama latihan, dan tentunya dengan beberapa improvisasi selama pertunjukan. Bentuk dan pengembangan kinerja yang dramatis dari Opera Batak tertentu tetap sama keberadaanya dalam enam puluh tahun silam. Hanya figuran, lagu, tarian, dan kejenakaan di selingan antara segmen dari cerita utama telah diubah seiring dengan isi dan gaya selama periode disaat ini. Saat itu Opera Batak menjadi sangat populer di dekade pertama keberadaannya pada tahun 1925-1935. Para anggota kelompok Opera Batak berasal dari latar belakang pedesaan, dan sangat terikat dengan marga Batak mereka. Opera Batak merupakan kelompok yang didukung dan dipengaruhi oleh intelektual perkotaan waktu itu misalnya, melalui artikel mereka berkontribusi pada koran lokal. Disamping itu pada awalnya, intelektual ini menekankan kepada identitas Batak dan perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan. Kini Opera Batak kembali menelurkan karya-karya terabaiknya melalui Thompson HS bersama PLOT (Pusat Latihan Opera Batak). Makyong Teater tradisi ini cukup tua dalam perkembangannya. Makyong merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang paling tua terdapat di pulau Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita kerajaan. Makyong juga digemari oleh para bangsawan dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di istana-istana. Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyatMadura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog. dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap tarian, umumnya, nyanyian, laku, dan dialog

dengan membawa cerita-cerita rakyat yang sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong berasal dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.

Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang pawang (sesepuh dalam kelompok makyong) tampil ke tempat pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan lancar.

Randai Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifatkerakyatan yang terdapat di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan bahkan berkembang serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Teater tradisional di Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut kaba (dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya bercerita. Ada dua unsur pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu. Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam, dendang dan lagu. Sering diiringi oleh alat musik tradisional Minang, yaitu salung, rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog. Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam kaitannya dengan gaya silat di masing- masing daerah. Randai menjadi penghubung yang baik dalam kemaslahatan hidup bertetangga masyarakat Minangkabau sehingga terus diajarkan kepada anak cucu yang ingin belajar kesenian tradisi ini. Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa teater tradisi di Sumatera masih berhak hidup dan berkarya. Kesenian tradisi merupakan kekayaan intelektual dan budaya yang harus disimpan bagi generasi yang akan datang. Sehingga timbul pertanyaan sudahkah kita memperkenalkan teater tradisi yang pernah memiliki masa jayanya ini dulu kepada teman, sahabat, anak ,cucu

kita ?. Mungkin pertanyaan itu hanya kita yang bisa menjawab di lapangan-lapangan seperti beberapa tahun yang lalu.

Tentang Penulis: Rian Harahap memiliki nama asli Rian Kurniawan Hrp, S.Pd. Lahir di Pekanbaru 22 tahun yang lalu. Tercatat sebagai sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (2011), Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Terpilih sebagai aktor mewakili sumut dalam lomba monolog PEKSIMINAS X di Pontianak, Kalbar 2010. Mewakili sumut dalam Festival Teater Mahasiswa Nasional V di Palembang. Tulisannya berupa sajak, cerpen dan artikel dimuat di harian Analisa, Waspada dan Medan Bisnis. Buku yang penah diterbitkan yaitu Antologi Cerpen Gurau-gurau Bawah Tanah (2011) yang diterbitkan oleh labsas Medan. Saat ini aktif sebagai aktor dan sutradara di Teater Sisi.

Você também pode gostar