Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Pro-Kontra Outsourcing
No. 02 - April 2004
Praktik bisnis outsourcing yang telah lama dilakukan negara-negara maju kini mulai
berkembang di Indonesia, meskipun masih lebih tepat disebut "labor contracting" ketimbang
outsourcing yang sebenarnya. Kegiatan mensubkontrakkan pekerjaan ini oleh sebagian
kalangan dianggap sebagai bentuk perbudakan baru atau memperlemah posisi pekerja.
Inilah solusi terhadap tingkat pengangguran yang begitu tinggi saat ini dan kebutuhan
perusahaan untuk benar-benar kompetitif. Di mana letak pro-kontranya?
Setiap kali membicarakan istilah outsourcing, maka hal yang pertama kali teringat adalah
kasus pegawai kontrak yang terjadi di Bank BNI. Para pegawai kontrak Bank BNI berdemo di
Bank BNI, DPR, dan kantor pusat Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Depnakertrans). Kondisi ini, tak pelak, mempengaruhi operasional Bank BNI. Puncaknya
tahun 2003 lalu, Pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Depnakertrans) bertindak sebagai mediator pertemuan tripartit (pemerintah, perusahaan,
dan pekerja). Pertemuan itu menghadirkan Direktur Utama Bank BNI waktu itu Saefuddien
dan wakil para pekerja.
Hasilnya, seperti yang tersiar di berbagai media massa, pertemuan tersebut gagal
menghasilkan kesepakatan. Betapa panasnya suasana pertemuan itu terlihat dari dikejarnya
mobil Saefuddien oleh wakil para pekerja yang bertindak emosional. Badan mobil tersebut
digedor-gedor, dan mereka meminta Saefuddien untuk turun. Beruntung, mobil yang
ditumpangi Saefuddien berhasil meloloskan diri. Dan, pertemuan tersebut berakhir tanpa
penyelesaian. Mediasi oleh Depnaker pun gagal.
Lantas, apa yang sesungguhnya terjadi di Bank BNI? Awalnya adalah ketika tahun 2000, IMF
menilai Bank BNI kelebihan pegawai. Hasil ini diperoleh setelah konsultan bisnis Booz Allen
Hamilton yang diminta melakukan studi oleh IMF mengeluarkan rekomendasinya. Bila Bank
BNI ingin tetap bertahan dan tidak ditutup, IMF meminta Bank BNI untuk mengurangi jumlah
pegawai. Hingga 2001, Bank BNI berkutat dalam melakukan rightsizing. Tetapi,
perkembangan yang terjadi pada unit-unit bisnis Bank BNI, mengharuskan Bank BNI
menambah tenaga kerja namun bukan permanen sifatnya. Para pegawai tersebut dikontrak
oleh Bank BNI melalui Koperasi Swadharma milik Karyawan dan Pensiunan Bank BNI. Dengan
demikian, pegawai tersebut bekerja di Bank BNI, bukan karyawan Bank BNI melainkan
karyawan koperasi.
Dalam salah satu klausul perjanjian kerja antara si karyawan kontrak dengan Koperasi
disebutkan, pegawai kontrak akan diangkat menjadi pegawai tetap Bank BNI bila ada formasi
dan mereka lulus seleksi. Bila lulus, mereka menjadi pegawai tetap Bank BNI, dan jika tidak
lulus, tetap menjadi karyawan Koperasi. Inilah pangkal soalnya. Terbatasnya jumlah
karyawan kontrak yang bisa diterima menyebabkan sebagian besar karyawan kontrak tetap
berstatus karyawan kontrak. Kondisi ini terasa menyakitkan bagi karyawan kontrak yang
telah bekerja beberapa tahun dan berharap satu hari kelak mereka diangkat menjadi
karyawan tetap. Mereka berontak setelah sadar tidak lagi berpeluang menjadi karyawan
tetap Bank BNI.
Pihak Bank BNI merasa, karyawan kontrak itu memaksakan kehendaknya di luar perjanjian
kerja yang telah disepakati sejak awal. Sementara, karyawan kontrak menilai, manajemen
Bank BNI telah berlaku tidak adil. Rendahnya kemampuan manajerial koperasi terhadap
karyawan kontrak ini ikut memperburuk situasi. Itu sebabnya, lebih dari 6 bulan lalu,
Koperasi memutuskan mendirikan perusahaan khusus menangani outsourcing tenaga kerja
Bank BNI dengan nama PT Persona Prima Utama (PPU), yang mengambil-alih pengelolaan
karyawan kontrak Bank BNI dari Koperasi Swadharma. "Dengan demikian, seluruh urusan
terkait dengan karyawan kontrak, kini menjadi tanggung jawab perusahaan ini," ujar Basanto
Purno, Direktur Utama PPU, kepada Human Capital.
Persoalan pegawai kontrak di Bank BNI itu membuka mata banyak pihak tentang praktik
outsourcing tenaga kerja yang ternyata telah berlangsung di Indonesia. Kendati yang
ditonjolkan lebih kepada ekses negatif dari kegiatan outsourcing. Media massa memang lebih
tertarik memberitakan sisi negatif pegawai kontrak di Bank BNI. "Itu karena media berprinsip
good news doesn't sell," ujar Eddy S. Tjahja, Managing Director JobsDB.com, media
sumberdaya manusia (SDM) berbasis Internet.
Kenyataannya, kasus pegawai kontrak di Bank BNI itu berdampak besar terhadap
pengembangan praktik outsourcing di Indonesia. Hal ini diakui oleh Iftida Yasar, Presiden
Direktur Persaels, sebuah perusahaan jasa bidang outsourcing. "Kasus Bank BNI itu menjadi
referensi buruk bagi penerapan kegiatan outsourcing secara profesional. Padahal, kejadian
itu hanya kasus saja karena waktu itu manajemen outsourcing masih ditangani koperasi."
Saat Bank BNI menerapkan sistem pegawai kontrak itu, praktik outsourcing tenaga kerja
masih relatif baru di Indonesia. Toh manajemen Koperasi Swadharma Bank BNI mengambil
hikmah dari kasus tersebut dengan mendirikan PT PPU sebagai wadah professional dalam
mengelola pegawai kontrak, khususnya untuk Bank BNI. Terbukti sejak manajemen pegawai
kontrak diambil-alih PPU, tutur Direktur PPU I.K. Eko Sumarno, tidak ada lagi masalah besar
muncul ke permukaan.
KENAPA HARUS OUTSOURCING?
Praktik outsourcing sebetulnya bukan hal baru di dunia. Sebelum Perang Dunia II, Kerajaan
Inggris telah menerapkan hal ini dengan merekrut serdadu Gurkha yang terkenal dengan
keberaniannya. Saat Perang Dunia II berlangsung, 1945-1950, Amerika Serikat adalah negara
yang paling banyak menerapkan outsourcing untuk keperluan perang. Praktik outsourcing
kemudian berkembang luas di perusahaan multinasional sejalan dengan perlunya mereka
beroperasi secara efisien dan focus terhadap bisnis mereka. Perancis kini merupakan negara
yang paling berkembang dalam menerapkan outsourcing. Hampir seluruh perusahaan
Perancis, dalam berbagai skala, menerapkan praktik outsourcing dalam menjalankan usaha.
Ada banyak hal yang mendorong berkembangnya kegiatan outsourcing. Alasan utama, tentu
saja, untuk efisiensi usaha. Pakar manajemen Charles T. Fote, misalnya, mengatakan untuk
bisa efisien, perusahaan jangan mengerjakan semua hal sendiri. Selain lebih efisien, praktik
outsourcing juga mengurangi panjang dan rumitnya mata rantai kendali manajemen usaha.
Tanpa outsourcing, perusahaan akan semakin tambun sehingga tidak lincah bergerak.
Di sisi lain, perusahaan juga harus semakin fokus pada bidang-bidang yang dinilainya
strategis, seperti dikatakan pakar manajemen Al Ries. Fokus pada bidang keahlian utamanya
dan tidak lari kemana-mana, termasuk mengurusi hal-hal tetek bengek. Prinsip ini juga
sejalan dengan keyakinan bahwa ada jenis pekerjaan tertentu yang memerlukan penanganan
khusus oleh tenaga-tenaga ahli tertentu. Dalam industri rekayasa global, umpamanya,
praktik outsourcing untuk tujuan ini diterapkan secara meluas dalam industri pesawat
terbang, otomotif, dan permesinan industri. Industri tersebut menyerahkan pendesainan
pesawat, mobil, atau mesin kepada perusahaan khusus desain. Rancang-bangun mobil
murah Maleo yang rencananya diproduksi Indonesia di era Habibie dilaksanakan oleh sebuah
perusahaan Australia, yang juga mengerjakan hal yang sama untuk perusahaan otomotif
lainnya.
Perusahaan otomotif Jepang menyerahkan sebagian besar pekerjaannya kepada industri
komponen yang memenuhi standar mereka. Selanjutnya, seluruh komponen itu dirakit di
perusahaan otomotif tersebut. Perusahaan otomotif tersebut hanya focus pada desain dan
pengembangan rancangbangun, memproduksi komponen tertentu, merakit, dan
memasarkan mobil-mobil yang telah ditempeli merek mereka.
Tengok pula apa yang dilakukan pemilik merek sepatu olahraga terkemuka di dunia macam
Nike, Adidas, Fila, dan sebagainya. Mereka hanya fokus pada pengembangan desain sepatu,
mendistribusikan, memasarkan, dan mengelola merek. Sedangkan kegiatan produksinya
diserahkan kepada perusahaan-perusahaan lain yang tersebar di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia. Mereka memberikan order produksi kepada perusahaan-perusahaan yang mampu
memberikan biaya dan mutu produksi terbaik. Dalam definisi umum, praktik semacam ini
termasuk kegiatan global outsourcing, yaitu mensubkontrakkan produksi ke banyak
perusahaan di dunia. Kegiatan bisnis semacam ini sering juga disebut global sourcing,
mereknya sama namun diproduksi di banyak negara.
Perusahaan perminyakan termasuk yang paling banyak melakukan kegiatan outsourcing,
baik di dunia maupun di Indonesia. Kegiatan yang disubkontrakkan tidak hanya bidang
transportasi, konsumsi, atau asuransi, tetapi meluas ke berbagai hal strategis lainnya. Mulai
dari survei seismic untuk mencari cadangan minyak dan gas hingga kegiatan eksplorasi serta
eksploitasi. Mereka menyewa rig untuk eksploitasi migas lepas pantai, dan menyerahkan
perawatan peralatan kepada ahli dari Schlumberger, misalnya. Langkah Pertamina
memperkenalkan praktik Kontraktor Production Sharing (KPS) sejak tahun 70-an, sejatinya
juga tergolong kegiatan outsourcing. Di situ, KPS diberi hak mengelola blok-blok migas
tertentu sebagai mitra Pertamina.
Kecuali karena beberapa alasan di atas, tidak dapat dipungkiri, ada juga perusahaan
multinasional yang menerapkan outsourcing dalam upaya menekan biaya buruh atau tenaga
kerja. Praktik global outsourcing yang terjadi pada industri sepatu maupun industri TPT
(tekstil dan produk tekstil) - dua industri yang sering disebut sebagai sunset industry karena
selalu mencari lokasi dengan biaya produksi termurah - tergolong pada kategori di atas.
Merek-merek global itu selalu mencari negara-negara dengan biaya buruh murah untuk basis
produksi. Produk akhirnya dijual dengan dolar, yang harganya bisa 10 kali lipat dari harga
pembelian merek tersebut dari para produsen. Sementara, gaji tenaga kerja tetap dibayar
mengikuti standar minimum macam UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah
Minimum Propinsi).
Namun demikian, melimpahnya pasokan tenaga kerja dibandingkan lapangan kerja yang
tersedia, menyebabkan para tenaga kerja tidak memiliki pilihan lain, selain menerima fakta
tersebut. Itu pulalah yang terjadi di Indonesia, saat pengangguran makin menjadi-jadi pasca
krisis ekonomi 1997. Dewasa ini, tingkat pengangguran telah mencapai 44 juta orang lebih
akibat lambatnya penciptaan lapangan kerja baru dan terus bertambahnya tenaga kerja
baru. Artinya, rata-rata di setiap rumah tangga, yang bekerja penuh hanya satu orang saja.
Sisanya menganggur. Hukum ekonomi menyebut fakta ini sebagai seller's market, di mana
pasokan buruh terlalu besar dibandingkan permintaan, sehingga harga buruh cenderung
tertekan.
Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, outsourcing sangat membantu mengurangi
pengangguran tersebut. Para pekerja bisa mendapatkan pekerjaan, meskipun dalam bentuk
kontrak kerja dalam jangka waktu tertentu (PKWT/Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Upah
yang diterima bahkan bisa lebih besar untuk pekerjaan tertentu karena sifatnya kontrak.
Pilihan bagi pencari kerja adalah, menerima semua kondisi ini atau tetap menjadi
pengangguran. "Saya kira, pilihan pertama jauh lebih baik," tukas Kemalsjah Siregar,
Managing Partner Firma Hukum Kemalsjah Chemby Avriline.
Dengan bekerja, lanjutnya, karyawan bisa bersosialisasi dengan baik dan mengasah
keterampilannya. Jika ada lowongan yang sesuai dan bisa memberikan gaji serta fasilitas
yang diharapkan, ia bisa melamar untuk mengisi lowongan tersebut. Daripada jadi
pengangguran dan tinggal di rumah, jelas ini sebuah pilihan yang jauh lebih baik.
"Manfaat utama outsourcing akan sangat dirasakan oleh para lulusan baru yang kesulitan
untuk memasuki dunia kerja," kata Ismaila Tyastanto, Managing Director PT HITSS
Sumberdaya Nusantara Konsultan, sebuah perusahaan jasa outsourcing. Kebanyakan
perusahaan pemberi jasa outsourcing (user) mencari tenaga kerja berusia muda untuk
menangani bidang pekerjaan tertentu. Selain gajinya lebih murah, anak-anak muda itu masih
mudah dididik, haus pengalaman, dan bisa bekerja keras. Perusahaan tidak merasa rugi jika
harus memberikan pelatihan pembekalan bagi mereka dalam mengerjakan tugasnya secara
profesional.
Melalui perusahaan jasa outsourcing, mereka bisa bekerja di perusahaan-perusahaan besar,
meskipun bukan menjadi karyawan perusahaan besar itu. Dalam situasi normal, peluang
bekerja di perusahaan besar itu belum tentu tersedia. Apalagi, setelah krisis ekonomi,
perusahaanperusahaan kini sangat berhati-hati menambah karyawan. Mereka ingin
seramping mungkin dan terhindar dari kompleksitas aturan ketenagakerjaan. Konsekuensi
dari penambahan karyawan permanen tidak hanya menyangkut gaji dan fasilitas, tetapi juga
dana pensiun dan jenjang karir. Oleh sebab itu, mereka menyiasati kebutuhan tenaga kerja
akibat tuntutan perkembangan usaha diisi melalui outsourcing.
Tidak semua kalangan internal perusahaan menerima praktik outsourcing ini dengan tangan
terbuka. Serikat Pekerja (SP) dan karyawan tetap, misalnya, cenderung menolak gagasan
outsourcing ini. Mereka khawatir praktik ini akan mengancam posisi karyawan tetap dan
mengacaukan system remunerasi perusahaan. "Karyawan tetap merasa was-was, setiap saat
mereka bisa saja diganti karyawan outsourcing atau bila bagiannya di-outsource ke luar,"
ujar seorang karyawan senior sebuah bank yang enggan disebutkan namanya.
Kekhawatiran ini, agaknya, terlalu berlebihan. Kalaupun bagian dia dioutsource ke luar,
perusahaan juga tidak semenamena. Misalnya departemen atau divisi teknologi informasi.
Bila disubkontrakkan kepada perusahaan penyedia jasa secara penuh, mulai dari peralatan
hingga SDMnya, ada satu perjanjian yang menyebutkan seluruh karyawan departemen/divisi
tersebut harus diambil-alih oleh perusahaan jasa penerima outsourcing. "Otomatis, mereka
berubah status menjadi karyawan kami, dengan sistem remunerasi yang bersaing," ungkap
Andreas R. Diantoro, Managing Director Hewlett-Packard Indonesia. HP Indonesia menerima
outsourcing peralatan TI (PC, server, mainframe, printer, dan lainnya) berikut pengelolaannya
kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sini. Jasa penyewaan ini untuk produk PC
disebut dengan seat management. Selain menyediakan piranti keras, pengelolaan dan
perawatan peralatan dilakukan sepenuhnya oleh orang-orang HP. "Ini akan membuat biaya
operasional dan investasi perusahaan bisa ditekan," tambahnya.
Tentang tuduhan praktik outsourcing sebagai bentuk perbudakan baru atau modern? "Itu
jelas tidak berdasar," tukas Iftida, Ismaila, dan Hasanuddin Rahman. Meski mengaku ada juga
perusahaan outsourcing yang nakal, mereka menilai tuduhan itu muncul dari orang yang
tidak paham tentang manajemen bisnis. Sebelum bekerja, pekerja maupun perusahaan telah
membuat kesepakatan yang jelas dan saling menguntungkan. "Lagi pula, sebagian besar
perusahaan jasa outsourcing dimiliki atau dikelola oleh orang-orang yang telah lama
bergerak di bidang SDM sehingga tidak mungkin mereka semena-mena," ungkap mereka.
KONTROVERSI PERATURAN
Sejatinya, Indonesia belum memiliki Undang-Undang atau Peraturan Hukum yang secara
jelas mewadahi kegiatan outsourcing. Menurut Purbadi Hardjoprajitno, SH., dari Firma Hukum
Purbadi Associates, satu-satunya referensi hukum tentang outsourcing adalah UU N0.
13/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 64, 65, dan 66. UU itu tidak menyebutkan
outsourcing, melainkan hanya tentang perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan
jasa tenaga kerja. Dengan demikian, sebuah perusahaan bisa memborongkan sebagian
pekerjaan atau pekerjaan tertentu kepada perusahaan pemborong pekerjaan. Atau
menyerahkan tenaga pengelola kepada perusahaan jasa penyedia tenaga kerja. Meski tidak
letterlijk menyebut outsourcing, kedua hal itu kiranya bermakna outsourcing.
Walaupun begitu, terdapat sejumlah kerancuan pada pasal-pasal tentang kegiatan
outsourcing dalam UU No. 13 tersebut, jika praktik pemborongan pekerjaan dan tenaga kerja
itu dianggap sama dengan outsourcing. Pasal 65 menyebutkan, pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat berikut: dilakukan
terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung/tidak langsung dari
pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan
tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Pasal 66 menjelaskan, pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak
boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi (core business), kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi (dalam
penjelasan Pasal 66 disebutkan, antara lain, cleaning service, catering, satpam, usaha jasa
penunjang di pertambangan dan perminyakan, angkutan pekerja).
Benang merah dari kedua pasal itu adalah adanya batasan jenis-jenis kegiatan yang boleh
diborongkan dengan yang tidak. Di sinilah muncul ketidakjelasan atau kerancuan penafsiran
tentang UU tersebut. S. Lumban Gaol, Direktur Persyaratan Kerja Depnakertrans,
menegaskan, ada perbedaan mendasar antara outsourcing dalam dunia bisnis dengan
pengalihan pekerjaan dan tenaga kerja kepada pihak lain dalam UU Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003 itu. "Dalam dunia bisnis, semua pekerjaan bisa dioutsourcing, sedangkan dalam
UU Ketenagakerjaan pekerjaan yang bisa diborongkan kepada pihak lain adalah pekerjaan
yang sifatnya penunjang, bukan pekerjaan pokok atau core business," ujarnya.
Ia memberi contoh, pekerjaan teller di perbankan termasuk pekerjaan pokok, karena kegiatan
perbankan akan terhenti secara keseluruhan kalau pekerjaan teller terhenti atau terganggu.
Oleh karena itu, menurutnya, pekerjaan teller tidak bisa diborongkan atau diserahkan kepada
pihak lain. Bila pihaknya menemukan pelanggaran, maka Depnakertrans akan memaksa
perusahaan bersangkutan merekrut karyawan tersebut menjadi karyawannya. "Tidak ada
sanksi pidana atas pelanggaran ini. Tapi demi hukum, dengan sendirinya karyawan itu harus
menjadi karyawan perusahaan tersebut," jawabnya.
Menurut DR. H. Hasanuddin Rahman, Ketua DPN Apindo Bidang Hubungan Industrial
Advokasi, ketidakjelasan utama UU tersebut adalah soal definisi core business sebuah
perusahaan. "Pemerintah dan pelaku usaha memang belum sepaham tentang banyak hal
dari kegiatan outsourcing," katanya serius. UU tersebut menilai core business terkait dengan
proses produksi. Sementara kemajuan jaman menyebabkan kegiatan produksi atau core
business itu bergeser.
Seperti produsen mobil Toyota di Jepang, sebagian besar pengerjaan produknya diserahkan
kepada perusahaan lain. Di Indonesia, pabrik-pabrik otomotif juga menuju ke sana. Paling-
paling mereka hanya memproduksi komponen penting macam mesin, transmisi, dan axle.
Sisanya diserahkan pengerjaannya kepada perusahaan komponen. Bila UU itu diterapkan,
praktik bisnis global ini tidak cocok dan menjadi terlarang.
Bagaimana dengan bisnis jasa? Sami mawon. Teller dan layanan nasabah di perbankan,
misalnya, termasuk kegiatan core business. Tapi, jika perusahaan menetapkan fungsi teller
bukan merupakan core business karena bisa digantikan oleh mesin ATM dan delivery channel
lainnya, maka jabatan-jabatan tersebut kini mulai di-outsourcing ke perusahaan lain karena
perusahaan merasa tidak efisien lagi mengelolanya. Praktik ini dilakukan oleh bank-bank
global ataupun bank-bank besar lokal. Bagi perbankan global, hal ini sudah menjadi praktik
bisnis global sehingga mereka tinggal mengadopsinya di Indonesia. Bahkan, dalam bisnis
kartu kredit, proses bisnisnya banyak yang di-outsourcing ke perusahaan lain. Mereka
mengandalkan karyawan outsourcing untuk mengelola bisnis, pemasaran, penagihan, dan
layanan nasabah.
N. Krisbiyanto, GM Human Resources PermataBank, menangkap kesan adanya kekeliruan
penafsiran berbagai pihak - termasuk pemerintah - saat ini terhadap praktik outsourcing.
"Yang terjadi di Indonesia sebetulnya baru pada taraf contracting, belum sampai ke
outsourcing," ujarnya serius. Padahal, menurut Kris�- begitu sapaan akrabnya - dua hal itu
sangat berbeda. Kris mungkin benar. Apa yang tertulis di UU Indonesia lebih berbau
contracting ketimbang outsourcing. Dalam kegiatan contracting, perusahaan pemberi kerja
berperan penuh dalam kontrol proses bisnis dan atas kualitas kerja. Sementara perusahaan
penyedia jasa hanya menyediakan tenaga kerja dan mengikuti standard proses bisnis.
Secara definisi, menurut Kris, outsourcing adalah suatu pendelegasian dari satu atau
beberapa proses bisnis kepada pihak luar di mana pihak tersebut akan melakukan proses
administrasi dan proses manajemen tertentu berdasarkan definisi dan ukuran kinerja
tertentu, yang telah disepakati bersama dalam satu kontrak kerja antara pemberi kerja dan
penyedia jasa.
Untuk mengatasi ketidakjelasan peraturan ini, diperlukan peraturan pelaksana yang
menyempurnakan UU No. 13 2003 itu berupa Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker).
Salah satu kemungkinan, menurut Drs. S. Sianturi, Ketua P4 Pusat, adalah dengan
memberikan batasan mana pekerjaan yang tergolong core business dan mana yang tidak
untuk seluruh jenis industri. Atau membuat daftar jabatan/posisi yang termasuk core dan
yang tidak. "Bisa pula dengan memberikan kebebasan bagi masing-masing perusahaan atau
paling tidak masing-masing subsektor untuk merumuskan sendiri pekerjaan yang tergolong
core dan non-core," ujarnya.
Mewakili kalangan pengusaha, Hasanuddin Rahman juga meminta pemerintah untuk
menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan untuk menentukan kegiatan yang di-
outsourcing dan yang tidak. "Perusahaanlah yang paling tahu tentang jenis kegiatan yang
perlu di-outsourcing dan mana yang tidak. Yang penting, perusahaan melakukannya tanpa
merugikan siapapun," tukas Ketua Tim Perumus RUU Ketenagakerjaan Apindo/Kadin
Indonesia itu. Hal senada disampaikan Sofjan Wanandi, Ketua Umum Apindo. "Kita semua
harus realistis. Ekonomi masih sulit, sementara peraturan ketenagakerjaan begitu banyak
dan ada yang tumpang tindih. Bagi perusahaan, outsourcing adalah pilihan yang tidak
terhindarkan," tegasnya serius.
Di tengah persaingan bisnis yang menajam, perusahaan punya hak untuk melakukan strategi
bisnis yang memungkinkan mereka untuk bertahan dan berkembang. Tanpa kehadiran
perusahaan yang sehat dan berkembang, penciptaan lapangan kerja sulit terwujud. Tanpa
dukungan karyawan prefesional, perusahaan juga sulit berkembang. Keduanya berkaitan erat
satu sama lain.
Hanya saja, menurut Ismaila, pemerintah tidak perlu terlalu jauh ikut campur tangan
mengatur bisnis outsourcing. "Di manapun, pemerintah yang terlalu mengatur hasilnya
malah tidak baik," tegasnya. Salah satu ekses dari UU Ketenagakerjaan, para pegawai
Depnakertrans kerap memata-matai dan menginterogasi pegawai kontrak di berbagai
perusahaan. Niat baik Depnakertrans untuk melindungi kepentingan pekerja seringkali
menimbulkan masalah, khususnya mengganggu ketenangan bekerja para karyawan
perusahaan tersebut. Dikhawatirkan tindakan seperti ini menimbulkan ekses lain, seperti
upaya pemerasan, suap-menyuap, dan sejenisnya.
Eddy S. Tjahja malah mempertanyakan apakah praktik outsourcing sudah saatnya untuk
diatur. "Bisnis ini masih terlalu kecil untuk disebut sebuah industri di Indonesia. Pengaturan
kiri-kanan justru membuat bisnis ini tidak berkembang," tambahnya.
Pengaturan yang terlalu rigid akan menyulitkan dalam pelaksanaannya karena semakin
kompleksnya manajemen perusahaan, berkembangnya bentuk-bentuk baru pengelolaan
pekerjaan yang tidak dikenal sebelumnya, baik karena kompetisi maupun globalisasi bisnis
melalui kehadiran perusahaan multinasional.
Nafas dari peraturan yang dibuat pemerintah tentu untuk melindungi kepentingan berbagai
pihak, khususnya tenaga kerja. Tidak seperti di luar negeri, Drs. S. Sianturi berpendapat,
praktik outsourcing di Indonesia lebih banyak dilakukan untuk menekan biaya tenaga kerja.
Hal itu terlihat dari hubungan kerja yang selalu dalam bentuk kontrak, upah lebih rendah,
jaminan sosial dalam batas minimal, tidak adanya job security, dan tidak adanya jaminan
pengembangan karir.
Pendapat yang lebih kritis disampaikan oleh Yanuar Nugroho, Direktur The Business Watch
Indonesia. "Outsourcing mengaburkan bentuk hubungan industrial yang tidak
menguntungkan buruh. Ada beberapa hak buruh yang terpangkas dan bila ada perselisihan,
terjadi saling lempar tanggung jawab antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan
perusahaan penyalur tenaga kerja," ungkapnya. Yanuar menilai, konsekuensi terbesar dari
outsourcing adalah munculnya job insecurity. Selain mereka bekerja hanya selama masa
kontrak yang relative pendek, ketidakpastian pekerjaan juga muncul selama masa kontrak
kerja berlangsung. "Meski dalam keadaan sakit, si pekerja akan tetap masuk kerja karena
takut kontraknya tidak diperpanjang."
Kritik semacam ini perlu menjadi masukan bagi perusahaan pemberi kerja maupun
perusahaan penerima kerja melalui outsourcing. Anggapan bahwa outsourcing sebagai
bentuk perbudakan baru atau perbudakan modern harus direspons secara bijak. UU No. 13
2003 telah menggarisbawahi bahwa perlindungan dan syarat kerja karyawan kontrak
minimal sama dengan yang berlaku di perusahaan pemberi pemborongan pekerjaan.
Maknanya jelas. Karyawan outsourcing yang ditempatkan di satu perusahaan harus
memperoleh gaji dan fasilitas yang sama dengan karyawan tetap level yang sama di
perusahaan itu atau minimal mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Pelanggaran atas ketentuan ini harus secepatnya dikoreksi. Bagaimanapun, para karyawan
kontrak adalah asset utama perusahaan jasa outsourcing. "Kesejahteraan mereka perlu
diperhatikan agar mereka bekerja secara sungguh-sungguh," Finny Widiyanti, Senior Manager
PT Solusi Mitra Kerja, mengingatkan. Bila klien puas, kontrak kerja dengan perusahaan jasa
outsourcing itu tentu akan terus diperpanjang. Hal itu juga menyebabkan kontrak kerja
terhadap karyawan kontrak terus diperpanjang.
SEBUAH KENISCAYAAN
Satu hal yang pasti, praktik bisnis outsourcing sudah menjadi keniscayaan bagi perusahaan.
Di negara maju macam Amerika, dari hari ke hari semakin banyak fungsi organisasi yang
disubkontrakkan kepada perusahaan lain yang lebih pakar dan efisien di bidangnya. Fungsi
dan proses bisnis di bidang teknologi informasi (TI) diserahkan kepada perusahaan TI raksasa
seperti IBM dan HP yang lebih ahli di bidangnya. Kedua raksasa ini melayani outsourcing
penuh di bidang TI, mulai dari perangkat keras, lunak, hingga SDM, melalui IBM Services dan
HP Services.
Fungsi dan proses bisnis audit diserahkan kepada perusahaan audit terkemuka seperti
PricewaterhouseCopper, Ernst & Young, Deloitte, dan banyak lagi. Oleh perusahaan audit
raksasa ini, pengerjaan audit yang bersifat teknis dioutsourcing lagi kepada perusahaan audit
yang lebih kecil. Begitu pula fungsi dan proses bisnis manajemen SDM yang disebut dengan
HR Outsourcing�- meliputi pengelolaan gaji dan layanan informasi SDM. Nilai total
outsourcing proses bisnis (Business Process Outsourcing) bidang SDM di Amerika
diperkirakan tumbuh dari US,5 miliar menjadi US miliar tahun ini. Sungguh sebuah nilai yang
sangat besar. Belakangan, outsourcing proses bisnis di bidang pelatihan dan pembelajaran
juga semakin menjadi tren.
Apakah dunia kiamat dengan meluasnya praktik outsourcing ini? Tentu saja tidak. Bahkan di
negara Jepang sekalipun, yang dikenal dengan filosofi kerja seumur hidup (lifetime
employment), praktik outsourcing meluas pula diterapkan. Jaman terus berubah dengan
berbagai konsekuensinya. Hari ini, kita mungkin masih belum siap dan merasa tidak nyaman
dengan status pegawai kontrak itu. Beberapa tahun lagi, semuanya bisa saja berubah seiring
dengan berubahnya paradigma dunia kerja. Bagi profesional berprestasi, status karyawan
kontrak itu bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan.
Apa yang perlu dilakukan kini adalah sosialisasi praktik outsourcing ini secara benar.
Sosialisasi itu harus dilakukan pemerintah bekerjasama dengan para pelaku bisnis. Sosialisasi
terbaik tentunya melalui pemberian contoh positif oleh perusahaan jasa outsourcing dalam
mengelola karyawan kontrak. Kecuali itu, sosialisasi perlu untuk memberikan gambaran
bahwa outsourcing tidak hanya untuk pegawai rendahan atau kelas asisten manajer.
Auditsi, sebuah perusahaan jasa outsourcing di Indonesia, bahkan melayani pula outsourcing
hingga level Presiden Direktur atau Chief Executive Officer (CEO). Sebuah perusahaan besar
asing kini sedang mencari CEO untuk dikontrak 2 tahun dengan gaji US.000 plus bonus
US.000 per bulan (total US.000 per bulan). Penghasilan yang sangat besar untuk ukuran
Indonesia, bukan?
Sosialisasi perlu juga dilakukan kepada perusahaan-perusahaan pemakai jasa outsourcing
agar mereka memahami betul filosofi dasar dari kegiatan outsourcing ini, yaitu untuk
mendapatkan biaya yang efektif (cost effective). Ada perusahaan yang salah kaprah
menerapkan prinsip cost effective ini dengan benar-benar menekan biaya. Padahal, prinsip
itu bermakna mengeluarkan biaya yang tepat guna. "Perusahaan harus melihat mana biaya
tetap yang bisa diubah menjadi biaya variabel," tutur Ismaila. Baik Iftida maupun Ismaila
meminta perusahaan untuk bertindak bijak dengan mau membayar sedikit lebih mahal
sehingga kualitas yang diperoleh user jauh lebih bagus. "Kalau maunya murah-murah melulu,
hasilnya juga tidak akan bagus," tukas mereka di tempat terpisah.
Kemauan berbagai pihak untuk terus menyempurnakan pelaksanaan praktik outsourcing
diyakini akan mempercepat perkembangan bisnis outsourcing secara profesional. Tahun ini,
eksekutif Persaels Farid Aidit memperkirakan kebutuhan karyawan outsourcing baru sekitar
15.000 pegawai. "Setidaknya hal ini bisa membantu penyerapan tenaga kerja dan
mengurangi pengangguran," tukasnya.
Terobosan dalam penciptaan lapangan kerja baru memang perlu diambil pemerintah
mengingat tingkat pengangguran yang terus bertambah dan berkurangnya kesempatan kerja
di sektor formal sejak 2001 hingga 2003. Pemerintah sendiri, menurut Direktur
Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi Bappenas Dr. Ir. Bambang Widianto, MA., menilai
perlunya diterapkan Flexible Labor Market Policies, antara lain, dengan outsourcing.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk menciptakan kesempatan kerja di sector yang relatif
modern, memungkinkan perpindahan pekerja dari pekerjaan dengan produktivitas rendah ke
pekerjaan yang memiliki produktivitas lebih tinggi, dan mempertahankan atau meningkatkan
kesejahteraan bagi mereka yang masih berada di sektor informal.
Di tengah keterpurukan perekonomian saat ini, tidak banyak pilihan yang tersedia bagi
angkatan kerja. Mereka dihadapkan pada pilihan bekerja dengan kondisi yang kurang
memuaskan atau tetap menganggur. Tumbuhnya bisnis outsourcing professional diharapkan
memperbaiki pilihan sulit itu.
IDENTIFIKASI
Disadari bahwa peningkatan kualitas SDM di dalam suatu organisasi atau perusahaan mudah
diucapkan namun sulit untuk dipraktekkan, karena hal ini bersifat multikompleks. Bilamana
kita ingin menerapkan sebuah organisasi belajar, maka kita perlu terlebih dahulu
mengidentifikasi beberapa aspek yang menjadi ciri bahwa suatu perusahaan telah
melaksanakan atau masuk dalam proses mengimplementasikan sebuah organisasi belajar.
Beberapa catatan yang dimaksud antara lain, adalah :
1. Apakah ada keinginan untuk memperbaiki praktek/performance perusahaan dari
kondisi sebelumnya?
2. Apakah ada keteraturan pola pikir dan tindakan di dalam organisasi tersebut?
3. Apakah ada arus informasi yang "mengalir" antara anggota di dalam suatu organisasi?
Daniel Tobin (1993) melengkapi hal di atas dengan ungkapannya bahwa di dalam learning
organization terdapat beberapa prinsip, seperti : setiap anggota organsisasi adalah pelajar,
setiap orang saling belajar satu dengan yang lainnya, dan belajar merupakan investasi dan
bukannya biaya.
Tentu saja kita perlu menyadari bersama bahwasanya hasil dari sebuah organisasi belajar
tidak dapat secara instant kita raup. Upaya-upaya untuk melaksanakan organisasi belajar
merupakan the never ending journey. Jika kita berbicara masalah organisasi belajar, maka
kita berhadapan dengan sebuah kontekstual yang bersifat long term (jangka panjang).
Diperlukan berbagai kiat, daya upaya, dan terobosan untuk melaksanakan hal tersebut,
terutama untuk merubah paradigma dan pola pikir, serta sikap mental seluruh anggota
organisasi.
Satu hal yang menjadi catatan penting, bahwa di dalam penerapan organisasi belajar ini
maka faktor drive (dorongan) dan motivasi dari setiap individu di dalam organisasi atau
perusahaan menjadi penentu kemajuan sebuah organisasi. Organisasi belajar akan berjalan
jika ada proses pembelajaran individu di dalamnya selain juga adanya transformasi
komunikasi untuk saling belajar di antara inidviduindividu yang ada. Seperti yang dikemukan
oleh Senge, team atau organisasi akan maju jika diisi oleh individu-individu yang bersedia
melepaskan sentimen keindividuannya dan berusaha seoptimal mungkin untuk meleburkan
diri ke dalam ide pemikiran kolektif disertai komunikasi yang terbuka, yang memungkinkan
tercapainya tingkat penetrasi dan inovasi yang tidak akan dapat dijangkau oleh para anggota
secara individual. Hal inilah yang ditekankan oleh Schon & Arygris dari Harvard dalam
"Organizational Learning".
Diharapkan jika setiap individu mempunyai minat dan ambisi untuk maju melalui learning
organization maka pada gilirannya organisasi atau perusahaan akan maju. Tentu saja
keinginan untuk maju dan berkembang saja tidak akan berhasil, tanpa didukung oleh
suasana yang kondusif untuk terus belajar di dalam suatu organisasi. Di sinilah peran pihak
manajemen dituntut untuk berperan aktif, di dalam mewujudkan organisasi belajar. Bahkan
tidak berlebihan jika pihak manajemen dapat meniru apa yang dilakukan oleh Jack Welch,
CEO General Electric, yang langsung turun tangan menjadi tenaga pengajar di pusat
pelatihan SDM mereka di Crottonville, New York. Di dalam event seperti ini akan menjadi
ajang bagi para CEO guna dapat menyampaikan visi dan missinya kepada seluruh anggota
dari organisasi yang dipimpinnya. Ini menjadi momentum bagi para CEO untuk
melaksanakan change management sekaligus visionary leadership, empowerment , dan
pembudayaan proses belajar (learning process).
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwasanya dari saat ini, baik kita sebagai individu
maupun organisasi di mana kita bekerja harus mempunyai paradigma belajar jika tidak ingin
terlindas oleh perubahan situasi dan kondisi. Belum terlambat untuk memulai dan seperti
yang dicetuskan oleh Confucius, satu perjalanan panjang dimulai dengan satu langkah awal,
karenanya marilah kita mulai hari ini memulai langkah kita dengan belajar dan belajar tiada
henti, agar kompetensi individu, organisasi, dan bangsa Indonesia dapat meningkat dan
beradaptasi dengan kemajuan zaman. Patut diingat, tantangan ke depan bukan semakin
ringan melainkan justru semakin berat, cepat, dan tidak mengenal lagi toleransi.
Penulis adalah seorang praktisi SDM di sebuah perusahaan tekstil di Batujajar, Kab. Bandung.
Sumber: Majalah Human Capital No. 07 | Tahun 2004
Berikut adalah sejumlah hukum kepemimpinan konflik yang berisi cara menghindarkan
konflik jahat dan mendorong konflik baik.
1. THE LAW OF INTERDEPENDENCE
Pemimpin tidak bisa sepenuhnya mengandalkan kekuatan pada jabatan atau otoritas formal.
Mereka tak henti berada dalam keadaan interdependensi dengan bos yang lebih tinggi,
dengan kolega, dan dengan bawahan. Hukum ini mengingatkan kita bahwa pengandalan
berlebihan pada kekuasaan justru memunculkan konflik, karena orang terpaksa
mengikutinya. Bila terlalu mengandalkan otoritas formal, dan gagal untuk menghargai
interdependensi yang melekat pada hubungan pekerjaan, orang-orang akan cenderung
bermuka dua: di depan umum mengatakan mendukung, namun secara pribadi malah tidak
mendukung.
2. THE LAW OF BUILDING A CATHEDRAL
Untuk membuat orang selalu fokus pada kebersamaan ketimbang pada perbedaan satu sama
lain, pemimpin secara kontinu harus selalu mengingatkan orang-orang bahwa mereka
sedang membangun rumah ibadah, bukan sedang memotong batu. Bila berbagai intrik dan
konflik lainnya mulai mendominasi tim, maka yang terjadi adalah tujuan bersama ditentukan
oleh pendapat individu. Membangun rumah ibadah juga ibarat vaksin yang digunakan secara
regular mencegah penyakit sehingga pemimpin bisa membatasi konflik agar tidak meluas.
3. THE LAW OF OPTIONS
Banyak yang menangani konflik dengan dua pendekatan: meredam konflik itu hingga
seluruhnya habis atau berkonfrontasi langsung. Tetapi, pemimpin jenius mengetahui opsi apa
saja yang tersedia di dalam krisis sekaligus tahu bagaimana menerapkannya. Ada beberapa
gradasi tindakan yang bisa diambil dalam menangani konflik.
Hanya saja, opsi apa saja yang dipergunakan untuk setiap kejadian sepenuhnya sangat
terbantung dari penilaian individu. Tidak ada hukum dan aturan yang pasti soal ini. Bagian
tersulit adalah mengetahui opsi apa saja yang tersedia dalam setiap situasi. Opsi pertama
yang tersedia ketika berhadapan dengan situasi konflik umumnya ada dua:
Opsi 1: Menghindar
Seorang pemimpin bisa memilih untuk menghindarkan konflik bila terlibat langsung, atau
memilih untuk memisahkan pihak-pihak yang bertikai.
Opsi 2: Berkonfrontasi
Yakin akan posisinya, pemimpin bisa memilih untuk mendorong terwujudnya objektif, dengan
menggunakan teknik persuasi untuk memenangkan kasus. Selain kedua opsi umum itu,
masih ada opsi-opsi lain.
Opsi 3: Berkompromi
Di sini pemimpin mencoba mencari solusi yang adil untuk kedua pihak yang berkonflik.
Caranya dengan menanggalkan perbedaan yang ada. Selama substansi konflik tidak terkait
masalah pribadi, tetapi lebih ke isu, sebuah solusi kompromi akan lebih baik. Dalam situasi
seperti ini, lebih baik menggunakan metode alternatif untuk menghapus setiap konflik antar
pribadi, dan berusaha untuk mencari konflik yang lebih berdasarkan pada isu.
Opsi 4: Mendelegasikan
Di sini, pemimpin meminta bawahan untuk mengatasi konflik atas nama dirinya. Selama
anak buah memiliki prestasi yang baik dalam mengatasi konflik, cara ini bisa efektif untuk
mendayagunakan kekuatan tim. Ini juga bermanfaat karena tidak semua konflik harus
sampai kepada bos.
Opsi 5: Berkolaborasi
Pendekatan ini berupaya untuk mendiskusikan secara terbuka ketidaksepakatan dan
bersama-sama mencarikan jalan ke luar. Terdengar sederhana, hal ini mensyaratkan orang-
orang yang terlibat tidak bersikap emosional dalam memperjuangkan sikapnya. Salah satu
kunci kolaborasi adalah mengakui secara terbuka perbedaan di antara mereka, misalnya
dengan ungkapan: "Kami secara jelas merasakan perbedaan tentang isu ini. Tolong jelaskan
kembali kenapa Anda membaca situasi seperti itu?"
Pendekatan seperti itu diterapkan dalam situasi di mana dua departemen berkonflik, bisa
antara bagian kredit dan penjualan, atau antara pemasaran dan produksi. Dalam konflik
semacam ini, bersikap terbuka terhadap dampak negatifnya bagi organisasi bisa menjadi
pembuka pembicaraan yang baik.
Kolaborasi mungkin bukan opsi tercepat, tetapi hasilnya terbaik dan bersifat lebih langgeng.
Opsi 6: Mengakomodasikan
Kadang-kadang pemimpin memutuskan untuk mendiamkan saja konflik yang ada, terutama
jika menjaga hubungan itu tidak banyak berpengaruh terhadap pencapaian objektif
organisasi dan tidak menghancurkan organisasi.
4. THE LAW OF THE CONSCIENTIOUS OBJECTOR
Dalam kasus di mana terjadi rivalitas antar departemen, bos berperan sangat besar dalam
mengatasinya. Bila Anda ingin bos menang, maka Anda sebaiknya tidak berusaha
melindunginya dari serangan orang lain. Tetaplah menunjukkan komitmen professional
kepada bos, tetapi lakukan hal itu dengan pekerjaan berkualitas. Bukan dengan mengkritik
orang lain. Cara terbaik untuk menunjukkan loyalitas dan sikap mendukung adalah dengan
bekerja sebaik-baiknya.
5. THE LAW OF THE LAST CHANCE SALOON
Sulit sekali menghindarkan terjadinya konflik yang tidak sehat. Seringkali terjadi, dua orang
yang bekerja dalam satu organisasi bermusuhan habis. Dalam situasi ini, terbuka
kemungkinan bagi Anda untuk menjadi mediator. Anda harus membangun sikap positif pada
masing-masing pihak terhadap yang lainnya. Sebab, selalu ada keahlian atau atribut dari
seseorang yang dihormati pihak lain, seberapapun hebatnya konflik tersebut. Kadang-kadang
bekerja secara individu dan kadang-kadang dengan melibatkan kedua pihak yang berseteru,
Anda bisa mengurangi friksi dan membangun kebersamaan.
Akan tetapi, pendekatan semacam ini tidak selalu berhasil, karenanya sering pemimpin
meminta orang untuk mengatasi sendiri konflik tersebut. Atau, sang pemimpin meminta
untuk mematuhi resolusi yang dia pilih.
6. THE LAW OF HEALTHY CONFLICT
Konflik sehat�- konflik ide�- mestinya didorong. Ibarat kolesterol jenis baik yang harus terus
ditingkatkan, konflik ide membuat organisasi tetap sehat. Debat, diskusi, ketidaksetujuan,
dan dialog adalah energi kehidupan bagi perusahaan tangguh dan adaptif. Karena itu,
pemimpin yang hebat membangun konflik ide sebagai sebuah nilai kultural. Debat dan
diskusi di mana suara yang berkembang sangat beragam pada akhirnya bisa menghasilkan
kesamaan pendapat. Semakin banyak debat dan diskusi semakin baik. Metode seperti ini
menghindarkan adanya suara vokal dalam setiap tim tentang satu subjek.
Pendekatan lain yang bertujuan untuk meningkatkan konflik sehat memanfaatkan desain
proses pengambilan keputusan tertentu. Lajimnya dalam teknik ini ditunjuk satu orang atau
grup untuk menjadi advokat dalam posisi berseberangan. Kadang-kadang, pemimpin
menunjuk "advokat jahat" yang memiliki posisi agak ekstrim dengan menantang pandangan
kelompok mayoritas. Di lain kesempatan, pemimpin membagi tim menjadi dua kelompok, di
mana masing-masing menjalankan tugas advokasi yang telah ditentukan. Dengan kedua
pendekatan itu, konflik ide yang sehat bisa tumbuh subur di dalam organisasi.
Penting pula diingat bahwa setiap tim yang "berkonflik" setuju sejak semula bagaimana
keputusan final dibuat, sehingga pengambilan keputusan itu menjadi proses yang relatif
netral secara emosional. Bilamana proses yang dipergunakan secara eksplisit melahirkan
pandangan dan penilaian yang saling bertentangan (berkonflik), penting dirancang sejauh
mana konflik itu diselesaikan dalam keputusan final. Pemimpin biasanya menunggu hingga
satu pendekatan mendapat dukungan dari mayoritas atau hingga tercapai sebuah
konsensus, sehingga konflik itu terselesaikan sendiri. Pemimpin kemudian mengumumkan
keputusan akhir yang dibuatnya dan membiarkan sejumlah konflik tetap belum terselesaikan.
Antusiasme kedua kelompok yang memiliki pandangan berbeda dalam mendapatkan
keputusan akhir memungkinkan terlaksananya keputusan tersebut dengan dukungan penuh
mereka.
Perhatian besar perlu diberikan dalam menyeleksi proses pemunculan konflik agar prosesnya
sesuai dengan situasi. Upaya menggali pandangan-pandangan berbeda berguna
untuk menjamin bahwa keputusan final telah memperhitungkan sebanyak mungkin data, dan
telah melalui pengujian. Ironisnya, pendekatan semacam ini lebih penting apabila masa
depan kurang pasti, dan tatkala keputusan yang diambil berisiko lebih tinggi. Bilamana waktu
yang tersedia cukup banyak, lingkungan kompetitif cukup jelas, dan bilamana keputusan
tidak begitu beragam, maka konflik sehat tidak begitu penting. Namun, tatkala nilai dan
risiko keputusan semakin meningkat, maka debat berkualitas semakin penting pula.
Ringkasnya, semakin penting pilihan yang harus diambil, semakin besar kebutuhan untuk
berkonflik sehat.
Proses Suksesi di PT. Caltex Pacific Indonesia
No. 07 - Tahun 2004
Perencanaan suksesi di PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) berawal dari proses penilaian kinerja
karyawan. Perusahaan yang kini mempunyai 5. 225 karyawan ini memiliki komite yang
disebut PDC (Personnel Development Committee) yang melakukan penilaian dan pemilihan
kandidat untuk posisi eksekutif dan posisi kunci lainnya.
Menurut GM Human Resources, PT Caltex Pacific Indonesia, Iwan Djalinus, PDC ini terbagi
atas Fungsional PDC, untuk menilai low level leader seperti posisi facility engineer,
production engineer, earth scientist, dan human resources. Kedua, Fungsional PDC dengan
persetujuan cross functional PDC untuk menilai mid level leader dan Executive PDC untuk
penilaian bagi posisi Manajemen. Seluruh posisi di Mid Management Level ke atas adalah
posisi kunci karena pada level tersebut seluruh komponen bekerja sama menggerakkan roda
organisasi ke tujuan. "Kekurangan satu komponen akan menjadikan organisasi ini pincang."
Persiapan generasi penerus kepemimpinan, lanjut Iwan, melalui proses dari sistem yang
telah baku, dari mulai penyeleksian high potentials (hipot), rencana pengembangan pegawai
dan penempatannya oleh PDC. "Kriteria yang dipakai antara lain Leadership core criteria,
termasuk di dalamnya Integritas yang tinggi, kemampuan komunikasi, kemampuan bisnis
yang teruji, pengalaman dibidang minyak dan gas bumi di lingkungan CPI serta bukti-bukti
keberhasilan," lontarnya kembali. Selama ini suksesi selalu dilakukan dari dalam organisasi.
Rencana pengembangan karyawan dilakukan berdasarkan usulan dari atasan setelah
berdiskusi dengan karyawan yang bersangkutan. Rencana ini kemudian disetujui oleh PDC
pada level yang lebih tinggi, dicatat dan dibuatkan rencana secara rinci. Dasar penentuan
orang potensial adalah berdasarkan kinerja, perilaku, wawasan dan beberapa kriteria lainnya.
Semuanya itu dilakukan oleh PDC yang biasanya terdiri dari 7 - 12 orang anggota.
Selain penilaian kinerja yang tertata baik, paparnya lagi, karyawan juga mendapatkan
delegasi otoritas, pelatihan langsung oleh atasan atau mentornya melalui suatu sistem
mentoring, diberi penugasan yang beragam (cross assignment), termasuk di dalamnya
penempatan kerja internasional di perusahaan induk CPI, ChevronTexaco di Amerika atau
subsidiari ChevronTexaco di negara lain. Pelatihan-pelatihan di bidang soft skills juga
senantiasa dilakukan. Semua program pengembangan SDM ini secara tidak langsung telah
menjadi cara CPI untuk meretensi karyawannya.
"Tenaga potensial yang ada di CPI diperkirakan masih dapat memenuhi kebutuhan
Perusahaan dalan jangka 4 - 5 lima tahun mendatang, dan kami sedang memperisapkan
generasi berikutnya untuk kebutuhan setelah 5 tahun mendatang," sambungnya.
Namun, untuk beberapa posisi seperti Manager Security dan Manager Hubungan Industrial
(HI), dinilai Iwan merupakan posisi kunci yang langka di CPI. "Sebenarnya ini hanya masalah
pasar saja. Kebetulan di CPI sendiri Pekerjaaan ini sangat spesifik, dan posisi ini juga pada
saat ini merupakan key manager," tandasnya. Di CPI, Bagian Hubungan Industrial yang
menangani masalah Serikat Pekerja pernah berjalan sekitar 20 tahun lalu. Kemudian,
sekarang ini dengan berubahnya status dari KORPRI menjadi pegawai swasta kembali dan
dimungkinkan dibentuknya Serikat Pekerja maka bagian hubungan Industrial menjadi sangat
penting kembali seperti halnya di Perusahan Minyak yang lain akibatnya permintaan pasar
terhadap orang yang memiliki kemampuan ini sangat tinggi. "Akibat dari berubah status
menjadi KORPRI sekitar 20 tahun lalu, maka kami tidak punya rencana suksesi yang baik,"
tambah Iwan yang mengaku hingga kini posisi HI hanya dilakukan oleh satu orang sehingga
tidak fleksibel secara manajerial.
Padahal, Iwan mengaku HI tidak sekedar textbook thinking. oleh karena itu. CPI tidak bisa
langsung merekrut dari luar karena seorang suksesor untuk manager HI harus mengerti
internal bisnis perusahaan dan masih banyak hal lain lagi. "Seorang HI tidak hanya cukup
untuk mengerti tentang masalah peraturan saja, tapi juga memahami nature of the business,
jadi betul-betul, tidak hanya sebatas peraturan."
Tak heran jika berbagai upaya CPI untuk melakukan suksesi terhadap posisi ini terus
dilakukan. Mulai dari pemilihan calon suksesor serta mengirim ke luar negeri untuk belajar
tentang HI yang berkaitan dengan minyak dan gas bumi. "Kebetulan pula, dulu ada pelaku-
pelaku sejarah di CPI yang mengerti hal ini sehingga bisa menangani," tutur Iwan yang
mengaku CPI tidak bisa sembarang merekrut dari luar meski hal itu bisa saja terjadi.
Terhadap proses suksesi ini, CPI melakukan evaluasi 3 bulan sekali. Dari evaluasi ini, akan
diketahui, siapa yang akan berhak menggantikan pimpinan dalam kurun waktu 3�- 5 tahun
ke depan. "Apalagi mengingat turn over CPI termasuk rendah yaitu hanya dibawah 1% diluar
sekitar 130 orang per tahun yang pensiun. Itu normal. Kalaupun keluar dari CPI, paling hanya
2-3 orang. Paling banyak 5 orang," papar Iwan mengakhiri perbincangan dengan Human
Capital.
Suksesi di Bank Niaga
No. 07 - Tahun 2004
Berbicara suksesi sebuah perusahaan, tidak hanya sekedar bicara masalah pergantian
pemimpin semata. Setidaknya, ada 3 hal yang sangat berperan bagi kesuksesan sebuah
suksesi. Pertama adalah komitmen untuk suksesi. Suksesi disiapkan dari dalam perusahaan
karena konsistensi penting. Oleh sebab itu tantangannya bagaimana menciptakan kwalitas
orang dalam dengan value yang sudah teruji. Karyawan dari dalam bisa memahami strategi
perusahaan dan budaya dengan lebih baik, yang berarti, semua perencanaan suksesi akan
ditata lebih baik.
Kedua, perencanaan suksesi membutuhkan persiapan yang banyak, baik segi sistem,
maupun dari segi pengembangan karyawan tersebut. Sehingga orang-orang yang terbaik
yang harus ada dalam proses ini. Sistem tersebut bermula dari bagaimana rekrutmen itu
terjadi. Maka, rekrutmen strategi menjadi sangat penting karena pola dari suksesi dasarnya
adalah mengembangkan karyawan. Bukan "membeli" karyawan. "Bagaimana karyawan bisa
berkembang mengembangkan potensi dan kompetensinya di perusahaan. Semua itu harus
diseleksi dan diidentifikasi. Makanya, bicara suksesi sama dengan bicara tentang 10-15
tahun ke depan," papar C. Heru Budiargo, Executive Director Compliance, Risk Management
Bank Niaga.
Heru yang juga menjabat Direktur SDM menegaskan, suksesi merupakan satu proses satu
kesatuan dengan satu organisasi, setiap orang dituntut untuk selalu siap. Posisi kunci harus
teridentifikasi, posisinya apa, ada di mana, dan sebagainya. Dalam jangka panjang, suksesor-
suksesor terbaik dengan performance-nya bagus akan dikembangkan kompetensinya.
Sedang dalam jangka pendek, seorang suksesor harus menunjukkan performance dan
kinerjanya sehari-hari. "Kan ada yang potensinya kurang baik, tapi prestasinya baik. Orang
ini diidentifikasi dari pengembangan secara khusus, diberi kesempatan, diberi proyek,
dipindahkan, supaya dapat pengalaman dan teruji kompetensi dan kinerjanya," jelasnya
panjang lebar.
Ketiga, yaitu performance appraisal, penilaian seorang karyawan. Yang dinilai adalah kinerja
dan kompetensi. Menurutnya, setiap perusahaan akan membutuhkan karyawan dengan 2
kriteria tersebut. "Tapi memang tidak mudah. Ada orang yang kinerjanya baik, tapi
kompetensinya tidak bisa dikembangkan lagi. Atau sebaliknya. Artinya ada saja orang yang
berhenti di suatu tempat," cetus Heru lagi. Karena itu, tidak semua karyawan disiapkan dan
direkrut untuk berada di level eksekutif.
Strategi rekrutmen menurut Heru, selain menyangkut masalah kriteria calon karyawan yang
akan menjadi karyawan Bank Niaga, juga mengupas masalah training atau pelatihan. Tidak
hanya sekedar classical training, tapi juga day to day, pekerjaan karyawan sehari-hari.
"Sistem belajar classical hanya menyumbang 20%, sisanya day to day," papar Heru. Seorang
karyawan akan baik jika ia memiliki atasan yang baik.
Rencana suksesi, baik di setiap lini dan setiap saat, bukanlah sesuatu yang mudah.
Seseorang yang pergi, baik itu dikeluarkan, pensiun atau keluar dengan sendirinya, idealnya
harus ada pengganti. "Bisa saja suatu saat ada posisi yang kosong, misalnya pemimpin
cabang. Di kami, setiap orang setiap hari menyiapkan karyawannya untuk menjadi suksesor."
Suksesor yang terdekat adalah satu tingkat di bawahnya dan tidak harus bawahan karyawan
tersebut. Walau tidak tertutup kemungkinan Bank Niaga mengambil suksesor dari luar, tapi
jumlahnya tidak terlalu besar. Saat ini, 80% karyawan yang direkrut Bank Niaga adalah fresh
graduated, sisanya berasal dari perusahaan lain yang pindah ke Bank Niaga. Kecuali untuk
posisi treasury, hukum dan teknologi yang dinilai Heru tergolong posisi langka di Bank Niaga.
Yang memutuskan layak tidaknya seorang suksesor menjabat posisi di atasnya adalah
Komite Personalia, yang terdiri dari beberapa anggota, bisa 3 orang, 5 orang atau 7 orang,
tergantung daerah atau cabang masing-masing. Tujuannya, untuk mendapatkan keputusan
yang paling maksimal dan terhindar dari subyektifitas. "Umumnya, setiap karyawan akan
tahu jika ada salah satu karyawan dijadikan calon suksesor. Karena system yang transparan,
kecemburuan bisa dikurangi yaitu setiap orang harus mengakui potensi dan kinerja si calon
suksesor," akunya. Sehingga yang naik jabatan bisa berbangga karena memang dia
berpotensi dengan baik.
Yang menjadi kendala Bank Niaga adalah memberikan poin buruk kepada bawahan yang
dinilai. "Kadang-kadang ada supervisor yang susah mengatakan bahwa si B itu tidak baik
atau jelek. Mungkin karena adat timur," Heru berujar. Jadi, jika ada supervisor yang
memberikan penilaian yang tidak tepat, maka akan dirapatkan dalam rapat Komite.
Di Bank Niaga, ada 2 kelompok karyawan, karyawan pimpinan dan bukan karyawan
pimpinan. Kalau karyawan pimpinan biasanya diarahkan untuk menjadi seorang pimpinan
hingga ke level eksekutif. Seorang karyawan yang akan mencapai level tersebut harus
belajar untuk mengembangkan orang lain. "Poinnya bukan sukses itu sendiri, tapi
mengembangkan dan mencetak orang-orang yang berkualitas," tegasnya. Untuk menjadi
junior officer, karyawan akan dididik selama 6-8 bulan. Kemudian dari level junior officer
menjadi middle officer sekitar 5 tahun, middle officer menjadi senior officer sekitar 5 tahun
Jika di level managerial ke bawah, penilaian dilakukan oleh Komite Personalia, maka untuk
suksesi direksi, penilaian dilakukan oleh Komite Remunerasi dan Nominasi (KRN). KRN ini ada
di level komisaris sehingga anggota Komite ini adalah beberapa anggota komisaris. "Di Bank
Niaga, 90% Direksi berasal dari dalam karena umumnya jabatan direksi menjadi karir,"
akunya.
Bank Niaga pernah menghadapi situasi yang di luar rencana, pertama adalah pasca Pacto
(Paket Oktober) 1983, yang membolehkan bank-bank baru dengan bebas membuka cabang,
sehingga membuat sekitar 50 karyawan Niaga pindah. Kedua, saat krisis moneter terjadi
pada tahun 1998-1999, saat dibentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Kala itu, dalam tempo setahun, sekitar 100 karyawan pimpinan Bank Niaga melakukan
eksodus ke BPPN. Hal ini diakui Heru sedikit menganggu kelancaran operasional. "Karena
banyak posisi yang kosong, terpaksa yang belum siap harus 'dikarbit'," ujarnya.
Proses evaluasi suksesi Bank Niaga dilakukan secara berkala minimal setahun 2 kali. "Suksesi
bisa terlihat dari berkembangnya perusahaan. Jika berkembang baik, artinya suksesinya
jalan," tukas Heru yang membeberkan bahwa Bank Niaga tahun ini asetnya naik 30%,
sehingga dalam tahun 2004 Bank Niaga menargetkan akan membuka 50 cabang di seluruh
Indonesia dan merekrut karyawan sebanyak 900 orang.
Suksesi di Blue Bird Group
No. 07 - Tahun 2004
Didirikan 32 tahun yang silam, Blue Bird Group (BBG) kini berkembang menjadi perusahaan
transportasi darat terkemuka di Indonesia dengan karyawan 20.000 orang lebih dan memiliki
13.000 kendaraan. Dewasa ini, transisi kepemimpinan terus berlangsung dari generasi kedua
ke generasi ketiga. Bagaimana strategi suksesi di BBG?
Tahun ini, BBG merayakan ulang tahun ke-32 dan ulang tahun ke-7 Pusaka Group,
perusahaan anak dari BBG. Siapapun tidak akan pernah membayangkan BBG akan menjadi
sebesar sekarang. Cikal perusahaan ini diawali saat Ibu Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono,
SH. (kini almarhumah) bersama anak-anaknya menjalankan usaha taksi "gelap" untuk
menghidupi keluarga setelah sang suami Prof. Djokosoetono, SH. wafat. Mobil yang dijadikan
usaha taksi adalah mobil-mobil peninggalan Pak Djokosoetono.
Kala itu, seluruh keluarga ikut berperan serta dalam usaha taksi tersebut, mulai dari
pemasaran dan penerima order hingga menjadi pengemudi. Chandra Suharto (anak tertua),
misalnya, bertugas sebagai operator telepon, sedangkan Purnomo Prawiro (anak
ketiga/bungsu) sebagai pengemudi. Untuk menambah jumlah mobil, Ibu Mutiara
bekerjasama dengan janda-janda pahlawan dengan memanfaatkan mobil-mobil mereka
untuk menjadi taksi.
Bermodalkan pengalaman usaha taksi itu, Ibu Mutiara kemudian memberanikan diri untuk
meminta ijin taksi resmi dari Gubernur DKI Ali Sadikin. Pada awalnya, permintaan tersebut
ditolak karena latar belakang beliau hanya seorang ibu rumah tangga dan tidak
berpengalaman dalam bisnis yang keras ini. Sedangkan, perusahaan taksi lainnya yang ada
sudah banyak makan asam garam bisnis transportasi, seperti Gamya, Morante, dan lainnya.
Ibu Mutiara tetap gigih memperjuangkan ijin itu. Ia mengumpulkan berbagai rekomendasi
dari hotel dan sejumlah pelanggan lain, dan semua itu cukup ampuh meyakinkan Gubernur
DKI sehingga ijin usaha taksi itu ke luar. Setelah ijin ke luar, tantangan berikutnya muncul,
yaitu mendapatkan pinjaman bank untuk membeli mobil baru. Bank enggan memberikan
pinjaman. Rumah satu-satunya milik Ibu Mutiara yang berlokasi di Jl. HOS Cokroaminoto
akhirnya dijaminkan berikut 24 mobil yang dijadikan taksi. Maka, lahirlah perusahaan taksi
Blue Bird dengan warna biru yang teduh.
Tantangan demi tantangan muncul silih berganti, tetapi sejarah menjadi saksi betapa
kegigihan dan keteguhan sikap Ibu Mutiara bersama anak-anaknya tidaklah sia-sia. Dari 24
taksi, kini BBG mengelola 13.000 unit kendaraan dan 20.000 karyawan lebih. Saat berdiri,
pangsa pasar Blue Bird hanya 15% dari 7 perusahaan taksi yang ada di Jakarta. Sekarang,
BBG menguasai 54% pangsa pasar dengan jumlah perusahaan taksi yang naik menjadi 45
buah. BBG menjelma menjadi perusahaan transportasi darat terkemuka dan paling sehat di
Indonesia. Tak hanya itu, beberapa perusahaan taksi yang pada saat awal memandang Blue
Bird sebelah mata, akhirnya diselamatkan BBG dari kebangkrutan. Bank-bank pun kini
berlomba menawarkan pinjaman dengan jaminan mobil yang dibeli. Kehidupan menjadi
serba terbalik. Berkat usaha taksi itu pula, Ibu Mutiara berhasil menghantarkan ketiga
anaknya meraih gelar sarjana.
Setelah 28 tahun membangun dan membesarkan BBG, akhirnya wanita yang murah senyum
itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Almarhum sudah mempersiapkan kedua puteranya DR.
Chandra Suharto, MBA. dan dr. Purnomo Prawiro untuk mengambil tongkat estafet
kepemimpinan di BBG. Chandra menjabat Presiden Komisaris BBG dan Purnomo menduduki
posisi Managing Director.
Namun, proses suksesi dari generasi satu setengah ini (begitu Purnomo menyebut dirinya
dan kakaknya Chandra karena mereka telah ikut merintis usaha ini bersama Ibu Mutiara
sebagai generasi pertama, red) suatu saat harus pula berlangsung karena usia mereka yang
terus bertambah. Mereka sedang mempersiapkan generasi ketiga - anak-anak mereka -
sebagai penerus kepemimpinan BBG. Dewasa ini, 2 anak Purnomo (Noni Purnomo, B.Eng.,
MBA. dan Ir. Adrianto Djokosoetono, MBA) dan 2 anak Chandra (Kresna Djokosoetono dan
Sigit Djokosoetono) bergabung di BBG. Noni, Kresna, dan Sigit menduduki posisi Vice
President (sebutan baru sebagai pengganti jabatan Senior Manager, red) untuk posisi yang
berbeda. Noni VP untuk bidang pengembangan bisnis, Kresna membawahi audit, dan Sigit
memimpin bidang reservasi. Sebagai anak paling bungsu, Andri (panggilan Adrianto)
sekarang masih menjabat manajer di bidang teknologi informasi.
Pembagian bidang tugas tersebut, menurut Purnomo Prawiro, dilakukan atas minat dan
kompetensi masing-masing, bukan atas pembagian jabatan antara Purnomo dan Chandra.
Penempatan anak-anak itu didasarkan pada prinsip the right man/woman on the right place.
Satu puteri Purnomo lainnya, Sri Adriyani Lestari Purnomo yang dokter memilih untuk
mengambil spesialisasi kebidanan.
Kendati kini telah memegang posisi, anak-anak tersebut harus memulai karir dari bawah.
"Kalau langsung duduk di atas, mereka seperti diawang-awang. Ibarat di atas awan, seakan-
akan di bawah semuanya mulus dan tanpa gejolak, padahal tertutup oleh awan," tukas
dokter lulusan Fakultas Kedokteran UI 1974 itu. Tidak hanya mengerti tentang pekerjaan,
anak-anak dituntut untuk menghayati pekerjaan. Misalnya, jadi staf itu seperti apa, atau jadi
orang bagian operasi shift 3 itu seperti apa? Begitu pula jadi manajer menengah. Mereka
harus tahu apa saja masalah yang dihadapi setiap level bagian atau sehingga bisa
mengambil keputusan yang tepat.
Noni, anak tertua pasangan Purnomo dan Hj. Endang Basuki Purnomo, misalnya, sudah
terlibat dengan bisnis ini sejak berusia 5 tahun. Ia ikut mempersiapkan gulungan-gulungan
yang berisi perhitungan komisi setiap pengemudi. Berlanjut saat SMP dan SMA, ia bekerja
paruh waktu menjadi data entry selama masa liburan sekolah. "Itu pun saya dites sebelum
diterima," ujar ibu satu puteri berusia 5 tahun itu. Ia tidak merasa diistimewakan karena
harus menyelesaikan beban pekerjaan sesuai target. Menurut Noni, perbedaannya paling
saat meminta bantuan karyawan lain bila ia tidak mengerti. "Karyawan senior akan cepat
datang membantu," tuturnya, sambil menambahkan, "Anak-anak memang sudah dibiasakan
untuk bekerja saat liburan sekolah."
Saat kuliah Teknik Industri di University of Newcastle, Australia, Noni mengambil tesis
tentang efisiensi untuk memperbaiki kinerja bengkel Blue Bird. Pulang dari Australia setelah
meraih gelar bachelor tahun 1994, Noni tidak langsung kembali ke BBG. Ia memilih bekerja di
bidang pemasaran pada PT Jakarta Convention Beureau. "Saya ingin mempelajari teknis
pemasaran karena waktu itu di BBG belum ada pemasaran. Yang ada hanya bagian
penjualan," katanya. Pekerjaan itu dijalaninya setahun. Itu pun sambil bekerja malam di BBG
dengan jabatan setingkat supervisor. Jadi, sepulang dari kantor lain, Noni bekerja lagi di BBG.
Kemudian, ia meneruskan sekolahnya dengan mengambil program MBA di University of San
Francisco dengan major di bidang pemasaran dan keuangan selama setahun lebih (1996-
1997). Setelah menggondol gelar MBA, Noni bergabung kembali ke BBG dengan memimpin
Divisi Pengembangan Bisnis. "Inilah enaknya sebagai anak pemilik. Bidang yang tidak ada
bisa diadakan," katanya terkekeh. Bidang pengembangan bisnis sendiri diakui Purnomo
sangat penting buat BBG. "Yang paling benar dan gampang memimpin bagian ini, ya
keluarga pemilik," tukasnya juga sambil tertawa.
Tugas Noni mencakup pengembangan bisnis secara internal dan eksternal. Secara internal,
Noni bertanggung jawab untuk pengembangan sistem, misalnya aspek Total Quality
Management. Secara bertahap, BBG menerapkan tahapan menuju sertifikasi ISO 9002. "Kami
memilih untuk mencoba pendekatan berbeda, tidak langsung mengambil sertifikat ISO,"
tuturnya. Pengembangan bisnis eksternal dilakukan dengan menyusun strategi pemasaran,
termasuk strategi membangun citra perusahaan baik dengan iklan langsung maupun
program public relations (PR) internal. Program PR internal dilakukan untuk membuat para
pengemudi sebagai frontliners puas.
Tampilnya 4 anak pemilik di jajaran pimpinan BBG tidak berarti peluang karir bagi
professional tertutup. Dari 9 jabatan VP, hanya 3 yang diisi keluarga pemilik. Di jajaran
direksi - di atas ketiga anak pemilik dan VP lainnya�- ada seorang direktur profesional yang
telah berkerja sekitar 20 tahunan di BBG (H. Handang Agusni). H. Handang memulai karirnya
dari bawah sekali sebagai staf operasi. Ia bertanggung jawab mengelola operasi harian usaha
transportasi, sedangkan Purnomo bertanggung jawab pada aspek kebijakan operasi usaha
transportasi dan memimpin sayap usaha non-transportasi dari BBG (seperti usaha Hotel di
Lombok dan sejumlah usaha patungan dalam bidang karoseri, depo kontainer, mobil
pemadam kebakaran, dan usaha freight forwarding).
"Saya kira, lingkungan kerja untuk profesional di sini cukup kondusif," tegas Purnomo.
Purnomo dan Chandra telah memasang rambu-rambu yang jelas kepada keluarga besarnya
soal keterlibatan di BBG. Pertama, yang boleh ikut dalam perusahaan hanya anak-anak
pemilik. Pasangannya (suami atau istri) tidak diperbolehkan. Kedua, sedapat mungkin tidak
menerima anggota keluarga lain - keponakan, sepupu, dan sejenisnya - untuk bergabung.
Purnomo mengaku, lebih senang menghubungi temannya untuk mencarikan tempat bekerja
bagi saudara ketimbang menerimanya di BBG. Kalaupun ada saudara yang ingin bekerja di
BBG, ia menyerahkan sepenuhnya proses seleksi kepada manajer HRD. "Kami tidak ikut
campur," ulasnya.
Selama hasil tesnya bagus dan di atas yang lain, dia layak diterima. Setelah masuk bekerja,
orang itu diusahakan tidak berada langsung di bawah mereka. "Ini untuk menghindari
berbagai dampak buruknya. Misalnya, masalah pekerjaan bisa menyebabkan keretakan
dalam keluarga dan sebaliknya," tambahnya. Hingga kini, di luar anak-anaknya, sedikit sekali
saudara jauh pemilik yang bergabung di BBG.
Sadar usia terus bertambah, Purnomo dan Chandra berencana untuk pension sebagai
pimpinan dan cukup sebagai pemilik saja. Ia berharap pada usia 60 tahun (3 tahun lagi) hal
itu bisa terwujud. Kelak, ia cukup datang sekali seminggu ke kantor dan bisa mengerjakan
aktivitas lain yang bermanfaat, semisal kegiatan sosial. Penghasilannya cukup dari dividen
sebagai pemilik, karena hingga kini sebagian saham masih atas nama dirinya (sebagian lagi
sudah diserahkan kepada anak-anak). "Untuk berjaga-jaga supaya nanti saya tidak
mengemis-ngemis dari anak-anak minta uang," katanya terbahak.
Siapa di antara anak-anak yang bakal menggantikan posisi pimpinan di BBG, tidak terlalu
dirisaukan oleh Purnomo meskipun ia melihat hal itu sangat strategis untuk kemajuan BBG ke
depan. Menurutnya, harus ada orang luar yang netral untuk ikut memikirkan suksesi
kepemimpinan di BBG di luar keluarga pemilik. Sebaiknya, papar Purnomo, ada pemegang
saham dari pihak luar supaya penilaiannya lebih obyektif. Caranya bisa dengan go public
ataupun dengan mengundang strategic investor. "Saya sendiri menilai, pilihan strategic
investor lebih baik," ungkapnya. Rencana ini masih digodok, bisa saja investor strategic itu
adalah salah mitra usaha BBG dalam sejumlah usaha patungannya (dari Jerman, Malaysia,
Spanyol, dan sebagainya).
Satu hal yang pasti, semua pemilik sudah bersepakat untuk terus mengembangkan BBG
sehingga menjadi grup usaha penuh di bidang logistik terkemuka di Indonesia dan kawasan
ini. "Jangan sampai generasi ketiga hanya menghabiskan uang saja," katanya serius di depan
Noni.
Suksesi Di Perusahaan Keluarga
No. 07 - Tahun 2004
Berbeda dengan perusahaan non-keluarga, suksesi di perusahaan keluarga sangat kritikal
karena seringkali berlangsung tidak mulus. Ungkapan "Generasi pertama membangun,
Generasi kedua mengembangkan, dan Generasi ketiga menghabiskan" belum sepenuhnya
hilang. Lantas, bagaimana pula nasib para professional yang bekerja di perusahaan keluarga?
Mungkin Anda pernah melihat tayangan iklan Telkom Flexy di sejumlah TV swasta. Iklan itu
bercerita tentang seorang ayah yang harus memilih satu di antara dua puteranya untuk
menjadi eksekutif puncak perusahaannya. Lalu muncul tayangan kebiasaan anaknya dalam
berkomunikasi yang berbeda. Yang satu memakai Telkom Flexy, satu lagi memakai telepon
seluler biasa. Akhirnya, sang ayah memilih anaknya yang memakai Telkom Flexy. Alasannya?
"Karena yang bersangkutan pintar mengelola uang dengan memilih telepon yang irit," kira-
kira begitulah jawaban sang ayah.
Untungnya, anak yang satu tidak protes. Mungkin dia tahu ayahnya sangat berpenghitungan
soal uang. Padahal, dia sudah mau protes, sebab ia memilih operator seluler lain karena
layanan telepon Flexy masih sering terputus-putus sehingga mengganggu pembicaraan
bisnisnya dengan orang lain. Artinya, gara-gara kualitas sambungan telepon itu, peluang
bisnis tidak bisa dia dapat.
Begitulah, proses suksesi di perusahaan keluarga bukanlah hal yang mudah. Faktor selera
sang ayah atau Ibu sebagai pimpinan masih sangat menentukan siapa yang akhirnya
dinobatkan sebagai pimpinan penerus. Padahal, tanpa kriteria yang jelas, pemilihan
pemimpin generasi berikutnya bisa menimbulkan kehancuran perusahaan. Misalnya, si anak
terpilih karena kejujuran dan kasih sayangnya kepada orang tua, sementara ia lemah dalam
kompetensi dan kepemimpinan. Lebih repot lagi bila jumlah anaknya cukup banyak sehingga
potensi untuk tidak akur sangat besar. Salah-salah memilih, akibatnya seperti ungkapan di
atas: "Generasi penerus justru hanya bisa menghancurkan perusahaan."
Menurut AB Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group (JCG), suksesi di
perusahaan keluarga jauh lebih sulit dibandingkan perusahaan non-keluarga. Perusahaan
non-keluarga, baik perusahaan swasta maupun BUMN, bebas menentukan siapa yang layak
menjadi suksesor berdasarkan kompetensinya. Sementara di perusahaan keluarga, ada
kesan diteruskan ke generasi berikutnya. "Yang menjadi pertanyaan, apakah generasi
penerus mampu melanjutkan usaha dengan baik," tanyanya. Oleh sebab itu, hal pertama
yang harus dilakukan adalah mempersiapkan generasi penerus terlebih dahulu.
Karena lebih sulit, keterlibatan intens dari sang ayah/ibu mempersiapkan proses suksesi
menjadi prasyarat mutlak. Di sinilah dilemanya. Tidak semua pengusaha memiliki waktu dan
perhatian yang cukup dalam mempersiapkan anak-anaknya. Mereka umumnya lebih hebat
dalam berbisnis, namun merasa tidak punya kemampuan merancang program suksesi.
Akhirnya, proses suksesi dibiarkan terjadi secara alamiah.
Sebagian pengusaha yang sadar soal pentingnya suksesi ini kemudian menyerahkan
penyusunan rencana suksesi ini kepada konsultan. JCG memiliki sebuah program
perencanaan suksesi yang diberi nama JCG Octagon. Program ini memuat pula langkah
persiapan suksesi setidaknya 5 tahun di depan. Juga dibuat criteria suksesor dan proses
pencalonan yang hampir mirip dengan pemilihan Presiden. "Semua anak diperbolehkan
mencalonkan diri," ungkapnya.
Tujuan perencanaan suksesi ini adalah untuk mendapatkan pemimpin yang sesuai, bisa
berkomunikasi dan memberi dampak positif bagi orang lain. Itu sebabnya, pimpinan yang
dicari harus mempunyai visi yang jelas dan mampu mengkomunikasikan visi tersebut. Ia juga
harus pandai memilih bawahan (tim) dalam bekerja dan mempunyai hubungan yang luas.
Cara yang ditempuh oleh pengusaha Mugijanto adalah dengan meminta bantuan konsultan
terkemuka Gede Prama, CEO Dynamic Consulting, untuk menjadi executive coach bagi anak
tertuanya. Program executive coaching ini dirancang 6 bulan-9 bulan, di mana Gede rutin
melakukan diskusi, memberikan penugasan, dan mengevaluasi implementasinya di
perusahaan. "Program ini sesuatu yang baru di Indonesia," tutur Gede Parama. Mugijanto
menilai positif program tersebut setelah melihat dampaknya pada sang anak. "Dia semakin
sistematis membuat laporan," tukasnya. Pak Mugi dan Gede enggan menyebut honor jasa
executive coaching ini. "Kami tidak terlalu hitung-hitungan," ungkap mereka di tempat
terpisah.
PROSES SUKSESI di Blue Bird Group (BBG) kini sedang berlangsung dari generasi kedua
(Purnomo Prawiro dan Chandra Suharto) ke anak-anak mereka (generasi ketiga). Dewasa ini,
2 anak Purnomo (Noni Sri Ayati dan Adrianto Djokosoetono) dan 2 anak Chandra (Kresna
Djokosoetono dan Sigit Djokosoetono) bergabung di BBG. Noni, Kresna, dan Sigit menjabat
Vice President, sedangkan Andri masih menjabat manajer karena belum lama bergabung di
BBG. "Prinsip kami adalah menempatkan the right people on the right place," ungkap
Purnomo Prawiro. Masing-masing memilih bidang sesuai dengan minatnya. Noni membawahi
pengembangan bisnis, Kresna audit, Sigit reservasi, dan Andri teknologi informasi.
Keempat anak pemilik itu mengawali karirnya di BBG sejak dari bawah. Hal ini sesuai dengan
prinsip Purnomo dan Chandra, seseorang tidak bisa langsung duduk di atas. Ia benar-benar
harus mulai dari bawah agar mengerti dan menghayati pekerjaannya sehingga dalam
mengambil keputusan hasilnya juga bagus. Sejak kecil, anak-anak Purnomo memang telah
dilibatkan dalam bisnis ini.
Purnomo tidak terlalu mengkhawatirkan potensi konflik di antara anak-anak mereka kelak.
Meski ada anak-anaknya maupun Chandra yang bergabung, mereka sudah merencanakan
sebuah proses penentuan siapa yang kelak berada di puncak tahta. "Sebaiknya ada pihak
independen yang ikut memberikan penilaian," ujarnya. Caranya, BBG berencana
mengundang masuk investor independen melalui proses go public atau pola investor
strategis. "Kami cenderung memilih pola investor strategis," tambahnya.
Sadar betapa crucial-nya proses suksesi, salah satu taipan properti Indonesia Ir. Ciputra
benar-benar terlibat penuh memikirkan dan merancang konsep suksesi terbaik bagi keempat
anak-menantunya dalam Grup Ciputra. Ia tidak ingin, bisnis Grup Ciputra dan hubungan
persaudaraan hancur kelak di tangan generasi penerus (Rina, Juanita, Candra, dan Cakra
Ciputra serta pasangan masing-masing). Seluruh anak-anak dan menantunya memang
dilibatkan dalam bisnis Grup Ciputra. "Mereka memiliki pendidikan yang sangat berkaitan
dengan bisnis Grup Ciputra, di samping juga mempunyai pengalaman praktis dalam industri
real estate," ungkap Ciputra, 73.
Setelah melakukan pengkajian dan perenungan panjang, Ciputra membedakan model
regenerasi grupnya saat ini dan di masa depan. Saat ini, seluruh anak dan menantunya
berada dalam jajaran manajemen Grup Ciputra. Ke depan, ia membentuk struktur Grup
Ciputra, di mana keempat anak & menantunya memiliki dan memimpin Grup Ciputra sebagai
perusahaan induk (holding), namun masing-masing keluarga anaknya diperbolehkan
mengembangkan grup usaha baru. Dengan cara ini, Ciputra berharap persatuan di antara
keluarga anak-anaknya tetap terjaga, namun aspirasi bisnis masing-masing juga tersalurkan.
Sebab, setiap keluarga telah mendapat saham yang sama besar di Grup Ciputra.
BANYAKNYA anak-anak pemilik yang ikut mengelola perusahaan keluarga menimbulkan
pertanyaan sejauh mana peluang para profesional untuk bisa berkarir di sana. "Posisi kunci di
Grup Ciputra terbuka bagi keluarga maupun professional," tukas Ciputra. Ia menjelaskan,
saat ini jumlah keluarga kandung maupun jauh yang bekerja di Grup Ciputra atau bahkan di
posisi-posisi kunci perusahaan jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah kaum professional.
Kesan dominannya keluarga dalam manajemen perusahaan mungkin berdasarkan kenyataan
manajemen PT Ciputra Development Tbk. dan PT Ciputra Surya Tbk., 2 anak perusahaan
Grup Ciputra yang telah go public. Candra Ciputra, 40, menjabat CEO PT Ciputra
Development, sementara Rina Ciputra, Budiarsa Sastrawinata, Juanita Ciputra, Harun Hajadi,
dan Cakra Ciputra menjabat Direktur. Di luar mereka terdapat 2 direktur profesional murni:
Tanan Herwandi Antonius dan Tulus Santoso Brotosiswojo. Di PT Ciputra Surya Tbk., Harun
Hajadi bertindak sebagai CEO, sedangkan anak-anak; menantu menduduki jabatan direktur.
Di perusahaan ini terdapat 2 direktur professional murni, yaitu Sutoto Yakobus dan Nanik J.
Santoso.
Tentang kesan dominansi ini, Ciputra berujar: "Sebagai perusahaan publik, kami harus
mempertanggungjawabkan kinerja dan hasil akhirnya kepada pemegang saham publik. Tentu
mereka menginginkan sebuah cara kerja profesional dan hasil bisnis yang memuaskan.
Untuk itu, Grup Ciputra harus memiliki sumberdaya manusia professional dan unggul.
Apakah mereka keluarga atau profesional, bukanlah kriteria pertama. Kriteria pertama adalah
kompetensi professional yang dibutuhkan dalam posisi tersebut."
Jumlah eksekutif profesional di jajaran manajemen BBG memang lebih banyak dibandingkan
pihak keluarga. Eksekutif tertinggi diisi oleh Purnomo Prawiro, di bawahnya ada direktur
profesional Handang Agusni yang telah bekerja puluhan tahun di BBG. Level di bawah
Handang ditempati 9 Vice President, di mana hanya 3 VP yang merupakan keluarga kandung
pemilik. Di berbagai posisi lainnya, praktis diisi oleh profesional. "Sebisanya kami tidak
menerima anggota keluarga besar di BBG. Yang boleh bekerja di sini hanya anak kandung,
sedangkan suami/isteri mereka sama sekali dilarang. Keluarga jauh bisa saja bergabung
selama lulus seleksi masuk," tutur Purnomo.
Pembatasan jumlah anggota keluarga yang boleh bergabung di BBG dilakukan untuk
mencegah adanya klik keluarga dan non-keluarga. Seolah-olah jabatan penting hanya untuk
keluarga. Kondisi ini tentu tidak baik. Pertama, hubungan keluarga itu langsung dikaitkan
dengan hubungan dalam perusahaan ataupun sebaliknya. Bentrok di perusahaan akhirnya
bentrok pula di keluarga. Kedua, yang bukan keluarga merasa dirinya tidak punya peluang
untuk naik sehingga tidak termotivasi untuk bekerja maksimal.
Ia menambahkan, perusahaan membutuhkan para professional untuk memperkuat barisan
manajemen. Perekrutan professional dilakukan melalui dua jalur: cepat dan lambat. Yang
dimaksud jalur cepat adalah program Management Trainee, khusus untuk lulusan S1 ke atas.
Sedangkan jalur lambat adalah perekrutan karyawan nonsarjana.
Peluang berkarir bagi profesional akan semakin baik sejalan dengan kian berkembangnya
usaha tersebut, seperti yang terjadi pada grup-grup besar (Salim, Sinar Mas, CCM, Hanson,
dan sebagainya). Perkembangan usaha yang cepat tidak mungkin ditangani sepenuhnya oleh
keluarga. Sebaliknya, seperti di Grup Ciputra, perusahaan terus membuka proyek-proyek
baru di pulau Jawa dan luar Jawa untuk memberi kesempatan bagi pemimpin bisnis baru
untuk mendapatkan posisi.
Lagi pula, kebanyakan perusahaan keluarga telah menerapkan sistem manajemen
profesional sejalan dengan tuntutan persaingan bisnis yang semakin tinggi. Bukankah
sebagian besar perusahaan besar sekarang tadinya juga perusahaan milik keluarga?
Sukses BRI Mentransformasikan Organisasi
No. 07 - Tahun 2004
Berangkat dari citra bank ndeso, Bank BRI sukses mentransformasikan diri menjadi
organisasi perbankan yang tangguh. Bank ini mengadopsi serangkaian praktik manajemen
SDM terbaik, termasuk program pengembangan karir yang jelas dan program ESOP/MSOP.
Apa target BRI?
Mau jago soal micro banking, belajarlah ke Bank BRI. Agaknya pernyataan ini bergema luas di
kalangan perbankan internasional. Maka, mereka silih berganti berkunjung dan belajar dari
Bank BRI tentang spesialisasi yang satu ini. Bank BRI layak bangga dengan kehebatannya di
bidang micro banking. Karena spesialisasi itu membuat nama BRI menjulang di dunia; karena
fokus di micro banking itu membuat kinerja bisnis BRI relatif mengkilap.
Bank BRI kini merupakan bank terbesar di dunia dalam micro banking dengan 4100 kantor
BRI Unit yang melayani nasabah di berbagai wilayah nusantara. Selama ini, nama BRI
mungkin kalah populer dengan Gramen Bank, sebuah bank asal Bangladesh yang disebut-
sebut sukses dalam bidang micro financing. Tetapi, layanan micro financing itu berbeda
dengan micro banking. Layanan micro financing tidak mempedulikan dari masa asal
pendanaan untuk kredit mikro tersebut sehingga tidak murni bersifat komersial. Sebagian
besar pendanaannya merupakan dana bersubsidi dari pemerintah. Sementara pendanaan
micro banking sepenuhnya berasal dari bisnis komersial.
Jaringan layanan BRI Unit yang begitu luas memungkinkan BRI memberikan layanan
langsung kepada mayoritas masyarakat. Dewasa ini, menurut Direktur Utama BRI Rudjito,
BRI memiliki jumlah akun (account) lebih dari 31 juta buah sehingga bisa disimpulkan BRI
merupakan bank dengan nasabah terbesar di Indonesia. "Kalau ada bank lain yang terpilih
sebagai bank pilihan masyarakat, maka itu bisa dipertanyakan," ujarnya berseloroh. Jumlah
akun BCA, bank yang sering terpilih sebagai bank pilihan masyarakat misalnya, hanya sekitar
9,5 juta - jauh lebih kecil dari BRI.
BRI Unit menjadi pilar bisnis yang penting dan strategis buat BRI, baik dari sisi finansial
maupun transformasi organisasi. Setelah sukses dengan proyek percontohan di Yogyakarta,
BRI Unit kemudian dikembangkan dengan mengkloning BRI Unit di Yogyakarta itu. Menurut
Rudjito, ada 3 hal yang menjadi kunci keberhasilan kemajuan BRI saat ini, termasuk BRI Unit.
Pertama, human capacity building. Prosesnya dimulai sejak saat rekrutmen hingga
pengembangan SDM melalui training terus menerus. Kepada mereka juga diperkenalkan
reward yang dikaitkan dengan pencapaian target sesuai fokus program perusahaan.
Perkembangan BRI Unit ini juga mengimbas positif ke cabang-cabang BRI.
Kedua, institutional building. Organisasi layanan harus dibuat sederhana dan dekat dengan
masyarakat. Jumlah karyawannya minimum 4 orang dan maksimum 11 orang. Organisasi ini
harus mampu mendukung pengembangan komunitas dan memiliki program supervisi yang
jelas (cascading supervision). Makanya di BRI ada jabatan penilik yang bertugas mengawasi
BRI Unit. Setiap cabang membawahi 12 BRI Unit. Supervisi tingkat berikutnya adalah
Inspektur Wilayah yang melakukan audit hingga tingkat cabang dan BRI Unit. Sekarang BRI
memiliki 11 Inspektorat Wilayah di seluruh Indonesia.
Ketiga, technology building. Sesederhana apapun, BRI Unit di desa sudah menggunakan
teknologi. Paling tidak memiliki 1 PC, 1 printer, dan alat bantu generator set. Kalaupun belum
ada telepon, akses informasi dilakukan melalui VSAT. Umumnya seluruh jaringan BRI sudah
online, meskipun belum semuanya realtime. Pengembangan teknologi informasi (TI) BRI
berjalan sejak proses rekap tahun 2000. Investasi tersebut terus berkembang. Kini, mayoritas
jaringan BRI (324 cabang, 13 kantor wilayah, 11 kantor inspeksi, 147 kantor cabang
pembantu, dan sebagian BRI Unit) sudah terhubung secara online dan realtime.
Teknologi sangat penting bagi kemajuan sebuah bank. "Tanpa dukungan teknologi, bank sulit
bersaing," tukasnya. Kendati fokus melayani segmen middle- low income, kebutuhan
terhadap teknologi itu juga besar. Dengan dukungan teknologi itu, BRI bisa memberikan
layanan terbaik kepada berbagai lapisan masyarakat sesuai dengan target BRI untuk
memfokuskan 80% bisnis di usaha mikro, kecil dan menengah. Penguatan jaringan itu
bermanfaat pula mendukung dinamika perekonomian daerah akibat implementasi otonomi
daerah.
KETELADANAN PEMIMPIN
Kuatnya kualitas kepemimpinan Rudjito sangat berperan dalam mempercepat transformasi
organisasi BRI. Ketika ditanya apa resep kepemimpinannya, Rudjito mengulang kembali 3
pesan pertamanya kepada seluruh pimpinan BRI saat dilantik beberapa tahun lalu. Pertama,
mengembangkan komunikasi interaktif. Rudjito meminta setiap karyawan untuk berhubungan
langsung dengan dirinya melalui telepon atau email. "Dan, hal itu berjalan," tuturnya.
Awalnya memang ada kesan malu-malu, tetapi setelah tahun kedua dan seterusnya menjadi
terbiasa. Ia mengaku, sebelum akhir tahun, sudah bisa mengontrol pembukuan akhir tahun
melalui SMS.
Pesan kedua, lanjutnya, adalah mengajak berpikir positif. Kalau ada usul dari anak buah,
jangan langsung dibantah, tetapi dengarkan terlebih dulu. Ketiga, kerjasama yang benar-
benar bekerjasama. Ketiga pesan itu berjalan efektif karena Rudjito sendiri konsisten untuk
memberikan sikap keteladanan dengan tindakan nyata dan transparan. Standar dan
penilaian pegawai dibuat lebih terbuka. Salah satu yang diatasi secara cepat adalah
menghentikan kebiasaan rumor mutasi personil. "Selama ini, sebelum seseorang pindah,
rumor dulu yang berkembang. Di era saya, itu tidak boleh lagi ada," tukasnya serius.
Mutasi pertama yang ia lakukan adalah mempromosikan Pemimpin Wilayah Padang, Sumbar,
untuk menjadi kepala divisi operasional di Jakarta. Pejabat tersebut dipanggil ke Jakarta, dan
ia siap memberikan laporan dengan setumpuk map. Selesai melapor, yang bersangkutan
langsung ditunjuk menjadi Kepala Divisi yang kebetulan waktu itu lowong. Sejak itu, rahasia
mutasi menjadi terjaga, tidak ada orang yang tahu. Baru kemudian Direktur Personalia
memberitahu Kepala Divisi SDM untuk membuatkan SK-nya.
Praktik itu terus dijalankan hingga kini. "Setiap keputusan mutasi tidak pernah tersebar ke
mana-mana," katanya, sambil menambahkan, "Banyak juga yang mencoba menebak-nebak,
tetapi tebakannya keliru." Pengiriman nota mutasi biasanya dikirim malam hari ke wilayah,
sehingga mereka baru tahu keesokan harinya. Dulu, lanjutnya, orang segan memindahkan
keluarga direksi ke luar Jakarta. Di era kepemimpinan Rudjito, hal seperti itu tidak boleh lagi.
Ini demi karir yang bersangkutan.
Mutasi pejabat di BRI adalah kehendak organisasi yang harus dipatuhi setiap karyawan.
Kalau membangkang, kepada mereka diberikan sanksi. Pengecualian terhadap hal ini tetap
ada, misalnya anak yang bersangkutan sakit tertentu yang pengobatannya hanya bisa di
Jakarta. "Tapi, kalau alasannya karena isteri menjadi pejabat tinggi di satu instansi, itu tidak
bisa diterima. Waktu mulai bekerja di sini, isterinya 'kan belum menjadi pejabat," ungkapnya
tertawa. Praktik ini memberikan kepastian buat pegawai yang baik. "Tidak ada niatan direksi
untuk menghambat karir karyawan," tambahnya.
Penempatan seseorang menjadi pimpinan telah melalui kajian mendalam dari direksi BRI.
Menurut penilaian direksi, mereka yang dipromosikan itu memiliki track record dan moral
yang bagus. Toh semua itu tidak menjamin para pimpinan mampu menjalankan tugasnya
secara professional menurut aturan perusahaan. Seperti yang terjadi pada Kepala Cabang
BRI Senayan dan Senen di Jakarta yang menyalahgunakan dana nasabah dan kasusnya
terungkap ke media massa. Saat ini, kasus tersebut sedang disidangkan. Menurut Rudjito,
faktor yang sangat berperan mengubah orang adalah pertemanan. "Mereka memilih
berteman dengan maling sehingga pikirannya jadi pendek. Untuk itu, mereka layak diberi
sanksi keras."
Selama ini, penyalahgunaan wewenang di bank milik pemerintah terkesan lebih menonjol
ketimbang bank swasta. Rudjito sendiri tidak tahu kenapa bisa seperti itu. Tetapi, ia
mensinyalir, praktik fraud seperti itu juga banyak terjadi di bank swasta. Bedanya, kasus-
kasus seperti itu ditutupi oleh pemiliknya dengan memecat orang tersebut dan mengganti
kerugian dari kocek sendiri. "Lha, kami mau menutup dari mana? Kami ini hanya pegawai
bank," ujarnya setengah bertanya.
PERBAIKAN REMUNERASI
Sejalan dengan perbaikan manajemen dan kinerja bisnis BRI, kesejahteraan pegawai BRI
yang berjumlah 34.719 orang (Desember 2003) kini jauh lebih baik. Kerja keras seluruh
jajaran BRI layak mendapat ganjaran setimpal. Dalam periode dua tahun sebelum go public,
manajemen BRI telah membagikan insentif direksi kepada pekerja berdasarkan penilaian
kinerja individu (performance appraisal). Karyawan yang kinerjanya biasa-biasa saja
mendapat insentif normal, kinerja bagus memperoleh lebih, dan kinerja di bawah standar
mendapat insentif lebih rendah. Sedangkan, insentif direksi untuk direksi tidak ada.
Bentuk insentif lainnya adalah bonus tahunan yang dulu dikenal dengan istilah jasa produksi.
Insentif ini diperjuangkan direksi saat RUPS. Karena kinerja keuangan BRI 2003 yang bagus,
untuk pertama kalinya, karyawan memperoleh bonus lebih dari satu kali. Mereka layak
mendapatkan bonus tersebut karena laba BRI terutama berasal dari penyaluran pinjaman,
bukan dari bunga obligasi seperti yang banyak terjadi pada bank rekap lainnya. Pemberian
insentif itu memberikan motivasi lebih buat karyawan BRI.
Kegembiraan karyawan BRI makin bertambah dengan digelarnya program ESOP (Employee
Stock Ownership Program) pada saat go public tahun lalu. Jumlah saham yang dibagikan
kepada karyawan mencapai 10% dengan batasan masa kerja maksimal 15 tahun. Karyawan
yang memiliki masa kerja lebih dari 15 tahun harus ikut aturan 15 tahun itu. Sebab, ESOP itu
bertujuan untuk mendorong pegawai bekerja lebih professional sehingga tidak terlalu banyak
manfaatnya bagi perusahaan bila dibagikan kepada pegawai dengan masa kerja yang
semakin mendekati pensiun. Saham ESOP ini baru boleh diperdagangkan setelah 2 tahun.
Karyawan membeli saham ESOP dari bonus kinerja 2003 setelah disahkan dalam RUPS.
Selain itu, karyawan bisa pula membeli saham dengan diskon 3% seperti yang diberlakukan
untuk nasabah. Diskon itu dibayar oleh BRI. Saham ini bisa diperjualkan setelah periode lock
up 6 bulan.
Untuk jajaran manajerial, BRI memperkenalkan MSOP (Management Stock Options
Program)�- sifatnya boleh beli dan boleh tidak. Harga pembeliannya 20% di atas harga
perdana Rp 875 per saham dengan periode lock up 2 tahun. Terlalu mahal? Tidak juga.
Sekarang saja harga saham BRI sudah lebih dari 100% dari harga perdana. "Hasilnya akan
sangat luar biasa jika harga saham BRI naik terus, misalnya sampai ke angka Rp 3000 per
lembar," gumam Rudjito.
Jumlah saham yang dialokasikan untuk MSOP sebanyak 5%, tetapi jumlah itu tidak langsung
dihabiskan karena disisakan untuk dibagi lagi pada periode 2 tahun berikutnya. Kebijakan ini
bertujuan agar mereka yang belum naik pangkat masih berhak membeli lagi saham MSOP.
Serangkaian praktik manajemen yang berkualitas ini berkontribusi besar terhadap kinerja
bisnis BRI yang semakin baik. "Investor masih bullish dengan saham BRI," ungkap sejumlah
analis pasar saham kepada HC. Dewasa ini, investor public menguasai 40,5% saham BRI dan
sisanya dimiliki pemerintah RI.
Mengembangkan Model Kompetensi yang Strategis
No. 06 - Tahun 2004
Di era kapital intelektual ini, siapa yang tidak mengenal konsep "kompetensi"? Sebagaimana
terungkap dalam survei yang pernah dilakukan American Compensation Association (ACA) di
tahun 1996, banyak perusahaan meyakini kompetensi sebagai alat yang ampuh untuk
meningkatkan kinerja karyawan, mengkomunikasikan nilai-nilai budaya, dan lebih jauh,
membantu implementasi strategi perusahaan.
Ironisnya, tidak sedikit perusahaan yang kecewa karena lebih banyak merasakan hambatan
dalam implementasi kompetensi, daripada manfaatnya. Alasan yang antara lain
dikemukakan adalah kebanyakan model kompetensi "bicara dalam bahasa SDM/psikologi",
sulit dipahami, dan kurang terlihat kaitannya dengan bisnis perusahaan (studi Watson Wyatt,
2001).
Apakah fakta di atas menunjukkan bahwa kompetensi merupakan konsep manajemen masa
kini yang - sebagaimana terjadi pada banyak konsep manajemen lain -�akan 'kehilangan
masa'-nya? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pastikan bahwa pengembangan
kompetensi di perusahaan Anda telah melewati keempat langkah kunci di bawah:
LANGKAH 1 KLARIFIKASI STRATEGI BISNIS
Tak jarang ditemui, dengan alasan efisiensi, perusahaan memilih cara instant membangun
model kompetensi dengan langsung mengadopsi "kamus kompetensi" yang siap pakai dan
banyak beredar di pasaran, tanpa mengkaji ulang relevansinya dengan strategi perusahaan.
Inisiatif ini jelas menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Tapi bayangkanlah bila semua
perusahaan melakukan hal yang sama�- keunggulan kompetitif apa yang bisa dicapai
perusahaan melalui karyawan-karyawan yang memiliki kompetensi yang generic (alias sami
mawon dengan karyawan-karyawan perusahaan kompetitor)?
Pastikan bahwa pengembangan kompetensi dimulai dengan mengklarifikasi strategi bisnis
perusahaan. Apa tema strategi yang menjadi intensi perusahaan Anda: Orientasi pada
layanan pelanggan? Fokus pada pelanggan tertentu? Reduksi biaya? Produk berkualitas
dengan harga premium? Perpaduan dari tema-tema tersebut?
LANGKAH 2 IDENTIFIKASI KAPABILITAS ORGANISASI
Merupakan langkah penghubung antara strategi bisnis perusahaan dengan model
kompetensi yang hendak dibangun. Katakanlah perusahaan "X" yang bergerak di bidang jasa
keuangan mempunyai sasaran bisnis "mencapai pertumbuhan laba dari tahun ke tahun
melalui peningkatan layanan pelanggan". Pencapaian "peningkatan layanan pelanggan"
tersebut tentunya harus didukung dengan kapabilitas-kapabilitas organisasi tertentu,
misalnya: riset pemasaran dan pengembangan produk yang inovatif.
Bergerak di industri yang sama dengan "X" dan dengan tema strategi yang hamper serupa,
perusahaan lain mungkin saja mensyaratkan kapabilitas organisasi yang berbeda.
Perusahaan "Y", misalnya, memilih manajemen hubungan pelanggan yang didukung
teknologi informasi yang memungkinkan cakupan pelanggan yang luas sebagai kapabilitas
yang lebih perlu dimiliki.
Intinya, tentukan kapabilitas organisasi yang unik untuk mendukung strategi perusahaan
Anda. Tidak perlu melibatkan semua kapabilitas organisasi, melainkan fokuskan pada
beberapa kapabilitas saja yang sungguh-sungguh bernilai strategis dan menunjukkan
kesenjangan paling besar dengan kinerja yang diinginkan. Perlu diingat untuk selanjutnya
meninjau-ulang kapabilitas yang telah diidentifikasi ini secara periodik, karena bukannya
tidak mungkin pada periode-periode selanjutnya perlu perubahan prioritas kapabilitas
organisasi.
LANGKAH 3 IDENTIFIKASI DAN KEMBANGKAN MODEL KOMPETENSI
Sebagaimana halnya kapabilitas organisasi diturunkan dari strategi perusahaan, demikian
pula halnya model kompetensi hendaknya diturunkan secara langsung dari kapabilitas
organisasi yang telah diidentifikasi. Singkatnya, yang perlu diidentifikasi pada langkah ini
adalah pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku karyawan yang relevan dengan tuntutan
kapabilitas organisasi. Kembali ke contoh perusahaan "X", untuk memungkinkan
pengembangan produk yang inovatif, dibutuhkan kompetensi- kompetensi seperti:
pengetahuan produk, pemahaman pasar target, inovasi, dan kreatifitas.
Proses pengembangan model kompetensi dilanjutkan dengan melengkapi kompetensi-
kompetensi yang telah diidentifikasi tadi dengan definisi dan tingkatan- tingkatan pencapaian
(misalnya, skala 1-5). Lebih jauh, kelompokkan kompetensi dalam kategori kompetensi inti
(berlaku untuk semua fungsi dan posisi), manajerial, dan fungsional (berlaku untuk fungsi-
fungsi tertentu saja). Petakan dengan jabatanjabatan di organisasi dan sertai dengan
tingkatan minimum yang dipersyaratkan untuk tiap kompetensi.
Yang perlu dicatat, hindari kompetensikompetensi yang lebih merupakan atribut personal,
seperti integritas, nilai moral, kejujuran. Bukan saja karena jenis kompetensi ini sulit diukur
maupun dikembangkan, tetapi terutama karena kekurang-terkaitannya dengan kapabilitas
organisasi secara langsung.
LANGKAH 4 IMPLEMENTASIKAN DALAM APLIKASI KAPITAL MANUSIA
Bila aksi yang Anda tuju adalah memanjat pohon, tindakan apakah yang Anda pilih:
me-"rekrut" seekor tupai, atau melatih seekor ayam untuk bisa memanjat pohon? Akan lebih
bijaksana bila memilih alternative yang pertama, tentunya!
Analogi di atas berlaku dalam implementasi model kompetensi. Pada proses rekrutmen dan
seleksi, prioritaskan pada kompetensi-kompetensi yang sulit dikembangkan (untrainable).
Untuk seleksi calon tenaga penjual, misalnya, ketrampilan interpersonal sebaiknya menjadi
salah satu kriteria seleksi karena relatif sulit dikembangkan (daripada pengetahuan produk,
misalnya).
Selanjutnya, gunakan model kompetensi yang sudah dipetakan ke tiap jabatan (dan lebih
bersifat trainable) sebagai basis pelatihan dan pengembangan karyawan. Monitor
pencapaiannya dengan mengintegrasikan model kompetensi dengan system manajemen
kinerja. Lebih jauh, model kompetensi bahkan dapat diterapkan pada aplikasi kapital
manusia lain dan menjadi basis dari berbagai keputusan: perencanaan karir/suksesi,
asesmen, bahkan kompensasi. Apapun aplikasinya, pastikan bahwa model kompetensi yang
telah dibangun dapat "bekerja" melalui integrasinya dengan proses internal perusahaan,
yang dalam hal ini adalah proses dan kebijakan kapital manusia.
Kesimpulannya, rasanya tidak ada yang salah dengan konsep kompetensi itu sendiri. Hanya
saja perlu dihayati bahwa kompetensi pada dasarnya "cuma" sebuah alat. Sejauh mana alat
ini mampu menunjukkan manfaat strategis, tentunya tergantung pada kejelian si pengguna
alat dalam mengoptimalkan efektifitasnya melalui empat langkah di atas!
Gede Prama
Di kalangan praktisi bisnis, apa yang selama ini diajarkan Gede Prama juga bisa disebut
sangat kuat mengandung ESQ. Menurut Gede Prama, manajemen sebagai praktek riil pada
dasarnya memiliki dua muka, yakni teknik dan spirit. Teknik tanpa spirit yang memadai, mirip
dengan pedang tanpa tuan. la bisa menimbulkan luka di mana-mana. Sebaliknya, spirit tanpa
teknik, hanyalah doa tanpa langkah nyata.
Dengan jalan berfikir seperti itu, Gede Prama mengajak kita memperlakukan "kekacauan"
sebagai sahabat, bukan musuh. Dia mengajak kita membongkar pola pikir yang selama ini
kita anut�- keluar dari kerutinan berpikir, berpikir tanpa batas, berimajinasi bebas. Dengan
pola pikir baru, dan kadang aneh bahkan gila ini, kita justru dapat memanfaatkan
"kekacauan" sebagai peluang dan titik pijak baru. Gede menawarkan gaya manajemen
berbasiskan kekacauan untuk mengahadapi dan keluar dari situasi sulit.
Menurut Gede Prama, kekacauan tidak perlu disikapi dengan kesedihan. Kesedihan hanyalah
petunjuk adanya kedangkalan. Semakin dangkal pemahaman seseorang akan
kehidupan,semakin sering kesedihan berkunjung. Dalam peradabar manusia, kesedihan
berdiri sebagai musuh atau penyakit yang menakutkan. Amat dan teramat sedikit orang yang
merindukan kesedihan. Sehingga bisa dimaklumi, kalau kemudian kesedihan duduk dalam
kursi musuh yang hanya layak ditakuti. Padahal, kata Gede Prama, kekacauan dan kesedihan
justru bisa menjadi titik pangkal untuk menuju dunia baru yang lebih damai.
Pemikiran Gede Prama banyak tertuang melalui artikei di berbagai media cetak, ceramah
maupun buku. Melalui lembaga yang didirikannya pada tahun 1993, yakni Dynamics
Consulting, ia menularkan gagasannya tentang pengelolaan perusahaan dan Sumber Daya
Manusia. Pada awalnya, lembaga ini diposisikan sebagai mitra pelatihan, kemudian berubah
menjadi mitra perubahan.
Di bawah pimpinan Gede Prama, Dynamics Consulting memiliki jejaring yang semakin kuat
dari hari ke hari. Awalnya hanya dipercaya perusahaan menengah lokal seperti Air Mancui
kemudian bergerak menjadi mitra terpercaya Unilever, RCTI. Citibank, BCA, Microsoft, dan
IBM. Sebagian menunjuk DC sebagai Konsultan Manajemen, sebagian lagi meminta kami
menjadi narasumber terpercaya.
Quo Vadis Indonesian Diaspora
No. 12 - Maret 2005
Deportasi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) oleh Malaysia memberi gambaran pahitnya nasib para
pekerja Indonesia di luar negeri. Dikejar-kejar, dibayar murah, dicambuk, bahkan dipenjara,
tetap saja mereka tidak jera merantau ke Negeri Jiran itu. Hal ini juga menunjukkan potret
buruk dari perekonomian Indonesia. Langkah strategis dan komprehensif perlu diambil untuk
mengatasinya.
Nasib para pekerja illegal asal Indonesia di Malaysia sungguh menyentuh harga diri kita
sebagai bangsa. Tampak para wanita dengan menggendong anak kepayahan menenteng
kardus barang saat naik ke kapal untuk kembali ke Indonesia. Di tempat lain, ribuan pekerja
asal Indonesia duduk berbaris diawasi oleh polisi Malaysia bersenjata. Sekilas mereka seperti
penjahat yang baru saja ditangkap. Di tempat kerja, mereka terlalu sering mendapatkan
perlakuan tidak manusiawi.
Sebagian lagi, berlari ke hutan untuk menghindarkan penangkapan oleh aparat. Persis
seperti penjahat. Di era modern saat ini, berlari ke hutan rupanya menjadi pilihan lebih baik
bagi TKI, ketimbang ditangkap atau dipaksa balik ke Indonesia.
Kembali ke negeri sendiri agaknya menjadi momok yang lebih menakutkan bagi mereka
ketimbang menghadapi berbagai ketidaknyamanan tersebut. Uang adalah motivasi utama,
seperti dikatakan seorang TKI asal Pacitan Rohman kepada Human Capital di Jakarta
beberapa waktu lalu. Kehidupan ekonomi yang sulit di kampung menyebabkan ratusan ribu
tenaga kerja tertarik mengadu peruntungan ke negeri orang. Mereka datang dari hampir
seluruh daerah di Indonesia. Kesengsaraan demi kesengsaraan yang mereka alami tidak
pernah membuat ciut semangat merantau ke luar negeri.
Sejatinya, gaji yang mereka peroleh di Negeri Jiran tidaklah besar. Sebagai tenaga kerja
ilegal, mereka digaji 300-400 ringgit (Rp 720.000-Rp 960.000) per bulan. Jauh di bawah upah
minimum regional Malaysia minimal 1.000 ringgit per bulan. Bila dipotong dengan biaya
hidup di Malaysia, maka gaji yang tersisa lebih sedikit lagi.
Status ilegal itu membuat majikan bisa menekan buruh dalam soal gaji dan terbebas dari
sejumlah kewajiban lainnya, termasuk asuransi tenaga kerja. Perusahaan Malaysia, termasuk
BUMI di sana, lebih suka mempekerjakan TKI ilegal dengan sejumlah alasan, mulai dari tidak
perlu membayar pajak tenaga kerja sekitar 1.200 ringgit per kepala, membayar gaji di bawah
standar hingga bisa mem-PHK kapan pun.
Di Malaysia terdapat 1,2 juta tenaga kerja asing, sekitar 703 berasal dari Indonesia. Sebagian
besar tenaga kerja asal Indonesia tergolong ilegal. Sekitar 300-an ribu TKI sudah kembali ke
Indonesia, sisanya sekitar 300 ribu masih bertahan di sana. Sebagian yang bertahan adalah
mereka yang berstatus legal, sedangkan sisanya adalah TKI ilegal yang menunggu gaji
mereka dibayar oleh para majikan.
Mayoritas TKI di Malaysia bekerja sebagai buruh bangunan, buruh perkebunan sawit, dan
pembantu rumah tangga. Hanya sedikit TKI bekerja sebagai buruh pabrik dan pekerjaan
berketerampilan lebih tinggi. Biasanya yang terakhir ini tergolong legal dan memiliki
pendidikan serta keahlian yang lebih baik.
Munculnya TKI ilegal sesungguhnya bersumber dari ketidakmampuan pemerintah selama ini
untuk menyediakan lapangan kerja yang memadai di Indonesia maupun ketidakmampuan
pemerintah untuk benar-benar mengelola pengiriman TKI secara baik. Jumlah angkatan kerja
di Indonesia saat ini tercatat 104,02 juta orang. Jumlah tersebut terus bertambah 2-2,5 juta
angkatan kerja baru setiap tahunnya. Dari jumlah angkatan kerja baru itu, hanya tersedia
tambahan lapangan kerja untuk 1,57 juta orang saja per tahun - dengan syarat ekonomi
tumbuh minimal 5,5% per tahun.
Dengan kondisi ini, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia 2004 mencapai 10,53 juta
jiwa atau 9,9%. Tahun ini, lembaga pemikir ekonomi Indef memperkirakan tingkat
pengangguran terbuka masih 9,8% dengan tingkat kemiskinan 16,5%. Pulangnya ratusan
ribu TKI dan tragedi tsunami di Aceh tentunya menambah jumlah tenaga kerja yang
menganggur.
Persoalan ketenagakerjaan Indonesia tidak hanya berhenti pada jumlah pengangguran
terbuka yang sangat besar. Masih ada pengangguran setengah terbuka, yaitu tenaga kerja
yang bekerja kurang dari 35 jam per bulan. Jumlahnya jauh lebih besar lagi. Menurut
perkiraan LIPI, jumlah penganggur setengah terbuka tahun 2004 28,93 juta orang atau
27,5% dari total angkatan kerja.
Sulitnya kehidupan di Indonesia menyebabkan mereka menyambut gembira datangnya para
calo TKI ke daerah mereka. Para calo ini berhubungan dengan agen di Malaysia. Selanjutnya,
para agen di Malaysia bertransaksi dengan perusahaan di Malaysia. Di sisi lain, para majikan
di Malaysia pun sangat membutuhkan TKI. Dua kepentingan ini akhirnya bertemu dengan
diperantarai oleh para calo dan agen TKI itu.
PERDAGANGAN MANUSIA?
Status ilegal ini bermula dari upaya calon TKI dan calo TKI untuk memotong mata rantai
Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PPJTKI), yang selama ini diakui secara
resmi sebagai lembaga pengelola pengiriman TKI keluar negeri. Alasannya untuk
menghindari prosedur dan birokrasi yang berbelit-belit serta mahal. Biaya yang harus
dikeluarkan calon TKI melalui PPJTKI mencapai Rp 5 juta lebih, terdiri dari biaya pengurusan
dokumen, transportasi, makan, dan akomodasi di penampungan.
Sebagian besar PPJTKI memanfaatkan calo untuk merekrut TKI dari kampung-kampung yang
jumlahnya bisa berlapis-lapis sehingga biaya komisi calo menjadi besar. Karena TKI tidak
punya modal memadai, si calo menalangi segala kebutuhan biaya pembuatan dokumen
administrasi, biaya makan, dan transportasi serta "menjual"nya kepada PPJTKI. Repotnya,
keseluruhan biaya yang mahal itu pada akhirnya harus ditanggung TKI karena gaji mereka
kemudian dipotong atau ditekan oleh majikan.
Sebagian besar calo rekrutmen TKI kemudian memotong jalur PPJTKI dengan langsung
berhubungan dengan agen TKl di Malaysia. Para calon TKI mau saja berhubungan dengan
calo ini karena biaya yang dikeluarkan lebih hemat - sekitar Rp 3 juta - meskipun berstatus
pekerja ilegal. Ketiadaterbatasan pendidikan mendorong mereka mengambil jalan pintas.
Padahal, para majikan di Malaysia itu cenderung memotong lebih besar lagi gaji para pekerja
ilegal ketimbang pekerja legal.
Sesungguhnya, rekrutmen TKI dari kampung-kampung merupakan awal dari praktik
perdagangan manusia yang ironisnya terjadi terhadap warga negara Indonesia. Para calo itu
membawa para calon TKI ke daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, seperti Pos
Pemeriksaan Lintas Batas Entikong di Kalimantan Barat atau Nunukan di Kalimantan Timur. Di
kawasan perbatasan inilah praktik "penjualan manusia" ini dilaksanakan secara diam-diam
antara calo TKI dari Indonesia dengan agen TKI di Malaysia.
Agen TKI di Malaysia membeli TKI mulai dari 1.000 ringgit atau sekitar Rp 2,4 juta per orang,
selanjutnya agen tersebut menjual TKI kepada majikan atau perusahaan dengan bayaran
beberapa kali lipat. Praktik semacam ini menyebabkan nasib TKI menjadi tidak menentu dan
sering tertipu. Banyak majikan yang tidak mau membayar gaji mereka dengan alasan
mereka sudah membayar semuanya kepada agen TKI. Alasan ini menjadikan posisi TKI sama
saja dengan seorang budak, yang tidak mendapat hak apa-apa karena sudah ditebus dari
tuan (calo) pemiliknya. Padahal, tenaga mereka diperas.
ESQ : Tren Baru Pencarian Jati Diri
No. 12 - Maret 2005
Kecerdasan emosional sekaligus intelektual ternyata tak cukup membuat seseorang berhenti
mencari kepuasan batin sekaligus jati dirinya. Kini muncuk tren baru tentang emotional
spiritual quotient (ESQ). Benarkah ini sebuah proses menuju terwujudnya tatanan bisnis dan
sosial yang lebih beretika?
Mark Muddi, seorang eksekutif senior perusahaan minyak Amerika Serikat, Shell, pada tahun
1999 menggelar sebuah pelatihan. Acara yang melibatkan 550 eksekutif Shell tersebut cukup
unik, lantaran materi yang diberikan mengenai terapi spiritual. Para pengajarnya bukan lagi
kalangan ahli manajemen atau pakar bisnis, melainkan para biksu.
Kebingungan para pelaku bisnis terhadap metode pelatihan yang diberikan Shell akhirnya
terjawab ketika pada tahun 2002, Universitas Harvard menggelar sehuah seminar kiat
perusahaan agar bisa berumur panjang. Kesimpulannya, keberadaan sebuah organisasi yang
dapat bertahan lama sampai ratusan tahun disebabkan oleh adanya kecerdasan spiritual
(Spiritual Quotient/ SQ) dalam setiap anggota organisasi.
Di kalangan pelaku bisnis dan pengajar di perguruan tinggi Amerika, sejak sepuluh tahun
terakhir SQ memang telah membuka wawasan baru bahwa intelektualitas (IQ) seseorang
tidak akan ada artinya tanpa didukung oleh kecerdasan emosional atau Emotional Quotient
(EQ) yang memadai.
Itulah sebabnya, sejumlah sekolah bisnis terkemuka di Amerika yang menjadi pusat
pendidikan para calon top eksekutif dunia merasa perlu memberikan pendidikan moral
menciptakan seorang pemimpin yang bukan hanya memi yang tinggi, namun sekaligus
memiliki kepekaan moral yang pula.
Nancy Adler, profesor bidang manajemen di Unive Montreal, misalnya, mengajarkan kepada
mahasiswanya tentang nilai-nilai kehidupan seperti keberanian, empati dan rasa hormat.
Para mahasiswa juga diminta membuat catatan kilas balik tentang perjalanan kehidupan
mereka masing-masing, untuk kemudian didiskusikan bersama-sama.
Skandal demi skandal keuangan besar yang terjadi di Amerika, misalnya kasus Enron dan
WorldCom, tampaknya turut memicu kesadaran bahwa penanaman nilai moral dan etika
terhadap para pengelola perusahaan menjadi amat penting. Tak heran ketika Soshana
Zuboff, seorang psikolog dan pengajar di Universitas Harvard mendirikan sebuah wadah
refreksi diri bernama Odyssey, sangat diminati banyak kalangan. Hal yang juga terjadi pada
WorkAsia yang sangat digandrungi kalangan eksekutif. Mereka yang tergabung dalam wadah
ini adalah orang-orang yang sangat sukses dan karenanya kaya raya, namun merasakan ada
kekosongan dalam dirinya.
Mereka adalah orang-orang yang secara intelegensia sangat bermanfaat bagi perusahaan
dan lingkungannya, namun justru merasa tak memiliki nilai spiritual. Inilah yang mendorong
para eksekutif dan profesional melakukan pencarian jatidiri melalui EQ dan SQ.
Kecenderungan tersebut, menurut Sintawati Putri dan Dwiputri Adimuktini dari Daya Dimensi
Indonesia (DDI) merupakan bentuk kesadaran bahwa IQ yang tinggi akan tidak ada artinya
jika tidak diimbangi dengan EQ dan SQ yang memadai. "Memang, tidak ada jaminan kalau
orang yang SQ-nya rendah dia bukan orang baik. Tapi, kalau orang yang tidak jujur, tidak
punya komitmen tentu tidak baik buat perusahaan," kata mereka.
Agus Budi Wasono, Senior Vice President HR PT Bogasari Flour Mills, menarnbahkan bahwa
berkembangnya EQ dan SQ merupakan bentuk kesadaran baru bahwa manusia memiliki
harkat yang harus dijunjung tinggi. "Kecenderungan itu sebenarnya sudah terjadi pada
revolusi industri, di mana masyarakat petani mulai masuk ke sektor industri," katanya.
Kecenderungan implementasi nilai moral dan spiritual pada awalnya diperkenalkan oleh
Daniel Goleman tahun 1995. Kemudian, Steven R. Covey melalui bukunya yang sangat
populer, 7th Habits yang disusul dengan buku terbaru 8th Habits, seolah melengkapi. Covey
mengangkat dua hal mendasar, yakni character dan competence yang bisa diterjemahkan
sebagai EQ dan IQ. Covey Center Leadership dengan metodenya yang khusus berhasil
rnengubah perilaku ratusan ribu orang menuju kualitas baik dan rnengagumkan.
Menurut Goleman, EQ merupakan kemampuan mengelola diri sendiri dan hubungannya
dengan kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial dan keahlian sosial. Dalam
perkembangannya kemudian, konsep EQ ternyata belum mampu menjelaskan mengenai
makna kebahagiaan hakiki. Kemudian muncul kajian baru dari psikolog Danah Zohar dan
suaminya Ian Marshall yang menulis buku berjudul SQ: Spiritual Intelligence-The Ultimate
Intellegence. Buku ini cepat sekali populer, tak kalah dengan bukunya Daniel Goleman.
Danah Zohar tampaknya tidak memberikan batasan secara definitif mengenai SQ. Namun,
mereka memberikan penjelasan melalui gambaran yang semuanya berkaitan dengan esensi
SQ. Menurut Zohar, SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah
makna dan nilai. SQ juga bermakna kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup
manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ
mempunyai kaitan dengan kreativitas. Tetapi kreativitas di sini juga terkait dengan masalah
nilai.
SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi, memberi rasa
moral, menentukan baik dan jahat, memberi gambaran atau bayangan kemungkinan yang
belum terwujud. la membawa manusia melampaui batas-batas pengetahuan dan
pengalaman, serta menempatkan pengeta-huan dan pengalaman ke dalam konteks yang
lebih luas. Transendensi membawa manusia kepada kesadaran akan sesuatu yang luar biasa,
dan tidak terbatas, baik di dalam maupun di luar dirinya.
Secara lugas, seorang ahli kimia asal Jepang Michio Kaku menggambarkan bahwa seseorang
yang telah mencapai SQ, ibarat ikan di sebuah akuarium yang berhasil melompat keluar.
Manusia di bumi digambarkan seperti sekelompok ikan yang sejak kecil hidup di akuarium.
Ikan-ikan tersebut tidak sadar bahwa mereka berada pada dunia yang tidak pada tempatnya,
sampai suatu ketika ada seekor ikan yang berhasil melompat keluar. la bisa melihat tempat
asalnya dan teman-temannya dalam perspektif yang lebih tinggi.
Ikan tadi akhirnya juga tahu bahwa dunia yang ditempatinya sungguh sangat kecil dan ada
dunia lain yang jauh lebih luas. Kemampuan melompat tinggi-tinggi itulah yang
menggambarkan kemampuan 5Q seseorang.
Zohar dan Marshal dengan sangat ilmiah mampu menjelaskan SQ dari sisi� neuropsikologi
yang menekankan adanya god spot pada otak manusia. Ia menggunakan bunga teratai
sebagai simbol model berpikirnya. Seperti halnya bunga teratai yang berlapis-lapis, proses
dinamika pemikiran manusia juga terdapat tiga lapisan. Pertama, pada bagian luar terdapat
sisi rasional (ego), di tengah yang bertindak sebagai penghubung adalah asosiatif
(emosional) dan ketiga adalah unsur pemersatu, yakni spiritual.
Dalam beberapa bagian bukunya Zohar dan Marshal mencoba menyoroti hubungan antara
agama dan SQ. Karena pada umumnya orang beranggapan bahwa SQ selalu berhu-bungan
dengan agama. Padahal menurut kedua pengarang tersebut SQ berbeda dengan agama.
Kalau agama merupakan aturan-aturan dari luar sedang SQ adalah kemampuan internal.
Sesuatu yang menyentuh dan membimbing manusia dari dalam. SQ mampu
menghubungkan manusia dengan ruh esensi di belakang semua agama. Orang yang SQ-nya
tinggi tidak picik dan fanatik atau penuh prasangka dalam beragama.
Pengertian spiritualitas yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall tidak selalu mengkaitkan
dengan masalah ketuhanan. Bagi mereka, kecerdasan spiritual lebih banyak terkait dengan
masalah makna hidup, nilai-nilai dan keutuhan diri. Kesemuanya tidak perlu berkait dengan
masalah ketuhanan. Orang dapat menemukan makna hidup dari bekerja, belajar, berkarya
bahkan ketika menghadapi problematika dan penderitaan. Di sini tampak bahwa Zohar dan
Marshall menempatkan agama hanya sebagai salah satu cara mendapatkan SQ tinggi.
TREN DI INDONESIA
Menurut Nina Insania K. Permana, Kepala Assesment Center LPPM, sejatinya kajian mengenai
EQ maupun SQ bukanlah hal baru. Buku-buku Al-Ghazali, para sufi maupun Dalai Lama telah
banyak mengulas berbagai hal tentang proses transformasi hati, diri maupun jiwa dalam
meraih cinta dan kebahagiaan sejati dengan keimanan terhadap Ilahi. Namun, katanya,
pembahasan teori SQ sec:ara populer dan implementasinya pada kegiatan organisasi atau
perusahaan, memang baru terjadi pada sepuluh tahun terakhir.
Nina menilai, konsep SQ yang disampaikan Zohar dan Marshal sebenarnya sangat ilmiah.
Namun, ucapan keduanya yang memisahkan spiritualitas dengan ketuhanan sangat sulit
diterima oleh orang awam, termasuk di Indonesia. Namun, Riga Adiwoso dari MM-Ul
menegaskan bahwa SQ lebih menekankan pada aspek manusia yang berkaitan dengan apa
yang ada dalam dirinya.
Menurut Riga, persepsi bahwa SQ sama dengan moralitas dan keagamaan adalah keliru.
"Bisa saja ada orang yang sangat religius tapi tidak memiliki SQ tinggi," katanya. Djarot
Basuki, HRD & GA Administration Director Hotel Nikko, Jakarta berpendapat bahwa SQ pada
dasarnya tidak hanya menyangkut dasar agama, tapi ketulusan seseorang dalam melakukan
sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.
Terlepas dari beda pemahaman tersebut, yang pasti para konsultan dan praktisi SDM di
Indonesia menyambut baik munculnya tren baru, yakni ESQ (Emotional and Spiritual
Quotient) yang merupakan konsep gabungan antara EQ dan SQ, yakni ESQ. Pemaduan
antara aspek dunia dan akhirat, menurut Nina merupakan sesuatu yang sangat ideal. Hal
tersebut untuk menjaga agar manusia tidak terlalu percaya pada kekuatan diri dan lupa akan
kodratnya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. Praktisi manajemen Sandra Sembel juga
berpendapai senada. Menurut Sandra, ESQ menyangkut soal nilai-nilai kemanusiaan
universal yang terdapat pada setiap agama.
Dengan demikian, apa yang diajarkan oleh dai kondang Abdullah Gymnastiar, misalnya,
sejatinya tidak hanva untuk kalangan muslim, melainkan cukup relevan bagi penganut
agama lain. �€œYang diajarkan oleh AA Gym selama ini kan masalah kualitas moral dan
ajaran saling mencintai antar sesama manusia, kata Sandra. Demikian juga yang selama ini
dikumandangkan oleh praktisi manajemen bisnis Gede Prama.
Mengingat ESQ adalah menyangkut soal nilai, maka kata Sandra, keberadaannya tentu
berbarengan dengan pola pikir manusia itu sendiri.
Strategi Empat Pilar Bank Danamon
No. 13 - April 2005
Bank Danamon menyusun target pertumbuhan atau penciptaan nilai (value creation) sebesar
10 kali dalam 10 tahun. Untuk mewujudkan target tersebut, Bank Danamon menyusun empat
pilar usaha, yang menempatkan sumber daya manusia sebagai aktor terpenting. Salah satu
hal terpenting adalah perlunya dilakukan penyelarasan organisasi sesuai dengan misi,
strategi, dan tuntutan bisnis.
Penyelarasan organisasi merupakan keharusan bagi perusahaan untuk mendapatkan kinerja
yang langgeng. Demikian dikatakan oleh Nugroho Supangat, pakar manajemen yang juga
Managing Partner Dunamis Organization Services. "Penyelarasan merupakan proses yang
harus terus menerus dilakukan," tukasnya bulan lalu. Nugroho melihat, upaya penyelarasan
organisasi yang dilakukan Bank Danamon sebagai satu contoh bagus untuk menjadi referensi
bagi pelaku bisnis. "Proses penyelarasan di Bank Danamon berlangsung secara simultan
dengan upaya penciptaan nilai (value creation) bagi nasabah
maupun pemegang saham."
Proses penyelarasan organisasi Bank Danamon dilakukan manajemen baru Bank Danamon
yang dipimpin Francis Andrew Rosario karena tuntutan kompetisi yang kian tajam, selain
untuk mendapatkan return yang lebih baik bagi pemegang saham. Francis bergabung
menjadi CEO Bank Danamon pada bulan Juni 2003 setelah Temasek membeli saham Bank
Danamon.
Manajemen Bank Danamon menyusun target untuk tumbuh 10 kali lipat dalam periode 10
tahun, dan pertumbuhan sebesar itu tidak mungkin dicapai bila Bank Danamon hanya
tumbuh sesuai dengan pertumbuhan pasar. "Target itu hanya bisa diraih bila Bank Danamon
mampu menciptakan nilai yang unik pada setiap segmen pasar," ungkap Francis.
Untuk mewujudkan objektif itu, 13.000 karyawan Bank Danamon harus berubah. Saking
pentingnya perubahan tersebut, Francis memutuskan menaikkan gaji karyawan hanya
dengan satu permintaan: mereka harus berubah. Sebelum transformasi dilakukan, Bank
Danamon mengumpulkan masukan dan aspirasi dari seluruh karyawan dan mengolahnya.
Manajemen turun ke berbagai wilayah untuk bertemu dengan karyawan. Itu terjadi bulan
Maret 2004.
Tahapan selanjutnya adalah menyusun misi dan nilai-nilai perusahaan pada September 2004.
Misi Bank Danamon dijelaskan dalam kalimat We care and enable millions to prosper dengan
strategi usaha Serving customers; delivering value. Tahun 2005, transformasi Bank Danamon
memasuki tahapan komunikasi atau sosialisasi dari misi dan nilai-nilai itu, yang dipimpin
langsung oleh CEO dan dilanjutkan oleh para manajer kunci.
Kajian manajemen menunjukkan ada sejumlah syarat agar penciptaan nilai 10 x lebih besar
itu bisa diraih, antara lain, menjadikan upaya memenuhi kebutuhan nasabah sebagai nilai
utama, mau berinvestasi dalam pasar yang hertumbuh cepat, menumbuh-kembangkan
budaya wirausaha, mevyelaraskan proses internal untuk memastikan penciptaan nilai tanpa
melemahkan kontrol, dan membuat sistem kompensasi berbasis insentif.
Keseluruhan syarat itu disusun menjadi 4 pilar. Pilar pertama, mendapatkan orang yang tepat
(People Strategy). Pilar kedua, melakukan penyelarasan organisasi (Organizational
Alignment). Pilar ketiga, merekayasa ulang proses bisnis (Re-engineering Core Processes).
Pilar keempar, membangun disiplin dalam mengeksekusi strategi usaha (Execution
Disciplines). Strategi mendapatkan orang yang tepat dimulai dengan mengidentifikasi orang
yang tepat itu. Orang yang dibutuhkan Bank Danamon harus memiliki integritas, kemampuan
kepemimpinan, dan disiplin. Dalam praktiknya, komposisi sumber daya manusia (SDM)
merupakan kombinasi yang sehat antara SDM yang tergolong pemikir revolusioner dan SDM
pelaksana yang berdisiplin tinggi.
Sebagai contoh, 1.000 staf yang selama ini menangani back office dimutasikan ke bagian
front office. Jumlah ini sudah merupakan 12%-15% dari keseluruhan staf. Kemudian,
sebanyak 60 petugas satpam dialihtugaskan menjadi teller.
Setelah orang yang tepat diidentifikasi, mereka diberdayakan. Para karyawan didorong untuk
menentukan pilihan-pilihan (dalam lingkup batas yang jelas) menyangkut struktur biaya,
model bisnis, dan kemanfaatan fasilitas kantor pusat. Mereka juga didorong untuk berpikir
kreatif dan memberikan ide-ide berani.
Dengan kebijakan seperti ini, setiap kepala unit bisnis memiliki hak penuh untuk
meredefinisikan model bisnis mereka. Setiap unit bisnis dibebaskan untuk menciptakan
saluran distribusi dan produk yang baru disesuaikan dengan segmen nasabah. Mereka
dibebaskan pula untuk menegosiasikan alokasi struktur biaya untuk mewujudkan target
bisnis dengan kantor pusat dan unit-unit pendukung.
Langkah ketiga dalam strategi SDM Bank Danamon adalah menciptakan budaya berkinerja,
antara lain, dengan menyusun ulang indikator kinerja kunci (Key Perfor-mance Indicators /
KPIs), menata ulang skala gaji dan penghargaan terhadap yang berprestasi, dan membuat
persetujuan dengan Serikat Pekerja untuk menilai kinerja staf dalam 12 bulan.
Menurut Francis, pihaknya berhasil meyakinkan Serikat Pekerja bahwa tidak ada pemutusan
hubungan kerja (PHK) di Bank Danamon dalam periode 12 bulan. Syaratnya semua karyawan
harus menunjukkan kinerja sesuai ditentukan. Sebagai konsekuensinya, mereka yang
berkinerja di bawah standar harus rela meninggalkan bank tersebut. "Bagi karyawan yang
tidak performed, tidak ada tempat di Bank Danamon," tegasnya. Kalaupun karyawan harus
meninggalkan Bank Danamon, lanjutnya, pihaknya memberikan paket yang cukup menarik.
Langkah Bank Danamon untuk bersikap tegas terhadap under performer dimaksudkan pula
agar karyawan tersebut tidak berada dalam posisi terperangkap. Karyawan, menurut Director
/ Chief of Staff Muliadi Rahardja, bekerja berdasarkan standar yang cukup tinggi. Mereka
yang tidak memenuhi standar tidak akan bisa berkembang di bank ini sehingga merugikan
karir mereka jika terus bertahan. Sebagai jalan ke luarnya, "Lebih baik mereka mencari
perusahaan lain," ungkapnya. "Tetap saja ada perusahaan yang bisa menerima mereka di
luar," tambah Francis, yang menyebut dirinya sebagai Revolutionary Leader itu.
Pilar kedua dari perubahan transformasional di Bank Danamon menyangkut penyelarasan
organisasi untuk menjadi Relationship-Driven Organization. Penyelarasan dimaksudkan agar
bisa memberikan layanan terbaik dan menciptakan nilai yang unik kepada nasabah.
Penyelarasan organisasi ini mencakup 5 hal penting: meminimalkan birokrasi (fungsi kantor
pusat terbatas pada hal-hal yang tidak bisa dilaksanakan oleh unit bisnis secara efektif; tugas
unit pendukung tidak hanya mengadministrasikan tetapi juga menciptakan bisnis),
menegakkan aturan main (kebebasan dari setiap unit harus tetap sejalan dengan
manajemen risiko terpadu), mekanisme pasar (setiap bisnis unit bebas mencari sumber
produk dan layanan terbaik untuk memenuhi kebutuhan nasabah), meracik produk sesuai
dengan kebutuhan nasabah (setiap produk didesain untuk melayani kebutuhan segmen
nasabah kunci), dan memungkinkan proses penjabaran visi perusahaan dari CEO hingga ke
level frontliner dengan dukungan pelatihan dan pengembangan profesional, komunikasi, dan
menyusun KPI serta insentif.
Pilar ketiga adalah rekayasa ulang proses bisnis untuk mendapatkan efektivitas yang lebih
besar. Objektif dari pilar ini adalah mendapatkan efisiensi optimal dalam operasional, selalu
memasukkan unsur risiko, setiap unit bisnis benar-benar beroperasi sesuai proposisi nilai
nasabah yang unik, dan lahirnya transparansi untuk memudahkan memprediksi pencapaian
tujuan bisnis.
Rahasia Sukses Female Leaders
No. 13 - April 2005
Secara kuantitas, jumlah pemimpin wanita dalam dunia bisnis, politik, dan akademik jauh
lebih sedikit dibandingkan pria. Toh dalam banyak hal, wanita memiliki sejumlah kelebihan
yang tidak dimiliki pria. Mayoritas tetap menjalankan kodrat sebagai wanita kendari sukses
sebagai eksekutif. Apa rahasianya?
Hari telah beranjak maghrib ketika Ida P.Lunardi meninggalkan kantornya di kawasan Sunter
Jakarta. Setelah lelah bekerja seharian, Presiden Direktur PT Federal International Finance
(FIF) itu mampir dulu ke sebuah restoran siap saji untuk membeli makanan bagi keluarganya.
Hari itu, wanita asal Semarang ini tidak sempat masak. Besok pagi ia juga harus berangkat
cepat ke kantor sehingga makanan siap saji ini tinggal dipanaskan untuk sarapan pagi
keluarganya.
Pada hari-hari lain, Ida selalu memasak - dibantu Ibunya yang meski sudah tua namun masih
sehat - untuk menyiapkan makanan bagi suami dan kedua anaknya sebelum berangkat ke
kantor. "Suami dan anak-anak sudah terbiasa dengan masakan saya. Mereka tidak mau
dilayani pembantu," ujarnya tentang kebiasaan ini. Akibatnya, setiap hari Ida tetap harus
memikirkan menu makanan di rumah. "Kalau tidak sempat masak, ya harus beli makanan
siap saji," tutur wanita yang memulai karirnya sebagai juru tik itu. Bahkan Ida dulu masih
menyetir mobil sendiri ke kantor saat hamil tua, dan keesokan harinya ia melahirkan.
Ritual yang sama ternyata juga dijalani oleh banyak eksekutif wanita sukses lainnya. Wiwiek
D.Santoso, Presiden Direktur PT Astra France Motor yang mengelola merek Peugeot, juga
menjalankan perannya sebagai Ibu secara totalitas kendati telah menjadi eksekutif sukses.
Urusan masak-memasak lepas dari tanggung jawabnya. Setiap hari Ibu dari tiga anak
menyiapkan menu makanan di rumahnya. Biasanya Wiwiek membeli bahan makanan sekali
seminggu untuk dimasak selama seminggu sehingga ia harus merencanakan menu setiap
hari: mempersiapkan bahan-bahannya. Setiap malam, kalau tidak ada acara, ia berusaha
untuk makan malam bersama keluarga di rumah.
Sebagai wanita sukses, para eksekutif wanita tetap tidak ingin melupakan perannya sebagai
ibu rumah tangga: sebagai isteri bagi suami dan ibu bagi anak-anak. Kesibukan memang
tidak memungkinkan mereka menjalankan peran itu secara sempurna, tetapi mereka tetap
berusaha maksimal melakoninya : dari urusan rumah tangga hingga urusan pendidikan anak-
anak. Belum lagi kalau anak sakit, pastilah si Ibu yang turun tangan duluan. "Saya usahakan
mengantarkan sendiri mereka ke dokter," ujar Ida, Wiwiek, dan Eileen Rachman, pendiri
lembaga konsultansi dan rekrutmen Experd. Hanya saja, mereka tidak bisa lagi membantu
pelajaran anak-anak di malam hari karena rasa capai yang menghinggapi atau karena pulang
terlambat.
Itulah salah salah satu kelebihan wanita dibandingkan para pria. Sukses berkarir, mereka
tidak ingin menyalahi kodratnya sebagai wanita yang harus hamil, mendidik anak-anak, dan
mengelola semua urusan rumah tangga. Sementara di kantor, para wanita itu juga dituntut
untuk berprestasi. Sungguh sebuah pekerjaan yang berat. Sejatinya, pekerjaan menjadi ibu
rumah tangga saja sudah sangat berat. "Kita tidak bisa menganggap enteng peran menjadi
ibu rumah tangga murni," ungkap Wiwiek D. Santoso dan Riyani T. Bondan, Senior Vice
President Learning Center Bank Mandiri.
Sebuah penelitian pernah dilakukan di Amerika, dan hasilnya sangat mengejutkan. Pria
hanya tahan tak lebih dari 6 bulan dalam menjalankan peran sebagai "ibu rumah tangga" di
rumah mereka. Tak hanya itu. Wanita karir pun belum tentu mampu menjalankan peran
sebagai ibu rumah tangga murni itu. Penelitian pada perusahaan komputer Sun Microsystem,
mayoritas pekerja wanita yang diberi peluang flexytime akhirnya ingin kembali bekerja
dengan pola waktu normal. Penyebabnya, mereka tidak kuat menjalankan peran sebagai ibu
rumah tangga sepenuhnya karena kompleks dan beratnya pekerjaan tersebut.
WANITA LEBIH KUAT
Berbeda dengan pandangan umum bahwa wanita adalah makhluk yang lebih lemah dari
pria, kenyataan hidup tidak seluruhnya mendukung pandangan itu. Ahmad Purwono,
konsultan transformasi bisnis sekaligus dosen pasjasarjana Ul mengakui bahwa secara fisik,
wanita memang lebih lemah dari pria. Tapi kalau diperhatikan lebih jauh, banyak tersimpan
kekuatan di balik kelemahan fisik itu. Sebagai contoh, saat masih dalam kandungan, para
dokter menganggap bobot bayi wanita di atas 2 kg sudah memadai dan cukup kuat untuk
dibiarkan lahir. Sedangkan bayi laki-laki harus menunggu minimal 2,5 kg untuk dinyatakan
kuat. Kondisi ini mengharuskan masa kehamilan bagi bayi laki-laki relatif membutuhkan
waktu lebih lama dan dukungan gizi lebih baik dibandingkan bayi wanita. Fakta ini
menunjukkan bahwa wanita ternyata lebih kuat.
Kekuatan itu terbukti karena wanita lebih cepat matang secara emosional dibandingkan pria.
Kematangan emosional itu juga terlihat saat wanita berkarir. Beberapa penelitian
menyebutkan, wanita lebih tahan banting dan lebih tahan terhadap stres dibandingkan pria.
Wanita lebih mampu mengelola beban stres, terlihat dari sikap mereka yang tetap cool
kendati sedang didera banyak persoalan. Sementara pria akan bersikap uring-uringan,
marah, dan bersikap emosional lainnya. Mayoritas tindakan bunuh diri di Jepang, misalnya,
dilakukan oleh kaum pria. Wanita hanya ikut-ikutan atau diajak serta oleh para pria. Potret
yang sama agaknya juga terjadi di Indonesia.
Di dalam pekerjaan, karakter wanita yang lebih tahan stres itu mewujud pula dalam bentuk
keuletan atau ketekunan. Banyak wanita sukses dibekali sikap semacam ini sehingga
membantu mereka menjalankan pekerjaan. Sebagai contoh, BRA Mooryati Soedibyo mulai
merintis usaha kosmetika alami sejak tahun 1973 dimulai dari garasi rumahnya hanya
dibantu oleh 2 orang pembantu. Kini usaha garasian itu telah berkembang menjadi usaha
yang cukup besar dan menguntungkan.
Selain itu, wanita punya kelebihan lain: luwes dan selalu bersikap detil dalam bekerja. Sikap
luwes menyebabkan wanita bisa diterima banyak kalangan karena luwes dalam
menyampaikan gagasan atau pendapat dan berusaha tidak menyakiti hati orang lain. Juga
luwes dalam merespons masalah. Semuanya itu tentu dilakukan tanpa harus mengorbankan
prinsip dan nilai-nilai pribadi.
"Keluwesan dan penghayatan terhadap pekerjaan turut membantu wanita untuk lebih sensitif
memahami betul apa yang dianalisa dan diputuskan," tutur Vina G. Pendit, Direktur Selection
and Assessment Services PT Daya Dimensi Indonesia (DDI). Cara wanita mengambil
keputusan biasanya tidak reaktif, melainkan melalui proses kajian terhadap informasi
pendukung dan kesepakatan bersama. Mereka pun lebih terbuka terhadap kritik. "Saya
terbuka untuk menerima kritik terhadap keputusan yang dibuat dan meresponsnya. Sebab,
tidak semua yang kami putuskan sempurna," kata Wiwiek dan Ida di tempat terpisah. Mereka
mengaku, kelemahan keputusan yang diambil biasanya terjadi karena informasi untuk
mendukung pengambilan keputusan tidak tersedia secara lengkap.
Sikap detil jelas sangat membantu wanita dalam menjalankan perannya secara baik. Tidak
seperti pemimpin pria yang sangat emoh dengan hal yang serba detil, wanita pemimpin
terbiasa dengan hal yang detil. Segala tugas harus dibuat dengan perencanaan, dipikirkan
secara detil implementasinya, dan dijalankan penuh kehati-hatian. "Kadang terkesan terlalu
cerewet dan hati-hati," kata Ida dan Riyani, sambil menambahkan, "Padahal tujuannya
sangat baik." Kebiasaan ini membuat wanita pemimpin mampu mengelola pekerjaan dengan
efektif dan relatif aman dari sisi risiko.
Sikap detil Eileen, umpamanya, dilakukan dengan memasukkan semua tugasnya, baik tugas
rumah maupun kantor, ke dalam agenda kerja. Hal ini diakuinya sangat membantu
mengelola beban tugasnya sebagai eksekutif maupun ibu di rumah. Sebagai contoh, Eileen
selalu berusaha agar selepas Isya mengaji setiap Jumat malam. "Saya berusaha tidak ada
kegiatan lain pada malam itu untuk bisa rutin mengaji," ujarnya pelan. Namun dari
keseluruhan kelebihan wanita di mana pria harus mengakuinya secara jujur adalah
kemampuan wanita melaksanakan beberapa pekerjaan pada waktu yang sama tanpa
kehilangan fokus terhadap setiap pekerjaan. Ini sering diistilahkan dengan multitasking atau
multitracking oleh Barbara dan Allan Pease, pengarang buku nomor satu terlaris di dunia
Why Men Don't Have a Clue and Women Always Need More Shoes.
Seorang wanita bisa bekerja di komputer di rumah sambil memasak dan menjaga anak-anak.
Bisa juga bekerja di komputer sambil bicara di telepon plus mendengarkan pembicaraan di
dekatnya dan minum secangkir kopi. "Wanita bisa berbicara tentang beberapa topik yang
tidak relevan dalam satu pembicaraan dan menggunakan 5 nada vokal untuk mengganti
subjek atau untuk memberikan penekanan," tulis Barbara dan Allan Pease. Kebalikannya, pria
hanya bisa mengenali 3 dari nada itu. Sebagai hasilnya, tambahnya, pria sering kehilangan
fokus saat mendengarkan pembicaraan wanita.
Kelebihan ini ada pada wanita karena otak wanita diciptakan untuk kemampuan
multitracking. Sedangkan otak pria hanya dibekali dengan kemampuan monotracking. "They
can't make love and answer questions on why they haven't taken out the garbage at the
same time," tegas mereka tentang pria.
Ida menantang untuk membuktikan kelebihan wanita ini. "Coba saja ajak suami yang lagi
baca koran berbicara tentang sesuatu hal. Pasti dia terganggu dan bisa marah. Atau
kalaupun menjawab, pasti jawabannya seadanya."
WAKTU PEMBATAS
Begitu banyak lakon yang harus dijalani oleh seorang wanita eksekutif, waktu menjadi
kendala utama bagi mereka untuk bisa menjalankan perannya secara optimal. Menangani
masalah rumah tangga menambah beban wanita eksekutif karena beban kerja di kantor
sudah pasti berat. Umumnya para eksekutif menghabiskan waktu minimal 8-9 jam sehari
untuk bekerja di kantor. Belum termasuk ada kegiatan yang harus dihadiri malam hari
ataupun bertugas ke luar kota. Dengan demikian, waktu, tenaga, dan pikiran yang bisa
dicurahkan untuk menjalankan kodrat sebagai Ibu menjadi sangat terbatas.
Semua wanita eksekutif yang dihubungi Human Capital mengaku soal keterbatasan waktu ini
sebagai halangan utama bagi wanita menjalankan aneka perannya. Enny Hardjanto, Senior
Partner Dunamis dan mantan eksekutif Unilever, Citibank, Bank Papan Sejahtera, dan TVRI,
merasa membagi waktu sebagai hal yang pelik. "Kita harus memilih prioritas dan tentu harus
konsekuen dengan pilihan itu," katanya. Repotnya, pilihan pada prioritas itu mengorbankan
kepentingan pribadi. "Saya hobi masak, kadang-kadang tidak punya waktu untuk memasak.
Kecuali hari Sabtu, padahal Sabtu adalah hari istirahatku..harinya Enny, bukan hari sebagai
Ibu, sebagai isteri, sebagai anak, sebagai konsultan, atau lainnya," paparnya.
Bagi Enny Sabtu adalah hari untuk diri sendiri, menikmati kesukaan / hobi atau menjalankan
apa yang menjadi pilihan pribadi, mulai dari membaca buku, main Internet, pijat, lainnya.
Wiwiek yang punya hobi memasak dan membaca juga mencoba menjadikan Sabtu sebagai
hari untuk diri sendiri. "Paling tidak hingga jam 12 siang saat anak-anak pulang sekolah. Tapi
belakangan, anak-anak pulang sekolah jam 9 pagi, akibatnya waktu untuk diri sendiri jadi
hampir tidak ada," ujarnya sambil terbahak. Sedangkan hari Minggu sepenuhnya untuk
keluarga. Biasanya Wiwiek bersama suami mengantar kedua anak kembarnya menunggang
kuda di Kebon Jeruk atau Tapos.
Waktu memang barang mahal bagi siapa saja yang sibuk, terlebih lagi bagi wanita eksekutif.
Mereka harus pandai membagi waktu karena perannya lebih banyak daripada pria.
Bagaimanapun hidup harus dibuat seimbang antara pekerjaan kantor dan rumah; antara
beban stres dan usaha relaksasi; antara kehidupan pribadi dan kehidupan keluarga; antara
kehidupan keluarga dan sosial. "Hidup harus dibuat menyenangkan, jangan jadi beban," ujar
mereka bersepakat.
Maka, pandai-pandailah menjalaninya. Pria pun mungkin harus belajar dari para wanita
sukses ini.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Memilih Berkarir Harus Siap Berkorban
Keputusan seorang wanita untuk terjun berkarir tidak mungkin terjadi begitu saja. Perlu
pertimbangan yang matang agar antara karir dan rumah tangga dapat berjalan seimbang
dan meminimalkan pengorbanan antara tugas yang satu dengan tugas yang lain. Ini tentu
bukan pekerjaan mudah, meski bukan mustahil dilakukan.
Wiwiek D. Santoso, President Director PT Astra France Motor mengungkapkan, pilihan antara
karir dan rumah tangga, pada dasarnya sama tinggi nilainya. Ia mengenang, pengorbanan
ibunya yang ketika itu harus meninggalkan bisnisnya yang telah ditekuni bertahun-tahun
demi mencurahkan perhatiannya kepada keluarga. Ketika itu Wiwiek melihat bahwa
keputusan ibunya tersebut sebagai hal yang biasa-biasa saja. Sebab, di sekitar tempat
tinggalnya di Malang, Jawa Timur, wanita karir atau businesswoman masih terbilang langka.
Namun, setelah hijrah ke Jakarta dan menjadi wanita karir, Wiwiek baru menyadari
pengorbanan ibunya sungguh sangat besar. "Karena itu, saya berpendapat bahwa menjadi
wanita karir atau house wife keduanya sama-sama penting." Sebab, menjadi ibu rumah
tangga di mata Wiwiek merupakan pekerjaan mulia dan tidak bisa disepelekan. Ia mengutip
artikel di sebuah majalah asing yang mengisahkan seorang suami yang ingin mencoba-coba
menjadi "bapak rumah tangga" selama enam bulan. Namun, baru berjalan beberapa hari
suami tadi menyerah dan mengaku hampir mati. "Ini semakin menegaskan bahwa tugas ibu
rumah tangga juga cukup berat," katanya.
Wiwiek yang pernah mengembangkan karir di sejumlah anak perusahaan PT Astra
International, mengaku banyak belajar dari ibunya untuk senantiasa berusaha menjadi isteri
yang baik di mata suami dan ibu yang baik di mata anak-anak. Adapun untuk mengasah
kompetensi dan pengetahuan di bidang karir, ibu dari seorang putri berumur 17 tahun dan
kembar 15 tahun itu. belajar dari mana saja. Bisa dari atasan, teman kerja, buku, serta dari
anak buahnya.
Pengembangan kemampuan, ketrampilan dan kompetensi diri, menurut Wiwiek harus
senantiasa dilakukan. Sebab. hampir semua perusahaan kini tak lagi mengenal diskriminasi
gender. Artinya pemberian tugas, beban, tanggung jawab dan jabatan kepada seseorang
untuk memimpin perusahaan tidak didasarkan dia seorang wanita atau pria, melainkan
berdasarkan atas kemampuan.
Nah, bagi seorang wanita yang harus pula mengelola rumah� tangga, selain bertanggung
jawab mengelola perusahaa kondisi ini tentu menuntut konsekuensi tersendiri.� "Harus ada
yang dikorbankan, dalam arti tidak semuanya bisa dijalankan secara sempurna," kata
penggemar novel ini. Ia menunjuk contoh, jika anak sakit dan memerlukan keberadaan
seorang ibu untuk mengantarnya ke dokter, ia akan memprioritaskan fungsinya sebagai ibu.
Sedangkan tugas kantor, sepanjang dapat didelegasikan kepada orang lain, untuk sementara
diserahkan kepada orang lain. Namun, jika suatu saat ia harus menjalankan tugas kantor,
misalnya melakukan business-trip ke luar negeri suami dan anak-anaknya harus pula bisa
memahami dan siap dengan kondisi tersebut.
Wiwiek tampaknya sangat bersyukur karena selama ini ia dapat melakoni kedua peran
tersebut dengan relatif baik. Paling tidak, sejauh ini belum ada complain dari suami maupun
anak-anaknya. Bahkan, ketika secara bercanda Wiwiek mengatakan ingin tinggal di rumah
saja, mereka bingung.� "Memangnya Mama betah bengong di rumah?" ujar Wiwiek
menirukan komentar anak-anaknya.
Keberhasilan Wiwiek menjalankan peran ganda sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah
tangga, didukung oleh beberapa faktor. Pertama, komitmen yang sejak dini sudah disepakati
dengan suami, bahwa bagaimanapun kesibukan mereka berdua, keluarga tetap menjadi
prioritas. Mereka harus bisa saling mem-back up untuk urusan anak-anak dan keluarga.
Untuk mengambil raport anak-anak, misalnya, mereka berusaha untuk bisa hadir berdua.
Namun jika Wiwiek sedang sibuk, suaminya yang akan pergi. Begitu juga sebaliknya. Faktor
kedua, anak-anak Wiwik kini sudah beranjak dewasa, sehingga tidak memerlukan perhatian
ekstra.
Ketiga adalah komunikasi. Tanpa bermaksud membeberkan urusan kantor kepada suami dan
anak-anaknya, Wiwik sejak awal sudah menyampaikan kepada anggota keluarganya bahwa
tugas dan tanggung jawab pekerjaannya, akan membuatnya hanya punya sedikit waktu
untuk mereka. Meski tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin sebuah perusahaan
membuatnya sering pulang malam, Wiwik tetap berusaha sedapat mungkin meluangkan
waktu untuk anak-anak.
Ngobrol saat makan malam atau menjelang tidur, merupakan waktu yang sangat berharga.
Jika Wiwik terpaksa harus meninggalkan momen berharga itu, ia akan berusaha
menggantinya pada kesempatan lain. Misalnya menenami anak-anak berkuda di kawasan
Sukabumi, atau sekadar makan bersama di luar rumah.� "Sampai saya merasa tidak punya
waktu untuk diri saya sendiri," kata Wiwik tanpa kesan mengeluh, karena kondisi itu adalah
bagian dari konsekuensi dari pilihan yang ia ambil.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Pekerjaan Yang Terkait dengan Fisik Memunculkan Gender
Masalah gender, kini sudah tidak lagi dipermasalahkan di sebagian besar perusahaan yang
ada di Indonesia. Perusahaan justru lebih mengacu kepada kompetensi dan kinerja seseorang
dalam menilai seseorang. Tak terkecuali di PT Mitra Integrasi Informatika (MII), merupakan
salah satu anak perusahaan dalam kelompok usaha Metrodata yang memfokuskan diri di
bidang jasa konsultasi dan sistem integrasi teknologi informasi. Setiap karyawan
diperlakukan sesuai dengan kemampuan dan jabatan yang melekat di dirinya. Karir, jelas
terbuka untuk siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan, MII boleh berbangga hati
mengingat perusahaan tersebut pernah memiliki tiga perempuan yang berada di jajaran
director. Sayangnya, posisi director perempuan tersebut kini hanya tinggal seorang saja.
Adalah Lumaksi Boediharga. Sosok perempuan yang mencintai dunia teknologi yang kini
menjabat sebagai Business Solution Director di MII. Ibu tiga anak jebolan Universitas Gadjah
Mada jurusan Ekonomi dan Teknologi ini mengaku bahwa posisi director yang kini
disandangnya, bukanlah sebuah posisi yang bisa ia raih hanya dengan sekejap mata. Butuh
perjuangan, keuletan dan kerja keras untuk mencapai posisi tersebut.
Menurutnya, umumnya perusahaan, sudah tidak lagi berpikir masalah gender karena
siapapun berhak untuk berkarir sesuai dengan kemampuannya. Jika sebuah perusahaan
membutuhkan seorang manager yang punya kapabilitas dengan kemampuan leadership
yang baik, tidak hanya sekedar baik dalam komunikasi, maka perusahaan tersebut akan
mencari orang yang sesuai dengan karakter tersebut.� "Perusahaan hanya tahu, oh dia
masih sendin atau sudah berkeluarga, dia akan cuti hamil dan melahirkan. Itu semua sudah
ada dalam peraturan tenaga kerja," tutur Maksi, sapaan akrabnya.
Dalam kondisi seperti sekarang, pekerja perempuan yang cuti hamil dan melahirkan,
misalnya, sudah diperhitungkan oleh perusahaan. Artinya, di satu sisi, bisa saja perusahaan
akan rugi jika karyawannya tidak masuk selama 3 bulan karena cuti hamil dan melahirkan.
Tapi di sisi lain, perusahaan akan selalu memperhitungkan hal itu dan bagaimana cara
mengantisipasinya. Maksi mengatakan, selama karyawan tersebut masih punya kriteria yang
baik dalam bekerja, itu tidak menjadi masalah. Bisa saja, jika orang awam menilai,
kenyataannya perusahaan akan merugi karena karyawannya tidak rnasuk selama 3 bulan
dengan konsekuensi perusahaan harus membayar cuti hamil dan melahirkan.
Namun, lanjutnya, bukan berarti komposisi dalam satu perusahaan tidak diperhitungkan.
Contohnya, karyawan akuntan di MII sendiri lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.
Jelas, ada alas an tersendiri. Perempuan dianggap mempunyai ketelitian yang lebih baik
dibanding laki-laki. "Di kami laki-lakinya hanya 3 orang, sisanya perempuan. Mungkin ini
gender dan bermasalah kalau hamil semua. Tapi perusahaan pasti punya satu
pertimbangan," tegasnya.
Kendala, siapapun pasti akan mengalami hal demikian. Saat ia masih belum menikah,
kendala yang ia alami adalah meyakinkan kedua orangtuanya bahwa pekerjaan yang ia
geluti memang tidak sekedar datang dan pulang tepat waktu. Kendala terbesar muncul saat
ia memulai bahtera rumah tangga. "Kalau komunikasi tidak berjalan dengan lancar, masalah
akan muncul. Saya dan suami harus terus berkomunikasi menjelaskan pekerjaan yang saya
lakukan. Saya bekerja bisa sampai jam 3 pagi. Sebagai karyawan, kita harus bekerja sampai
selesai. Itu konsekuensi yang harus dihadapi," aku perempuan berusia 52 tahun dengan
antusias.
Semestinya, setiap perempuan yang melamar kerja di suatu perusahaan, harus menyadari
bahwa kondisi-kondisi di luar jam kantor akan terjadi. Selain aturan baku datang jam 8 pagi
dan pulang jam 5 sore, mereka harus menyadari akan ada pekerjaan yang memakan waktu
di luar itu seperti lembur dan dinas luar kota. Jika siap dengan kondisi itu, maka siapapun
akan berusaha mengantisipasi sedini mungkin.
Selain komunikasi dengan suami, ia juga harus menjelaskan kepada ketiga anaknya.
Memang, akunya, harus ada beberapa hal yang dikorbankan. Artinya, seseorang tidak bisa
idealisme terutama saat anak masih belum. mengerti pekerjaan ibunya. "Seorang ibu, di
suatu saat dia akan dihadapkan dengan dilema seperti anak sakit. Tapi dia harus punya
keputusan dan mencari solusinya, seperti menggunakan jasa baby sitter atau pembantu
untuk membawa anak ke dokter," papar perempuan yang hobi bekerja. Berbeda jika
pekerjaan yang ia geluti hanya sekedar mengisi waktu luang.
Seringnya dinas luar kota yang bisa memakan waktu sampai 7 bulan, membuat perempuan
ini sering diprotes oleh ketiga anaknya. "Kapan waktu liburnya?" ujar Maksi mengikuti ucapan
anak-anaknya sambil tersenyum. Untuk mengatasi hal tersebut, perencanaan adalah hal
utama. Ia dan suami biasanya akan merencanakan cuti jauh-jauh hari sehingga mereka
sekeluarga bisa berlibur berbarengan. Kalau cuti dipersiapkan jauh hari maka pekerjaan
harus saya diselesaikan dengan cepat, sebelum masa cuti tiba.
Ambisi dalam berkarir, memang selalu ada. Namun, ia tetap mengukur batas umurnya yang
sudah tidak muda lagi. Setidaknya, tekun berkarir dan happy dalam bekerja, adalah motto
hidupnya dalam bekerja. "Terkadang sebagai ibu, saya suka bandingkan dengan ibu rumah
tangga lain yang selalu mengurus anak. Memang beda, ada hal yang kurang jika tidak bisa
berkontribusi secara teknikal mengurus anak. Mungkin ini yang kadang-kadang susah
dilakoni seorang perempuan," kata Maksi yang sering bekerja lebih dari 15 jam bahkan
pernah sampai 25 jam sehari dengan nada serius. Akhirnya, usaha yang ia lakukan yaitu
dengan berkontribusi secara moral kepada ketiga anaknya sehingga anak-anaknya tidak
merasa kehilangan sang ibu dalam hidup mereka.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Sukses di Rumah Tangga dan Karir
Ida Purwaningsih Lunardi agaknya tergolong wanita eksekutif langka di Indonesia. Kendati
menjadi CEO PT. Federal International Finance (FIF), anak perusahaan Astra di bidang
pembiayaan pembelian motor, ia tetap tidak ingin mengorbankan perannya sebagai ibu
rumah tangga. "Saya ingin sukses di karir, tetapi juga sukses sebagai istri bagi suami dan ibu
bagi anak-anak," ujarnya mantap.
Saking cintanya terhadap keluarga, Ida akan memilih mengorbankan urusan karir ketimbang
harus mengorbankan keluarga. Sewaktu menjabat Direktur Keuangan Astra Credit Company
(ACC), anaknya yang saat itu berusia 9 tahun sempat sakit berlarut-larut sehingga harus
diopname di rumah sakit selama 2 bulan. Ini mengharuskannya untuk menjaga anaknya di
rumah sakit. "Saya bilang kepada atasan, saya bisa melakukan pekerjaan dari rumah sakit
karena sudah ada sistem. Kalau Bapak keberatan, saya siap mengundurkan diri," ucapnya,
sambil menambahkan, "Karena bagi saya keluarga tetap nomor satu, dan karir nomor dua."
Sang atasan mengabulkan permintaan Ida untuk bekerja dari rumah sakit. Setahun
kemudian, saat suaminya harus dirawat pula di rumah sakit selama sebulan, hal yang sama
terpaksa dilakukannya, ia tidak masuk lagi bekerja. Namun karena sudah ada kesepakatan
dengan atasan, hal itu bisa dilakoni Ida dengan baik.
Dalam kesehariannya yang sibuk, Ida masih menjalankan perannya sebagai ibu di rumah
dengan maksimal. Pagi hari, ia harus mempersiapkan sarapan bagi suami dan kedua
anaknya. Kebetulan kedua anak laki-lakinya masih tinggal serumah meski kini sudah mulai
bekerja. Di rumah Ida terbantu oleh ibunya yang berusia 79 tahun dan masih sehat yang juga
sama-sama punya hobi memasak. Kalau lagi malas, sore hari saat pulang kantor ia membeli
makanan siap saji.
Kewajiban terhadap keluarga itu memaksa Ida untuk membatasi lama waktu bepergian ke
luar kota dalam urusan bisnis.� "Waktu anak-anak masih kecil, saya usahakan untuk pulang
hari. Sekarang sudah tidak mesti begitu lagi. Sebelum bepergian ke luar kota, saya sudah
menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anak," tambah eksekutif asal Semarang ini.
Hebatnya, kendatipun begitu intens menjalankan perannya sebagai ibu di rumah, Ida juga
tergolong sangat sukses dalam berkarir. Jabatan CEO diraihnya setelah berkarir benar-benar
dari bawah. Ia mulai berkarir pertama kali di PT United Tractors (UT) sebagai juru tik.
Ceritanya, Ida yang lulusan IKIP Semarang jurusan bahasa Inggris ini melamar untuk bekerja
di UT sebagai sekretaris karena perusahaan itu membuka lowongan kerja.
Personalia UT bertanya ijazah apa yang dimiliki Ida dan apakah punya ijazah sekretaris.
"Saya bilang tidak punya, Tetapi kalau mengetik saya bisa karena sering menerima jasa
pengetikan skripsi. Ketikan saya cepat dan rapih," jawabnya ketika itu. Akhirnya Ida bukan
diterima sebagai sekretaris, tetapi sebagai juru tik di bagian Personalia.
Toh Ida tetap mensyukuri hal ini dengan bekerja sebaik-baiknya.� "Saya berprinsip, dalam
melakukan pekerjaan selalu berusaha to be the best." Waktu menjadi juru tik, ia melihat
berapa lembar yang dihasilkan rekan kerjanya, dan Ida berusaha lebih banyak dari jumlah
itu. Karena mampu mengetik dengan cepat, Ida punya banyak waktu luang. la menawarkan
diri kepada atasannya untuk membantu mengoreksi hasil tes karyawan yang ia kerjakan
sampai malam. Lama-lama Ida dipercaya menjadi pengawas tes seleksi karyawan.
Rupanya atasan Ida ngomong ke mana-mana tentang kehebatan Ida, bahwa Ida mampu
bekerja dengan cepat dan orangnya mauan. Saat Teddy P. Rahmat, Presiden Direktur UT,
mencari sekretaris beberapa bulan kemudian karena sekretarisnya pindah ke Jepang, Teddy
akhirnya menunjuk Ida sebagai sekretaris. Waktu bekerja jadi sekretaris pun, Ida yang
merasa banyak mengganggur mencoba membantu atasannya. Dia lihat Pak Teddy suka
membaca buku berbahasa Inggris, Ida mencoba membuatkan ringkasan dari buku-buku
tersebut. Saat Teddy akan membaca, Ida menawarkan hasil ringkasannya karena waktu
bosnya yang sempit untuk membaca. Teddy pun kaget.� "Bayangkan, pada saat teman-
teman sekretaris lain membaca majalah, saya malah baca buku dan membuatkan
ringkasannya," tuturnya sambil tersenyum.
Tiga tahun menjadi sekretaris, Teddy yang melihat potensi Ida menawarkan menjadi manajer
keuangan di PT Tractor Nusantara, anak perusahaan UT. la minta waktu untuk berpikir.�
"Saya juga bilang tidak mengerti bidang keuangan. Sebelumnya Pak Teddy selalu menyuruh
saya untuk belajar keuangan." Pak Teddy mencoba meyakinkan Ida bahwa keuangan itu
sederhana.� "Pokoknya kamu atur saja, jangan sampai ada utang yang tidak bisa dibayar,
ada kewajiban yang tidak bisa dipenuhi, uang yang mestinya masuk diusahakan masuk
supaya bisa bayar kewajiban."
Sehari berpikir�dan ia setuju dengan pendapat Teddy bahwa keuangan itu cukup
sederhana�Ida berketetapan hati untuk mengambil peluang itu. Keesokan harinya saat
bertemu Teddy, ia menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian, rnulailah Ida menjadi
manajer keuangan sambil terus belajar masalah keuangan. "Segalanya berubah.. Dari tidak
punya anak buah, jadi punya anak buah. Di perusahaan ini pula Ida kemudian bertemu
dengan sang suami.
Sejak menjadi manajer keuangan (1976-1979), karirnya terus melesat. la kemudian
dipercaya menjadi Direktur Keuangan 8 Administrasi PT Interdelta (1979-1986), menjadi
Presiden Direktur PT Swadharma Bhakti Sedaya Finance (1986-1994), Presiden Direktur PT
Astra Sedaya Finance (1989-1977), Direktur Keuangan Federal Motor (1997-1998), dan
Presiden Direktur FIF (1998 hingga saat ini). Selain itu, Ida dipercaya menjadi komisaris
beberapa anak perusahaan Astra.
Sebagai eksekutif, Ida telah menunjukkan kualitas kepemimpinannya di berbagai perusahaan
tempat ia berkarya. Di bawah kepemimpinannya, FIF yang babak belur saat krisis ekonomi
kini tampil sebagai salah satu anak perusahaan Astra yang paling menguntungkan. Ia diberi
kepercayaan membenahi FIF yang dililit utang US juta dan Rp 380 miliar di saat nilai rupiah
anjlok beberapa kali lipat. Mau mengadu ke Astra sebagai induk perusahaan tidak bisa,
karena Astra juga sedang dililit persoalan yang sama besarnya. FIF terpaksa memangkas
jumlah karyawan dari 2.600 orang menjadi 1.700 orang. Akibat harga motor Honda dinaikkan
4 kali lipat dari Rp 3 juta/unit sebelum krisis menjadi Rp 12 juta/unit setelah krisis, pasar
motor tidak bergerak sehingga arus kas nihil.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
PEKERJA PEREMPUAN LEBIH DILIHAT KOMPETENSINYA
Pemimpin yang baik, adalah pimpinan yang kompeten dan bisa membawa tim yang solid. Ini
lebih penting ketimbang hanya mengurusi gender si pemimpin.
Peranan dan pemberdayaan perempuan di Indonesia, dianggap kini lebih beruntung karena
sudah tidak ada kebijakan yang menyulitkan kaum perempuan untuk dipekerjakan. Kalaupun
perempuan pada situasi tertentu "disepelekan", itu disebabkan karena sikap orang-orang
tertentu saja, bukan karena pemerintah. Sehingga, perempuan kini punya banyak
kesempatan untuk berkarir.
Kesetaraan gender dalam sebuah pekerjaan menurut Eileen Rahman, justru tergantung pada
kompetensi yang sedang dibutuhkan. "Ada perempuan yang jago di bidang tertentu, tetapi
sebaliknya, ada pula laki-laki yang jago di bidang tertentu," papar perempuan yang menjabat
sebagai Director di Experd, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konsultan SDM.
Perempuan pada masa sekarang, lebih dilihat kepada kompetensinya dalam berkarir.
Perbedaan akan terlihat kalau kompetensi dan entrepreneurship-nya memang beda. Tapi
bukan karena jenis kelaminnya.
Ia mengakui, masih ada anggapan dari sebagian masyarakat Indonesia yang mengatakan
bahwa perempuan lebih baik di rumah. "Anda lihat sendiri, anggota DPR saja, yang
perempuan masih sedikit," katanya mencontohkan. Persepsi ini seharusnya diubah. Di sisi
lain, kaum perempuan pun harus meyakinkan diri bahwa dia mampu untuk berkarir.
Untuk mengakomodasi hak dan peranan perempuan saat bekerja, Eileen justru beranggapan
bukan dari segi struktur atau peraturan yang diberlakukan di perusahaan, melainkan dari
segi fasilitas. Contohnya, perusahaan memikirkan bagaimana karyawan perempuan bisa
lebih mudah mengurus balitanya secara lebih intensif, misalnya dengan cara memberlakukan
flexitime atau mungkin bisa dengan menyediakan ruangan menyusui bagi perempuan
pekerja yang masih menyusui anaknya. "Tapi, itupun harus di lihat, apakah setiap
perusahaan harus seperti itu. Kita harus bersaing dengan kaum laki dan kaum perempuan
yang lain. Makanya kita harus akal-akalan," tegasnya saat ditanya bagaimana mengatasi
persoalan pelik yang biasa muncul di setiap perempuan yang bekerja, terutama dalam
mengurus rumah tangga.
Kalau anak sakit. padahal ia dituntut untuk ke kantor karena ada rapat, Eileen mencoba
mengatasi hal demikian dengan menyerahkan tanggung jawab sementara kepada mertua,
pembantu bahkan bisa pula kepada tetangga yang dipercayainya. "Kan ada anak kecil yang
maunya dipeluk terus sama ibunya saat dia sakit. Kita harus bisa atasi ini. Kalau tidak, kita
kalah," aku nenek satu cucu yang salut dengan temannya, yang sengaja menjebol dinding
pagar rumahnya sehingga dia bisa saling menjaga dengan anak tetangganya.
Perempuan yang menikah di usia yang tergolong muda�" 20 tahun" mengasuh anak-
anaknya tanpa dibantu orang lain selama 8 tahun. Setelah delapan tahun lewat, ia baru
mulai kuliah dan menapaki karir di usia 33 tahun. Tidak banyak perempuan yang menjalani
karir di usia demikian. Namun, ia bersyukur ierena ia bisa menjalani� "paket komplit"
seorang perempuan, berumah tangga, mengurus anak, sekolah dan berkarir secara
bertahap, tidak ada yang terlewatkan. "Ini sebuah kemewahan buat saya. Jarang kan
perempuan karir bisa seperti itu. Tapi ini unik, karena terjadi tanpa direncanakan," katanya
dengan antusias.
Sebagai wanita karir, penggemar olahraga panjat tebing yang sudah berusia lebih dari
setengah abad ini membeberkan bahwa siapapun, laki-laki atau perempuan, pasti akan
mengalami suka duka dan berbagai rintangan dalam berkarir. "Saya ini suka bekerja. Tidak
enak kalau tidak ada kerjaan." Dukanya, justru dirasakan olehnya kalau kalah proyek. Saat
dibahas di kantor, ia mengaku sering marah-marah jika itu terjadi, kendati ia menyadari
bahwa kekalahan tersebut merupakan kesalahan seluruh tim termasuk dirinya.
Banyak yang menilai, sosok Eileen terutama di mata anak buahnya adalah sosok pemimpin
dan teman yang memiliki perhatian yang sangat besar. Bisa dimaklumi, karena ia adalah
seorang psikolog. Menurutnya, secara teoritis, seorang atasan yang benar, harus
mendelegasikan dengan cepat hal-hal yang perlu diungkapkan kepada anak buah. Atau
dengan kata lain, seorang atasan harusnya mengajarkan anak buahnya supaya pintar. Ini
untuk menghindari menurunnya kinerja anak buah. Ada beberapa kemungkinan jika
karyawan atau anak buahnya jika kinerjanya berkurang. Pertama, karyawan tersebut tidak
pintar, kedua karyawan itu pengecut. Ketiga adalah tidak bisa melihat organisasi dengan
benar dan keempat ada masalah pribadi.
Ia memberikan contoh, jika ada anak buahnya yang pacarannya backstreet, mendadak tidak
berada di kantor padahal masih jam kantor atau ada rapat, ia akan segera memanggil anak
buahnya tersebut untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi. "Kalau sering hilang
begitu, maka dia tidak akan mencapai target. Ujung-ujungnya, dia malah bisa dikeluarkan,"
jelasnya. Perhatian seseorang, akan terlihat jelas di wajah. Jika ada masalah, maka raut
wajah seseorang akan terlihat beda jika dibandingkan dengan seseorang yang sedang tidak
ada masalah. "Kita harus lihat detailnya supaya penyelesaiannya cepat. Kita harus bantu
karena urusannya ke kerjaan juga," tegasnya kembali.
Di samping itu, pimpinan yang baik adalah pimpinan yang kompeten dan bisa membawa tim
yang solid. Ini lebih penting ketimbang hanya mengurusi gender si pemimpin. Bahkan,
ketegasan dan disiplin harus terus ditegakkan dan dicontohkan oleh pemimpin. Kalau ada
anak buah yang tidak perform terhadap perusahaan, ia dengan tegas akan mengatakan
bahwa dia tidak perform dan bisa dikeluarkan dari perusahaan. Jadi, jangan heran jika dalam
hitungan bulan, Eileen bisa memberhentikan karyawannya dan menggantikannya dengan
yang perform. "Makanya saat interview, saya tidak hanya melakukan couching saja, tapi juga
konseling. Jika dia ternyata tidak cocok untuk pekerjaan ini, saya akan anjurkan untuk
pekerjaan lain. Ini untuk menghindari kesalahan dalam mendapatkan karyawan yang
pekerjaannya sesuai dengan kemampuannya," jelas Eileen yang merasa dekat dengan anak
buah perempuan dan tidak menyukai anak buah yang "cari muka" terhadap dirinya.
Para Wanita Istimewa Itu
No. 13 - April 2005
Dalam Bekerja, Jangan Seperti Kuli dengan Mandor
Pesan sang suami yang mengharuskan ia bekerja serius dan tidak setengah-setengah,
membulatkan tekadnya untuk menekuni karir sekaligus mengelola keluarga.
Era kebebasan kaum perempuan di masa sekarang, kini sudah banyak dinikmati oleh kaum
perempuan. Dan kebebasan berkarir hingga sampai di posisi atas, juga dinikmati oleh Riyani
T. Bondan, sosok perempuan yang menjabat sebagai Senior Vice President Learning Center
Group Head Bank Mandiri.
Menurut Ani, demikian ia biasa disapa, Bank Mandiri kini sudah lebih terbuka dengan posisi
perempuan menjadi pimpinan. Sekarang saja, di group head Bank Mandiri memiliki lima
pimpinan. Kendati di level direktur belum terdapat perempuan, namun Ani menegaskan
bahwa itu bukan satu hal yang bermasalah buat kaum perempuan. Artinya, kondisi demikian
bukan disebabkan adanya diskriminasi, melainkan karena kompetisi biasa secara profesional
yang dilakukan Bank Mandiri. Secara global, jika kaum perempuan masih tergolong jarang
berada di level atas, diakuinya bukan karena dibatasi secara sadar. Keterbatasan muncul,
bisa pula karena pilihan perempuan itu sendiri, bukan karena gagal dalam bersaing dengan
laki-laki.
Di Amerika Serikat, aktualisasi begitu ditonjolkan, sehingga kepuasan kerja disamakan
dengan jabatan. Namun, Ani menilai, secara pribadi, kepuasan kerja di dirinya bukan karena
jabatannya, melainkan bagaimana ia bermanfaat untuk orang lain. "Atasan saya pernah
bilang, kamu kelihatannya menikmati di training. Padahal, mungkin di Indonesia, istilah
training itu bukan tempat prestisius," jelasnya. Orang Indonesia masih beranggapan, kalau
seseorang berada di divisi bisnis, baru dibilang hebat. Sedangkan jika di bagian support,
dianggap kurang hebat. Tapi tidak buat dirinya. Ia malah beranggapan bahwa di mana pun ia
ditempatkan dan memberikan kontribusi yang lebih besar, ia merasa senang. Lain hal jika ia
ditempatkan di suatu divisi yang malah membuat ia tidak bisa berkontribusi, justru
membuatnya kecil hati.
Ditempatkan di divisi yang dianggap sebagai "area gampang", justru membuat ibu dua anak
ini merasa diberi kesempatan ke dunia baru, yang tidak pernah tersentuh sekalipun. "Tapi, di
divisi apapun saya dipindahkan, saya tetap lihat positifnya." Maka itu, ia mencoba mengikis
pendapat bahwa orang-orang di bagian support itu artinya boleh diisi oleh orang-orang yang
tidak perform, atau malah dianggap "orang buangan". Tak heran jika perempuan jebolan IPB
ini sering mengutarakan ke rekan kerjanya untuk senantiasa kerja keras sama-sama, yang
mungkin orang lain bilang, ini lebih keras dibandingkan yang di unit bisnis. "Saya bilang, ini
memang tantangan seperti itu karena banyak PR yang belum kita kerjakan. Tapi ini menarik,
bagaimana kita bisa diterima, kita dibutuhkan, kita bisa kerjasama. Itu justru yang menjadi
kebanggaan sendiri," imbuhnya.
Menurutnya, kendala secara global bagi kaum perempuan yang berada di posisi atas dalam
berkarir ada di diri mereka sendiri. Artinya, dengan melakukan pilihannya mereka sendiri,
maka akan tercermin di cara kerjanya. Jika cara kerjanya menyiratkan sesuatu, jelas dengan
sendirinya muncul. "Kita tidak bisa membohongi orang lain, apa yang ada di pilihan kita,
pikiran kita akan terlihat di cara kerja. Bahkan jika perempuan tersebut berat ke keluarga, itu
akan tersirat. Bagaimana kita mengambil keputusan pada saat sulit. Itulah perempuan
dengan kelebihan dan kekurangannya," ungkapnya panjang lebar.
Dalam mengambil keputusan apakah seorang perempuan harus mengurus keluarganya atau
mengurus keluarga dan tetap berkarir, ia menegaskan bahwa itu adalah pilihan. "Kalau kita
memang bisa berkarir, keluarga bisa dikelola dengan baik dan dengan cara tertentu, kenapa
tidak?" Mengurus keluarga, jelas sebuah karir. Tapi akan lebih baik jika tidak separuh-
separuh. Jangan sampai terjadi, berkarir di rumah tidak, di kantor pun tidak. Ini yang
disayangkan oleh Ani.� "Jangan kantor jadi korban, rumah juga korban. Kalau kita separuh-
separuh dan tidak jelas arahnya, yang di rumah bingung, yang di kantor juga bingung karena
saat dibutuhkan di kantor, dia menghilang. Tapi di rumah juga tidak sepenuhnya.
Menjadi pemimpin yang efektif untuk sebuah organisasi tentunya bukanlah hal yang mudah.
Banyak sekali keahlian / tanggung jawab yang harus mereka kuasai ; dan begitu besar
harapan (dari orang lain) yang harus mereka pikul untuk menjadikan organisasinya supaya
sukses.
Pemimpin harus mempunyai visi dan misi, ke mana mereka akan membawa timnya. Mereka
diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai kejujuran dan integritas. Mereka bertanggung
jawab untuk mengetahui tugas-tugas dari departemen atau karyawan yang dibawahinya.
Mereka juga diharuskan menjadi seorang yang cerdas, cekatan, tegas, berinovasi dan
sebagainya.
Semua hal tersebut adalah faktor yang penting untuk menjadi pemimpin yang sukses.
Namun jika kita harus memilih tugas yang paling utama dari pemimpin, secara umum
jawabannya adalah: Memotivasi karyawan. Terutama untuk pemimpin di tingkat middle-level
manager (yang membawahi suatu departemen atau tim), setelah mereka menentukan tujuan
/ gol dari departemennya, membuat / membenahi prosedur kerja, lalu merekrut pegawai,
dsb, tugas selanjutnya adalah memotivasi karyawan agar gol departemen tercapai.
Sering kali pemimpin lebih banyak membuang waktu mengawasi anak buahnya, daripada
memotivasi mereka. Beberapa pemimpin suka mengawasi jam berapa karyawannya masuk
kerja, memeriksa apakah mereka memakai komputer untuk bekerja atau membuka personal
email, atau bahkan menguping apakah anak buahnya berbicara ditelpon dengan customer
atau si pacar.
Sebenarnya kalau kita pertimbangkan lebih dalam, karyawan yang motivasinya tinggi, tidak
perlu terlalu diawasi / diatur lagi. Mereka akan datang kerja tepat waktu, bahkan jika
semangatnya tinggi sekali, mereka mungkin sudah "tidak tahan" untuk balik bekerja.
Karyawan yang bermotivasi tinggi melihat pekerjaannya sebagai suatu kesenangan, bukan
keharusan. Mereka biasanya selalu berpikir positif; kesulitan di pekerjaan adalah tantangan
untuk mereka, bukan masalah.
Memotivasi adalah tindakan yang proaktif, sedangkan mengawasi/mengatur biasanya suatu
tindakan yang reaktif. Pemimpin yang efektif akan memotivasi karyawan, sebelum mereka
jenuh / bingung dengan kerjaanya. Dan jika sudah bosan karyawan tersebut akan menjadi
malas / lalai, sehingga kita harus awasi / atur kinerjanya. Sebaliknya karyawan yang tinggi
motivasinya, dapat mengatur dirinya sendiri, besar inisiatifnya, bahkan mereka biasanya
mempunyai banyak ide-ide (berinovasi) untuk meningkatkan kinerja tim kita.
Memberi motivasi adalah tugas yang sangat penting dari pemimpin. Dan untungnya, tugas
tersebut bukanlah hal yang sulit dilakukan, selama kita mau mencoba. Kita tidak perlu
menjadi motivation guru, atau mempunyai suara yang menggelegar (bagaikan petir), atau
kepribadian yang menggebu-gebu (seperti api) untuk memberi motivasi yang efektif. Bahkan
kalau suara kita seperti petir dan kepribadian berapi-api, mungkin karyawan kita justru akan
takut, sembunyi dibawah meja, dan tidak bisa bekerja.
Memotivasi adalah suatu ketrampilan. Hampir sama dengan ketrampilan berkomunikasi,
memakai komputer, mengemudikan kendaraan dsb. Semakin sering kita belajar dan berlatih
untuk memotivasi orang lain, semakin efektif motivasi yang kita berikan. Ada dua hal yang
harus kita ingat dalam memberi motivasi : Kita harus tulus (karyawan dapat mengetahui
apakah semangat yang kita beri adalah hal yang tulus dari hati kita, atau hanya basa-basi).
Lalu terkadang kita harus merubah (taylor-fit) cara kita memberi motivasi (setiap orang, cara
memotivasikannya dapat berlainan, tergantung kepribadiannya).
Di bawah ini adalah beberapa contoh metode untuk memberi motivasi yang efektif :
Memberi ucapan selamat, langsung kepada karyawan. Jika Anda adalah Kepata Departemen
ataupun CEO/Presdir, akan sangat berkesan untuk seorang karyawan jika tiba-tiba Anda
mendatanginya untuk memberi selamat atas prestasi kerjanya.
Memberi selamat meialui telepon, sms, memo atau email. Jika tidak mungkin untuk Anda
bertemu langsung dengan karyawan yang berprestasi. Anda dapat melakukannya melalui
telepon, sms. surat atau email. Surat / email anda tidak perlu panjang, tetapi sebaiknya
disebutkan apa prestasi karyawan tersebut.
Memberi penghargaan di depan rekan kerja yang lain. Pemimpin dapat mengadakan
pertemuan dengan seluruh pegawai untuk memberi penghargaan kepada karyawan atau tim
yang telah mencapai prestasi yang khusus/unik. Namun hati-hati dalam melakukan cara ini,
karena ada orang yang justru malu jika dipuji di depan umum. Sebaiknya kita beritahukan
mereka dahulu rencana pertemuan tersebut.
Memberikan promosi bedasarkan kinerja, bukan pilih kasih. Pastikan bahwa sistem promosi di
organisasi anda benar-benar berdasarkan hasil kinerja karyawan. Pegawai yang berprestasi
tinggi, akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapat promosi. Jika kita pilih
kasih, atau tidak memberi sangsi kepada yang tidak berprestasi, secara tidak langsung hal
tersebut akan membuat kecewa karyawan yang kinerjanya baik (motivasinya akan turun).
Memakai persaingan untuk memotivasi tim. Setiap organisasi tentunya bersaing dengan
perusahaan lain dalam mencapai sukses/target bisnis. Persaingan ini dapat dipakai sebagai
alat untuk memotivasi tim kita untuk menjadi lebih baik atau mencapai lebih banyak
daripada kompetisi. Banyak CEO/Presdir dari perusahaan yang berada di posisi nomer dua
atau tiga di industrinya, membuat tim sales-nya menjadi lebih bermotivasi dan kerja keras
untuk meningkatkan penjualan, daripada grup sales untuk perusahaan yang nomer satu.
Memberi motivasi kepada karyawan memang bukanlah satu-satunya tugas pemimpin.
Namun jika kita ingin menjadi pemimpin yang efektif, motivasi karyawan sebaiknya selalu
menjadi prioritas pertama. Jika karyawan dapat mengatur dirinya sendiri, berinisiatif yang
tinggi, pada akhirnya kita mendapat lebih banyak waktu untuk menangani hal-hal yang lain
(ketemu dengan customer, melakukan ekspansi bisnis, dll), daripada habis waktu mengawasi
kerja tim kita.
Memotivasi karyawan bukanlah hal yang mendesak / urgent, tetapi hal yang paling penting
untuk kepemimpinan.
Sumber: Majalah Human Capital No. 14 | Mei 2005
Penjarahan Negara dan BUMN
No. 14 - Mei 2005
Budaya korupsi kini menjadi wabah penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup
bangsa Indonesia. Penjarahan terhadap aset negara dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
harus dihentikan. Cara berpikir bangsa Indonesia yang terlalu pendek penyebab utamanya.
Praktik mega-korupsi yang terjadi di Indonesia telah menimbulkan keprihatinan mendalam
bagi kaum intelektual di negeri ini. Korupsi telah menjadi budaya yang merasuk ke setiap
sendi-sendi kehidupan. Tetapi, korupsi yang paling memprihatinkan terjadi di dataran elit
nasional karena menyebabkan kerugian yang sangat besar. Bukan hanya dari segi jumlah
yang dikorupsi, kerugian juga terjadi karena praktik terlarang itu mendorong korupsi di level
yang lebih rendah, seperti elit di daerah dan masyarakat umum.
Di tingkat elit nasional, pelaku korupsi menyebar dari pejabat, pengusaha, anggota legislatif
hingga penegak hukum. Pelaku korupsi datang dari semua etnis, agama, dan latar belakang
pendidikan. Pada banyak kasus, mereka saling bersekongkol untuk korupsi dan saling
melindungi agar praktik haram ini sulit untuk dibongkar.
Reformasi terbukti tidak menghentikan praktik korupsi. Bahkan korupsi semakin merajalela
terjadi setelah era reformasi ini, khususnya di era Presiden Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Para konglomerat hitam telah menyebabkan kerugian negara hampir Rp 600 triliun
(setidaknya inilah nilai buku aset yang diserahkan kepada BPPN). Pengembalian nilai aset itu
jauh dari harapan masyarakat. "Kita tidak usah bicara soal recovery aset tersebut," ujar
Ichsannudin Noersy kesal. Pengamat ekonomi ini berbicara dalam seminar "Penjarahan Aset
Negara dan BUMN" yang diadakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi untuk Perlindungan
Aset Negara bulan lalu.
Beban negara akibat korupsi itu bertambah lagi karena harus mengeluarkan obligasi rekap
untuk menutup bolong dana perbankan akibat krisis ekonomi sebesar Rp 300 triliun lebih.
Setiap tahunnya pemerintah harus membiayai bunga obligasi tersebut, yang besarnya lebih
dari 10% per tahun. Beban ini telah menyedot kemampuan keuangan pemerintah bersama-
sama dengan pembayaran cicilan pinjaman luar negeri. Anehnya, pemerintah setuju saja
dengan IMF untuk melakukan privatisasi bank-bank yang sempat dinasionalisasi tersebut,
meskipun jumlah dana yang diperoleh tidak sebanding dengan nilai obligasi rekap yang
harus disuntikkan pemerintah.
Berbagai kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi sesungguhnya telah menjadi
pintu gerbang untuk terjadinya praktik korupsi yang lebih luas. Sebab, kebijakan itu
menciptakan banyak transaksi bisnis di bawah BPPN dan kementerian BUMN. Setiap
transaksi bisnis itu memunculkan peluang untuk korupsi. "Modus operandinya macam-
macam," stur Sunarsip, Direktur Center for Indonesian Reform yang kini menjadi Staf Ahli
Menneg BUMN.
Misalnya dengan memperbesar fee jasa konsultan (bank investasi, konsultan hukum, penilai,
akuntan, dan penjamin emisi), menekan harga saham perdana ataupun harga penjualan
aset, dan meminta pembeli/pemenang tender menyediakan fee ekstra di luar transaksi (yang
seharusnya bisa lebih mengoptimalkan nilai pendapatan bagi negara). Praktik ini tentunya
dilakukan oleh para pengambil keputusan di berbagai level.
Pada saat bersamaan, menguatnya peran legisiatif dan partai politik menimbulkan praktik
korupsi baru yang memperburuk keadaan. Banyaknya anggota DPR dan elit partai yang kaya
raya dengan cepat cermin dari betapa korupsi tidak pandang buiu. "Ia benar-benar telah
menjadi sistemik," ungkap Dr. Aviani, pengamat ekonomi dari indef.
Ketika pihak aparat hukum (kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian) menjadi tumpuan
harapan masyarakat, merekapun tidak punya komitmen yang jelas dalam menangani kasus-
kasus korupsi. Alih-alih menyelesaikan kasus korupsi, aparat hokum justru terkooptasi oleh
koruptor sehingga yang terjadi adalah bagi-bagi uang korupsi. "Jangan heran kaiau
penyelesaian kasus korupsi tidak pernah tuntas," kata Danang Widoyoko, Anggota Badan
Pekerja ICW.
Aparat hukum biasanya berdalih minimnya bukti hokum sebagai penyebab lambatnya
penyelesaian masalah korupsi. "Mereka minta hitam di atas putih. Ini yang sulit," komentar
Ganang, sambil menamnahkan, "Korupsi itu bisa dirasakan namun susah dibuktikan." Selain
terbatasnya akses informal terhadap transaksi yang mencurigakan, pelapor korupsi juga
khawatir mendapat kesulitan akibat laporan mereka.
Lain lagi pendapat Ichsanuddin. "Saya punya dokumen transaksi sekoper banyaknya, yang
menunjukkan indikasi korupsi di berbagai transaksi. Tapi, apakah hal itu ditindaklanjuti bila
saya serahkan," tanyanya serius.
Ia pun mempertanyakan kepada siapa sebaiknya dokemen tersebut disampaikan. Kepada
KPK? la meragukan apakah KPK tertarik menangani kasus-kasus yang tidak terlalu populer di
mata publik.
PENJARAHAN APBN DAN BUMN
Menurunnya transaksi pasca BPPN dan privatisasi BUMN secara kuantitas dan kualitas, serta
adanya upaya serius pemerintahan SBY untuk menekan korupsi, menyebabkan penjarahan
terhadap aset negara diperkirakan bakal terfokus pada anggaran pendapatan dan belanja
nasional (APBN) dan daerah (APBD) serta BUMN.
Telah sejak lama diyakini bahwa kebocoran anggaran belanja negara minimal 30%.
Kebocoran tersebut terjadi karena dikorupsi oleh pejabat instansi berwenang sebagai komisi
dari setiap proyek / kegiatan. Kadang-kadang masih ada tambahan komisi buat Pimpinan
Proyek sebesar 10%. Dipotong laba bersih untuk pelaksana proyek - setidaknya 20% dari
nilai proyek, maka nilai sesungguhnya dari proyek pembangunan hanya mencapai 40%
hingga 50% saja dari anggaran yang disediakan.
Konsekuensinya, setiap proyek telah di-mark up sebesar 30%-40% saat diusulkan. Kalau
tidak di-mark up, pemborong akan mengorbankan kualitas pekerjaan untuk mendapatkan
marjin keuntungan. Wajar bila kemudian pembangunan jalan atau proyek fisik apa saja selalu
bermasalah dalam kualitas maupun kuantitas. Sebentar sudah rusak lagi, dan aparat terkait
(Dinas PU, misalnya) akan lebih suka kalau jalan tiap sebentar rusak karena itu berarti
proyek. Terbukti hingga kini sulit sekali bagi rakyat untuk bisa menikmati jalan dan berbagai
prasarana / sarana publik lainnya yang berkualitas.
Praktik semacam ini terus terjadi hingga kini di berbagai bagian dan instansi, baik di tingkat
pusat maupun daerah. Audit tidak akan bisa mengungkap praktik korupsi karena hanya
bergerak dalam dataran administrasi keuangan. Tapi pernahkah auditor memeriksa secara
detil harga barang yang dipergunakan untuk kegiatan itu sesuai spesifikasinya?
Niat baik pemerintahan SBY untuk menekan korupsi dan nenyejahterakan rakyat seyogyanya
dimulai pada saat penyusunan APBN. Cobalah memotong anggaran pembangunan / belanja
pemerintah sebesar 30% dan tingkatkan pengawasan secara melekat niscaya akan
membantu upaya pemerintah dalam menggarap proyek-proyek pembangunan lainnya. Kita
harus meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran supaya tidak mengeluh terus
kekurangan dana pembangunan dan berhutang lagi dari luar negeri.
Perubahan di Mata Konsultan
No. 14 - Mei 2005
Konsultan memberikan kontribusi besar dalam perencanaan, implementasi, dan kaji ulang
perubahan. Apa pandangan mereka tentang manajemen perubahan?
SA SANTOSO
Konsultan Mercer Resource Consulting
VISI PEMIMPIN SANGAT BERPERAN
Change management sebenarnya bukan merupakan tren sesaat dan tidak terjadi dalam
waktu-waktu sekarang ini saja. Sebab, pada dasarnya change management adalah proses
berkesinambungan, di mana sebuah organisasi atau perusahaan senantiasa berusaha
menghindari kebekuan. Mengapa? Perusahaan ibarat air yang harus terus-menerus
diupayakan mengalir. Air yang cair bisa masuk ke mana saja. Ini inti dari perubahan tadi,
sehingga setiap organisasi atau perusahaan selalu berusaha dalam kondisi cair.
Kalau sekarang ini change management menjadi topik yang hangat diperbincangkan, hal itu
lantaran situasi bisnis yang berubah semakin cepat. Ada perubahan yang dilakukan secara
sadar, dalam arti manajemen memang ingin berubah, ada pula perubahan yang terjadi
karena dipaksa keadaan. Bencana di Aceh, beberapa waktu lalu, misalnya, menurut SA
Santoso dari Mercer, adalah contoh ekstrim mengenai perubahan yang dipaksa oleh
keadaan. Ini sebenarnya merupakan momentum untuk memperbaiki nasib rakyat Aceh
setelah bertahun-tahun hidup di tengah-tengah konflik. "Harus ada perubahan mendasar
yang dilakukan untuk Aceh," kata Santoso.
Di lingkup perusahaan, merger dan akusisi, misalnya, kini terjadi di mana-mana. Hal ini tentu
berimplikasi pada perubahan di banyak bidang: struktur kepemilikan saham, mungkin jumlah
karyawan, gaya kepemimpinan, sistem, struktur hingga fokus bisnisnya. Nah, di sini
diperlukan transformasi yang tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ada beberapa
aspek yang harus dipertimbangkan agar perubahan yang dilakukan benar-bensr mencapai
tujuan, bukan sebaliknya.
Sekilas, perubahan merupakan kata yang sederhana dan gampang melakukannya. Padahal
tidak demikian. Untuk dapat melakukan perubahan secara benar dan berhasil, diperlukan visi
yang..kuat dari seorang pemimpin. Contohnya begini, beberapa tahun talu terjadi booming
internet dan dotcom di Indonesia Banyak perusahaan yang berlomba-lomba masuk ke situ
dengan membuat situs, menawarkan e-commerce dan sebagainya. Tapi, beberapa tahun
kemudian, ternyata bisnis ini tidak sebesar yang kita harapkan. Apa yang terjadi? Akhirnya
banyak perusahaan yang harus berputar haluan, bahkan banyak pula yang mati di tengah
jalan. Di sini, visi pemimpin sangat berperan.
Agar transformasi bisnis berjalan dengan baik, maka diperlukan sistem yang sesuai. Sistem
inilah yang nantinya akan mengatur rantai komando. Perubahan di lini marketing, misalnya
siapa yang harus bertanggung jawab? Begitu juga di bagian teknologi informasi, dan
sebagainya. Dari situ kemudian ditarik ke atas, di mana kendali dan pengawasan terhadap
perubahan dipantau oleh dewan direksi.
Syarat lain yang harus juga diperhatikan dan tidak kalah pentingnya adalah orangnya.
Bagaimana pun sistemnya canggih, pengawasannya sudah bagus dan sebagainya, tapi kalau
orang yang ada di dalam tidak ada keinginan untuk berubah, maka perubahan tersebut
mencapai hasil optimal. Di sini faktor komunikasi menjadi sangat penting. Semua lini mesti
bertanggung jawab dan concern untuk mengkomunikasikan arah perusahaan ke depan.
Semua harus terlibat. Kuncinya terletak pada 3H, yakni heart, head dan hand. Perubahan
harus dikomunikasikan secara persuasif agar menyentuh hati (heart) para pihak yang terlibat
dalam perubahan tersebut. Setelah itu, mereka tentu akan berfikir (head) dan mencari cara
bagaimana mengimplementasikan (hand) perubahan tersebut.
Peran pihak luar, katakanlah konsultan, terhadap perubahan sebuah organisasi sangat
tergantung dari kondisi perusahaan yang hendak berubah. Konsultan pada dasarnya hanya
memberikan rekomendasi dan pendampingan terhadap proses perubahan di kliennya.
Pendorong utama terjadinya perubahan adalah keinginan dan manajemen sendiri, dan untuk
itu mesti memperoleh dukungan yang kuat dari karyawan melalui sistem komunikasi yang
tepat.
Perubahan di Mata Konsultan
No. 14 - Mei 2005
Konsultan memberikan kontribusi besar dalam perencanaan, implementasi, dan kaji ulang
perubahan. Apa pandangan mereka tentaog manajemen perubahan?
AB SUSANTO
Managing Partner The Jakarta Consulting Group
PERUBAHAN TIDAK SEBATAS LOGO SAJA
Sebagai perusahaan konsultan yang memposisikan diri sebagai mitra bagi perusahaan untuk
perubahan, The Jakarta Consulting Group (JCG) berusaha memberikan yang terbaik pada
setiap kliennya. Menurut AB Susanto, Managing Partner JCG, makna yang tercantum dalam
"partner in change", memiliki makna yang besar, sebuah tanggung jawab yang berat bagi
para konsultan JCG untuk bisa memberikan konsultasi perubahan yang baik kepada klien.
Perubahan yang terjadi di perusahaan bisa berupa restrukturisasi, revitalisasi, reorganisasi,
dan sebagainya.
"Ini menjadi penting karena perubahan yang baik, dibuat dengan baik, tumbuh dari waktu ke
waktu dengan baik karena dikelola dengan baik," jelas Susanto antusias. Ini sama halnya
dengan seorang manusia, yang tumbuh dan sekolah mulai dari TK, SD, SMP, SMU hingga
kuliah, yang setiap waktu "gayanya" akan berubah.
Kalau perusahaan atau organisasi tersebut masih berskala kecil, gaya kekeluargaan masih
bisa dipakai. Tapi, kalau perusahaan sudah mulai besar, Susanto menilai sistem kekeluargaan
malah kurang menguntungkan. Ini mengingat perusahaan tersebut harus lebih lugas
sehingga dibutuhkan sistem, pedoman dan sebagainya. Tidak bisa lagi menggunakan
kebijakan orang per orang. Lain pula jika perusahaan itu bertambah besar, maka akan lebih
diatur lagi. "Jadi, perusahaan yang lebih besar pun akan melakukan perubahan manajemen.
Sebaliknya, perusahaan yang tidak tumbuh, mengalami kerugian, dan kehilangan pangsa
pasar pun harus melakukan perubahan manajemen dari sisi yang lain," ujar Susanto.
Susanto mengaku JCG memiliki berbagai divisi mulai dari divisi training, konsultasi,
rekrutmen servis eksekutif, assessment, event dan pengembangan organisasi, yang masing-
masing dipimpin oleh group head yang berbeda. Pada divisi pengembangan organisasi, para
konsultan JCG mencoba melihat bagaimana kondisi organisasi, sasaran pasarnya, situasi
persaingan yang berubah, branding dan sebagainya. JCG juga memiliki divisi manajemen
SDM, karena manajemen SDM biasanya akan berubah setiap saat. Mulai dari cara
penggajian, performance appraisal, dan lain-lain.
Susanto menyebutkan, JCG punya cara-cara yang khas dalam mendekati suatu perubahan
yaitu dengan cara menganalisa perubahan seperti apa yang dibutuhkan, bentuknya seperti
apa, dan caranya bagaimana, melalui beberapa model seperti JCG Change Model dan JCG
Business Transformation Model. "Karena kami mendalami masalah perubahan, kami tidak
mau hantam kromo dengan melakukan perubahan. Ini harus berubah, itu harus
restrukturisasi," tegas Susanto antusias.
Untuk mengimplementasikan perubahan yang diberlakukan di perusahaan khususnya
terhadap SDM, JCG mempunyai Jacob (Jakarta Consulting Group Activity Competency Base)
people management, untuk diterapkan kepada klien, namun penerapannya tentu akan
berbeda di setiap perusahaan. Kegiatan tersebut bentuknya melingkar, mulai dari strategic
planning, strategic HR planning, ada rekrutmen seleksi, integrasi, training & development,
performance & potential appraisal, kompensasi & benefit, career planning, kemudian balik
lagi ke strategic planning.
Dalam melakukan perubahan, Susanto menambahkan, tantangan terberat yang diperoleh
adalah jika top management belum yakin atau ragu-ragu terhadap perubahan. "Dalam
membuat project, kami selalu berhadapan dengan orang nomor satu di perusahaan tersebut.
Kalaupun lewat jalur bawah, kami selalu minta ijin untuk berbicara dengan yang di atas,
sehingga kalau level atas sudah oke mau jalan, baru kami mau jalan," ujarnya. Alasannya,
jika para pimpinan organisasi tidak yakin akan perubahan yang akan dilakukan, Susanto
khawatir para pimpinan tersebut akan "memotong" langkah konsultan di tengah jalan.
Akibatnya, perubahan akan tersendat-sendat bahkan berhenti. "Konsultan itu mitra. Mitra itu
harus punya kepercayaan. Kami punya ilmu dan konsepnya, perusahaan punya manusia dan
tempatnya."
Sementara dalam melakukan perubahan yang menyangkut nilai budaya, JCG mencoba
strategi konsultan dengan cara melakukan perubahan dari level atas termasuk para pemilik
hingga ke level bawah, itulah strategi konsultan. Cara ini jelas memakan waktu yang tidak
sebentar. Minimal, perubahan itu harus sudah bisa dilihat dan dirasakan dalam waktu 6
bulan. Tapi selesainya perubahan tersebut tergantung dari setiap perusahaan. "Kalau bicara
perusahaan yang punya 4.000 karyawan dengan perusahaan yang hanya punya 400
karyawan jelas berbeda. Bisa saja perusahaan dengan banyak karyawan perlu waktu 2 tahun
atau lebih untuk menyelesaikan perubahan tersebut," ungkap Susanto sambil menambahkan
bahwa JCG biasanya melakukan konsultasi dengan masa kontrak pertahun. Lain hal jika
hanya merubah seragam, logo atau identitas semata.
Yang perlu diingat, tegas Susanto, perubahan yang sebenarnya bukan hanya sekadar
organisasi saja, hanya sekadar bagan atau struktur, atau hanya sebatas kotak-kotak saja. la
menilai, yang paling utama adalah perubahan dalam bisnis proses, koordinasi kerja,
kontroling dan sebagainya. Dan jika nanti sudah diterapkan, harus tercermin dalam
perubahan nilai-nilai bekerja dalam budaya perusahannya.
JCG punya tujuh divisi dalam sebuah konsultasi untuk perubahan.ini disebabkan perubahan
itu tidak hanya merubah satu sisi saja. Selain merubah orang, juga merubah sistem, kualitas
manajemen, bisnis perusahaan, bisnis & marketing, dan masih banyak lagi. "Ini keunggulan
JCG karena kami punya banyak konsultan professional dari berbagai macam disiplin ilmu.
Sebabnya, kami melihat perusahaan sebagai sesuatu yang holistik, bukan sepotong-potong.
Kami bekerja dalam satu atmosfir yang sama, kolaboratif, sehingga warnanya sama tetapi
mempunyai pandangan yang berbeda-beda," sambungnya tanpa bermaksud
menyombongkan diri. Kendati tantangan yang dihadapi menjadi lebih banyak dan kompleks,
koordinasi masiog-masing divisi menjadi kata kunci.
Disinggung mana yang lebih berat tantangannya, apakah perusahaan keluarga atau BUMN,
Susanto menjawab bahws semuanya sama beratnya karena punya permasalahan yang
berbeda-beda. Tantangan terberat dalam melakukan perubahan di perusahaan keluarga
adalah mendapat kepercayaan dari pemilik dan anggota organisasi. Sedangkan tantangan
yaeg dihadapi BUMN adalah kultur. "Kami punya center of excellent untuk family business
dan BUMN." Pendekatan untuk keluarga, biasanya dengan melihat penyakit utamanya,
kemudian JCG menyampaikan ke pemilik bahwa JCG akan melakukan cara ini. Contohnya,
JCG akan mengatur manajemen suksesi dan membuat peraturan untuk keluarga. "Kami harus
jadi pendengar yang baik. Tidak perlu menggali dari awal. Jika mereka sudah terbiasa dengan
kami, semua rahasia perusahaan akan keluar," jelasnya.
Sedangkan untuk BUMN, Susanto bersyukur pihaknya memiliki jaringan yang luas dan JCG
Research Institute sehingge JCG punya data yang lengkap. Ini berguna sebagai bahan acuan
sehingga para konsultan JCG bisa memahami persoalan yang terjadi di BUMN yang menjadi
kliennya dan bagaimana mengatasinya.
Perubahan di Mata Konsultan
No. 14 - Mei 2005
Konsultan memberikan kontribusi besar dalam perencanaan, implementasi, dan kaji ulang
perubahan. Apa pandangan mereka tentaog manajemen perubahan?
ALPHIN GINTING
Senior Management Consultant OTI Organisasi Transformasi Lintas Internasional
PERUBAHAN BUKAN SEBUAH PROGRAM SESAAT
Selama ini ada anggapan bahwa change management merupakan sebuah program. Kegiatan
ini dipandang sebagai aktivitas sesaat yang suatu saat akan berhenti. Padahal, menurut Alpin
Ginting dari OTI, perubahan adalah bagian dari manajemen organisasi sehingga harus terus
menerus mengalir. Mengapa, karena tantangan yang dihadapi akan senantiasa dipengaruhi
banyak faktor yang selalu berubah.
Dengan demikian harus ada pemahaman bahwa change adalah value di sebuah perusahaan,
karena pilihannya adalah berubah atau mati. Pemahaman ini juga mengandung arti
perubahan tidak pernah memberikan hasil terbaik, tapi senantiasa untuk mencapai sesuatu
yang lebih baik. Kalau dikatakan sebagai hasil terbaik, setelah itu tidak ada kegiatan lagi.
Ada beberapa hal yang mesti dipahami terlebih dahulu dan dipersiapkan dengan baik agar
perubahan yang dilakukan sesuai alur yang benar. Pertama adalah kesiapan sumber daya
manusia. Yang dimaksud SDM di sini adalah mulai dari direksi, manajer hingga karyawan
biasa. Komponen kedua adalah visi dan misi pemimpinnya. Sedangkan ketiga adalah
kemampuan perusahaan, termasuk sistemnya, prosesnya dan sebagainya.
Ketiga komponen tersebut harus benar-benar berada di tangan panglima yang tepat. Yang
bertindak sebagai panglima adalah pemimpin mulai dari CEO hingga para manajer. Mereka
harus punya visi dan misi yang jelas. Selain itu para panglima juga harus mengetahui
kekuatan dan kelemahan organisasinya serta mampu merumuskan secara jelas, hendak
dibawa kemana para pasukan di organisasi tersebut. Harus ada penjelasan kepada seluruh
anggota organisasi bahwa kita sekarang ada di mana dan hendak ke mana.
Ibarat sebuah mobil, di tengah perjalanan, setiap panglima juga harus menginformasikan
kepada pasukannya, sudah sampai dimana kita berada dan pada kecepatan berapa kita
bergerak. Sekarang, kita mau lari dengan kecepatan berapa? Ini harus terus menerus
dikomunikasikan. Untuk melakukan hal itu, panglima harus pula memperhatikan lingkungan
di luar. Kalau pemain lain sedang dalam kecepatan tinggi, kita mesti mengimbangi dengan
menambah kecepatan. Tapi kalau kondisinya memaksa kita harus berjalan lambat ya jangan
ngebut, agar kita tidak terjungkal.
Peran tersebut harus bisa dijalankan dengan baik oleh pemimpin. Semakin tinggi
kedudukannya maka semakin besar peran yang seharusnya ia mainkan. Logikanya, siapa
yang berada di posisi paling tinggi, tentu ia akan melihat lebih banyak, sehingga memberikan
informasi lebih banyak pula. Pimpinan manajemen secara teratur, misalnya melalui president
letter menjalin komunikasi, mereview dan memberikan umpan balik.
Dalam proses perubahan tersebut, biasanya konsultan dilibatkan. Menurut Alpin, konsultan
hanya bertindak sebagai katalisator yang diharapkan bisa berbagi pengalaman mengenai
metodologinya, sistemnya dan lain-lain. Sedangkan pemahaman tentang proses bisnisnya
tetap menjadi wilayahnya manajemen. Jika digambarkan dalam bentuk kurva, keterlibatan
konsultan dalam sebuah perubahan manajemen pada awalnya berada di kiri atas. Namun
seiring dengan berjalannya waktu, ia akan turun ke kanan bawah. Sebaliknya, manajemen
berada pada di kiri bawah dan terus meningkat ke kanan atas.
Mengingat perubahan adalah sebuah proses, maka prakteknya harus dilakukan secara
berkelanjutan, terus-menerus. Yang sering terjadi adalah adanya anggapan bahwa setelah
membekali karyawan dengan training yang berbiaya ratusan juta, para panglima merasa
sudah menjalankan fungsinya dengan benar. Padahal praktek dan implementasi sehari-hari
jauh lebih penting.
"Saya tidak mengatakan pembekalan melalui training tidak penting. Yang ingin saya
tegaskan adalah harus ada implementasi konkrit, agar training yang diberikan memberikan
result yang optimal bagi perusahaan," tukas Alpin. Hal ini, tambahnya, hanya akan terjadi
jika para panglima bisa menyampaikan visi dan misinya dengan baik kepada anak buahnya.
Ini harus ada kesamaan pandangan. Jangan sampai masing-masing panglima
menerjemahkan perubahan sesuai selera mereka sendiri-sendiri. Harus ada keselarasan dan
sinergi.
Berdasarkan pengalaman kami membantu sejumlah perusahaan, hambatan utama bagi
proses perubahan adalah adanya kesenjangan komunikasi. Arah perubahan hanya dipahami
di lapisan atas sebuah organisasi. Kalau kita tanyakan kepada karyawan, rata-rata mereka
mengaku tidak tahu hendak dibawa ke mana perusahaan tempat mereka bekerja. Ironis
sekali. Hambatan kedua adalah kegagalan dalam mengaktualisasikan pengetahuan
anggota organisasi terhadap perilaku sehari-hari dalam bekerja dan result.
Setiap anggota organisasi mestinya memahami apa kontribusinya terhadap organisasi
yang menaunginya. Kalau mereka sudah memahami peran dan kontribusinya, maka akan
dengan mudah merumuskan dan menentukan apa yang harus mereka lakukan.
• Beri Komentar
Change or Die
No. 14 - Mei 2005
Lingkungan bisnis akan terus berubah, cepat atau lambat. Perusahaan pun harus adaptif dan
antisipatif terhadap perubahan jika ingin bertahan dan memenangkan persaingan. Tentu
akan lebih baik bila perubahan yang dilakukan perusahaan Anda menyebabkan perubahan
besar di pasar dan kompetensi.
Kita telah sering mendengar ungkapan bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali
perubahan itu sendiri. Perubahan akan selalu terjadi dalam setiap kehidupan umat manusia,
termasuk dalam organisasi. Futurolog Dr. Alvin Toffler dalam bukunya The Adaptive
Corporation mengatakan: "Change is not merely necessary for life, it is life". Sejatinya,
perubahan adalah hidup itu sendiri. Pemahaman ini menegaskan kepada kita bahwa tidak
seorang pun yang resisten terhadap perubahan. Begitu pula organisasi. Ia akan menua,
kehilangan relevansi, dan akhirnya mati bila tidak terus diremajakan.
Pakar manajemen dari Harvard Business School Rosabeth Moss Kanter, penulis buku The
World Class: Thriving Locally in the Global Economy, mengingatkan perlunya perusahaan
untuk adaptif terhadap perubahan. Perusahaan tidak bisa menolak perubahan, namun tidak
boleh jatuh dalam revolusi yang pada akhirnya menyakitkan. Perusahaan tidak bisa
menghindarkan diri dari perubahan, tak peduli seberapa besar ukuran, sumberdaya, atau
keunggulan yang dimiliki pada saat itu.
A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting, menegaskan betapa perubahan
harus terus dilakukan oleh perusahaan besar yang memimpin di pasar; terlebih bagi
perusahaan yang tidak bertumbuh, mengalami kerugian, ataupun kehilangan pangsa pasar.
"Yang penting arah perubahan yang diinginkan benar-benar sudah tepat," tegasnya.
Begitu banyak organisasi bisnis raksasa yang mati karena tidak bisa membuat perubahan
pada waktu yang tepat. Nama nama besar pada jamannya seperti Sears Roebuck, Zenith,
Ames, Westinghouse, McDonel Douglas, dan Burroughs kini tinggal kenangan. Sepeninggal
sang pendiri, perusahaan - perusahaan tersebut gamang menghadapi perubahan dan ditelan
oleh persaingan. "Kebanyakan perusahaan justru melakukan perubahan setelah kondisinya
sulit," ungkap Dr. Renald Kasali, pakar manajemen dari UI penulis buku Change.
Dalam dunia bisnis, perubahan terjadi hampir setiap saat karena lingkungan bisnis jauh lebih
dinamis dibandingkan lingkungan organisasi lainnya. Perubahan tersebut didorong oleh
berbagai hal, seperti tuntutan konsumen dan kompetisi, regulasi teknologi, pergerakan
pasar, strategi baru, kehadiran manajemen baru, kondisi makro ekonomi-politik, dan
sebagainya. Meningkatnya dinamika bisnis menyebabkan tekanan terhadap perubahan
perusahaan juga meningkat. Repotnya, sebagian besar penyebab perubahan berasal dari
lingkungan eksternal, dan oleh karena itu tidak bisa dikontrol sepenuhnya oleh perusahaan.
Salah satu contoh adalah krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia 1997/1998.
"Perusahaan hanya bisa mengontrol sebatas lingkungan internal," tukas Budi Setiadharma,
CEO PT. Astra International Tbk. Ia menilai, krisis ekonomi sebagai perubahan yang relatif
terjadi dalam waktu cepat dan tiba-tiba. "Kalau kami tidak melakukan perubahan dengan
cepat, pasti perusahaan menanggung beban yang berat," tambahnya.
Perubahan terjadi dalam berbagai bentuk dan cakupan�- kecil, menengah, dan besar.
Perubahan bisa saja hanya terjadi pada level individu, bisa pula di level organisasi, namun
bisa pula dalam konteks keseluruhan dari perusahaan. Hal terakhir bisa terjadi karena
perusahaan merubah fokus dan strategi bisnis sehingga mengharuskan pula mengubah
sistem nilai, budaya perusahaan, kompetensi karyawan, sistem penilaian kinerja, dan
seterusnya.
Telkom, menurut Change Managerent Manager Telkom Divre II Jakarta, Puguh Harianto,
melakukan perubahan terhadap 4 komponen sebagai ruang lingkup perubahan: sumber daya
manusia (SDM) / organisasi, budaya korporasi, proses bisnis, dan teknologi informasi. SDM /
organisasi yang lincah dan fleksibel diperlukan untuk menghadapi perubahan maupun dalam
melakukan perubahan itu sendiri. Budaya perusahaan yang kuat dapat melindungi
perusahaan dari terpaan perubahan lingkungan, tidak mudah goyah. Kalaupun terjadi
perubahan, hal itu dilakukan dengan cara yang mantap. Proses bisnis sangat diperlukan agar
perubahan yang dilakukan masih tetap dalam koridor arah perusahaan. Sementara
keberadaan teknologi informasi mutlak diperlukan bagi perusahaan yang ingin tetap eksis di
tengah-tengah lingkungan yang cepat berubah.
Membangun Kultur Perubahan
Banyak perusahaan yang mencoba beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Tetapi, di
era yang serba instant saat ini, tindakan seperti itu dianggap tidak lagi memadai. Tindakan
beradaptasi lebih tepat ditujukan bagi perusahaan yang terlambat merespons perubahan dan
dipaksa untuk melakukan penyesuaian. Yang dibutuhkan adalah menjadikan perubahan
sebagai bagian integrasi dari sistem manajemen perusahaan. Dengan demikian, sistem
menggerakkan seluruh jajaran untuk terus melakukan perubahan kearah yang lebih baik.
Tidak hanya itu, perusahaan mampu menentukan perubahan yang berdampak luas terhadap
lingkungan bisnis. Inilah yang dilakukan Grup Astra dengan memacu upaya peningkatan dan
inovasi di setiap perusahaan atau unit bisnis setiap saat.
Semangat perubahan itu memang banyak diinspirasikan oleh filosofi kaizen (continous
improvement) yang telah diterapkan Astra sejak awal 80-an. Semangat tersebut
dikembangkan lebih lanjut dengan menerapkan Astra Management System tahun 2001
dalam upaya Astra menjadi excellent company. Semenjak itu, manajemen Astra terus
mengembangkan budaya dan semangat strive for excellence. Berkat semangat tersebut, di
antaranya, waktu untuk penyelesaian satu sepeda motor Honda kini menjadi 16 detik
dibandingkan prestasi sebelumnya 60 detik.
Hasil yang lebih besar terlihat dengan keberhasilan Astra mencatat prestasi fenomenal
dalam beberapa tahun terakhir: sukses meluncurkan mobil Xenia dan Avanza di segmen
pasar yang sama sekali baru, meraih banyak penghargaan nasional dan internasional di
berbagai bidang, dan lebih penting lagi mencapai rekor penjualan serta laba bersih pada
tahun 2004. Pinjaman Astra per 31 Maret 2005 seluruhnya lunas terbayar, padahal tahun
2000 total pinjaman Astra mencapai rekor Rp 17,8 triliun.
"Manajemen perubahan bukanlah sesuatu yangterjadi dalam waktu tertentu saja. la harus
merupakan proses yang berkesinambungan," ungkap SA Santoso, konsultan Mercer Recource
Consulting. Perubahan diperlukan untuk menghindari perusahaan dari kebekuan. Mengapa?
"Karena perusahaan ibarat air yang diupayakan terus mengalir, sehingga setiap organisasi
atau perusahaan selalu berusaha dalam kondisi cair."
Dalam istilah Alpin Ginting, Senior Management Consultant OTI Organisasi Transformasi
Lintas Internasional, perubahan bukanlah sebuah program. Sebab, kalau seperti itu,
perubahan hanya bersifat sesaat yang suatu saat akan berhenti. Padahal, menurut Alpin,
perubahan adalah bagian dari manajemen organisasi sehingga harus terus mengalir. "Karena
pasar yang dipengaruhi banyak faktor senantiasa berubah," katanya.
Pentingnya perubahan seharusnya membuat perusahaan menjadikan perubahan sebagai
nilai utamanya. Menurut Alpin, pemahaman ini mengandung arti, perubahan tidak pernah
memberikan hasil terbaik, tetapi senantiasa untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Kalau
dikatakan sebagai hasil terbaik, lanjutnya, setelah itu tidak ada kegiatan perbaikan lagi.
PT Federal International Finance (FIF), anak perusahaan Astra yang bergerak di bidang
pembiayaan sepeda motor, adalah satu dari sedikit perusahaan di Indone-sia yang
menjadikan Change sebagai salah satu karakter perusahaan. "Seluruh karyawan perusahaan
harus mencintai perubahan, jangan resisten terhadap perubahan," ungkap Ida P. Lunardi,
Presiden Direktur FIF. Perusahaan memiliki karakter 5 C, yaitu Creative, Courageous, Change,
Commitment, dan Care.
Strategi Perubahan
Banyak alat bantu (tools) manajemen yang bisa dipakai untuk memacu perubahan dalam
perusahaan, seperti 7S Mc Kinsey, BCG Matrix, Benchmarking, Brain-storming, Business
Process Reengineering, Six Sigma, GE-McKinsey Matrix, Porter Five Forces, Statistical Process
Control, SWOT Analysis, PEST Analysis, Value Chain Analysis, dan sebagainya. Perusahaan
bisa memakai satu atau lebih alat bantu tersebut dalam menentukan arah dan proses
perubahan.
Faktor kritikal perubahan menyangkut manusia. Kegagalan melakukan perubahan lebih
banyak disebabkan oleh faktor manusia ketimbang faktor teknis. Perubahan harus dikelola
secara baik karena kegagalan melakukan perubahan menimbulkan dampak besar bagi
perusahaan dan karyawan.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh perusahaan agar setiap karyawan menerima
perubahan. Perusahaan spesialis perubahan Prosci membagi perubahan dalam 3 fase (fase
persiapan perubahan, fase mengelola perubahan, dan fase mendayagunakan perubahan).
Fase persiapan perubahan mencakup penetapan strategi manajemen perubahan, memper-
siapkan tim manajemen perubahan, dan mengembangkan model sponsor. Faktor sponsor
perubahan ini sangat penting, karena merekalah motor dan agen perubahan dalam
perusahaan.
Dalam fase mengelola perubahan, perusahaan mengembangkan rencana manajemen
perubahan dan mengimplementasikan rencana perubahan. Sedangkan fase
mendayagunakan perubahan meliputi langkah untuk mengumpulkan dan menganalisis
masukan, mendiagnosa gap dan mengelola orang / kelompok yang resisten, dan
mengadakan langkah koreksi dan merayakan keberhasilan dalam melakukan perubahan.
"Perubahan membutuhkan dukugan penuh dari manajemen puncak," ujar Daisy M.E. Suhari,
Kepala Divisi Pengelolaan SDM PT Infomedia Nusantara. Hal ini berdasarkan pengalaman
Daisy di Infomedia. Sejak akhir 2003, Infomedia memutuskan untuk melakukan transformasi
bisnis dan organisasi sejalan dengan strategi perusahaan untuk mengembangkan 2 pilar
bisnis baru (Contact Center dan Content Provider),di samping pilar bisnis lama Buku Petunjuk
Telepon (dulu Yellow Pages). Dari sisi sumber daya manusia, Infomedia mengubah sistem
manajemennya menjadi Competency Based Human Resources Management (CBHRM).
"Tanpa dukungan penuh manajemen puncak, perubahan sulit terlaksana," ujarnya serius.
Almarhum Sam Walton, pendiri raksasa ritel Wal-Mart, bisa menjadi contoh eksekutif puncak
yang begitu komit dan terlibat terhadap perubahan Walton dikenal sebagai eksekutif yang
mementingkan perubahan, eksperimen, dan peningkatan secara konstan. Ia tidak hanya asal
omong, tetapi membangun mekanisme organisasi yang kongkrit : untuk mendorong
perubahan dan peningkatan. Menggunakan konsep "A Store Within a Store", Walton memberi
manajer departemen otoritas dan kebebasan untuk menjalankan departemennya selayaknya
usaha sendiri. Ia membuat insentif tunai dan pengakuan publik terhadap associates yang
berkontribusi terhadap penghematan biaya dan / atau ide peningkatan layanan yang bisa
dikembangkan di toko lain. Hingga kini Wal-Mart terus berjaya dan menjadikan keempat
anaknya sebagai orang-orang terkaya Amerika (lihat rubrik Wacana, red).
Kecuali itu, menurut Human Capital Director PT Excelcomiodo Pratama Joris de Fretes, faktor
komunikasi memainkan peran penting untuk keberhasilan sebuah perubahan. Perusahaan
bisa menggunakan berbagai media internal (papan pengumuman, website, majalah internal,
dan video conference) ataupun forum khusus untuk mengkomunikasikan perubahan
tersebut. Untuk mempercepat proses perubahan, perusahaan juga harus menetapkan Agen
Perubahan (Change Agent)�- orang-orang yang akan menjadi motor perubahan di
lingkungannya.
Pada akhirnya, seperti ditulis Thomas J. Peters dan Robert Waterman Jr. dalam bukunya yang
terkenal In Search of Excelence, hanya perusahaan yang ekselenlah yang akan menang
dalam persaingan.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. ASTRA INTERNATIONAL Tbk
Perubahan Telah Menjadi Sistem
Grup Astra disebut-sebut sebagai kelompok bisnis nasional yang memiliki sistem manajemen
termaju di Indonesia. Astra menyebut sistem manajemennya dengan nama Astra
Management System (AMS). Sistem manajemen ini menjadi roda penggerak organisasi Astra
untuk mewujudkan visi, misi, tujuan, moto, dan filosofi korporat Astra. Dengan AMS, Astra
terus melakukan perubahan sejalan dengan prinsip kaizen (continous improvement) yang
dianut Astra sejak beberapa dekade yang lalu.
Di sisi lain, kemunculan AMS menjadi cermin betapa Astra adalah organisasi yang tanggap
terhadap perubahan dan seringkali menjadi motor perubahan dalam konteks bisnis nasional.
Sadar bahwa konstelasi bisnis internal, nasional, dan internasional berubah pasca krisis
ekonomi 1997, manajemen Astra merasa perlu untuk melakukan transformasi bisnis dan
manajemen agar Astra menjadi perusahaan yang excellent. Sistem manajemen Astra, Astra
Total Quality Control / ATQC yang telah diterapkan sejak 1983 dan diubah menjadi Astra Total
Quality Management / ATQM sejak tahun 1998, dianggap tidak memadai lagi. AMS mulai
diperkenalkan tahun 2001.
AMS masih tetap menggunakan 4 pilar dari ATQM (Mentalitas Dasar, Manajemen Strategik,
Sarana, dan Pemberdayaan dalam Implementasi), namun menurut Ketua Tim Perumus Buku
Panduan AMS I.W. Putraka perubahan atau revisi terjadi terhadap keempat pilar tersebut.
Revisi terpenting terkait dengan perubahan di Astra terjadi pada pilar 2 dengan memberikan
penekanan pada upaya peningkatan (improvement) dan inovasi secara lebih rinci. AMS
menyeimbangkan porsi kegiatan peningkatan dan inovasi dengan proses transformasi bisnis.
Krisis ekonomi menyebabkan Astra harus melakukan penjadwalan pembayaran utang dengan
para kreditur. Pada periode 1998-1999, Astra terpaksa mem-PHK 20.000 karyawan tetap dan
5.000 pegawai kontrak sehingga jumlah karyawan Astra tinggal sekitar 100.000 orang.
Tetapi, bisnis harus tetap berjalan. Masuknya Cycle & Carriage (didukung raksasa finansial
Jardine Matheson) sebagai pemegang saham utama Astra dan dibukanya peluang investasi
100% kepada investor asing di Indonesia menyebabkan berubahnya kompetisi di pasar.
Liberalisasi perekonomian harus dijawab dengan langkah yang tepat. Astra harus
melepaskan sahamnya di banyak perusahaan manufaktur, khususnya di bidang otomotif dan
bisnis terkait. Semua faktor di atas mengharuskan Astra harus mendesain ulang fokus dan
strategi bisnis. "Astra harus menentukan perannya dengan pelepasan kepemilikan usaha
manufaktur tersebut," tukas Budi Setiadharma, CEO PT Astra International Tbk., perusahaan
induk Grup Astra.
Sebelum menetapkan pilihan, pimpinan Astra mengundang sejumlah pakar politik, ekonomi,
dan sosial-budaya terkemuka untuk mendapatkan pandangan mereka tentang kondisi makro
Indonesia kini dan mendatang. Juga pakar otomotif dunia untuk mengetahui proyeksi bisnis
otomotif global. Setelah mendengarkan seluruh pandangan tersebut, jajaran pimpinan Astra
kembali ke kandang masing-masing untuk mendiskusikan pandangan mereka tentang masa
depan Astra. Seluruh pandangan tersebut dibawa kembali ke rapat pimpinan Astra untuk
dibahas lebih lanjut.
Salah satu keputusan terpenting terjadi di bidang otomotif, penyumbang utama bisnis Astra.
Astra memutuskan untuk fokus di bidang pemasaran ritel dan jasa keuangan ikutan. Bila
selama ini Astra hanya bergerak di bidang manufaktur dan distribusi, Astra kini bergerak
langsung ke konsumen. Perubahan fokus bisnis ini, menurut Budi, menuntut perubahan
mentalitas dan kompetensi yang sangat besar.
Sebagai distributor, selama ini Astra hanya berhubungan dengan dealer, mendistribusikan
barang sesuai kebutuhan. Menjadi peritel, Astra kini berhadapan langsung dengan konsumen
yang sangat berbeda karakter dan perilakunya. Pesaing pun berubah. "Perubahan ini tidaklah
mudah, meskipun sekilas tampak mudah," tukasnya, sambil menambahkan, "Perilaku
konsumen sangat bervariasi, dan kecepatan melayani distributor dengan ritel itu amat
berbeda."
Setelah fokus bisnis ditetapkan, selanjutnya Astra melakukan perubahan organisasi dan
menetapkan figur-figur yang tepat untuk mengisi posisi yang ada berdasarkan kebutuhan
organisasi serta kompetensi baru yang dibutuhkan. "Waktu memutuskan fokus di ritel, saya
langsung berpikir tentang wajah-wajah Kepala Cabang dan Manajer Operasi (setingkat di atas
Kepala Cabang, red) apakah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan," ujar CEO yang
gemar lukisan tersebut. Kepala Cabang dan Manajer Operasi merupakan ujung tombak bisnis
Astra.
Caranya melalui audit organisasi dan personil. Orang yaog tidak suka dengan ritel tidak bisa
menjadi Kepala Cabang dan Manajer Operasi. Mereka yang kurang atau tidak memenuhi
syarat diberikan kesempatan training atau diminta menyingkir Beberapa Kepala Cabang dan
Manajer Operasi akhirnya harus rela menyingkir dalam struktur baru. Tugas 'mempermak'
orang tersebut dijalankan oleh AMDI (Astra Management Development Institute), lembaga
khusus yang bertugas merekrut dan mengembangkan kualitas personil Astra.
Kecenderungan biaya yang terus naik mengharuskan orang-orang Astra untuk selalu
produktif dan efisien. "Jangan sampai terjadi seperti gunting, di mana grafik pendapatan
yang terus menurun berpotongan dengan grafik biaya yang terus menaik," Budi berwanti-
wanti. Lahirnya Xenia dan Avanza didasarkan atas pemikiran tersebut, hasil riset selama 3-5
tahun setelah melihat adanya celah pasar yang gemuk di kelas mobil seharga Rp 100 juta ke
bawah. Konsumen tersebut ingin membeli adik Kijang, bukan Kijang. Hasilnya, luar biasa.
Penjualan kedua merek ini mendongkrak nilai penjualan dan laba Astra secara signifikan.
Sebaliknya, inisiatif efisiensi terus dijalankan. Sistem administrasi back office seluruh cabang
Astra diseragamkan dengan memakai teknologi SAP. Selama ini, sistem administrasi setiap
cabang berbeda-beda sehingga masing-masing cabang membutuhkan tenaga akunting dan
Administration Dept. Head sendiri-sendiri. Kompilasi data juga menjadi lambat. Dewasa ini,
proses administrasi pemesanan mobil, pembayaran, dan berbagai hal lainnya seragam serta
online sehingga pengumpulan dan penyatuan data di akhir bulan bisa dilaksanakan dengan
cepat. Contoh lain, Astra berhasil menyatukan pembelian seluruh unit usahanya�- yang
selama ini berjalan sendiri-sendiri�- untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik dengan
para pemasok.
"Perubahan terberat adalah menyangkut manusia," jawab Gudi ketika ditanya bagian tersulit
dari perubahan. Upaya peningkatan manajemen proses tidak akan berjalan tanpa
pengembangan karakter dan kompetensi karyawan sebagai pemilik dan pengelola proses
perubahan itu sendiri. Apabila tujuan (goal) perubahan sudah ditetapkan, menurut Chief
AMDI Yakub Liman, kunci utama perubahan terletak pada Commitment, Involvement, dan
Leadership (CIL) dari eksekutif puncak dan jajaran pimpinan perusahaan. "Apapun proses
atau program perubahan, tanpa CIL sulit untuk berhasil," ujarnya.
Proses perubahan di Astra selalu diikuti dengan proses evaluasi secara berkala, di mana
manajemen mengikuti setiap perkembangan yang terjadi. Ini untuk menjaga jangan sampai
terjadi penyimpangan dalam melakukan perubahan. Proses perubahan tersebut digambarkan
dalam bentuk roda yang terus berputar naik ke anak tangga yang lebih tinggi. Roda tersebut
mengandung fungsi dasar manajemen PDCA (Plan, Do, Check, Action). Untuk memutar roda
dilakukan melalui training masif. Setiap roda yang naik ke tangga lebih tinggi diganjal dengan
Standardization (S) agar tidak melorot turun, sehingga PDCA berubah menjadi SCDA.
Begitulah seterusnya. Di setiap akhir tahun, manajemen Astra mengadakan perayaan
sebagai apresiasi terhadap tim yang dinilai terbaik dalam melakukan improvement, haik
teknik maupun non-teknik. Pemenang ke-1, antara lain, mendapat sepeda motor atau hadiah
uang Rp 20 juta.
Dengan lingkungan berkreasi yang kondusif dan menantang, wajar bila ide peningkatan dan
inovasi tumbuh subur di Astra. Setiap tahunnya Astra mendapatkan proposal ide dari seluruh
jajaran perusahaan tak kurang dari 130.000 buah. Jumlah tersebut, menurut Yakub Liman,
adalah proposal yang tercatat, yaitu proposal yang idenya bagus dan bisa
diimplementasikan. Lengkap dengan manfaat kuantitatif yang diperoleh bila ide itu
diimplementasikan. "Jadi, tidak bisa asal bunyi alias asbun," tutur Yakub. Astra memberikan
penghargaan kepada mereka yang berpartisipasi. "Kendati hanya sebungkus nasi,"
tambahnya.
Di ulang tahun yang ke-48 yang jatuh 20 Februari lalu, kinerja bisnis Astra yang memiliki
sekitar 100.000 karyawan memang sangat mencorong. Perseroan berhasil mencatat rekor
laba bersih Rp 5,4 triliun pada 2004, naik 22,3% dari 2003. Nilai hutang perusahaan pun
menurun tajam, bahkan per 31 Maret 2005 hutang Astra kepada 19 sindikasi bank asing
telah dibayar luas sehingga hutang Astra menjadi nol. Total hutang kepada sindikasi bank
asing itu US7 juta, dan telah dibayar US1 juta pada Desember 2004 serta dibayar lagi US juta
pada Maret 2005. Selain itu, Astra masih memiliki dana tunai Rp 1 triliun untuk membayar
dividen.
Toh Astra tak henti berusaha meraih kemajuan. Pada ulang tahun ke-48, Astra juga
meluncurkan inisiatif baru yaitu nemberikan Astra Award kepada seluruh anak perusahaan
atau unit usaha terbaik di lingkungan Astra. Award ini dimaksudkan agar seluruh perusahaan
atau unit usaha Grup Astra berlomba meraih yang terbaik dengan membangun winning team
spirit. "Setiap orang Astra harus menghayati betul budaya dan semangat strive for
excellence," kata Budi. Setiap awal tahun, Budi sebagai CEO Astra juga mengirim President
Letter, sebuah pesan dan sranan yang harus menjadi pegangan bagi seluruh insan Astra
dalam menjalankan tugasnya.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. EXCELCOMINDO PRATAMA
MENGIKUTI IRAMA KONSUMEN
Perubahan di PT Excelcomindo Pratama pada awalnya dilakukan pada tiap-tiap divisi secara
bertahap. Namun, perubahan secara mendasar dilakukan ketika investor asing yakni Asia
Infrastructure Fund dan Telekom asal Malaysia masuk ke manajemen Excelcom.
Seperti diketahui, Telekom Malaysia resmi masuk ke operator seluler PT Excelcomindo
Pratama (XL) setelah membeli 23,1 persen saham asing milik Nynex Indocel Holding Sdn
(Verizon) senilai US5,7 juta. Dengan transaksi tersebut, menurut Presdir PT Telekomindo
Primabhakti YW. Junardy, Telekom Malasyia akan menjadi mitra strategis sekaligus menjadi
langkah awal keterlibatannya di Excelcom yang merupakan operator seluler ketiga terbesar
di Indonesia.
Saat ini, komposisi pemilik saham XL sebanyak 60 persen dimiliki investor lokal yaitu
konsorsium PT Telekomindo Primabhakti dengan anggota Bentoel, Sheraton, Metro
Departement Store, dan Express Taxi. Selain Telekom Malaysia, perusahaan asing yang
memegang saham PT Exelcomindo Pratama adalah Asia Infrastructure Fund yang menguasai
sebesar 12,7 persen.
Direktur Pengembangan SDM PT Excelcom, Joris de Fretes mengakui, masuknya investor
asing di perusahaannya memang semakin memicu percepatan perubahan organisasi menuju
arah yng lebih baik. Dalam hal penetrasi ke pelanggan, kata Horis, Telekom Malaysia
meminta agar XL lebih agresif, sehingga bisa mendekatkan posisi pencapaian pelanggan
seluler dengan perusahaan sejenis di Indonesia. Hingga September 2004 jumlah pelanggan
seluler XL mencapai 4,2 juta nomor, meningkat dari 2,9juta nomor pada akhir 2003.
Joris menambahkan, ada atau tidak ada investor asing, pada dasarnya perubahan harus
dilakukan jika organisasi ingin terus berkembang. Ada beberapa faktor yang mendorong
sebuah organisasi harus berubah, yakni e-commers, percepatan arus informasi, organisasi
virtual, merger & akuisisi serta privatisasi.
Di luar faktor pendorong tersebut, ada hal lain yang juga sangat berpengaruh terhadap arah
perubahan, yakni perilaku konsumen juga telah berubah. Telekomunikasi kini tidak lagi
dipandang sebagai barang investasi, melainkan barang konsumsi. Artinya memiliki sarana
telekomunikasi bergerak kini telah menjadi kebutuhan.
Perbedaan perilaku konsumen ini menuntut penanganan yang berbeda pula, misalnya dari
produknya, strategi marketing-nya, promosinya dan sebagainya. Dengan demikian, orientasi
perusahaan, kata Joris juga harus berubah. Semula Excelcom mendasarkan pada technology
driven, tapi sekarang pendekatanya lebih kepada marketing driven. Konkritnya, kata Joris,
ketika hendak membangun BTS baru, misalnya, pertimbangan utamanya bukan pada
masalah teknologi atau jaringannya tapi lebih kepada marketing-nya. Apakah di suatu daerah
sudah benar-henar membutuhkan BTS? Untuk membangun sebuah BTS paling tidak
diperlukan dana Rp2 miliar. "Jika pelanggannya tidak terlalu signifikan, tentu kami dan
operator lain akan berpikir ulang tentang investasi tersebut," tukasnya.
Perubahan perilaku konsumen telekomunikasi juga bisa dilihat dari pola konsumsi mereka,
yang tercermin dalam ARPU (Average Revenue Per User), atau tingkat rata-rata pemakaian
pulsa setiap bulan. Dulu orang menggunakan ponsel minimal pulsanya sekitar Rp 100 ribu.
Tapi sekarang, sudah menurun menjadi sekitar Rp 50 ribu per bulan. Hal ini pun harus
diantisipasi dengan menawarkan paket-paket isi ulang yang relatif terjangkau.
Salah satunya adalah dengan meluncurkan Xplor yang diklaim memiliki keunggulan tarif
percakapan yang lebih hemat dibandingkan tarif pascabayar lainnya, karena durasi
percakapan dihitung per 1 detik. Selain itu, fasilitas ini juga gratis biaya abonemen (untuk
tagihan minimum penggunaan perbulan hanya Rp 25.000), serta gratis roaming nasional.
Pelanggan Xplor juga dapat menikmati tarif hemat 36 persen hingga 69 persen pada jam
tidak sibuk yaitu dari pukul 22.00 sampai 07.59 di hari kerja, sepanjang hari libur nasional
dan hari Minggu. Tarif hemat ini berlaku untuk panggilan yang dilakukan ke PSTN, sesama XL
dan operator lain, selain SLI dan premium call.
Kemudahan yang diperoleh dari layanan pascabayar Xplor adalah jangkauan di seluruh
Nusantara (mudah dipakai di mana saja) serta proses aktivasi yang mudah dan cepat yaitu
hanya dengan membeli kartu perdana seharga Rp 55.000,- �(termasuk PPN), pengguna
selular sudah dapat menggunakan Xplor dengan batas maksimum penggunaan Rp 50.000,-
sambil menunggu proses verifikasi data.
Berbagai perubahan yang dilakukan Excelcom memang sangat beralasan. Sebab, tak lama
lagi perusahaan itu berencana memasuki lantai bursa. Direktur Marketing Business Solution
PT Excelcomindo, Rudiantara mengungkapkan bahwa rencana mencatatakan saham
Excelcomindo di bursa saham sudah lama dibicarakan atau jauh sebelum Telekom Malaysia
masuk ke perusahaan. Jika rencana tersebut terealisasi, seluruh karyawan perusahaan ini
tentu harus melangkah seirama mempersiapkan perubahan yang diperlukan.
Menurut Joris, kendala utama perubahan yang dilakukan di Excelcomindo sebenarnya bukan
pada komunikasinya, melainkan pada bagaimana seluruh karyawan bisa mengadaptasi
terhadap lingkungan yang harus atau sudah berubah. Juga bagaimana karyawan dapat
memahami peran dan fungsi masing-masing.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. FRISIAN FLAG INDONESIA
FOKUSKAN DIRI KE MARKETING DRIVEN & TRAINING DRIVEN
Berbekal pengalaman lebih dari tujuh dasawarsa dalam memasarkan produk susu, Frisian
Flag kini dikenal sebagai produsen dan distributor terkemuka di Indonesia. Tak heran dalam
kurun waktu 35 tahun, setiap jaman mengharuskan pelaku bisnis termasuk Frisian Flag untuk
merubah sikap sesuai dengan tuntutan konsumen.
Ini disadari betul oleh segenap jajaran direksi dan manajemen serta karyawan Frisian Flag.
Perubahan yang mendasar terutama dari segi perilaku, sikap, memandang kompetensi yang
berbeda di setiap zaman. Menurut Hendro Harijogi, HR & GA Director PT Frisian Flag
Indonesia, perubahan ini merupakan pertahanan hidup bagi semua perusahaan pada
umumnya dan Frisian Flag secara khusus. Pada tahun 1970an hingga menjelang tahun 1990-
an, Frisian Flag lebih erat dengan production driven. Artinya, apa yang diproduksi Frisian Flag
selama kualitasnya baik, maka konsumen akan membelinya.
Tapi, hal itu sudah tidak berlaku lagi. Diakui Hendro, sekarang ini adalah era marketing,
selain produknya berkualitas, produk tersebut harus mampu menarik perhatian konsumen.
�€œProduk susu dibuat semenarik mungkin karena konsumen memposisikan produk itu
tidak hanya untuk kesehatan, tapi juga untuk gaya hidup." Kalau produknya bagus tapi tidak
sesuai dengan gaya hidup masyarakat Indonesia pada masa kini, maka produk itu akan
dilupakan orang," ujarnya.
Contoh lain, dulu orang hanya mengenal supermarket, sekarang sudah ada hypermarket
yang lebih lengkap dan nyaman. "Sekarang orang mana mau ke supermarket, kurang
lengkap, tidak dingin, tidak nyaman dan sebagainya. Akibatnya jenis promosi juga berubah,"
tukas Hendro. Tak heran jika Frisian Flag berusaha mengikuti keinginan konsumen dan pasar.
"Susu Bendera dulu dikenal sebagai produk berkualitas bagus. Kualitas tidak boleh
dihilangkan karena itu adalah warisan. Tapi kami juga harus mampu menjaring konsumen
dengan keunikan produk kami. Kalau kami tidak mau berubah, maka kami akan bangkrut,
termasuk pula perusahaan-perusahaan lainnya," imbuhnya dengan antusias.
Dalam melakukan perubahan, Hendro menegaskan bahwa kecepatan menjadi kata kunci.
Kalau sebuah perusahaan tidak cepat bereaksi, maka konsumen akan lari ke produk lain. Ini
menuntut biaya yang lebih besar karena perusahaan harus selalu melakukan pelatihan
kepada karyawannya. Inovasi sangat penting. Jika karyawan tidak mampu untuk inovatif,
maka ia harus dilatih untuk inovatif. Selain market driven, Frisian Flag juga fokus kepada
training driven. Para karyawan diberi edukasi yang lebih baik dan diberi kesempatan untuk
mengambil keputusan. "Dulu, keputusan hanya dilakukan para atasan saja. Sekarang, atasan
justru harus meng-empower karyawan untuk kreatif. Itu perubahan budaya dan bukan suatu
hal yang mudah," ia kembali menjelaskan.
Pengembangan karir karyawan juga dibenahi. Menurutnya, seorang karyawan yang di-
training terus-menerus, tapi tidak jelas karirnya, maka karyawan tersebut tidak akan
termotivasi. "Setiap orang punya aspirasi dan sebagian besar aspirasi seseorang adalah
peningkatan karir. Mereka juga ingin maju dan punya tanggung jawab yang lebih besar,"
tukasnya. Kalau karyawan tidak punya kompetensi yang cukup dan training yangbaik, maka
dia tidak akan menerima posisi yang baik aan juga tidak akan termotivasi.
Dalam perubahan, komunikasi menjadi hal penting. Pertama, Frisian Flag menerapkan
sasaran terlebih dulu. Kemudian pihak manajemen melihat, apa yang dimiliki Frisian Flag,
kemudian mengkomunikasikan kepada seluruh karyawan. Untuk mencapai sasaran, ia
mengaku akan menghadapi kendala, termasuk gap. "Biasanya, kalau seseorang punya gap
atau kelemahan, orang tidak akan suka. Itu normal," senyumnya mengembang saat
memaparkan hal ini. Karena itu, pihak manajemen harus mampu mengkomunikasikan gap
tersebut sehingga bisa berkurang.
Setelah tahu gap-nya, manajemen kemudian memberikan fasilitas untuk menutupi gap
tersebut yaitu dengan menerapkan sistem yang memakan waktu bertahun-tahun. Hendro
mengaku, Frisian Flag dalam membangun sistem pengembangan SDM butuh waktu lima
tahun. Sedangkan untuk memahami sistem tersebut butuh komunikasi berkelanjutan.
"Perubahan dari production driven ke marketing driven butuh waktu yang lama." Langkah
awal, perubahan di sistem HR, mulai dari training, career path, pemahaman terhadap
pengembangan karir, dan menerapkan pengembangan secara nyata. "Jika dari sisi SDM
sudah baik," lanjutnya lagi, "maka segala hal yang menyangkut kebutuhan bisnis itu sendiri,
akan bisa dipahami oleh semua karyawan."
"Bisnis kami kan tidak hanya urusan para atasan saja. Pengangkat barang pun juga
berurusan dengan bisnis ini," tegasnya. Ia mencontohkan, di masa lalu pernah terjadi para
pengangkut barang dalam melakukan pekerjaannya seringkali tidak hati-hati. Mereka
beranggapan, para konsumen dulu tidak terlalu peduli terhadap kondisi produk. Mereka lupa
bahwa ada satu perubahan di masyarakat dan mereka tidak merasakan hal itu karena
mereka bagian dari kehidupan sehari-hari dan rutin selama bertahun-tahun. "Dulu, kalau
kaleng penyok dan kotor atau kardus rusak konsumen masih mau beli. Sekarang, mana mau
konsumen membelinya? Mereka lebih baik pilih produk lain," katanya setengah bertanya.
Perusahaan yang memiliki karyawan sebanyak 1800 orang permanen dan non permanen ini
memulai perubahan tersebut sejak tahun 1996 dan hingga kini masih terus berlangsuog.
Sedangkan perubahan-perubahan kecil semacam logo atau kemasan biasanya dilakukan
setiap 4 tahun. Perubahan lain yang muncul di Frisian Flag adalah komposisi susu. Jika dulu
produk susu belum menggunakan omega 3 dan omega 6, sekarang sudah digunakan. "Itu
penemuan baru dan memberi manfaat pada konsumen maka perusahaan susu akan
menambahkan komposisi itu jika ingin laku."
Saat ini, Hendro mengaku bahwa Frisian Flag masih menjadi market leader di kategori produk
susu. Frisian Flag berusaha mempertahankan hal itu, sesuai dengan core value perusahaan
yaitu menjadi yang terbaik dalam hal industri susu dan memproduksi susu dengan kualitas
terbaik serta ingin memberikan kontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat. "Kami harus
memberikan keuntungan yang 'sangat' kepada perusahaaan. Artinya, kami tidak minta yang
'besar' karena kami punya kode etik dan sesuai dengan visi kami, memberikan keuntungan
yang baik bagi shareholders dan menempatkan di sebagai perusahaan yang inovatif,
mengerti kebutuhan konsumen," jelasnya panjang lebar.
Implementasi BSc
Sering orang bertanya tentang bagaimana mengimplementasikan BSc secara sukses dalam
organisasi? Sebelum menerapkan BSc, sebaiknya organisasi melakukan asesmen tentang
kesiapan organisasi di dalam menerapkan sistem manajemen tersebut. Inilah yang dilakukan
Astra World dan sejumlah perusahaan lainnya. Kebanyakan perusahaan malah tidak
melakukan asesmen, langsung saja menjalankan BSc. Asesmen tersebut dilakukan terhadap
sejauh mana organisasi menjalankan 5 prinsip Organisasi Fokus Pada Strategi (the Strategy-
Focused Organization/SFO), yang dikupas oleh Norton dan Kaplan dalam buku keduanya.
Prinsip pertama, menjabarkan strategi ke dalam aspek operasional. Prinsip kedua,
menyelaraskan organisasi dengan strategi. Prinsip ketiga, membuat strategi menjadi
pekerjaan setiap orang setiap hari. Prinsip keempat, menjadikan strategi sebagai proses
tanpa henti. Prinsip kelima, memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan eksekutif.
Sebagai sebuah sistem manajemen, implementasi BSc benar-benar berhasil jika menjadi alat
manajemen utama bagi pejabat organisasi, khususnya CEO. Kaplan dan Norton, maupun
para eksekutif yang berbagi pengalaman tentang implementasi BSc di organisasi mereka,
berulang-ulang mengatakan satu-satunya kondisi paling penting untuk keberhasilan
implementasi BSc adalah komitmen dan keterlibatan aktif dari tim
eksekutif. Hal ini sejalan dengan prinsip kelima dari SFO yang menegaskan pentingnya faktor
kepemimpinan eksekutif dalam mendorong perubahan.
Suwardi Luis mengukur komitmen pemilik, CEO atau eksekutif sebuah perusahaan dengan
sejauh mana yang bersangkutan meluangkan waktunya untuk mengikuti workshop yang dia
adakan. “Waktu mau menerapkan BSc di Dexa Medica, Ciputra Group, Lippo Bank atau Bl,
pemilik dan para eksekutifnya mengikuti workshop saya beberapa jam hingga 2 hari. Kalau
mereka setengah hari saja tidak punya waktu, bagaimana bisa mengimplementasinya
dengan sukses,” tanyanya serius.
Untuk mengimplementasikan BSc perlu dibentuk tim khusus BSc yang akan mendorong
proses implementasi BSc di seluruh organisasi sekaligus sebagai agen perubahan. Tim ini
lazimnya terdiri dari anggota lintas fungsi (SDM, keuangan, pemasaran, teknologi informasi/
Tl, dan sebagainya).
Pada sejumlah organisasi, bahkan diangkat Manajer BSc penuh seperti yang terjadi di
perusahaan konsultan terkemuka Booz Allen Hamilton. Namanya John Monkzewski. Ia dibantu
oleh 3 karyawan penuh lainnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Adira Finance, yang
menunjuk Falk Archibald Kemur (Dicky) sebagai Manajer BSc yang bertanggung jawab
langsung kepada CEO. la dibantu oleh 2-3 staf. Selain bertugas mendorong implementasi BSc
di seluruh organisasi dengan serangkaian program perubahan, ia juga menyiapkan laporan
hasil pemantauan kinerja secara reguler kepada seluruh kepala divisi maupun CEO, lengkap
dengan hasil kajiannya.
Upaya melibatkan konsultan dalam implementasi BSc harus dilakukan secara hati-hati.
Konsultan berperan penting dalam program BSc, akan tetapi James Creelman dan Naresh
mengingatkan perlu adanya kejelasan tanggung jawab dari konsultan, “Konsultan bukanlah
pemilik program, dan juga tidak menyusun KPI,” ungkap mereka. Tugas utama konsultan
adalah meyakinkan manajemen puncak terhadap perlunya BSc, memfasilitasi penyusunan
visi, misi, strategi, dan KPI, serta melakukan transfer pengetahuan kepada pihak perusahaan.
“Hati-hati dengan konsultan yang melihat KPI sebagai sebuah latihan pengukuran karena
bisa berdampak serius terhadap implementasi program BSc,” kata Naresh.
Dalam menjalankan BSc, proses otomasi menjadi bagian yang cukup penting, kendatipun
implementasi HSc bukanlah sebuah proyek TI. Dewasa ini cukup banyak software BSc yang
telah disertifikasi oleh BSCol. Software yang paling sederhana adalah program Excel dan
PowerPoint. Kemampuannya jelas terbatas. Software yang banyak dipakai di kawasan ini
adalah PB views (Canada) maupun QPR (Finlandia). “PB views merupakan market leader di
dunia, termasuk di Indonesia dan Singapura,” tegas Andrew Lim, Direktur BSc Solutions PL,
Singapura, kepada Human Capital.
Di banyak negara, seperti Singapura dan Malaysia, BSc diterapkan pula secara meluas di
organisasi milik pemerintah, seperti Kementerian Hukum, Informasi, bahkan Pengadilan.
Implementasinya tentu lebih menarik karena sasaran strategik organisasi tidak berupa
kinerja finansial dan cenderung bersifat kualitatif. Di Indonesia, BI adalah satu-satunya
organisasi publik yang sudah menerapkan BSc sejalan dengan transformasi organisasi BI.
Siapa menyusul?
Inisiatif Ganda Adira Finance
No. 16 - Juli 2005
PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk. (Adira Finance) menerapkan Balanced Scorecard (BSc)
dibantu dengan inisiatif TQM (Total Quality Management). Tujuannya untuk mendorong
proses inovasi dan peningkatan terus menerus. Hasilnya luar biasa.
Merasa bahwa visi dan misi perusahaan perlu dijabarkan ke dalam strategi perusahaan
hingga level terendah I (individu), manajemen Adira Finance memutuskan untuk merancang
implementasi BSc bulan Agustus 2002. Setelah melalui persiapan selama 6 bulan, bulan
Februari 2003 Strategy Map Adira pun disahkan. Persiapan itu dipergunakan untuk
mempersiapkan KPI (Key Performance Indicator) dari level korporat, divisi, area, cabang,
hingga individu. Proses ini pada awalnya dibantu konsultan OTI. Secara korporat, Adira
memiliki 21 inisiatif strategik dengan 42 KPI. Sementara jumlah KPI untuk individu umumnya
berkisar antara 3-5 buah.
Sadar bahwa keberhasilan implementasi BSc sangat tergantung dengan keberadaan orang
yang khusus menanganinya, manajemen Adira Finance kemudian membentuk divisi khusus
dengan nama Corporate President Office Division. Kepala divisinya dipercayakan kepada Falk
Archibald Kemur (akrab dipanggil Dicky) dengan dibantu 2-3 staf. Divisi ini, menurut Dicky,
langsung berada di bawah kendali CEO Adira Finance.
Yang menarik, meski hanya memiliki sedikit orang, implementasi BSc di Adira berlangsung
dengan cepat. Buktinya, KPI per individu pun berhasil mereka buat dan telah diterapkan di
lingkungan perusahaan. Keberhasilan ini sedikit banyak tercapai berkat strategi jitu Adira
dalam melakukan sosialisasi perubahan dan mengimplementasikan BSc. Sosialisasi itu
dilakukan dengan menggelar seminar BSc di lingkungan Area Manager yang diikuti pula oleh
seluruh Kepala Cabang. Awalnya, tutur Dicky, ada resistensi dari sejumlah pimpinan di
berbagai level untuk mengevaluasi KPI individu. Alasannya, menambah kerepotan pekerjaan.
Tetapi, Dicky berhasil meyakinkan mereka bahwa sistem ini sangat membantu untuk
memantau pekerjaan dan kompetensi bawahan sehingga bisa melakukan perbaikan segera.
Perusahaan kemudian membuat formulir review untuk memudahkan pimpinan
melakukannya. Hasil review itu disampaikan Dicky kepada CEO maupun Kepala Divisi untuk
ditindaklanjuti.
Tidak seperti yang umum dilakukan perusahaan, Adira menerapkan KPI dimulai dari level
paling bawah (cabang dan individu karyawannya). “Karena lebih mudah untuk
menerapkannya,” kilah Dicky, yang sebelumnya menjabat Kepala Divisi Branch Operation
Support tersebut. KPI individu jika dikumpulkan akan menjadi KPI Kepala Cabang. Tahap
berikutnya adalah level Area Manager. KPI seluruh cabang yang berada di setiap Area
Manager menjadi KPI untuk Kepala Divisi. Begitu seterusnya hingga ke level korporat (Head
Office). Menurut Dicky, implementasi KPI di kantor pusat baru diterapkan mulai tahun ini.
Sebab, fungsi kantor pusat lebih banyak pada aspek administrasi, sementara pendapatan
ditangani oleh kantor cabang.
Agar implementasi berjalan, Divisi ini dibantu oleh seorang pejabat di setiap level yang diberi
nama PDCA (Plan, Do, Check, Action) – semacam – Champion atau Change Agent. Mereka
bertugas memfasiiitasi proses implementasi BSc di level masing-masing. Yang menarik, Divisi
ini berhasil menyusun KPI untuk setiap karyawan dari aspek kualitatif sekalipun. “Semua
aspek bisa dibuatkan ukuran kuantitatifnya, kendati dasar pekerjaannya adalah kualitatif,”
ujarnya.
Waktu meluncurkan program BSc 2003 telah disepakati dengan direksi untuk menilai
pencapaian KPI sebagai berikut: 95% djanggap berhasil (wama hijau), 90%-95% dianggap
belum berhasil sepenuhnya (warna kuning), 80-90% baru berhasil sebagian (warna coklat),
dan < 80% dinilai belum berhasil (warna merah). Proses evaluasi untuk level divisi ke bawah
hingga saat ini cukup menggunakan software Excel Spreadsheet. Sedangkan di level korporat
(nasional) menggunakan software PB views. Kalau dipakai untuk sampai ke cabang biayanya
jadi mahal sekali karena harganya ditetapkan berdasarkan jumlah pengguna. Sebagai
solusinya, menurut Dicky, hasil evaluasi PB views itu dikirim hingga ke cabang-cabang
melalui intranet sehingga tidak bisa dicetak. “Yang penting ‘kan bagi mereka adalah hasil
evaluasinya, dan aman dari pesaing.”
�
Inisiatif BSc dilengkapi pula dengan pelaksanaan TQM yang bertujuan agar proses
peningkatan dalam rangka BSc terus berjalan. Program ini telah dimulai tahun 2004 yang
juga dimaksudkan untuk mempercepat perubahan dalam rangka Journey to Excellence yang
menjadi motto utama bisnis Adira. Sejumlah 450 GKM (Gugus Kendali Mutu) garda depan
(unit seksi cabang) berhasil terbentuk tahun 2004. Mereka di-training selama 2 minggu, dan
setelah itu langsung membuat proyek kegiatan peningkatan dan inovasi selama 3 bulan.
Hasil kegiatan tersebut dilombakan. Tahun lalu, temanya adalah QCC (Quality Control Circle)
Olympic sejalan dengan serangkaian program kegiatan bertemakan Adira Olympic 200R:
"Winning Each Other’s Heart".
TQM yang dilaksanakan setahun sekali ini diadopsi dari Grup Astra yang dibawa oleh pendiri
utama Adira T. P. Rachmat. Hanya saja, TQM Astra lebih diterapkan di bidang manufaktur,
sedangkan Adira menangani bidang servis, yakni merubah orang dalam bekerja.
"Tanpa TQM, BSc akan berjalan lambat,” tegas Dicky. Tahun ini, tema TQM adalah QCP
(Quality Control Program) dan SS (Suggestion System) yang ditujukan untuk level wilayah
(Area Manager). Setiap usulan inovasi yang masuk dan GKM-nya juara maka si pengusul
mendapatkan 15% dari total hadiah yang diraih GKM itu. Tahun 2006, TQM diterapkan untuk
level lebih tinggi (Kepala Divisi) dengan tema Quantum Leap Project.
Hasil serangkaian program perubahan tersebut berbuah manis. Jumlah karyawan Adira
meningkat hampir dua kali lipat (menjadi 10.000 orang lebih) dibandingkan 2003. Penjualan
2004 meningkat 55% menjadi Rp 1,013 triliun dan laba naik 93,97% menjadi Rp 301,3 miliar.
“Tahun 2004 benar-benar tahun luar biasa buat Adira,” tegas CEO Adira Finance Stanley Setia
Atmadja. Bank Danamon pun kepincut membeli 75% saham Adira dengan nilai sekitar Rp 1
triliun cukup dengan mengaudit aspek manajemen SDM. “Ini bukti bahwa SDM Adira sangat
dihargai pasar,” tambah Dicky lagi.
AAM, Melaju dengan BSc
No. 16 - Juli 2005
PT Anugrah Argon Medica (AAM) menjadi pionir dan contoh sukses di lingkungan Grup Dexa
Medica (DXG) dalam menerapkan Balanced Scorecard (BSc).
AAM yang bergerak dalam bidang distribusi obat-obatan dan alat kesehatan, merupakan
salah satu anak perusahaan DXG. AAM dalam beberapa tahun terakhir berkembang sangat
pesat, bahkan sejak akhir tahun 2003 sampai sekarang telah berhasil menjadi pemimpin
pasar distributor produk farmasi etikal di Indonesia dengan menguasai market share 15%.
Agresivitas dan tingkat pertumbuhan yang pesat ini didukung oleh SDM yang kompeten serta
sistem kerja yang baik, di antaranya adalah implementasi konsep BSc. Budaya inovasi dan
organisasi yang terus belajar ini tercermin dari sikap dan keyakinan Managing Director AAM,
Erwin Tenggono, yang selalu haus dengan konsep-konsep dan tantangan baru.
“Di sini, konsep-konsep baru diadopsi dengan cepat,” aku Epivana, HR Manager AAM. Setiap
ada hal baru, selain dengan membaca buku, biasanya ada saja wakil AAM yang dikirim ke
seminar, training, workshop, dan sebagainya. Setelah kembali ke perusahaan, mereka yang
dikirim itu diminta menularkan pengetahuan mereka kepada yang lain dan perusahaan
mencoba menerapkannya.
Salah satu konsep yang pernah menarik perhatian Erwin adalah BSc. Sekitar tahun 1999,
perusahaan ini mulai menjajaki implementasi BSc. Saat itu AAM mengadopsi konsep BSc
untuk menyusun KPI (Key Performance Indicator) di level Operasional Cabang dengan
memperkenalkan sistem pengukuran kinerja berbasis KPI dengan 5 perspektif utama:
Financial, Customer, Principal, Internal Process, dan Learning & Growth. AAM menambahkan
satu perspektif baru yaitu Principal karena karakteristik bisnis perusahaan distribusi
menuntut sisi Principal (supplier) juga harus dikelola sebaik mengelola sisi customer atau
pelanggan. Sebab, AAM menganggap Principal sebagai mitra bisnis sama seperti pelanggan.
Konsep ini terus dikembangkan, hingga di tahun 2001-2002, BSc mulai dibawa ke level
kantor pusat, diadopsi sebagai kerangka untuk menyusun strategi perusahaan, departemen
dan individu (para manajer). Konsep ini direspon sangat positif oleh para manajer kantor
pusat karena mendorong bekerja berdasarkan proses horisontal, tidak hanya berorientasi ke
hasil saja tapi juga proses; tidak hanya jangka pendek saja tapi juga jangka panjang. Hanya
saja pada saat itu, Scorecard individu itu belum dikaitkan dengan sistem reward dari
perusahaan, karena memang target utamanya adalah “Lebih untuk mengubah paradigma
karyawan tentang kinerja organisasi, bahwa ada hubungan sebab-akibat dalam mencapai
suatu sasaran kerja,” tambahnya.
Saat bergabung dengan AAM 2002, Epivana diharuskan belajar banyak tentang BSc karena
perusahaan ingin melangkah lebih maju lagi. Erwin berharap dalam waktu dekat, BSc harus
dikaitkan dengan sistem reward dari perusahaan. AAM sempat beberapa kali mengundang
konsultan BSc dan HR untuk belajar lebih jauh mengenai implementasi BSc dan kaitannya
dengan sistem reward.
Awal 2003, AAM mengadakan workshop internal BSc yang dibawakan sendiri oleh MD Erwin
Tenggono dan pesertanya terdiri dari seluruh manajer. AAM juga mengundang pembicara dari
perusahaan lain yang telah menjalankan program BSc untuk berbagi pengalaman. Pada
kesempatan yang sama, seluruh peserta kemudian mendiskusikan secara intensif tentang
Company Scorecard berikut strategic objective dan KPI-nya. Usai workshop, Company
Scorecard itu diturunkan menjadi Department Scorecard dan Individual Scorecard.
Tahun 2003 itu juga, perusahaan dengan 1.400 karyawan ini mulai uji coba mengaitkan
sistem reward dengan pencapaian scorecard baik itu di tingkat perusahaan, departemen
sampai individu (manajer). Di pertengahan dan penghujung tahun dilakukan evaluasi kinerja
secara menyeluruh sehingga didapatkan besaran insentif / bonus bagi setiap manajer. Hanya
saja, hasilnya tidak terlalu memuaskan perusahaan. Beberapa manajer mendapatkan bonus
lumayan, padahal kinerja dirinya maupun perusahaan biasa-biasa saja. Perusahaan menilai
ini adalah proses belajar, scorecard dan KPI serta sistem reward yang dibuat saat itu
dianggap belum cukup tajam dan perlu terus disempurnakan di tahun berikutnya.
Penilaian dan evaluasi terhadap pencapaian Company Scorecard dan Department Scorecard
ini dilakukan secara rutin kuartalan dan terbuka, di mana seluruh manajer dikumpulkan dan
pada saat itu dipresentasikan pencapaian Company Scorecard dan Department Scorecard.
Informasi ini membuat Kepala Departmen dan para Manajer secara langsung mengetahui
area-area perbaikan yang perlu dilakukan. Penyampaian secara terbuka ini juga membuat
setiap manajer bisa mengetahui perkiraan besaran insentif / bonus yang bisa diperoleh di
akhir tahun karena kinerja yang diciptakannya. Di tahun 2004, evaluasi atas perolehan
Company Scorecard dan Department Scorecard konsisten dilakukan secara rutin setiap
bulan.
Bagian tersulit yang dialami adalah saat membentuk KPI di perspektif Learning�& Growth.
Banyak program pengembangan yang dilakukan perusahaan dalam perspektif Learning &
Growth.
Kebetulan sejak tahun 2000, perusahaan sudah menerapkan manajemen berbasis
kompetensi (CBHRM), khususnya untuk bidang training dan pengembangan. Training
diberikan berdasarkan analisis gap kompetensi. AAM mencoba mengaitkan konsep CBHRH ini
dengan BSc untuk perspektif Learning & Growth-nya. Kegiatan asesmen kompetensi
membutuhkan effort yang besar dan komitmen dari semua pihak, maka dengan dibantu oleh
para manajer dan kepala cabang, tim HR melakukan asesmen terhadap ratusan karyawan
dengan metode targeted selection. Hasil asesmen ini kemudian dikomunikasikan kepada
atasan bagian yang terkait. Tahun berikutnya HR kembali mengkomunikasikan kegiatan dan
hasil pengisian gap kompetensi yang telah dilakukan. Namun hasil pengukuran akhirnya
tetap tidak mudah, sehingga AAM tetap mengalami kesulitan untuk mengukur kinerja di
perspektif Learning & Growth-nya.
Hingga pada tahun 2003 Kaplan & Norton mengeluarkan buku terbarunya tentang Strategy
Map, baru AAM berhasil mendapatkan kerangka yang lebih sempurna untuk mengukur
kinerja Learning & Growth-nya melalui 3 KPI utama: organization readiness, human capital
readiness dan information system readiness. Di sini AAM berhasil menggabungkan konsep
CBHRM dengan BSc, karena human capital readiness harus diukur dengan konsep CBHRM
dan AAM telah cukup lama mengimplementasikan itu.
Keberhasilan AAM dalam Implementasi BSc, diakui oleh top manajemen DXG telah
mendorong kemajuan bisnis yang pesat di AAM. Oleh sebab itu sejak tahun 2004 manajemen
DXG membawa kesuksesan implementasi BSc di AAM ke anak perusahaan DXG lainnya
seperti PT Dexa Medica dan PT Ferron Par Pharmaceutical. Tahap berikutnya adalah DXG
sedang mengintegrasikan BSc di semua anak perusahaannya melalui bantuan sistem
informasi yang terintegrasi agar di level Group pun bisa mengakses BSc semua anak
perusahaannya.
Pelajaran yang didapat adalah implementasi BSc bukanlah hanya sebuah proyek
implementasi sistem. Implementasi BSc adalah suatu perubahan, baik perubahan paradigma
kerja, perubahan proses dan sistem kerja. Sistem hanyalah sebuah tools saja, berhasil atau
tidak sangat tergantung kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya. Komitmen,
kepemimpinan, pembelajaran, dan konsistensi adalah kunci keberhasilan implementasi BSc
di AAM.
PT Capsugel Indonesia, Percontohan dari Indonesia
No. 16 - Juli 2005
Anak perusahaan farmasi dunia Pfizer Inc. ini mulai menerapkan Balanced Scorecard (BSc)
tahun 2002 dan merupakan pionir penerapan BSc di seluruh divisi Capsugel di dunia.
Produsen kapsul terbesar di Indonesia itu menikmati kinerja bisnis yang membanggakan
tahun 2004.
Capsugel merupakan divisi dari raksasa farmasi Pfizer yang memproduksi kapsul. Perusahaan
yang berkantor pusat di Morris Plain, Amerika (dekat New York) ini memiliki sekitar 8 pabrik di
seluruh dunia. Di Asia, pabrik Capsugel ada di Bogor (Indonesia), Ayutthaya (Thailand),
Suzhou (Cina), dan Sagamihara (jepang).
PT Capsugel Indonesia berdiri tahun 1996 setelah Pfizer mengakuisisi satu dari dua produsen
kapsul di Indonesia. Kapsul produksi perusahaan terbuat dari gelatin tulang sapi yang sampai
saat ini masih diimpor. Perusahaan memiliki 7 lini mesin produksi kapsul padat (hard capsule)
dan 10 mesin pencetakan kapsul dengan kapasitas total 4,6 miliar kapsul per tahun.
Kapasitas produksi tersebut dimanfaatkan secara penuh dengan operasi yang berjalan 3 shift
setiap hari dan 7 hari dalam seminggu.
Kapsul tersebut dipasarkan kepada perusahaan farmasi, produsen suplemen diet, dan
perusahaan jamu. Tahun 2005 perusahaan memasarkan 2,438 miliar kapsul untuk pasar
domestik dan 1,774 miliar kapsul untuk pasar ekspor. Secara umum, menurut GM/CPO
Capsugel Indonesia Eddy Susanto Gunawan, porsi pasar domestik dan ekspor hampir
seimbang. Dewasa ini, Capsugel Indonesia menguasai hampir 70% pangsa pasar kapsul di
Indonesia.
Keinginan Capsugel Indonesia untuk menerapkan BSc berawal dari keikutsertaan GM/CEO
dan sejumlah personil kunci perusahaan dalam workshop yang diselenggarakan OTI, salah
satu konsultan BSc terkemuka di Asia. Usai workshop, ujar Finance & Accounting Manager
Bernard Hananto, ide implementasi itu bergulir. Rencana implementasi BSC telah
disampaikan ke kantor regional Capsugel, dan mereka mendukung penuh serta meminta
Capsugel Indonesia sebagai proyek percontohan. Capsugel sendiri belum menerapkan sistem
BSc. Dibantu OTI, implementasi mulai dilakukan pertengahan 2002. Implementasinya
dilakukan oleh sebuah Komite BSc yang langsung dikoordinasikan GM/CEO Capsugel
Indonesia, dalam hal ini Eddy Susanto Gunawan yang menggantikan GM/CEO sebelumnya
pada awal 2002. Komite ini beranggotakan berbagai perwakilan dari setiap bagian
perusahaan.
Training BSc dilaksanakan dengan peserta mulai dari direksi hingga level engineer. Langkah
pertama adalah menyusun Strategic Map perusahaan. Kendati bagian dari perusahaan
global, perusahaan dimungkinkan menyusun Strategic Map tersendiri dengan mengacu pada
strategi bisnis Capsugel global. Berikutnya disusun KPI (Key Performance Indicator) hingga
level bagian (departemen). Karena KPI disusun bersama-sama dengan konsultan dan hal ini
sesuatu yang baru di perusahaan, maka KPI pada tahun 2002 itu direvisi tahun 2003 dan
seterusnya. Sebab, banyak KPI yang diajukan tidak begitu relevan, sulit dicapai, dan sulit
pula diukur. Baru tahun 2004, KPI Capsugel Indonesia tersusun secara mantap. Jumlahnya
mencapai ratusan. “Mungkin karena kami sudah semakin pintar,” ungkap Eddy.
Bila pada sebagian perusahaan KPI tersebut masih diturunkan ke level individu, Capsugel
Indonesia merasa hal itu tidak diperlukan. Sebab utamanya, lanjut Eddy, semua pekerjaan di
sini dijalankan secara tim.
Dalam menyusun kriteria KPI, ada beberapa patokan yang harus dipenuhi. Misalnya, KPI
tersebut haruslah kritikal untuk mencapai tujuan dan strategi perusahaan, cukup bisa diukur
secara adil, fokus pada layanan, kualitas, produktivitas, dan efisiensi, mengandung unsur
tantangan, dan bukanlah upaya perseorangan. Atas dasar itu, tahun 2005 ini perusahaan
menetapkan KPI sebagai berikut: jumlah stok yang tidak bergerak (sleeping stock), ketepatan
waktu pengiriman, ketepatan waktu layanan, total komplain, waktu dalam mengatasi
komplain, barang cacat (disebut foreign), total kapsul yang dihasilkan, ratio penggunaan
gelatin, penghematan pemakaian energi dan air, dan penghematan lainnya.
KPI di atas menjadi dasar bagi golongan 4-7 dari bagian produksi (kecuali penjualan dan
pemasaran) untuk penetapan insentif bonus yang mulai diberlakukan tahun 2005.
Sedangkan insentif KPI untuk bagian penjualan dan pemasaran ditetapkan tersendiri. Meski
demikian, Eddy dan Bernard menukaskan bahwa pada dasarnya kedua kelompok ini saling
terkait satu sama lain. “Tidak mungkin diberikan insentif kepada bagian produksi bila
ternyata penjualan malah menurun,” ungkap mereka.
Penerapan insentif berdasarkan KPI merupakan aplikasi cukup maju dalam kerangka BSc.
Dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan sumberdaya manusia (SDM), insentif ini
sangat bermanfaat dalam memacu peningkatan kinerja seluruh karyawan. Mulai 2004,
Capsugel Indonesia telah melakukan survei kepada seluruh karyawannya – yang berjumlah
128 orang ditambah tenaga tidak tetap menjadi 150-an orang – dengan menanyakan apakah
atasan mereka sudah melakukan pengembangan terhadap kompetensi bawahan. Hasil dari
survei yang dilakukan khusus terhadap pejabat level supervisor ke atas ini menjadi dasar
dalam membuat Development Plan SDM.
Perusahaan telah menyusun kompetensi bagi seluruh karyawan dan melakukan analisis
kebutuhan training berdasarkan gap kompetensi yang ada. Sejak tahun 2005, Capsugel
Indonesia telah berhasil menyusun matriks training yang menjadi panduan bagi setiap orang.
Matriks training ini disusun oleh sebuah tim manajemen senior dari berbagai fungsi.
Merekalah yang menyusun materi dan agenda training, baik yang bersifat hard
competencies maupun soft competencies. Keberadaan matriks itu jelas sangat bermanfaat,
karena selama ini program training dilakukan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Setiap 6
bulan matriks tersebut diperbarui sesuai dengan perkembangan lingkungan.
Matriks training menjelaskan tentang berbagai modul training yang disediakan perusahaan
atau harus diambil karyawan. Keseluruhan modul training mencapai hampir 200 buah. Setiap
tahunnya, menurut Bernard, Capsugel Indonesia mengeluarkan biaya sekitar 2% dari total
penjualan perusahaan. Rata-rata setiap karyawan mengikuti minimum 4 program training
setiap tahunnya. Hanya saja, ia menambahkan, evaluasi program training tidak perlu sampai
pada tahap pengukuran ROI (Return on Investment).
Pengembangan SDM Capsugel dilakukan dengan menyelaraskannya dengan strategi
perusahaan. Setiap tahun strategi perusahaan selalu diperbarui, kendati perubahan strategi
tidak akan selalu besar. Strategi perusahaan disusun berdasarkan visi untuk menjadi
produsen kapsul terbaik dalam mutu maupun biaya. Tahun 2005 ini, Capsugel Indonesia
memiliki 6 strategi bisnis, yang pada dasarnya fokus dalam mengembangkan pasar kapsul
(padat maupun cair) dan meningkatkan kualitas layanan kepada pelanggan. Salah satu
strategi bisnis tersebut juga meningkatkan pengembangan SDM dan manajemen karyawan
potensial (talent management).
Lantas sejauh mana implementasi BSc berpengaruh kepada kinerja perusahaan? Setelah
menerapkan BSc lebih sempurna 2004, kinerja perusahaan 2004 meningkat sangat
menggembirakan di berbagai bidang. Penjualan tumbuh sekitar 20% dan kembali
ke level pra krisis ekonomi, profitabilitas meningkat, dan pangsa pasar juga naik. Kinerja
2004 terbaik dalam sejarah perusahaan maupun di kawasan Asia. Tak hanya itu. Survei
Engagement Index yang dilaksanakan Pfizer terhadap SDM menempatkan Capsugel
Indonesia di posisi teratas di kawasan Asia.
Eddy berharap kinerja tersebut terus berhasil ditingkatkan dalam jangka lama. "Manfaat
utama dari implementasi BSc adalah untuk jangka lebih panjang. Cara berpikir kita menjadi
benar-benar strategis. Selain memikirkan strategi setiap tahun, kita juga harus punya
pemikiran tentang perusahaan 3-5 tahun ke depan,” ungkapnya. Berkat bantuan software
BSc PB views yang diterapkan sejak awal, Capsugel Indonesia dengan mudah setiap saat
memonitor pencapaian target berdasarkan KPI yang ada. "Kami tinggal fokus menangani
indikator yang masih berwarna merah,” Eddy menambahkan.
Terobosan Besar Katsushiro Indonesia
No. 16 - Juli 2005
Tak banyak orang yang tahu perusahaan yang satu ini. Tetapi, bagi pelaku bisnis alat berat
kelas dunia macam Komatsu, Caterpillar, Sakai, dan Hitachi, Katsushiro adalah mitra bisnis
penting. PT Katsushiro Indonesia merupakan produsen komponen peralatan berat seperti
excavator, dump truck, dozer, wheel loader, dan sejenisnya. Perusahaan beroperasi tahun
1996 dengan modal disetor US,5 juta. Katsushiro sendiri adalah induk dari anak perusahaan
Katsushiro di sejumlah negara. Sebelumnya, pemegang saham Katsushiro Indonesia ada
beberapa, termasuk Komatsu Ltd. dan Mitsubishi Steel Co. Saham pemegang saham lainnya
itu kemudian dibeli oleh Katsushiro, sehingga Katsushiro menguasai hampir 100% saham
perusahaan.
Perusahaan memproduksi 4.500 ton/bulan dengan total ekspor mencapai 48%, terutama
memasok kebutuhan Komatsu. Sebagai pemain tunggal di pasar domestik, Katsushiro
Indonesia lokal karena belum semua komponen dibuat di pasar lokal. Sempat mencatat rugi
kurs tahun 1998, perusahaan kini berhasil bangkit dengan meraih penjualan sekitar Rp 345
miliar tahun 2004 – melonjak hampir dua kali lipat. Caterpillar – pesaing utama Komatsu –
kini juga sedang menjajaki kemungkinan menjadikan Katsushiro Indonesia sebagai vendor
global-nya.
Sebagai perusahaan keluarga dari sono-nya (Jepang, red), pemilik Katsushiro dikenal sangat
konservatif dan tidak banyak menerapkan sistem manajemen modern. Sadar persaingan
begitu kompetitif, Budi Setyo Utomo (Direktur perusahaan waktu itu dan kini menjabat Wakil
Presiden Direktur) mengusulkan perusahaan untuk mengambil sertikasi ISO 9002. Sempat
ditentang petinggi Katsushiro, melalui perjuangan yang gigih dan butuh waktu, manajemen
akhirnya sepakat. Katsushiro Indonesia memperoleh sertifikat IS0 9002 tahun 2000. Inilah
pertama kali perusahaan Katsushiro secara global mengambil program I SO 9002.
“Dengan adanya ISO 9002, kami berhasil masuk ke mana-mana,” tutur Setyo Budi Utomo –
dipanggil Bustom – yang lama berkarir di Grup Astra itu. Penjualan pun meningkat.
Pemegang saham dari Jepang pun senang sehingga memutuskan untuk menerapkan ISO
9002 plus ISO 14001 untuk kantor pusat di Jepang. Katsushiro Indonesia baru berencana
menerapkan ISO 14001.
Peraih gelar M. Agr dan MM yang juga menyenangi ilmu manajemen ini belum puas. Setelah
meraih ISO penjualan terus naik, Bustom – begitu ia sering dipanggil – diberi kepercayaan
lebih besar mengelola perusahaan. Sebagai orang yang kenyang dengan teori dan praktik
manajemen, dia melihat perusahaannya belum memiliki visi, misi, dan strategi bisnis yang
mantap. Juga ada gap yang lebar antara orang Jepang dengan orang Indonesia maupun
antara atasan dan bawahan. Maklum, mayoritas dari sekitar 500-an karyawan saat ini hanya
lulus SLTA. Sempat mengikuti seminar tentang BSc tahun 2000, Bustom yang tidak puas
mengundang OTI untuk menjadi mitra melakukan perubahan. Dari penjelasan konsultan, ia
merasa yakin sepenuhnya bahwa inilah sistem yang selama ini dicarinya.
Perusahaan kemudian melakukan training BSc untuk memberi pemahaman bagi karyawan
sekaligus mendorong karyawan untuk berpikir dalam level lebih strategik. Itu terjadi mulai
Juni 2001. Sebagai pimpinan senior, Bustom kemudian menyusun visi, misi, dan strategi
perusahaan – yang selama ini nyaris tidak ada.
“Kebayang nggak, saya harus membuat visi dan misi perusahaan dari perusahaan milik
Jepang. Karena menunggu dari mereka jelas tidak mungkin,” ungkapnya sambil tersenyum.
Lahirlah visi Katsushiro: menjadi perusahaan penghasil produk dari pelat baja terbesar di
Indonesia (dan kini diubah menjadi Asia) dengan mengoperasikan mesin dan peralatan
berteknologi tinggi dan pelayanan bertaraf internasional. Visi itu kemudian dijabarkan ke
dalam misi dan strategi perusahaan.
Tersedianya dukungan bahan baku pelat baja dari Mitsubishi menjadi modal sangat penting
bagi Katsushiro Indonesia untuk mewujudkan visi tersebut. Mengandalkan pasokan dari
produsen lokal macam Krakatau Steel dan Gunung Medan dinilai tidak mungkin. Perusahaan
pun melakukan proses penyelarasan dan pengembangan SDM dengan menata jajaran
manajer sesuai konsep Meyer-Brigs dan membangun sistem informasi SDM (HRIS). Berkat
BSc, perusahaan lebih mudah mendapatkan informasi kinerja karena sejak awal mereka
sudah memakai software pb views. “Kami pun lebih mudah membuat prioritas penanganan,”
tutur pria yang juga menjabat Ketua Umum Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi)
tersebut.
KPI yang diterapkan perusahaan masih untuk level korporat, belum sampai ke individu. Di
luar training keahlian, perusahaan berencana melaksanakan training terhadap jajaran bawah
tentang pengetahuan bisnis di luar bidang mereka sendiri. Tujuannya agar karyawan tahu
kaitan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya sehingga selalu bertindak dalam
perspektif korporat. Setiap bulan diadakan upacara yang memaparkan pencapaian kinerja
perusahaan. Upaya tersebut dibarengi dengan proses komputerisasi, baik dengan
menyediakan PC di setiap unit maupun implementasi software ERP (Enterprise Resources
Planning) bernama Prolnt.
Setelah berjalan beberapa tahun, diakui Bustom, kinerja perusahaan terus meningkat.
Mayoritas kinerja perusahaan sudah berwarna hijau, kendati dari sisi customer perspective
masih banyak merahnya. Upaya training untuk memperluas pengetahuan karyawan di atas
dimaksudkan pula untuk memperbaiki kinerja merah itu. “Sebab, kepuasan pelanggan tidak
hanya ditentukan oleh aparat pemasaran,” tuturnya mantap.
Implementasi Balance Scorecard
No. 16 - Juli 2005
Di balik prestasi bisnis Unilever Indonesia yang begitu mengkilap dalam beberapa tahun
terakhir, implementasi konsep Balanced Scorecard (BSc) secara totalitas menjadi salah satu
kuncinya. Key Performance Indicator (KPI) diturunkan hingga level individu. Bagaimana
prosesnya?
Unilever Indonesia merupakan salah satu anak perusahaan raksasa produk konsumen
Unilever yang patut dibanggakan. Secara finansial hingga 2004, Unilever Indonesia berhasil
mempertahankan tingkat pertumbuhan dua digit selama 6 tahun berturut-turut. Angka
penjualan tumbuh sebesar 10,6% menjadi Rp 8,985 triliun; laba usaha tumbuh 14,8%
menjadi Rp 2,039 triliun; laba bersih tumbuh sebesar 13,2% menjadi Rp 1,468 triliun. Dengan
kurs sekitar Rp 9.000 per dolar Amerika, maka Unilever Indonesia bisa dikatakan perusahaan
satu miliar dolar.
Strategi bisnis adalah awal dari seluruh program yang dijalankan Unilever. Hal ini sejalan
dengan prinsip dasar dari sistem Balanced Scorecard (BSc), yang mulai diterapkan Unilever
Indonesia sejak tahun 2000. Implementasi sistem BSc pada mulanya dibantu oleh konsultan.
Sebelum tahun 2000, menurut HR Director Unilever Indonesia Josef Bataona, perusahaan
menerapkan model yang berbeda.
Pada era sebelum tahun 2000, perusahaan memiliki buku rencana bisnis tahunan yang cukup
tebal dan sampulnya dibuat glossy agar kelihatan lebih mewah. Materi buku tersebut tidak
mudah untuk dicerna dan dibaca, di samping tidak praktis. Manajemen kemudian berpikir
mencari pengganti buku berisi strategi itu dalam bentuk yang lebih handy, namun efektif
untuk selalu mengingatkan seluruh pihak tentang komitmen mereka tahun itu. Pemikiran ini
mendapatkan jalan saat perusahaan memutuskan untuk menerapkan sistem BSc. “Setelah
menjalankan beberapa tahun, kami menilai model BSc sangat bagus dalam menunjang
kinerja perusahaan,” tegasnya.
Unilever Indonesia tidak menyebut konsep ini sebagai BSc, melainkan dengan istilah lain:
Balanced Business Strategy (BBS) dan Balanced Business Plan (BBP). BBS dan BBP disusun
atas dasar sistem nilai utama perusahaan, yaitu fokus untuk melayani pelanggan, konsumen,
dan masyarakat. BBS merupakan strategi bisnis dalam periode lebih panjang (3-5 tahun). la
dijabarkan menjadi rencana bisnis tahunan dalam bentuk BBP.
Dari level korporat, BBS dan BBP itu diturunkan ke level divisi, departemen hingga individu.
Muaranya adalah rencana implementasi. Proses penyusunan BBS dan BBP dilakukan secara
seimbang: tidak hanya top-down, tetapi juga bottom-up. Untuk mendapatkan komitmen dan
rasa memiliki karyawan, perusahaan mengundang partisipasi seluruh karyawan untuk
memberikan masukan. Masukan tersebut dibawa ke level yang lebih tinggi, hingga ke level
direksi (Board).
Di level Board, yang terdiri dari seluruh direksi dan 1-2 manajer kunci senior dari masing-
masing divisi, secara intens digodok BBS dan BBP – sebagian inputnya juga berasal dari
bawah. Wujud dari BBS dan BBP itu sesungguhnya cukup sederhana, karena cukup satu
lembar kertas saja. Sebagai rencana tahunan, BBP dibagi dalam 4 kolom, yaitu pemasaran,
operasional, SDM & organisasi, dan keuangan. Penyusunan BBP dimulai dengan menetapkan
rencana bisnis di bidang pemasaran secara bersama-sama. Setelah disepakati, lantas
dibicarakan rencana bisnis dari sisi operasional untuk menunjang pencapaian rencana bisnis
pemasaran tersebut. Untuk memungkinkan pemasaran bertumbuh sesuai rencana bisnis dan
operasional yang mendukung, maka perusahaan mendefinisikan rencana bisnis dari kolom
SDM dan organisasi. Semua aktivitas ini pada akhirnya bermuara pada kolom keuangan.
Di setiap kolom ditetapkan pula KPI-nya. Dalam kolom pemasaran, misalnya, target
pertumbuhannya sangat jelas dalam persen. Di dalam kolom operasional, antara lain, tertera
persen kenaikan level pelayanan. Sementara di kolom SDM dan organisasi, umpamanya
dijelaskan kalau perusahaan membutuhkan kompetensi baru, maka divisi ini menegaskan
kapan harus tersedia. Hasilnya benar-benar hanya satu lembar, paling tidak untuk level
korporat dan divisi, tetapi satu lembar yang sangat penting.
Tapi, jangan dikira strategi bisnis yang serius tersebut ditampilkan dengan kata-kata yang
serius pula. Unilever mencoba menggunakan bahasa yang fun, fancy, dan sejenisnya.
“Jangan sampai bahasa strategi itu terlalu rumit dan berat sehingga susah dipahami,”
ungkap Presiden Direktur Unilever Indonesia Tbk. Maurits Lalisang, suatu kali.
Contohnya, di bidang pemasaran strategi Unilever adalah delight consumer everywhere and
everyday, nurture with tender &� loving care ‘infant' business, dan seterusnya. Di divisi SDM
dan organisasi, temanya empower our people and community. Di sisi lain, setiap tahun
karyawan membuat proyek kegiatan dengan nama yang aneh-aneh. “Setelah ditanya,
ternyata itu nama kampung kelahiran pemimpin kegiatan,” kata Josef sambil tersenyum.
Proses penyusunan BBS dan BBP dibuat dengan memberikan kebebasan kepada level yang
lebih bawah dalam menentukan how, sementara level lebih atas hanya menentukan aspek
what saja. Proses seperti ini, tutur Josef, merangsang karyawan untuk berpikir secara aktif
dan kreatif sekaligus untuk menumbuhkan kepemilikan atas setiap strategi yang telah
diputuskan. Toh pada akhirnya strategi tersebut harus diterapkan secara ekselen.
Karyawan akan berpikir tidak hanya memenuhi individual plan, tetapi juga berpikir dalam
konteks korporat. Kalau bisa membantu menjalankan annual plan level lebih tinggi, maka
mereka bisa berkontribusi untuk rencana divisi maupun korporat. Hal ini menjadikan
kerjasama antar divisi pun berjalan dengan baik. Masing-masing individu dan bagian saling
mengingatkan dan mendukung saat implementasi strategi bisnis.
Unilever Indonesia memonitor pencapaian KPI dengan menggunakan sistem traffic light.
Selain warna merah, ada warna kuning (sebagian tercapai, sebagian belum) dan warna hijau,
yang berarti tercapai. Dalam setiap rapat direksi yang berlangsung setiap bulan, mereka
tinggal melihat wama tersebut yang muncul dalam satu lembar BBS dan BBP. Tidak perlu lagi
bicara angka, karena warna tersebut mencerminkan hal sesungguhnya. Perhatian direksi
difokuskan pada strategi memperbaiki KPI yang masih berwarna merah, sedangkan yang lain
dianggap sudah berjalan. Begitulah seterusnya agar KPI berwarna merah berubah menjadi
kuning dan hijau.
Uniknya, pencapaian target tersebut juga bisa dimonitor oleh seluruh karyawan melalui layar
2 buah TV yang berada di setiap lantai gedung kantor pusat Unilever di Jakarta. Setiap kali
mereka bisa melihat pencapaian target mingguan dari sisi penjualan berbagai divisi
pemasaran (home care, personal care, foods, dan ice cream). Strategi komunikasi ini
bertujuan untuk membangun kepedulian dan semangat di antara para karyawan. “Jadi, kalau
manajemen datang kepada mereka untuk minta bantuan, mereka pun mengerti dan
memberikan dukungan karena hasilnya bisa mereka lihat,” tegas Josef.
Evaluasi pencapaian target KPI dikoordinir oleh Corporate Strategic Planner yang berada di
bawah CFO (Chief Financial Officer). Dia berhubungan dengan BBP Champion yang menjadi
orang penghubung dan koordinator dari setiap divisi. Para champion ditentukan oleh Direksi
dari divisi masing-masing, yaitu individu yang berada satu level di bawah direksi dengan
kemampuan fasilitator dan ko-munikator yang baik. “Mereka datang ke setiap bagian untuk
mengevaluasi kemajuan pencapaian target,” tambah Mia Korompis, External Public Relations
Manager Unilever lndonesia. Kecuali itu, mereka ini bertugas memfasilitasi berbagai rapat
atau diskusi membahas BBS dan BBP di divisi yang berbeda (bukan di divisinya sendiri).
Untuk menjadi champion, mereka telah diberi training terlebih dahulu.
Dalam perspektif learning and growth, serangkaian proses dilakukan Unilever secara
konsisten. Sebagian besar kegiatan pembelajaran dan pertumbuhan dilaksanakan sendiri
oleh Unilever, khususnya melalui Unilever Learning Center di kawasan Megamendung,
Puncak. Lembaga ini merupakan pusat training Unilever di kawasan Asia bersama-sama
dengan India.
Kecuali training bersifat kompetensi teknis, Unilever mencoba menyeimbangkan pula antara
hard competencies dengan soft competencies. Umpamanya, perusahaan mengembangkan
mentalitas "make it mine” – bahwa setiap program implementasi adalah tanggung jawab
setiap orang dan tidak mengandalkan orang lain. Ada lagi program “can do”, yaitu
mengembangkan mentalitas bahwa kita bisa.
Hasil dari implementasi BSc di Unilever Indonesia tidak hanya tercermin dari angka-angka
pencapaian finansial (bottom line) seperti tertera di awal tulisan ini. Beberapa kali Unilever
Indonesia dinilai terbaik oleh Unilever global dalam kreativitas people strategy dan diundang
untuk berbagi sukses dengan seluruh jajaran Unilever.
Robby Djohan : Anak Emas dan Kepemimpinannya
No. 15 - Juni 2005
Di usia 67 tahun, Robby Djohan tetap menjadi figur menarik untuk diajak berbincang tentang
dunia korporasi dan manajemen di Indonesia. Ia adalah eksekutif yang kenyang pengalaman
memimpin: Citibank, Bank Niaga, Garuda Indonesia, dan Bank Mandiri. Tidak semua
perusahaan hasil sentuhannya langsung langsung mengkilap kinerjanya, tetapi Robby adalah
mentor dan pengkader yang baik.
Anak didiknya masih tetap berkibar di kancah bisnis nasional di tengah berbagai perubahan.
Sebut saja Agus Martowardojo, yang dipercaya menjadi Direktur Utama Bank Mandiri,
Gunarni Soeworo, Komisaris Utama Bank Mandiri, Emirsyah Satar, dipercaya menjadi Direktur
Utama Garuda Indonesia, Arwin Rasyid, yang disebut-sebut akan menempati pos barunya
sebagai Direktur Utama Indosat.
Selain menjadi investor bagi sejumlah bisnis yang menurutnya memiliki return menarik dan
aktif dalam sejumlah aktivitas sosial, Robby juga mengajar di FE Ul dua kali seminggu –
termasuk pada program pascasarjana. Karena belum bergelar S2 dan S3, Robby tetap bisa
mengajar, kendati tidak boleh menguji. Tak berencana mengambil Doktor? “Itu soal yang
tidak terlalu sulit. Hanya saja, saya ingin membuat disertasi dari hasil riset yang mendalam.
Dan itu yang repot dan butuh waktu,” tukasnya. la pun masih punya keinginan untuk
menerbitkan buku kedua, setelah buku pertama, beredar beberapa waktu lalu.
Di sela-sela seminar “Revitalisasi SDM Korporasi” yang diselenggarakan Inti Pesan dalam
rangka HUT ke-45 FE Undip bulan lalu, Human Capital berbincang-bincang tentang “anak-
anak emas”nya, pandangannya tentang leadership, dan kedekatannya dengan Menneg
BUMN Sugiharto. Berikut petikannya:
Agus Martowardojo diangkat menjadi Direktur Utama Bank Mandiri. Apakah karena usulan
Anda?
Saya memang suka mempromosikan eksekutif yang baik, termasuk kepada Menneg BUMN.
Saya tahu persis kualitas dan integritas Agus dan bekas anak buah saya lainnya, sehingga
saya berkewajiban menyampaikan apa yang saya ketahui dan yakini itu kepada Menneg
BUMN. Ini sebatas usulan, supaya dalam menetapkan kandidat untuk jabatan eksekutif pihak
pengambil keputusan punya referensi. Tentunya pihak pemerintah sebagai pemegang saham
bisa saja tidak setuju dengan usulan tersebut.
Agus dan beberapa eksekutif lainnya sering disebut sebagai “Anak Emas” Robby Djohan.
Benarkah?
Disebut ‘Anak Emas” bisa saja. Mereka telah bekerja dan berhubungan dengan saya sejak
lama sehingga saya tahu persis tentang mereka. Kadang-kadang mereka masih meminta
nasehat dan pandangan saya tentang berbagai hal kendati mereka sudah menjadi eksekutif
di mana-mana. Agus, misalnya, adalah ahli restrukturisasi perbankan, dan sangat cocok
memimpin Bank Mandiri yang masih perlu perbaikan. Apalagi ia bekas orang dalam Bank
Mandiri, yang mengerti permasalahan Bank Mandiri dan solusinya. Saat ini Bank Mandiri
memang membutuhkan orang seperti Agus, tapi tidak boleh lama-lama di sana.
Maksudnya?
Setiap periode membutuhkan kepemimpinan yang berbeda. Bank Mandiri dalam periode
sekarang lagi membutuhkan Agus, tetapi maksimal cukup 5 tahun saja di posisi itu. Kalau
tidak, muncul zona kenyamanan yang membuat hidup jadi kurang menantang dan keenakan.
Masih banyak perusahaan lain yang butuh sentuhan Agus dalam periode berikutnya.
Anda dikenal dekat dengan Menneg BUMN Sugiharto, dan oleh karena itu usulan Anda pasti
diakamodasikan.���
Saya memang dekat dengan Sugiharto. Kami sudah saling panggil nama saja. Awalnya dulu
dia sering minta advis saya sebagai bankir karena ia mengurusi keuangan Nedco. Justru
sebagai teman dekat kami tidak boleh saling merugikan. Sebaliknya, kami harus saling
membantu untuk kebaikan. Diminta atau tidak, saya tetap mengusulkan orang-orang yang
saya anggap bagus. Saya ingin mendukung niat serius pemerintah untuk menata manajemen
perusahaan negara. Keputusan sepenuhnya ada di tangan dia (Menneg BUMN).
Bagaimana Anda selama ini mengkader pemimpin dalam organisasi yang Anda pimpin?
Di setiap perusahaan yang saya pimpin tidak ada secara spesifik jabatan Direktur Personalia.
Bukan karena saya tidak menganggap penting Bagian Personalia. Justru karena saya
menganggap personalia itu sangat strategis dan penting sehingga fungsi personalia
langsung saya tangani sebagai CEO. Saya tidak terlalu mengerti soal perbankan, kredit, dan
sebagainya. Ngerti tapi kulit-kulitnya saja. Teknologi saya juga tidak mengerti. SMS saja
sering minta tolong sekretaris (tersenyum). Tapi, soal personalia saya mengerti banget. Kalau
Anda ingin organisasi yang tangguh, bangunlah sistem dan kepemimpinan terlebih dulu.
Nomor satu buat saya adalah membangun manusia. Yang lain itu contigent saja. Saya tidak
percaya dengan pendapat leader is born. la harus dicetak dan dididik. Benar charismatic
leader is born tetapi pemimpin karismatis tanpa keahlian akan menyalahgunakan
kepemimpinannya. Saya kira banyak bukti tentang hal ini.
Banyak pemimpin yang tidak mau mengembangkan anak buahnya karena takut tersaingi?
Ini jelas salah besar. Sebagai pemimpin kita harus yakin bahwa ada orang lain yang lebih
hebat dari kita di luar sana. Saya justru senang bekerja dengan orang-orang hebat. Biar
mereka yang kerja dan saya tinggal mengarahkan dan memantau saja. Capek juga kalau
semua hal dikerjakan sendiri. Salah satu kunci leadership adalah memberikan otoritas
kepada bawahan di samping membangun kepercayaan. Tentunya kita tahu dulu kualitas dan
kompetensi bawahan tersebut, Ini sesuai dengan pandangan pakar manajemen Franciscus
Fukuyama, “The most important in relationship is trust.” Saya sangat concerned dengan
succession plan. Kalau saya ke cabang, pertanyaan pertama yang saya ajukan adalah siapa
yang akan menggantikan posisi Anda sebagai Kepala Cabang. Mereka tidak perlu takut jika
saya bertanya begitu karena berarti dia akan dipromosikan. Selalu ada tempat bagi mereka
yang berkualitas bagus.
Banyak perusahaan besar, khususnya BUMN, yaq terhambat perkembangannya karena
terlalu birokratis, Bagaimana pengalaman Anda saat menangani Bank Mandiri dan Garuda?
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. TELKOM Tbk
YANG CEPAT AKAN MEMAKAN YANG LAMBAT
Suatu perusahaan membutuhkan perubahan manajemen, karena perusahaan itu berada
pada lingkungan yang juga berubah dan perubahan itu memberikan tekanan yang bergulir
terus menerus atau preasure for change. Bahkan menurut Alvin Toffler, seorang futurist,
mengatakan, "Change is not merely necessary for life, it is life!" Perubahan itu bukanlah
harus yang penting untuk hidup, melainkan hidup itu sendiri. Jadi, selama orang atau
perusahaan itu hidup selalu mengalami perubahan, yang ditandai dengan adanya
pertumbuhan dan perkembangan. Seperti ditegaskan Puguh Harianto, Manager Change
Management Telkom Divisi Regional II Jakarta, terjadinya perubahan sendiri bisa didorong
dari banyak hal, seperti regulasi, teknologi, kompetisi, pergerakan pasar, hadirnya
manajemen atau kebijakan baru, tekanan efisiensi biaya, keinginan untuk tumbuh secara
dramatis dan sebagainya.
"Perubahan tidak seharusnya diiakukan secara reaktif, melainkan harus didisain dan
perubahan harus dijadikan sebagai suatu strategi untuk mencapai tujuan secara
keseluruhan," ujarnya. Setidaknya ada 4 komponen.sebagai ruang lingkup obyek perubahan,
yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) & organisasi, budaya korporasi, proses bisnis dan
teknologi informasi (Tl).
Secara umum hanya ada tiga, SDM & organisasi, TI dan bisnis proses. Namun, pihak Telkom
Telkom memasukkan unsur budaya karena budaya di Telkom tidak hanya sekedar
menggugah perilaku manusia. "Kalau dulu berbicara tentang Telkom, maka akan terpisah-
pisah karena masing-masing daerah punya budaya sendiri. Budaya adalah value, kalau tidak
bisa mengikat dan berjalan sendiri-sendiri, itu tidak ada artinya. Makanya kami kristalkan
menjadi satu budaya satu yang harus menjadi acuan dan sebagai pengikat," Puguh
mengutarakan hal ini. Telkom memiliki budaya perusahaan bertajuk "The Telkom Way 135".
Ditambahkan, perubahan lingkungan bisnis yang kadang-kadang sulit diprediksi, memerlukan
SDM dan organisasi yang lincah dan fleksibel baik dalam menghadapi perubahan itu sendiri
maupun dalam melakukan perubahan menjadf Iebih baik. Dari sisi budaya korporasi, jika
budaya korporasi itu kuat, maka dapat melindungi perusahaan dari terpaan perubahan
lingkungannya, tidak mudah goyah dan jika dia berubah akan dilakukan dengan cara yang
mantap.
Puguh mengakui, proses bisnis juga sangat diperlukan agar perubahan yang dilakukan masih
tetap dalam koridor arah perusahaan dan mudah dilakukan tracking jika diperlukan.
Sementara keberadaan TI saat ini hampir mutlak diperlukan bagi perusahaan-perusahaan
yang ingin tetap eksis di tengah-tengah lingkungan yang cepat mengalami perubahan. "Ada
ungkapan, diera TI, bukan lagi yang besar memakan yang kecil, melainkan yang cepat yang
akan memakan yang lambat," tegasnya. Dalam melakukan implemtasi perubahan
manajemen, ia menegaskan bahwa hal ini merujuk pada teori perubahan yang terdiri dari 7
tingkat perubahan atau "7 Levels of Change" yaitu Effectiveness -�Doing the Right Things,
Efficiency - Doing the Things Right, Improving�- Doing Things Better, Cutting�- Doing Away
with Things, Copying�- Doing Things Other People Are Doing, Doing Things No One Else Is
Doing, dan Impossible�- Do Things That Can't Be Done.
Pada level 1, kebutuhan perubahan yang mendasar dari suatu pengelolaan perusahaan
adalah berubah dari mengerjakan yang tidak sejalan dengan aturan menjadi bekerja sesuai
dengan aturan yang ditetapkan. Ada 4 hal utama yang dapat dijadikan sebagai tuntunan
perubahan pada level 1 ini yaitu lakukan setting prioritas, fokus, kerjakan yang terpenting
dan berusaha untuk lebih efektif.
Di level 2, semua pekerjaan dilakukan sesuai dengan aturan yang ditetapkan, kesempatan
berikutnya adalah melakukan perubahan ke arah tindakan efisien, yaitu mengerjakan
sesuatu dengan benar terkait dengan orang lain, unit kerja lain, dan before and next process.
Ada 4 batasan yang dapat diacu pada level perubahan ini yaitu ikuti prosedur internal dan
eksternal, yakinkan bahwa hubungan kerja internal dan eksternal jelas dan bersih, pahami
standar-standar kerja sehingga resiko dieleminir sekecil mungkin dan berusaha untuk lebih
efisien.
Pada level 3, adalah bekerja untuk menghasilkan yang lebih baik adalah perubahan
berikutnya, yang ditandai dengan melakukan pemikiran terhadap apa yang dikerjakan,
mendengarkan dan mempertimbangkan berbagai usulan, berusaha mencari jalan untuk
memperbaiki sesuatu dan membantu, melatih dan membimbing. Level berikutnya,
perubahan pada level berikutnya adalah berusaha mulai keluar dari rutinitas kerja yang
dapat menimbulkan kebosanan dan berujung pada turunnya produktivitas. Diakui Puguh,
perubahan di level ini paling tidak diawali dengan pertanyaan 'Mengapa?', kemudian tidak
mengerjakan sesuatu yang tidak 'Terukur' dan melakukan 'Penyederhanaan' (simplify)
terhadap proses-proses kerja dan solusinya.
Di level 5, yaitu mengerjakan sesuatu yang orang lain juga mengerjakannya dengan hasil
yang ekselen. Copy dan terapkan, setelah melalui observasi, melakukan pemikiran sebelum
berpikir dan bertindak, membaca dan memahami tentang best practices dari berbagai
referensi. Kemudian, level berikutnya adalah berani tampil beda, kadang-kadang perlu
dilakukan untuk menunjukkan agility perusahaan. Diawali dengan pertanyaan 'Mengapa
Tidak', kita akan bergerak kesuatu perubahan berikutnya di mana orang lain tidak
melakukannya. Perubahan yang dilakukan oleh suatu perusahaan di level ini biasanya
ditunjukkan dengan re-orientasi fokus dari 'Sama' menjadi 'Berbeda' dan mengadopsi
berbagai teknologi baru.
Level terakhir adalah puncak perubahan adalah melakukan sesuatu yang 'Tidak' mungkin
dikerjakan. Kata tidak menjadi suatu tantangan untuk diubah menjadi 'dapat', melalui
langkah-langkah identifikasi asumsi-asumsi, munculkan pertanyaan: yang tidak mungkin hari
ini, bisa jadi di kemudian hari, alihkan fokus-fokus rutin, munculkan ide-ide "gila" dan lakukan
terobosan terhadap aturan-aturan yang mengikat.
Tantangan dalam melakukan perubahan tidak lepas, dari cakupan perubahan itu sendiri.
Puguh menjelaskan, ada 3 hal perubahan, yaitu micro changes yaitu perubahan yang
mempengaruhi secara individual atau�must change kemudian organizational changes yaitu
perubahan yang terjadi di lingkungan pekerjaan, akibat dari hubungan dengan mitra kerja,
dengan serikat pekerja dan sebagainya atau We must change. Serikutnya adalah macro
changes, yaitu perubahan yang terjadi menimbulkan implikasi global atau "Everyone must
change". Tiap-tiap tipe perubahan tersebut, lanjutnya kembali, dihadapkan pada tantangan
yang berbeda. "Secara umum, tantangan utama yang dihadapi dalam melakukan perubahan
adalah resistensi terhadap perubahan karena rasa nyaman dan aman, dan resiko perubahan
akibat tidak ada yang bisa menjamin bahwa perubahan akan menghasilkan keluaran yang
lebih baik." Selain itu, ketidakmampuan membaca dan memahami makna perubahan yang
terjadi dan kemampuan menterjemahkan perubahan menjadi suatu strategi untuk mencapai
tujuan juga berpengaruh.
Telkom sendiri melakukan perubahan karena didorong adanya perubahan regulasi, yaitu UU
Telekomunikasi No. 36 tahun 1999. Dengan dibukanya kran kompetisi, sambungnya, maka
perubahan sesungguhnya dimulai, meskipun kala itu masih terjadi duopoli antara Telkom dan
Indosat.
Bagaimana Mengelola Perubahan
No. 14 - Mei 2005
Sadar betapa pentingnya merangkul budaya perubahan, perusahaan mencoba mencari
mekanisme terbaik mengelola perubahan.
PT. INDOSAT Tbk
MEMBANGUN KESAMAAN GERAK DAN LANGKAH
Perubahan manajemen di Indosat didorong oleh penggabungan antara Indosat, Satelindo dan
IM3 pada November 2003. Alasan utama penggabungan antara lain didasarkan pada upaya
optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang dimiliki, berkaitan dengan visi utama Indosat
sebagai fully network service provider. Selain itu, perubahan ini juga dilakukan dalam rangka
menghadapi kompetisi pasar.
Penggabungan perusahaan, di mana pun senantiasa berkonsekuensi pada pengurangan
sumber daya manusia. Menurut Sutrisman, Director Corporate Services Indosat, pada
dasarnya ingin perusahaan berusaha mempertahankan SDM yang ada karena masing-masing
karyawan tentu memiliki peran dan kontribusi terhadap perusahaan. Namun, karena
karyawan ada juga karyawan yang memiiiki pertimbangan tersendiri, akhirnya pihak
perusahaan menawarkan opsi pensiun dini. "Jumlah karyawan yang memilih opsi ini tidak
terlalu signifikan," katanya.
Untuk mendorong percepatan perubahan, visi, misi dan value organisasi harus digariskan
dan dikomunikasikan secara terus menerus kepada seluruh karyawan. Sebelum bergabung,
masing-masing perusahaan tentu memiliki visi, misi dan value yang berbeda-beda. Nah,
setelah bergabung tentu harus ditetapkan
Beberapa bulan lalu, Pakar HR Pande Nyoman Agus Jaya, melalui sebuah seminar yang
digelarnya di Jakarta menggagas perlunya perusahaan di Indonesia untuk tidak melulu
menerapkan konsep Competency Based Human Resources Manage ment (CBHRM) dalam
mengembangkan sumber daya manusia yang dimiliki. Selain konsep
CBHRM itu sudah dianggap ketinggalan zaman, Pande N Agus Jaya menganggap kegagalan
yang dimunculkan dalam penerapan konsep itu cukup tinggi. “Hasilnya kalau boleh jujur saya
sampaikan, 90% gagal,” terang Pande kepada Human Capital ketika itu.
Untuk mendukung asumsinya itu, Pande pun menawarkan sebuah konsep baru, Talent Based
Human Resources Management (TBHRM). Konsep yang fokus pada potential talent yang
dimiliki setiap orang ini menurut Pande sudah diterapkannya sejak 20 tahun lalu. Sejak saat
itu pula konsep ini terus tumbuh dan berkembang di negera asalnya menggusur konsep
CBHRM yang telah lebih dulu mengglobal sejak diperkenalkan Prof Dr David McClelland 33
tahun lalu.
MedcoEnergi misalnya, perusahaan minyak dan gas yang cukup besar ini baru melakukan
transisi dari CBHRM menuju TBHRM. “Sekarang ini kita sedang transisi ke arah talent. Kita
juga ingin mengalokasikan source kita ke arah yang lebih tepat. Artinya tidak produksi masal
tapi produksi yang ekslusif lah. Dalam arti kita memang
mengalokasikan sesuatu ketempat yang pas lah,” terang Manager of Human Capital
Development MedcoEnergi Salmar Ngadikan.
Head of Human Resources Standard Chartered Irene Wuisan ketika ditemui di ruang kerjanya
akhir bulan lalu juga mengakui soal ketidak populeran konsep TBHRM ini di kalangan
perusahaan lokal Indonesia. “Dari artikel yang saya baca, perusahaan di luar negeri atau
perusahaan asing yang ada di Indonesia rata-rata sudah menggunakan
konsep Talent Management tersebut dalam membina dan mengembangkan SDM nya supaya
lebih berpotensi, tapi jarang terdengar untuk yang perusahaan local,” terangnya lagi.
Selain itu, Irene juga mengakui perusahaan tempatnya bekerja saat ini telah menerapkan
konsep TBHRM ini sejak lama. “Begitu saya pindah ke sini (Standard Chartered-red),
perusahaan ini telah menerapkan konsep ini, dan hasilnya efektif” terang Irene ketika
ditemui di ruang kerjanya akhir bulan lalu.
Hanya saja, seputar efektifitas konsep tersebut Irene yang juga paham betul me ngenai
konsep CBHRM menyatakan tak jauh beda dengan bila menerapkan CBHRM. “Tinggal
bagaimana kita mengelolanya karena ujung-ujungnya dua-duanya bagus tinggal bagaimana
kita mengkombinasikannya saja, dan itu bisa berjalan dengan bagus dan tidak terputus-
putus,” ungkap Irene lagi.
Sedangkan HR & Administration Director Coca Cola Indonesia Sandra Sahupala juga mengaku
telah menerapkan konsep Talent Management di perusahaannya. “Perusahaan saya sudah
menerapkan konsep ini, dan terus menyempurnakan program-program dan sistem
pendukungnya,” terang Sandra yang ditemui seusai mengajar
di salah satu hotel di bilangan Kemang Jakarta selatan. Menurut wanita bule ini, tujuan
diterapkan nya konsep ini agar seluruh perusahaan bisa fokus dan optimal kepada sumber
daya manusia yang merupakan talenta-talenta perusahaan.
Perusahaan berbasis asing lainnya, PT Unilever Tbk, juga mengaku telah menggunakan
konsep ini dalam mengembangkan sumber daya manusianya. Menurut Direktur Human
Resources PT Unilever Indonesia Tbk Josef Bataona ketika ditemui Anung Prabowo dan Aditiyo
Wirawan di ruang kerjanya pertengahan Nopember lalu, konsep
Talent Management ini ia terapkan secara terpadu dengan konsep yang telah berkembang
lebih dulu, Competency Based Human Resources Management. “Karena kompetensi itu
adalah bagaimana kemampuan orang itu. Kemapuan itu dalam kaitan dengan bagaimana dia
bisa melalakukan pekerjaan itu sendiri dalam kaitan dengan
professional skill itu membuat konsep ini masih perlu untuk mendukung konsep Talent yang
muncul belakangan,” terangnya.
Perusahaan lokal
Tidak populernya konsep TBHRM ini di perusahaan lokal Indonesia tentu menyisakan
sejumlah pertanyaan, apakah konsep ini betul-betul mampu secara efektif membawa sebuah
perusahaan ke sebuah lompatan yang lebih besar lagi atau memang tak mungkin
menerapkan konsep ini di dalam kultur sebuah perusahaan local Indonesia.
Beberapa praktisi dan pemerhati HR justru meyakinkan bahwa konsep Talent Management ini
dapat diterapkan oleh organisasi manapun, tak peduli apakah itu lokal maupun asing.
“Sejauh budaya organisasi tersebut didasari pada belief bahwa SDM merupakan aset
perusahaan, sehingga pelatihan dan pengembangan merupakan suatu tindakan investasi,
maka perusahaan atau organisasi apapun dapat saja menerapkan konsep ini, sejauh
manajemennya mempunyai komitmen untuk mengadakan dan mempertahankan
persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan” terang Sandra pasti.(Baca, Prasyarat Penerapan
Konsep Talent Management)
Hanya saja menurut Sandra lagi, banyak perusahaan mengatakan bahwa SDM bagi mereka
sangat penting dan perusahaan itu telah menyediakan anggaran pelatihan yang besar.
“Namun kebanyakan itu lip-service saja. Mereka mungkin tidak memahami apa yang harus
dilakukan supaya “investasi” yang didedikasikan pada pengembangan
SDM tidak sia-sia. Ataupun mereka memahaminya tetapi tidak serius menganggap SDM
sebagai asset melainkan hanya sebagai sarana agar pekerjaan dikerjakan dan biasanya
mempunyai visi yang sangat jangka pendek,” lanjut Sandra.
Irene Wuisan pun beranggapan sama, menurutnya perusahaan lokal pun bisa menerapkan
konsep ini. “Asalkan perusahaan tersebut memiliki 3 unsur,” ujar Irene. Ketiga unsur yang
dimaksud, infrastrutur yg cukup kuat, komitmen dari manajer untuk memakai metode ini,
serta sumber daya manusia yang bisa diandalkan. “Bila itu dimiliki maka perusahaan itu
dapat dengan mudah mengadopsi konsep tersebut,” tambah Irene.
Sementara itu, Managing Director Multi Talent Indonesia Irwan Rei menyatakan kalau
penerapan konsep Talent Management ini tidak dipengaruhi oleh apakah perusahaan xyz itu
lokal atau asing. “Semua organisasi yang memerlukan manusia untuk mencapai tujuan-
tujuan bisnisnya pasti memerlukan sistem dan proses untuk menarik dan me-ngelola SDM-
SDM pilihannya,”paparnya.
Masih menurut Irwan, perbedaan antar organisasi satu dengan yang lain terletak pada
tingkat sophistication-nya. Organisasi yang satu mungkin banyak tergantung pada feeling
atau perasaan pemimpin di dalam mengelola sdm-sdm di dalamnya, sementara organisasi
yang lain telah memiliki sistem atau SOP yang rapi dan didukung oleh
studi yang lengkap mengenai kompetensi pegawai yang diperlukan, pola pergerakan
pengembangan karir yang dibangun berdasarkan kriteria dan proses yang jelas, sistem dan
program SDM yang dibangun dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempe-ngaruhi
kepuasan, motivasi maupun tingkat engagement pegawai.
Sehingga untuk bisa menerapkan konsep tersebut, yang perlu dilakukan pertama-kali oleh
perusahaan itu menurut Irwan adalah dengan melihat bahwa ada dua pihak yang terlibat di
sana. “Di satu sisi ada perusahaan (shareholders) yang memiliki visi, misi, tujuan organisasi,
strategi bisnis maupun resources (finansial maupun non-finansial) yang terbatas, dan di sisi
lain adalah SDM-SDM yang diharapkan dapat bergabung dan membantu organisasi mencapai
tujuan-tujuannya,”ungkap Irwan.
Organisasi perlu tahu persis apa yang ingin dicapai? Bagaimana strategi mencapainya?
Organization capabilities apakah yang diperlakukan? Kompetensi apakah yang diperlukan?
Bagaimana dan dimana mendapatkan SDM-SDM dengan kompetensi yang diinginkan tadi?
Apa yang menjadi faktor-faktor utama (drivers) yang mempengaruhi motivasi mereka dalam
bekerja?
“Jawaban-jawaban akan pertanyaan ini akan membantu organisasi membangun sistem dan
program SDM, mulai dari proses recruitment, staffing, career development & training,
performance management, sampai employee separation, yang sesuai,”lanjutnya.
Beragamnya penjabaran konsep Talent Management ini menjadikan konsep ini kian istimewa.
“Kita bisa datang dengan label, istilah dan ruang-lingkup yang berbeda-beda mengenai
konsep “talent management”, namun pengelolaan SDM atau “managing talent” sebenarnya
sudah lama dilakukan oleh demikian banyak organisasi dengan tingkat kecanggihan sistem
dan program SDM pendukung yang berbeda-beda,” urai Irwan Rei.
Gaungnya menurut Irwan semakin terdengar seiring dengan persaingan bisnis yang semakin
tinggi dan yang lalu mendorong organisasi untuk semakin serius di dalam menarik dan
mengelola SDM-SDM pilihannya. Berbeda dengan misalnya konsep Balanced Scorecard
dimana ada Kaplan dan Norton sebagai pencetus idenya, tapi tidak mudah untuk menunjuk
siapa yang melakukannya untuk konsep talent management.
Irene Wuisan pun mengakui banyaknya penafsiran terhadapkonsep itu. “Kalau kita lihat dari
perusahaan satu ke perusahaan yang lain, itu banyak sekali definisi-definisi yang berbeda-
beda, jadi kembali tergantung kepada perusahaannya itu sendiri,” ujar Irene.
Hanya saja Irene mengaku banyak melihat pergeseran pendekatan dalam menerapkan
konsep Human Resources Management yang ada. Kalau dulu kata Irene, orang-orang itu
harus disesuaikan dengan pekerjaannya, ini menjadi focus dari konsep CBHRM, sekarang
mulai bergeser.
“Sekarang mulai megarah kepada karyawannya sendiri, karyawannya punya keahlian apa
sih, karyawannya ini kelebihan-nya ada dimana, dan itulah yang ditumbuhkan, dibina dan
diangkat supaya karyawan ini potensinya bisa lebih tergali, itulah yang dibilang memanage
talent, jadi talent itu disini lebih kepada si karyawannya sendiri,” terang Irene memaparkan
konsep Talent Managementnya.
Dengan menerapkan konsep Talent Management, Irwan melihat sebagai sebuah proses yang
dilakukan oleh organisasi untuk menjawab tantangan yang ada. Dalam lingkup yang luas,
bagi Irwan managing talent tidak hanya berbicara mengenai pengembangan karir pegawai,
namun bagaimana organisasi dapat menarik dan mengelola SDM-SDM pilihannya, sehingga
tujuan organisasi dapat tercapai. “Ini berarti mulai dari proses rekrutmen, penempatan
pegawai, penilaian kinerja, pelatihan dan pengembangan karir, sampai pegawai
meninggalkan perusahaan di arahkan untuk menjawab tujuan tersebut”,lanjutnya.
Dan itu menurut Irwan bukan masalah yang sederhana, karena untuk melakukan itu,
organisasi perlu mengetahui apa yang membuat SDM-SDM yang handal ini tertarik untuk
bergabung dan bekerja dengan baik di dalam organisasi dan menyeimbangkannya dengan
apa yang ingin dicapai oleh organisasi. “Ada dua pihak yang terlibat di sana: pegawai dan
perusahaan, masing-masing dengan kebutuhan yang tidak selalu sama, sehingga perlu dicari
titik temunya. Perusahaan memiliki visi dan misi, strategi untuk mencapainya, maupun
organization capabilities yang perlu dibangun, sementara pegawai memiliki kebutuhan akan
pengembangan karir, reward & recognition, maupun lingkungan kerja yang
menyenangkan,”tutup Irwan. • (ich)
Untuk dapat menerapkan konsep itu secara konsisten dan dapat memberi manfaat yang
berarti dalam pengelolaan perusahaan. Maka perusahaan tersebut harus memenuhi
beberapa prasyarat;
3. Terdapat Sistem Pengelolaan Kinerja (Performance Management System) yang baik dan
adil. Tanpa adanya sistem pengelolaan kinerja yang baik dan adil, penilaian kinerja dan
prestasi karyawan akan didasari pada “Like and Dislike”.
4. Terdapat suatu keadaan kesempatan yang sama (Equal Opportunities) dan pelakuan adil
yang didasari pada assesmen yang faktual.
5. Agar c dan d dapat dipenuhi maka hal ini sejogyanya didukung dengan suatu kebijakan
SDM (human resources policies) dan alat dan sistem penilaian kinerja (performance appraisal
system and tools) yang secara konsisten diterapkan. Artinya tidak terdapat perlakuan yang
khusus bagi orang-orang tertentu.
6. Manajemen menerapkan suatu sistem pengakuan dan penghargaan yang bersaing. Bukan
hanya sistem kompensasi finansial yang baik, tetapi juga program pengakuan dan
penghargaan yang non-finansial.
Hubungan antara direksi dengan perseroan adalah hubungan saling ketergantungan. Satu
dengan yang lain saling tergantung, sebagai organ yang dipercayakan untuk melakukan
pengurusan perseroan. Perseroan merupakan sebab adanya direksi. Tanpa perseroan maka
direksi tidak pernah ada. Begitu juga direksi, tanpanya maka perseroan tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya.
Direksi adalah organ kepercayaan perseroan dan wajib menjalankan tugas pengurusan
tersebut dengan berpegang teguh pada kepercayaan yang diterimanya (Fiduciay Duty).
Dengan konsep tersebut, maka direksi dalam tugas kepengurusan wajib senantiasa bertindak
atas dasar itikad baik, bertindak dengan sungguh-sungguh sesuai keahliannya,
mengutakamakan kepentingan perseroan, bukan kepentingan pemegang saham semata-
mata dan menjaga diri agar terhindar dari tindakan yang dapat menyebabkan benturan
kepentingan antara perseroan dengan direksi.
Setiap pelanggaran atau penyimpangan atas tugas dan kewajiban direksi akan menimbulkan
pertanggungjawaban direksi sampai kepada harta benda kekayaan pribadi atas kerugian
yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang berkepentingan. Pelanggaran dan penyimpangan
tersebut dapat digolongkan ke dalam:
1. Tidak menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan keahlian yang dimiliki,
antara lain:
• Secara sengaja atau tidak melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan (breach
of duty).
• Sengaja atau tidak, melalaikan tugas yang seharusnya dijalankan (omission of duty).
• Sengaja atau tidak, membcrikan pernyataan yang menyesatkan (misleading
statement).
• Sengaja atau tidak melakukan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan sebagai
direksi.
• Sengaja atau tidak, tidak memenuhi janji yang telah diberikan (breach of warrantv or
authority commitment).
2. Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil pemegang saham dengan baik, yang dapat
terjadi dalam bentuk pelanggaran (breach of 'trust), kelalaian (negligence of trust), dan
kesalahan (error).
Ultra Vires
Sebagaimana diketahui, setiap perseroan memiliki maksud dan tujuan tertentu dalam
pendiriannya. Hal ini dapat terlihat dalam anggaran dasarnya. Keberadaan perseroan
melekat erat pada maksud dan tujuannya. Menurut Fred G Tambunan, maksud dan tujuan
tersebut memiliki peran ganda, yaitu di satu pihak merupakan sebab keberadaan perseroan
dan di pihak lain menjadi pembatasan bagi kecakapannya untuk bertindak bagi perseroan.
Perbuatan hukum perseroan menjadi tidak cakap manakala perbuatan tersebut di luar
cakupan maksud dan tujuan perseroan yang disebut dengan Ultra Vires. Perbuatan ultra vires
pada prinsipnya merupakan tindakan hukum direksi yang tidak mengikat perseroan, karena:
a. Tindakan yang dilakukan berada di luar maksud dan tujuan perseroan.
b. Tindakan yang dilakukan berada di luar kewenangan yang diberikan kepadanya
berdasarkan undang-undang yang berlaku dan anggaran dasar perseroan.
Anggota direksi yang melakukan ultra vires bertanggung jawah secara pribadi atas kerugian
yang diderita perseroan.
Piercing the Corporate Veil There is no rule withaout exception. Asas hukum perseroan
menjamin bahwa tanggung jawab pemegang saham atas kerugian perseroan hanyalah
sebatas jumlah saham yang dimiliki. Demikian juga tanggung jawab anggota direksi,
hanyalah sebatas mengurus dan mewakili perseroan agar dapat bertindak di depan hukum,
mengingat perseroan hanyalah badan hukum rekaan (artificial person). Dengan demikian,
anggota direksi pun bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh perseroan. Akan
tetapi. asas pertanggungjawaban terbatas tersebut menjadi tidak berlaku manakala terjadi
pelanggaran atau penyimpangan yang dalam doktrn hukum dikenal dengan nama Piercing
the Corporate Veil.
Secara harfiah, istilah piercing corporate veil berarti membuks tirai perseroan, dimana
kekebalan yang biasa dimiliki oleh pemegang saham, direksi dan komisaris, yaitu tanggung
jawabnya terbatas dibuka dan diterobos menjadi tanggung jawab tidak terbatas, hingga
kekayaan pribadi manakala terjadi pelanggaran, penyimpangan atsu kesalahan dalam
melakukan pengurusan perseroan.
• Terhadap pemegang saham perseroan, piercing the corporate veil berlaku, apabila:
Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. Misalnya
anggaran dasar perseroan belum disahkan oleh Departemen Hukum dan Kehakiman.
• Pemegang saham, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk
memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
• Pemegang saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan
perseroan.
• Pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum
menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi
tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
1. Terhadap direksi perseroan, ketentuan piercing the corporate veil berlaku apabila:
Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi (antara lain
anggaran dasar belum disahkan atau belum diumumkan dalam berita negara, atau
belum didaftarkan pada pengadilan negeri setempat).
2. Direksi melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar
perseroan.
3. Direksi melanggar prinsip ultra vires.
4. Direksi melanggar prinsip fiducairy duty.
Ketentuan fiducairy duty dalam UU Perseroan Terbatas yang bila dilanggar berakibat pada
keberlakuan piercing the corporate veil terdapat pada pasa 85 ayat 1 dan ayat 2 yang pada
intinya menyatakan: setiap anggota direksi perseroan bertanggung jawab sampai kekayaan
pribadinya, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan usaha perseroan.
Demikian juga pasa 90 ayat 2 UUPT yang menyatakan, dalam hal terjadi kepailitan karena
kelalaian atau kesalahan direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutupi
kerugian akibat kepailitan tersebut, maka anggota direksi secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Di Amerika Serikat, prinsip piercing the corporate veil diberlakukan apabila:
• Tujuan perseroan dan formalitas-formalitas hukum diabaikan.
• Pemegang saham perseroan memberlakukan aset perseroan sebagai harta mereka
sendiri.
• Officers perseroan gagal memelihara catatan-catatan atau dokumen yang diperlukan.
• Perseroan tidak cukup modal, tetapi perseroan tetap dijalankan.
• Perseroan dipergunakan untuk tujuan-tujuan curang, misalnya untuk menghindari
pajak.
Dewan Komisaris
Dewan komisaris adalah organ yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan
nasihat kepada direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan. Dalam menjalankan
tugasnya dewan komisaris oleh undang-undang dan anggaran dasar perseroan memberikan
kewenangan tertentu kepadanya, antara lain memasuki kantor perseroan, mendapatkan
laporan direksi dan memeriksa dokumen perseroan, menyetujui atau tidak menyetujui suatu
tindakan tertentu dari direksi sebagaimana diatur dalam anggaran dasar, serta
memberhentikan sementara direksi dan mengurus perseroan dalam hal perseroan tidak
memiliki direksi.
Berbeda dengan anggota direksi, dewan komisaris bertindak sebagai majelis. Sebagai majelis
pada dasarnya anggota dewan komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri mewakili
direksi. Komisaris wajib bertindak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Atas nama perseroan,
pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah dapat melakukan tuntutan kepada komisaris yang karena
kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian perseroan.
Pada prinsipnya, ketentuan fiduciary duty yang disyaratkan kepada direksi perseroan secara
mutatis-mutandis berlaku juga kepada dewan komisaris dan kepada para eksekutif yang
menerima dan mewakili kewenangan tertentu dalam jabatannya.
Karena itu, untuk meminimalkan risiko jabatan yang semakin besar tersebut sebaiknya para
direksi dan eksekutif dapat mengantisipasinya sedini mungkin, dengan melakukan
penutupan asuransi jabatan sehingga dapat bekerja dengan aman dan tenang tanpa dihantui
kekhawatiran yang tidak perlu.
Sumber: Majalah Human Capital No. 21 | Desember 2006
OMBUDS
No. 20 - November 2005
Sebuah Keniscayaan
Dalam kompetisi bisnis yang semakin sengit dan mengglobal, keberlangsungan usaha
perusahaan sangat ditentukan seberapa efisien dan efektif mereka bersaing di pasar.
Kerasnya persaingan itu berdampak pada daya tahan perusahaan. Menurut Andreas
Diantoro, umur bertahan perusahaan kini semakin pendek dibandingkan periode masa lalu.
“Umur perusahaan kini hanya seperlima dari kondisi pada masa lalu,” tuturnya. Oleh sebab
itu, daya saing sangat menentukan. Dalam konteks daya saing itu pula, outsourcing menjadi
pilihan yang tidak terhindarkan.
Pakar manajemen Charles T. Fote, seperti dikutip Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial
Depnakertrans Dr. Muzni Tambusai, mengatakan bahwa kecenderungan perusahaan untuk
melakukan semua aspek bisnis dari hulu ke hilir secara sendirian sudah tidak bisa lagi. Ada
jenis pekerjaan yang tidak efisien dikerjakan sendiri dan secara kualitas lebih baik bila
dikerjakan pihak spesialis. Kalau tidak, rentang kendali perusahaan akan menjadi sangat
panjang dan organisasi menjadi gendut sehingga tidak lincah bergerak di pasar.
Tengoklah bagaimana perusahaan raksasa Airbus atau Boeing memutuskan hanya fokus
pada rancang bangun, pemasaran, dan purna jual dari pesawat-pesawat mereka. Mereka
membeli mesin dari Rolls Royce atau Pratt & Witney, sistem instrumentasi dari perusahaan
lain, dan menyerahkan berbagai pembuatan komponen pesawat kepada berbagai vendor,
termasuk PT Dirgantara Indonesia (DI).
BUMN Indonesia ini sedang mengerjakan kontrak dari British Aerospace System dalam
pembuatan komponen sayap pesawat raksasa Airbus 380 senilai US juta. Pekerjaan
komponen sayap juga diperoleh untuk Airbus A320, A321, dan A319 senilai US juta. Dari pola
outsourcing ini terlihat bahwa DI tidak berhubungan langsung dengan Airbus, melainkan
menerima pekerjaan dari British Aerospace System yang telah ditunjuk Airbus sebagai
vendor outsourcing komponen pesawat Airbus.
Praktik serupa telah sejak lama dilakukan industri otomotif, permesinan industri, sepatu, dan
banyak lagi. Di markasnya Aichi, Jepang, raksasa Toyota hanya menyatukan seluruh
komponen mobil mereka dari berbagai vendor dan mengerjakan pekerjaan akhir, termasuk
memasang logo Toyota. Kecuali lebih efisien dalam pembuatan komponen, dengan sistem
Just in Time (JiT) efisiensi juga diperoleh di dalam pengelolaan mata rantai pasok (supply
chain).
Makin ke sini, perusahaan manufaktur cenderung mengalihdayakan proses produksi kepada
pihak lain yang telah mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Mereka cenderung
fokus pada proses yang lebih strategik dan bernilai tambah, seperti proses rancang bangun,
pemasaran, pelayanan pelanggan, dan manajemen merek. Praktik ini juga diterapkan dalam
bisnis yang lebih kecil, misalnya menyerahkan pembuatan batik kepada pengrajin batik
sementara merek dan pemasarannya dikelola Danarhadi, Batik Keris, dan perusahaan batik
lainnya.
Dalam industri perminyakan, tutur Vice President HR Medco Energi Billy R. Assa, oursourcing
berlangsung secara meluas, tidak hanya pada aspek-aspek pendukung macam transportasi
atau konsumsi, melainkan juga pada aspek eksplorasi dan eksploitasi (hal yang selama ini
dianggap pihak lain sebagai core business). Paling tidak dari aspek sumberdaya manusianya.
“Nature industri migas global memang begitu,” ucapnya. Maka, jangan kaget bila berkunjung
ke lapangan operasi Medco di berbagai daerah, menemukan para mekanik/teknisi yang
bukan karyawan Medco, melainkan karyawan perusahaan outsourcing.
Bila kita, sebagai konsumen, beranggapan bahwa semua orang yang bekerja di Telkomsel
adalah karyawan Telkomsel, sudah saatnya pandangan ini dikoreksi. Dewasa ini, menurut
Vice President HR Telkomsel N. Krisbiyanto, di Telkomsel bekerja sekitar 2.300 karyawan
outsourcing. Terbesar di call center dan layanan pelanggan, satpam, dan pengemudi.
Berikutnya adalah pelayan kantor, validasi, administrasi hingga sekretaris. Jumlah tersebut
akan terus bertambah menuju 2009, tahun di mana transformasi dengan model bisnis baru
ditargetkan berjalan secara penuh di Telkomsel.
Outsourcing itu akan menyentuh semua aspek bisnis Telkomsel: pemasaran, operasional,
keuangan, teknologi informasi (Tl), perencanaan bisnis, dan dukungan bisnis. Umpamanya di
bidang operasi, akan dialihdayakan kegiatan instalasi, pengembangan, dan pemeliharaan
jaringan. Pertimbangannya, teknologi jaringan ini dikuasai oleh vendor-vendor kelas dunia
macam Siemens, Ericsson, Alcatel, Nokia, dan sebagainya. Mereka memberikan solusi
terpadu dari penyediaan produk hingga instalasi, perawatan, dan pengembangan
teknologinya. Dengan kondisi seperti itu, kelak Telkomsel tidak perlu tenaga teknik dalam
jumlah besar di bidang jaringan ini.
Praktik outsourcing, lanjut N. Krisbiyanto, akan menyebabkan ratio produktivitas Telkomsel
yang diukur dalam jumlah pelanggan/ karyawan akan tetap terjaga. Saat ini, Telkomsel
memiliki 21 juta pelanggan dan 3.500 karyawan. Tahun 2009, perusahaan menargetkan
pelanggan naik menjadi 37 juta pelanggan dengan jumlah karyawan hanya bertambah
sedikit menjadi 5.000 orang saja. “Pertambahan pelanggan sebesar itu tidak harus dibarengi
dengan kenaikan karyawan secara besar-besaran. Selain penataan ulang personil dan
organisasi, solusinya adalah melalui outsourcing,” tambah pria yang akrab dipanggil Kris itu.
Di dalam bisnis perbankan, outsourcing juga sesuatu yang bersifat imperatif. Faktor jumlah
karyawan yang berlebihan dan berujung pada inefisiensi telah menjadi masalah laten.
Selama ini, mayoritas bank di Indonesia telah melakukan PHK berulangkali karena mengalami
kelebihan karyawan dan perubahan lingkungan bisnis. Setelah PHIC dilakukan, organisasi
kembali mekar tidak terkendali, yang pada akhirnya berujung pada PHK baru.
Masalah klasik ini, menurut Pemimpin Divisi SDM Bank BNI Adhianto Sardjono, mengharuskan
bank mencari solusi terbaik. “Unit-unit tidak diperkenankan lagi melakukan rekrutmen tenaga
tidak tetap yang ikatan kerjanya langsung dengan BNI untuk pekerjaan apapun,” ujarnya.
Belajar dari pengalaman buruk beberapa tahun lalu, BNI kini mengontrol penuh proses
rekrutmen karyawan, dan mengutamakan melalui praktik outsourcing.
BNI menerapkan dua model outsourcing: pertama, dilakukan di BNI sebagai penyedia
pekerjaan; kedua, dilakukan di perusahaan penyedia jasa outsourcing. Mengingat
kerahasiaan data yang sangat penting, BNI lebih mengutamakan pilihan pertama.
Tak hanya personil, beberapa bank bahkan mengalihdayakan peralatan TI mereka, termasuk
PC sekalipun. Sebuah bank terkemuka menyerahkan pengadaan dan pemiliharaan puluhan
ribu PC dan peralatan pendukungnya kepada HP Indonesia. Praktik ini menekan biaya
investasi (Total Cost of Ownership/TCO) maupun perawatannya. Dengan cara ini, ujar
Andreas, perusahaan bisa fokus kepada inovasi ketimbang aspek perawatan yang selama ini
terjadi.
Berikut adalah beberapa prinsip kepemimpinan yang disampaikan oleh Maxwell yang
disarikan oleh Andy Juniarso, CEO Quantum Leap, dosen di beberapa perguruan tinggi di
Jakarta, yang sering tampil sebagai pembicara atau penterjemah berbagai seminar publik.
Menurut John C. Naxwell, pemimpin sejati idealnya mempunyai tujuan hidup yang jelas dan
terutama mempunyai minat yang besar untuk memimpin umat manusia menuju tujuan yang
jelas tersebut. Walaupun tidak menjelaskan dengan contoh seorang person, tetapi menurut
John, dari hasil interview-nya dengan sekian banyak pemimpin perusahaan dan institusi di
Amerika. mereka yang telah berhasi menjadi pemimpin di perusahaan besar ataupun
pemimpin massa, adalah mereka yang mempunyai suatu visi (tujuan hidup) yang jelas serta
misi yang dipahaminya.
Minat yang besar dalam memimpin suatu perusahaan, institusi atau sekelompok besar
manusia / profesionaI atau umat adalah salah satu sumber motivasi terbesar dan penting
dari dalam diri seseorang pemimpin yang berhasil. John menyarankan bagi para calon
pemimpin agar berhasil yaitu pertama-tama agar mempunyai tujuan hidup yang jelas, yang
dipahaminya benar, yang sangat diinginkan dan diperjuangkannya. Idealnya tujuan hidup
tersebut bernilai baik bagi banyak orang, berkualitas atau dihargai oleh pemilik perusahaan
(shareholder) sehingga banyak orang akan mendukungnya, dengan sukarela atau termotivasi
untuk mengikutinya pula.
John menganalisis bahwa seringkali calon pemimpin yang kurang berhasil, hanya memilih
tujuan hidupnya semata untuk memilikinya, tetapi tidak benar-benar menginginkannya,
bahkan tidak punya gairah (desire) untuk mencapainya. Semua hanya angan-angan, cita-cita
setinggi langit, yang hanya dilihat dan dikagumi, tak pernah berusaha untuk meraihnya.
Pertumbuhan adalah proses dan siklus kehidupan yang natural dan bertahap. Barang siapa
yang bisa menjalankannya dengan konsisten dan terus bergerak untuk tumbuh kembang,
maka merekalah yang akan survive, termasuk untuk menjadi seorang pemimpin sejati.
Pemimpin besar tentu telah melewati proses panjang dari awal mulanya di level bawah, pada
starting point yang kecil scope-nya, pada cakupan yang terbatas, kemudian berkembang
terus menjadi semakin besar, semakin dikenal, dipercaya banyak orang, semakin
berpengaruh, diyakini dan pada tahapan akhirnya mencapai posisi puncak kepemimpinan
yang mempengaruhi dan mengkoordinasikan keputusan tertinggi.
Pertumbuhan adalah kata kunci yang penting dalam proses kepemimpinan, karena
memimpin sekelompok manusia bukanlah perkara mekanis, matematis atau ilmu pasti,
melainkan seni manajemen, yang dinamis, fleksibel, berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi.
Sesuai dengan interaksi antara manusia yang dipimpin dengan customer, kompetitor,
pemerintah, dan alam. Kesemua ”pemain” tersebut berinteraksi, berkomunikasi dan saling
mempengaruhi satu sama lain, sehingga mekanismenya dinamis, tidak ada pola yang baku
dan pasti. Walaupun ada kecenderungan dan kiat-kiat yang jitu, tetap saja strategi
kepemimpinan harus terus disesuaikan dengan kondisi ”medan tempur”.
Berkali-kali John mengatakan dan mengingatkan bahwa menjadi pemimpin sejati adalah juga
membantu pengikut untuk menjadi pemimpin-pemimpin baru, pemimpin divisi, pemimpin
bagian-bagian yang lebih kecil, setidaknya pemimpin bagi dirinya sendiri. Menurut John,
memimpin akan berhasil dengan lebih cepat dan lebih efektif apabila sang pemimpin utama
juga memberdayakan banyak pemimpin baru, menempatkan pemimpin baru tersebut
sebagai kepala unit, divisi, bagian dsb. Sehingga mereka dapat memberdayakan unit yang
lebih kecil, menjadi rantai penghubung yang memperkuat perputaran pimpinan utama,
sehingga daya gerak dan daya tumbuhnya menjadi bertambah, berkembang mencapai
optimum capacity!
Dengan kata lain John mengatakan bahwa pemimpin sejati tidak justru takut disaingi oleh
calon pemimpin yang baru atau yang lain. Bukan justru menutup dan menekan agar
bawahannya tidak berkembang, tidak membahayakan posisinya di kemudian hari. Karena
apabila hal ini dilakukan maka perusahaan tersebut tidak akan bisa mencapai kapasitas yang
optimal dan juga sudah pasti sulit berkembang.
Apakah perusahaan Anda dipimpin oleh person yang mempunyai kapasitas sebagai seorang
leader yang memberdayakan pemimpin baru, meng-generate new leaders secara aktif, atau
sebaliknya seorang leader yang membentengi dirinya dengan kekuasaan agar
kepemimpinannya aman dan tidak tersaingi? Niccolo Machavelli mengatakan, ”The first
method for estimating the intelligence of a ruler is to look at the men he has around him.”
John C. Maxwell mengakui: “I’m not certain that the above subject is an issue of I.Q., but I am
sure that it is a test of leadership. Leaders who continue to grow personally and bring growth
to their organizations will influence many and develop a successful team around them.” (from
John C. Maxwell book titled “Developing The Leader Within You”, page 180 ). Andrew
Carnegie said, “It marks a big step in your development when you come to realize that other
people can help you do a better job than you could do alone.”
Pada prinsip kedua John menyarikan bahwasannya seorang leader dapat menjadi besar
apabila dirinya sendiri selalu berkembang, senantiasa belajar, memperbaiki diri dan
membuka diri untuk dibantu dan berbagi serta memberdayakan orang-orang yang
mempunyai kapasitas sebagai leader.
Transformasi Infomedia Menuju Rp 1 Triliun
No. 17 - Agustus 2005
Tadinya dikenal sebagai penerbit Yellow Pages, kini Infomedia memiliki tiga pilar bisnis :
direktori, contact center, dan penyedia konten. Sejak 2003, Infomedia mulai melakukan
transformasi bisnis dengan melakukan banyak perubahan strategic. Targetnya, total
pendapatan perusahaan menjadi Rp 1 triliun tahun 2006.
Tadinya dikenal sebagai penerbit Yellow Pages, kini Infomedia memiliki tiga pilar bisnis :
direktori, contact center, dan penyedia konten. Sejak 2003, Infomedia mulai melakukan
transformasi bisnis dengan melakukan banyak perubahan strategic. Targetnya, total
pendapatan perusahaan menjadi Rp 1 triliun tahun 2006.
Sebutlah nama Yellow Pages, orang akan langsung ingat pada PT Infomedia Nusantara,
perusahaan yang dimiliki 51% sahamnya oleh Telkom dan 49% oleh Elnusa. Kini, nama Yellow
Pages sudah berganti dengan Buku Petunjuk Telepon (BPT). Sebagai satu-satunya produsen
BPT, semestinya Infomedia melenggang mudah di pasar. Tetapi, manajemen Infomedia sadar
bahwa era enak ini tidak akan selalu ada. Kemungkinan masuknya pesaing langsung dan
tidak langsung tetap saja ada.
Pesaing langsung adalah perusahaan penerbit direktori sejenis atau hampir serupa,
Deregulasi UU Telekomunikasi menyebabkan hadirnya operator telepon tetap selain Telkom.
Data telepon akan dimiliki oleh Telkom, Indosat, dan operator baru yang besar
kemungkinannya adalah pemain-pemain asing. Implikasinya, pasar layanan informasi
multimedia terbuka bagi pemodal asing. “Mereka kaya pengalaman dalam
menyelenggarakan bisnis Yellow Pages,” ungkap M. Gatut Awantoro, Presiden Direktur
Infomedia.
Pesaing tidak langsung muncul sebagai akibat konvergensi teknologi antara industri media,
telekomunikasi, dan komputer sehingga memunculkan banyak piranti baru untuk mengakses
informasi, seperti ponsel, PDA, CD-ROM, Internet, dan sebagainya. Ditambah dengan kian
sengitnya persaingan dalam memperebutkan kue iklan dengan berbagai media konvensional
lainnya, maka tantangan bisnis yang dihadapi Infomedia jelas tidak kecil. Kondisi ini
mengharuskan Infomedia untuk terus melakukan inovasi, menghasilkan produk yang
berkualitas dan disukai oleh pelanggan.
Menyadari berbagai faktor intemal dan eksternal di atas, manajemen Infomedia kemudian
mencanangkan program transformari bisnis pada tahun 2002. Dibantu oleh konsultan bisnis,
Infomedia menyusun “Strategic Transformation Plan” (STP) 2002-2006. STP memuat roadmap
yang harus dilalui Infomedia untuk mencapai tujuan transformasi bisnis, yaitu menjadikan
Infomedia sebagai NationaI Leader for Multimedia Directory Based Information Service.
Ada 4 tahapan yang harus dilalui oleh Infomedia untuk mewujudkan tujuan transformasi
tersebut, mulai dari tahapan persiapan organisasi hingga tahapan ekspansi (lihat boks, red).
Untuk mengawal proses transformasi bisnis tersebut, Infomedia membentuk Tim
Implementasi Strategic Plan (TISTP) dengan fungsi utamanya mengawal dan mengawasi agar
transformasi yang dijalankan perusahaan sesuai dengan perencanaan.
Digerogoti Pesaing
Yellow Pages muncul pertama kali tahun 1976. Sampai tahun 2002, sebelum transformasi
bisnis dicanangkan, Yellow Pages merupakan satu-satunya pilar bisnis Infomedia. Dengan
sendirinya. Infomedia sangat tergantung dari layanan ini. Munculnya pesaing dan perubahan
lingkungan bisnis menyebabkan pasar Yellow Pages yang monopolistis mulai digerogoti
pesaing. Dari sisi pendapatan, perorangan iklan Yellow Pages masih terus bertumbuh.
Namun, sebagai mantan orang keuangan di Telkom, M. Gatut Awantoro yang mulai
bergabung di Infomedia tahun 2003, melihat dari sisi marjin laba (profit margin) Infomedia
terus menurun sejak 2000. “Ini yang tidak disadari rekan-rekan di Infomedia karena tidak
pernah dikomunikasikan, ” ungkapnya.
Repotnya, Infomedia belum memiliki data pendukung bisnis yang memadai. Misalnya, data
tentang pelanggan. Ibarat mau menyetir mobil, lanjut Gatut, manajemen harus punya
indikator-indikator kemudi, Indikator tersebut harus disusun terlebih dahulu lantas dianalisis.
Ia pun melihat bahwa ukuran perusahaan bisa lebih besar dari yang ada. “Saya
mencanangkan tahun 2006, pendapatan perusahaan bisa mencapai Rp 1 triliun,”
tambahnya.
Jalan untuk mewujudkan target tersebut hanyalah satu : melakukan transformasi bisnis
secara total. Beruntung jajaran direksi lama sudah menyusun rencana transformasi bisnis
tersebut. Gatut menilai, isi rencana transformasi bisnis tersebut sangat sesuai dengan
kebutuhan infomedia. Namun, rencana Gatut untuk menerapkan rencana transformasi bisnis
itu malah tidak disambut manajemen Infomedia secara penuh. Ada yang mengingatkan
untuk tidak menerapkan rencana transformasi bisnis itu, karena kalau gagal akan disalahkan.
Gatut bergeming. “Saya malah berpikir sebaliknya. Ini adalah kesempatan bagi saya untuk
meneruskan transformasi bisnis Infomedia.”
Penyebab rendahnya animo karyawan terhadap rencana transformasi bisnis adalah karena
mereka merasa rencana strategik itu dibuat oleh konsultan, bukan oleh mereka. Di sinilah
letak permasalahannya. Seharusnya dilakukan transfer kepemilikan rencana transformasi itu
kepada karyawan sebelum konsultan pergi. Hal ini menyebabkan upaya memulai perubahan
di Infomedia terasa lebih berat. Gatut menggelar training / workshop tentang rencana
transformasi itu yang diikuti seluruh manajemen dan karyawan. Tujuannya untuk
menyamakan persepsi di kalangan internal Infomedia sekaligus mengetahui siapa yang
mendukung dan menolak rencana transformasi bisnis tersebut. Sebagai direksi, Gatut ikut
acara yang berlangsung 3 hari penuh itu. Sebab ia meyakini, transformasi bisnis adalah
tugas direksi.
Bagi Gatut, transformasi bisnis Infomedia tidak bisa ditawar-tawar lagi. Toh ia merasa tidak
bisa menjalankan transformasi sendirian. Selain dukungan dari beberapa jajaran internal,
khususnya anak-anak muda yang menginginkan perubahan, Gatut mengajak mantan dosen
ITB yang menjadi konsultan manajemen perubahan, Haryanto Mangkusasono. Pak Haryanto
dipilihnya bukan hanya hebat dalam mempresentasikan aspek teori perubahan, tetapi juga
mempraktikkan perubahan. Setelah setahun bekerjasama dengan Haryanto, akhirnya
Infomedia berhasil membuat paradigma bisnis baru. Salah satunya, paradigma perubahan
yang wajib hukumnya. Tata nilai perusahaan pun diperjelas dan dipertajam seperti yang
terangkum dalam budaya kerja ANTUSIAS.
Menjadi 3 Pilar Bisnis
Untuk mewujudkan pertumbuhan pendapatan yang signifikan, Infomedia mengembangkan 2
pilar bisnis baru sehingga seluruhnya menjadi 3 pilar bisnis. Di luar pilar layanan direktori,
kedua pilar bisnis baru itu adalah layanan contact center dan layanan konten. Layanan
contact center merupakan sebuah keahlian baru yang dikembangkan perusahaan dan masih
terkait dengan bisnis telekomunikasi. Menurut Gatut, manajemen direktori sangat berbeda
dengan contact center – yang terakhir lebih banyak aspek teknologi informasinya.
Berkembangnya CRM (Customer Relationship Management) di Tanah Air membuat layanan
contact center ini berkembang sangat cepat. Dewasa ini, Infomedia menangani contact
center di berbagai divisi regional Telkom dengan jumlah keseluruhan agen (karyawan yang
bekerja di contact center) sekitar 2.000 orang. Jumlah tersebut diperkirakan terus bertambah
karena beberapa kantor Telkom lainnya sudah berbicara dengan Infomedia untuk outsourcing
layanan ini.
Layanan konten merupakan pengembangan lebih lanjut dari layanan direktori melalui
bentuk-bentuk digital. Konsultan sempat meramalkan layanan ini akan menjadi primadona
Infomedia tahun 2010. Perkiraan ini diakui Gatut sulit tercapai karena kondisi lingkungan
tidak mendukung. “Kecuali karena konsumen bisa mendapatkan berbagai informasi secara
gratis, penghargaan konsumen terhadap informasi di sini sangat kurang,” lanjutnya.
Implementasi Balanced Scorecard
No. 16 - Juli 2005
Selain menjadi organisasi publik pertama di Indonesia yang menerapkan sistem Balanced
Scorecard (BSc), BI juga menjadi pelopor implementasi BSc di antara sesama bank sentral di
dunia. Apakah masih sebatas tataran konsepsi atau sudah menjawab tuntutan masyarakat?
Dalam era independensi Bank Indonesia tidak ingin terlihat jumawa dengan status barunya,
tetapi sebagian kalangan justru melihat adanya upaya pembenahan internal melalui
rangkaian Program Transformasi Bank Indonesia. Salah satu pembenahan internal yang
dilakukan dan saat ini telah diakui baik secara nasional maupun internasional adalah menata
Perencanaan Strategis Bank Indonesia dengan mengintegrasikan sistem perencanaan,
anggaran dan manajemen kinerja (SPAMK). Inisiatif ini awalnya dipelopori oleh Aulia Pohan,
Deputi Gubemur Bl yang telah purnabakti Mei 2005.
Integrasi SPAMK menggunakan BSc sebagai management tools, sehingga setelah
digunakannya BSc dalam 3 tahun terakhir banyak pihak mengakui Bl dapat dikatakan
sebagai perintis penggunaannya untuk organisasi publik, Diundangnya Bank Indonesia
sebagai Anggota Strategic Planning Discussion Group oleh BIS (Bank lnternational for
Settlement) bersama dengan bank sentral dari negara maju menjadikan bukti implementasi
SPAMK menjadi perhatian dan dapat disejajarkan dengan implementasi strategic planning
diantara bank sentral dunia.
Belum lagi kalangan nasional yang mendukung upaya Bank Indonesia mengkoordinasikan
forum komunikasi yang terbuka untuk siapapun yang bermitra dan berhasil melibatkan
kalangan akademisi, praktisi strategic planning baik dari perusahaan swasta, instansi
pemerintah maupun lembaga non-profit lain untuk membentuk Strategic Planning Forum
pada bulan Desember 2004 yang lalu.
Integrasi SPAMK bukan merupakan suatu yang mudah mengingat adanya suatu perubahan
paradigma yang sangat mendasar dari sebelumnya Bank Indonesia tidak dituntut transparan
dan akuntabel menjadi suatu lembaga yang siap dinilai dan mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugasnya. "Sistem pendidikan Bank Indonesia untungnya sudah mempersiapkan
SDM untuk siap menghadapi perubahan karena level edukasi yang sangat tinggi di sini.
Pegawai adalah aset utama kami,” jelas Halim Alamsyah, Director of Office of the Governor
Bank Indonesia yang didampingi oleh Dwi Pranoto, Ketua Tim Perencanaan Strategis dan
Manajemen Kinerja dan Trisno Nugroho, Analis di Tim yang sama. Ditambahkan oleh Halim
bahwa ”pemahaman dan penerimaan konsep BSc yang relatif cepat di BI tidak lepas dari
adanya kesiapan SDM BI (HR Readiness) dan dukungan Dewan Gubemur yang tinggi”.
“Kami memiliki siklus perencanaan strategis sebagai guidelines dan menggunakan BSc
sebagai alat pantau untuk early warning pencapaian Sasaran Strategis Bank Indonesia,”
lanjut Halim Alamsyah. Ditambahkan juga oleh Dwi Pranoto, apabila secara sistem dan
kesiapan SDM belum memadai untuk pencapaian Sasaran Strategis tertentu, Bank Indonesia
melakukan suatu inisiatif yang dapat menjembatani percepatan pencapaian Sasaran
Strategis Bank Indonesia.
Melalui implementasi SPAMK ini diharapkan BI mampu melaksanakan tugasnya secara efektif
dan efisien dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia, yang tentunya tidak lepas dari
upaya untuk memenuhi harapan stakeholders baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini
mengingat semakin tingginya tuntutan stakeholders akan peningkatan kredibilitas BI yang
banyak ditentukan dengan kemampuan BI untuk meningkatkan kinerjanya sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-undang No. 23/1999 dan perubahannya dalam UU No.4/ 2004
tentang BI. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, BI harus semakin akuntabel dan
transparan kepada publik sehingga mampu meningkatkan efektivitas pelaksanaan good
governance BI. Pada akhirnya diharapkan BI mampu menjadi organisasi yang fokus pada
strategi (strategy-focused organization) sebagaimana organisasi best practices lainnya yang
telah menerapkan BSc.
Setiap Anggota Dewan Gubernur dan Pemimpin Satuan Kerja (Satker) di BI dapat memonitor
pencapaian pelaksanaan tugas dan target yang telah ditetapkan setiap saat melalui
dashboard BSc secara online pada internal website Bank Indonesia.” Saya dapat langsung
berkomunikasi dan berinteraksi kepada penanggungjawab suatu pencapaian target kalau
saya melihat ada indikasi target tersebut tidak tercapai,” jelas Halim Alamsyah yang
sebelumnya menjadi Direktur di Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Selain sisi
praktisnya, yang terpenting adalah filosofi dari BSc yang berorientasi bukan hanya kepada
hasil tetapi juga kepada proses.
Perubahan ini merupakan evolusi dari pelaksanaan beberapa sistem perencanaan strategis
yang pernah dilakukan oleh Bank Indonesia. Di era ’90an, BI telah menerapkan sistem MBO
(Management by Objective) yang lebih menekankan kepada sistem manajemen yang
berorientasi kepada hasil. Atas dasar itu, para pimpinan Satker bekerja dengan berorientasi
kepada hasil. Lama-lama manajemen Bl sadar bahwa sistem ini melupakan proses sehingga
hasil akhirnya tidak selalu baik. Untuk itulah BSc menjadi pilihan BI.
Dalam penerapan BSc pun BI melakukan secara bertahap. Awalnya saat diresmikan oleh
Gubernur BI Syahril Sabirin, BI lebih banyak menggunakan “Key Performance Indicator
(KPI) List” baik di level organisasi maupun Satker, atau yang biasa disebut dengan 1st
generation BSC. Dalam perkembangannya, BI menyempurnakan lebih lanjut dengan
memperkenalkan ’Strategy Map’ dalam SPAMIC, yang dianggap sebagai 2nd generation BSc.
Dan, terakhir dengan diperkenalkannya Destination Statement BI 2008 oleh Gubernur BI
sekarang, Burhanuddin Abdullah, maka BI dianggap telah memasuki era lebih lanjut menuju
2nd generation BSc.
Sebelum melibatkan konsultan, Dwi Pranoto yang sejak awal terlibat dalam Inisiatif SPAMK
mengatakan bahwa BI telah lama mengkaji dan mempelajari BSc, baik melalui buku/paper
mengenai BSc terutama yang ditulis oleh Kaplan dan Norton maupun dengan mengirimkan
pejabat dan stafnya mengikuti seminar dan kursus BSc sejak tahun 2000-an, serta
mempelajari implementasi BSc dari organisasi best practices.
Pada awal tahun tahun 2003, menurut Analis dari Tim yang sama Trisno Nugroho, BI mencari
konsultan lokal yang berpengalaman menerapkan BSc di lembaga publik, yang didukung
dengan praktisi dari Australia yang telah berpengalaman menerapkan BSc di lebih dari 100
lembaga publik. BI dan konsultan itu menyusun Strategy Map dan IICU untuk BI dan level
Satker dengan melakukan workshop dengan seluruh anggota Dewan Gubernur, Pimpinan
Satker, dan melaksanakan workshop intensif dengan wakil-wakil Satker.
Agar sukses, Bl melakukan manajemen perubahan yang terencana secara baik. Berbagai
perubahan penting untuk mendukung efektivitas SPAMK berbasis BSc telah dilakukan antara
lain dengan memperkenalkan Forum Strategis (Forstra), membentuk Komite PAMIC yang
diketuai oleh anggota Dewan Gubernur, dan menetapkan Manajer IKU di setiap Satuan Kerja
yang membantu pimpinan Satuan Kerja dalam mencapai kinerja Satuan Kerja dan kinerja BI,
serta melaksanakan edukasi dan komunikasi di seluruh jajaran BI.
Implementasi BSc di BI, menurut Halim, berjalan berkat dukungan penuh Dewan Gubernur BI
meskipun disadari masih belum seluruh aspek BSc bisa diterapkan secara mulus. BI sejak
awal telah menggunakan software dengan ’dashboard management’-nya’- untuk memantau
pencapaian kinerjanya. Melalui dashboard ini – yang mempunyai indikator hijau, kuning dan
merah – setiap anggota Dewan Gubernur dan Pimpinan Satker dapat memantau pencapaian
kinerja BI dan Satker secara online. Usaha evaluasi dan perbaikan kinerja yang tidak baik
(warna merah) maupun yang mencerminkan suatu early warning system (warna kuning)
diserahkan kepada anggota Dewan Gubernur dan Pimpinan Satker masing-masing. Dalam
praktiknya, upaya penilaian kinerja tersebut dirasakan belum berjalan optimal. Kondisi ini
juga muncul karena belum adanya Job Value di Bl (berapa penting/besar sumbangan suatu
bidang terhadap kinerja Bl), dan mana bidang yang tergolong core, strategic support,
maupun process. Meskipun pencapaian kinerja ini sudah terkait dengan kinerja Pimpinan
Satker, namun disadari belum terhubung sepenuhnya dengan sistem insentif.
Lantas, bagaimana arah implementasi BSC di BI ke depan? Menurut Halim dan Dwi, BI belum
akan menerapkan BSc hingga ke level individu dalam waktu dekat. Tantangan ke depan juga
masih banyak. Sebagai lembaga publik, dalam setiap kegiatannya Bl akan menghadapi
implikasi terutama yang terkait dengan aspek hukum dan reputasi lembaga.