Supernaturalisme dan Naturalisme serta Idealisme dan Materialisme. Istilah-
istilah naturalis, materialis, dan idealis, adalah istilah-istilah yang digunakan di kalangan ilmu IilsaIat sebagai suatu paham, pandangan, atau IalsaIah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap periode sastra biasanya ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur aliran yang menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra yang berada pada masa tersebut. Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat dari paham yang dikemukakan para IilosoI dalam menghadapi kehidupan alam semesta ini. TaIsiran yang mula-mula diberikan oleh manusia terhadap alam ini ada dua macam, yaitu supernatural dan natural. Penganut paham-paham tersebut dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-wujud yang bersiIat gaib yang bersiIat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam nyata yang mengatur kehidupan alam sehingga menjadi alam yang ditempati sekarang ini. Kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang paling tua usianya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia yang berpangkal pada paham supernaturalisme dan masih dianut oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini. Sebagai lawan dari paham supernatural adalah naturalisme yang menolak paham supernatural. Paham ini mengemukakan bahwa gejala-gejala alam yang terlihat ini terjadi karena kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham ini juga mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau kebendaan. Pada bidang seni terdapat pula kedua aliran besar tersebut dengan karakteristik yang berbeda, yaitu aliran idealisme dan materialisme. Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi angan-angan (idea) dan cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia nyata. Aliran ini pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.) yang dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang seni rupa pelukis yang beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan benda-benda sebaik mungkin daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme mengandung pandangan hidup di mana rohani mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan menjelaskan bahwa semua benda di dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan pikiran, pandangan yang nyata. Lawan aliran idealisme adalah aliran materialisme. Aliran ini mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4 sM, yang mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada kekuatan gaib yang bersiIat supernatural yang mengatur kehidupan ini. Di dalam bidang seni, seni rupa dan seni pahat, aliran materialisme atau naturalisme ini disebut juga dengan aliran realisme, yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut keadaan alam yang sebenarnya yang berdasarkan atas Iaktor-Iaktor perspektiI, proporsi, warna, sinar, dan bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra aliran materialisme atau naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.
Idealisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra Aliran-aliran yang terdapat di dalam karya sastra tidak dapat di- 'cap-kan sepenuhnya kepada seorang pengarang. Sutan Takdir Alisyahbana, misalnya dalam karyanya ia idealis tetapi juga romantis, sehingga ia juga dikenal sebagai seorang yang beraliran romantis-idealis. Dalam aliran idealisme terdapat aliran romantisme, simbolisme, ekspresionisme, mistisisme, dan surealisme. Sedangkan yang termasuk ke dalam aliran materialisme ialah aliran realisme, naturalisme, impresionisme, serta determinisme. Aliran lain yang berpandangan ke arah manusia sebagai pribadi yang unik dikenal sebagai aliran eksistensialisme. Aliran idealisme adalah aliran di dalam IilsaIat yang mengemukakan bahwa dunia ide,dunia cita-cita, dunia harapan adalah dunia utama yang dituju dalam pemikiran manusia. Dalam dunia sastra, idealisme berarti aliran yang menggambarkan dunia yang dicita-citakan, dunia yang diangan-angankan, dan dunia harapan yang masih abstrak yang jauh jangka waktu pencapaiannya. Di dalamnya digambarkan keindahan hidup yang ideal, yang menyenangkan, penuh kedamaian, kebahagiaan, ketenteraman, adil makmur dan segala sesuatu yang menggambarkan dunia harapan yang sesuai dengan tuntutan batin yang menyenangkan yang tidak lagi adanya keganasan, kecemasan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, yang menyusahkan dan menyengsarakan batin. Sastrawan Indonesia yang dikenal sebagai seorang yang idealis baik di dalam novel maupun puisinya ialah Sutan Takdir Alisyahbana. Aliran romantisme ini menekankan kepada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya. Untuk mewujudkan pemikirannya, pengarang menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya dan sesempurna- sempurnanya. Aliran romantisme biasanya dikaitkan dengan masalah cinta karena masalah cinta memang membangkitkan emosi. Tetapi anggapan demikian tidaklah selamanya benar. Simbolisme adalah aliran kesusastraan yang penyajian tokoh-tokohnya bukan manusia melainkan binatang, atau benda-benda lainnya seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia. Binatang-binatang atau tumbuh-tumbuhan diperlakukan sebagai manusia yang dapat bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat sebagaimana halnya manusia. Kehadiran karya sastra yang beraliran simbolisme ini biasanya ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau pengarang berbicara. Pada masyarakat lama, misalnya di mana kebebasan berbicara dibatasi oleh aturan etika moral yang mengikat kebersamaan dalam kelompok masyarakat, pandangan dan pendapat mereka disalurkan melalui bentuk-bentuk peribahasa atau Iabel. Aliran ekspresionisme adalah aliran dalam karya seni, yang mementingkan curahan batin atau curahan jiwa dan tidak mementingkan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang nyata. Ekspresi batin yang keras dan meledak-ledak. biasa dianggap sebagai pernyataan atau sikap pengarang. Aliran ini mula-mula berkembang di Jerman sebelum Perang Dunia I, Pengarang Indonesia yang dianggap ekspresionis ialah Chairil Anwar. Mistisisme adalah aliran dalam kesusastraan yang mengacu pada pemikiran mistik, yaitu Pemikiran yang berdasarkan kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi segala hal di alam ini. Karya sastra yang beraliran mistisisme ini memperlihatkan karya yang mencari penyatuan diri dengan Zat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Semesta Alam. Pada masa kesusastraan Klasik dikenal Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya yang sarat dengan ajaran mistik. Pada karya-karya sastra sekarang ini yang memperlihatkan aliran mistik, misalnya Abdul Hadi W.M., Danarto, dan RiIai Ali. Surealisme adalah aliran di dalam kesusastraan yang banyak melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bawah sadar, alam mimpi. Segala peristiwa yang dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan dan serentak. Aliran ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939) ahli psikiatri Austria yang dikenal dengan psikoanalisisnya terhadap gejala histeria yang dialami manusia. Dia berpendapat bahwa gejala histeria traumatik yang dialami seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang dilakukan dengan kondisi kesadaran pasien, bukan dengan cara menghipnotis sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Breuer. Menurut Freud emosi yang terpendam itu bersiIat seksual. Perbuatan manusia digerakkan oleh libido, naIsu seksual yang asli. Dengan menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan kepada kondisinya semula.
#ealisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya Pengarang berperan secara objektiI. Dalam keobjektiIanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan dihasilkan di dalam karya sastra. Pengarang tidak memasukkan ide, pikiran, tanggapan dalam menghadapi objeknya. GustaI Flaubert seorang pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai objek ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya. Impresionisme berarti aliran dalam bidang seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang seni lukis, aliran ini bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9.. Di dalam seni sastra aliran impresionisme tidak berbeda dengan aliran realisme, hanya pada impresionisme yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang diamati penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Karya sastra yang beraliran impresionisme pada umumnya terdapat pada masa angkatan Pujangga Baru, masa Jepang, yang pada masa itu kebebasan berekspresi tentang cita-cita, harapan, ide belum dapat disalurkan secara terbuka. Semua idealisme disalurkan melalui bentuk yang halus yang maknanya terselubung. Pengarang Indonesia yang karyanya bersiIat impresiI antara lain ialah Sanusi Pane, dengan puisi-puisinya Candi, Teratai, Sungai, Abdul Hadi W.M., dan W.S Rendra. Aliran naturalisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa Ienomena alam yang nyata ini terjadi karena kekuatan alam itu sendiri yang berinteraksi sesamanya. Kebenaran penciptaan alam ini bersumber pada kekuatan alam (natura). Di dalam seni lukis aliran naturalisme ini dimaksudkan sebagai karya seni yang menampilkan keadaan alam apa adanya, berdasarkan Iaktor perspektiI, proporsi sinar, dan bayangan. Di dalam karya sastra aliran naturalisme adalah aliran yang juga menampilkan peristiwa sebagaimana adanya. Karena itu ia tidak jauh berbeda dengan realisme. Hanya saja, kalau realisme menampilkan objek apa adanya yang mengarah kepada kesan positiI, kesan yang menyenangkan, sedangkan naturalisme sebaliknya. Dalam kesusastraan Barat, yang dikenal sebagai tokoh naturalis ialah Emil Zola (1840-1902) pengarang Perancis. Dalam karyanya gambaran kemesuman, pornograIi digambarkan apa adanya. Aliran seni untuk seni (l`art pour art`) melatarbelakangi pandangannya dalam berkarya. Di Indonesia pengarang yang karyanya cenderung beraliran naturalisme adalah Armijn Pane dengan novel Belenggu-nya, Motinggo Busye pada awal-awal novelnya tahun 60-an dan 70-an bahkan memperlihatkan novel yang dikategorikan pornograIis. Novel Saman (l998) karya Ayu Utami juga memperlihatkan kecenderungan ke arah naturalis. Determinisme ialah aliran dalam kesusastraan yang merupakan cabang dari naturalisme yang menekankan kepada takdir sebagai bagian dari kehidupan manusia yang ditentukan oleh unsur biologis dan lingkungan. Takdir yang dialami manusia bukanlah takdir yang ditentukan oleh yang Mahakuasa melainkan takdir yang datang menimpa nasib seseorang karena Iaktor keturunan dan Iaktor lingkungan yang mempengaruhinya.
sistensialisme dalam Karya Sastra
Di samping aliran-aliran yang telah dibicarakan sebelumnya, terdapat pula aliran kesusastraan yang berkembang akhir-akhir ini, yaitu aliran eksistensialisme. Aliran ini adalah aliran di dalam IilsaIat yang muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap dikotomi aliran idealisme dan aliran materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran idealisme yang hanya mementingkan ide sebagai sumber kebenaran kehidupan dan materialisme yang menganggap materi sebagai sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai keberadaan sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme melihat manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran, sedangkan materialisme melihat manusia hanya sebagai objek. Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia ini disebut objek karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin mencari jalan ke luar dari kedua pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang berpikiran bahwa manusia di samping ia sebagai subjek ia pun juga sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad TaIsir,1994 hal 193). Kata eksistensi berasal dari kata exist, bahasa Latin yang diturunkan dari kata ex yang berarti ke luar dan sistere berarti berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri dengan ke luar dari diri sendiri. Pikiran seperti ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan dasei. Dengan ia ke luar dari dirinya, manusia menyadari keberadaan dirinya, ia berada sebagai aku atau sebagai pribadi yang menghadapi dunia dan mengerti apa yang dihadapinya dan bagaimana menghadapinya. Dalam menyadari keberadaannya, manusia selalu memperbaiki, atau membangun dirinya, ia tidak pernah selesai dalam membangun dirinya. FilsuI yang pertama mengemukakan eksistensi manusia ialah Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) dari Denmark, kemudian Jean Paul Satre (1905-1980) IilsuI Perancis yang menyebabkan eksistensialisme menjadi terkenal. Menurut Satre karena manusia menyadari bahwa dia ada, yang berarti manusia menyadari pula bahwa ia menghadapi masa depan. Karenanya manusia sebagai individu mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan dirinya sendiri dan tanggung jawab terhadap manusia secara keseluruhan. Akibatnya, orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia adalah rasa takut yang datang dari kesadaran tentang wujudnya di dunia ini. Sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap manusia lainnya di dunia ini, mereka bebas menentukan, bebas memutuskan dan sendiri pula memikul akibat keputusannya tanpa ada orang lain atau sesuatu yang bersamanya. Dari konsepnya ini timbul pemikiran bahwa nasib manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dengan tidak bantuan sedikit pun dari yang lain. Akibatnya, manusia selalu hidup dalam rasa sunyi, cemas, putus asa, dan takut serta selalu dipenuhi bayangan harapan yang tak pernah terwujud dan berakhir. Karena dasar eksistensialisme ini adalah ide tentang keberadaan manusia, maka aliran ini tidak mementingkan gaya bahasa yang khas yang mencerminkan aliran tertentu, melainkan menekankan kepada pandangan pengarang terhadap kehidupan dan keberadaan manusia. Dalam perkembangannya, aliran eksistensialisme berkembang menjadi dua jalur, yaitu eksistensialisme yang ateistis dan eksistensialisme yang theistis. Eksistensialisme yang ateistis dikembangkan oleh Jean Paul Sartre dan eksistensialisme yang theistis dikembangkan oleh Gabriel Marcel. Dia menyatakan dengan tegas bahwa semua eksistensi adalah kenyataan karena adanya Tuhan. Manusia tidak mungkin ada kalau tidak ada Tuhan yang menciptakannya, dan konkretisasi alam dunia ini merupakan bukti nyata dari keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, keberadaan manusia di alam ini harus kembali ke jalan Tuhan dan mewujudkan pujian kepada Tuhan. Di dalam kesusastraan Indonesia, eksistensialisme ini terlihat pada novel-novel karya Iwan Simatupang, seperti Ziarah, Merahnya Merah, dan Kering, Dalam karyanya, Iwan Simatupang memperlihatkan manusia sebagai tamu di dunia ini. Sebagai tamu, ia datang, dan pergi lagi. Manusia gelisah, tidak punya rumah, selalu berada dalam perjalanan dan berlangitkan relativisme-relativisme.
Realisme sosialis adalah salah satu paham/aliran sastra yang cukup kuat mendominasi di Eropa Barat khususnya ketika rezim sosialis menempati posisi kekuasaan. Aliran ini cukup mempunyai konstribusi yang besar terhadap kasanah sastra dunia. Namun hingga kini banyak orang yang kurang suka membicarakannya.Hal ini punya alasan yang cukup kuat mengingat kebanyakan para sastrawan masih banyak yang berpaham netral dan anti partisan terhadap segala macam bentuk kekuasaan. Lebih-lebih ketika realisme sosialis pernah mengalami sejarah buruk ketika berada dalam genggaman kekuasaan Stalin di rusia selama beberapa dekade.
Realisme sosialis dan sastra lain yang berbau politis dan memihakkemudian sering direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi dipandang sebagai gagasan kreativitas yang humanis. Hal ini tidak terjadi di Eropa saja melainkan di Indonesiadimana para seniman realisme sosialis seperti Pramudya Ananta Toer dkk memang pernah terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang punya masalah historis. Agar reduksi yang menjerus pada sikap subyektiIisme/sentimen berlebihan ini bisa jernih maka perlulah kiranya di telaah lebih mendasar dan ilmiah tanpa perlu berprasangka buruk terhadap aliran ini.
Akar IilosoIis
Seperti halnya ajaran pemikiran lain, aliran realisme ini mempunyai persoalan historis dalam konsepsi dasarnya. Ia menjadi antitesis dari paham idealisme yang hanya cukup mendasarkan diri pada persoalan idea. Dalam tataran IilosoIis, Obyek yang di pandang paham idealisme hanya ada dalam akal budi maka sebaliknya kaum realis berpandangan bahwa obyek presepsi inderawi dan pengertian sungguh-sungguh ada ada terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya.
Alasan yang paling menonjol dalam hal ini adalah bahwasanya obyek itu dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat IilsaIat. Secara bahasa realis ini bertitik tolak dari kata latin yang mempunyai arti sungguh-sungguh, nyata benar adanya. Sebagai aliran etis realisme ini mengakui adanya Iaktor etis yang dialami, entah itu berkaitan dengan hidup, perilaku, dan perbuatan konkret, terlepas dari indra dan budi yang mengerti. (A. Mangunhardjana,1997).
Selaras dengan pendirianya tentang yang ada, dalam prinsip etis dan mengejar cita-cita etis, realisme menyesuaikan dengan hidup nyata. Artinya ia menolak paham yang hanya berpegang pada prinsip etis dengan alasan tidak mungkin dilaksanakan (tidak realistis) Dalam setiap melaksanakan prinsip dan cita-cita etisnya paham ini selalu memperhitungkan semua Iaktor; situasi, kondisi, keadaan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan orang-orang yang terlibat.
Kalau kita tengok lebih jauh pada dasarnya kemunculan aliran ini bukan berdiri sendiri. Ia terkait dengan konsepsi dasar IilosoIis materialisme dialektik dan materialisme historis (marxisme) yang digagas oleh Karl Marx dan Fedrik Engels. Walaupun orang seperti Pramudya mengaku tidak pernah belajar Marxis, namun berbagai karya sastra baik dalam bentuk novel, cerpen maupun romannya membuktikan keterkaitan tersebut. Apa sebenarnya dasar IilosoIi Marxis yang mempengaruhi sastra ini?
Pertanyaan ini adalah suatu pertanyaan mendasar berkaitan dasar teoritik marxisme dalam segala bidang. Dalam meninjau hubungan struktur masyarakat Marx berpandangan bahwa ada dua strata sosial yang ada dalam setiap zaman, yakni basis-struktur (struktur dasar) dan supra-struktur (struktur atas). Dalam hal ini IilsaIat marxis menempatkan ekonomi sebagai struktur yang secara urgen mempengaruhi bidang-bidang lain dalam bidang suprastruktur seperti, pemikiran, politik, agama, dan kebudayaan. Seluruh komponen suprastruktur berubah atau tidaknya akan sangat di tentukan dari dari corak produksi ekonomi sebuah masyarakat.
Dalam hal ini sastra menurut marxisme juga menempati bagian supra-struktur. Seni (sastra) merupakan bagian dari ideologi(kesadaran) masyarakatsatu elemen dalam struktur persepsi sosial yang amat rumit yang meyakinkan bahwa situasi dimana satu kelas sosial memeiliki kekuasaan terhadap kelas-kelas lainnya yang juga dilihat oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai suatu yang 'alamiah atau tidak terlihat sama sekali. Memahami sastra berarti pemahaman terhadap seluruh proses sosial di mana sastra merupakan bagiannya.(Terri Eagleton 1979).
Georgy Plekanov mengatakan; mentalitas sosial suatu jaman dikondisikan oleh hubungan-hubungan sosial pada masa itu. Sekarang hal itu cukup sebagai bukti sebagaimana dalam sejarah seni dan kesustraan.(Henri Arvon, 1970) Karya-karya sastra bagi marxisme bukanlah sesuatu yang terinspirasi secara misterius, atau sederhananya dipandang dalam istilah psikologi pengarangnya. Karya tersebut menurut Eagliton dipandang adalah bentuk persepsi-persepsi, cara khusus dalam memandang dunia; dan juga memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi mentalitas atau ideologi sosial suatu zaman. Sebaliknya ideologi tersebut adalah suatu produk dari hubungan sosial yang konkrit yang kedalamnya manusia memasuki ruang dan waktu tertentu; ideologi adalah cara hubungan-hubungan kelas yang dialami, dilegitimasi dan diabaikan. Terlebih lagi manusia tidaklah bebas memilih hubungan sosial mereka, mereka dipaksa memasuki hubungan sosial itu karena keharusan materialyang disandarkan oleh siIat dan tingkat perkembangan model produksi ekonomi mereka.
Aliran ini dulunya hanya bersiIat sederhana dan terbatas dalam lingkungan sastrawan yang bersinggungan dengan pemikiran marxis. Namun ketika ajaran marxis mampu menampilkan dirinya menjadi sebuah ideologi dan dipraksiskan oleh V.I Lenin menjadi partai revolusioner klas pekerja yang berideologi sosialisme, dan mempunyai banyak pengikut sastrawan beraliran realis, maka banyak orang menyebutnya menjadi realisme- sosialisme. Aliran ini lahir pertama kali di Rusia atas prakarsa beberapa sastrawan partai Bolshevik, antara lain, Maxim Gorki yang kemudian dikenal sebagai bapak pendirinya.
Pandangan awalnya ia mempunyai gagasan bahwa the people must know their history (manusia harus mengenali sejarah dirinya sendiri) dan 'musuh yang tak mau menyerah harus dimusnahkan.(Kurniawan Eka 1999). Slogan ini ternyata cukup memberikan pengaruh pada perkembangan realisme sosialis di kemudian hari.
Garis Visioner
Teori IilosoIis diatas ternyata tak mudah dipahami begitu saja oleh para sastrawan baik yang pro maupun yang kontra. Disatu sisi ia sering dianggap menempatkan sastra menjadi tidak penting dalam diskursus perubahan di lain pihak dianggap terlalu memaksa seniman untuk terus berkiblat pada doktrin yang kurang lebih ekonomistik. Selain itu bagi penganut realisme sosialis sendiri juga sering mengalami kegagalan dalam membentuk karekteristik sastra yang utuh. Hal ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh ketidak lengkapan pemikiran Karl Marx dan Engels yang memang tidak pernah secara utuh dan baku menjelaskan rumusan teoritik estetikanya.
Namun setidaknya sastra realisme rosialis pernah punya rumusan yang cukup valid. Apa yang di ungkapkan oleh Fokkema D.W dan Elrud Kunne-Ilsch dalam buku Teori Sastra Abad Keduapuluh (Gramedia;1998) setidaknya mengambarkan rumusan konkret tersebut. Mereka berdua menuliskan kriteria dalam tiga dasar pokok: 1) kriteria penaIsiran determinisme ekonomi yang menyangkut pertanyaan apakah karya sastra mengambarkan perkembangan-perkembangan lebih maju atau lebih mundur berdasarkan ekonomi;2)kriteria probabilitas kebenaran yang sepenuhnya sesuai dengan kode sastra pada zamannya; dan 3) kriteria (selera) pribadi, misalnya tulisan-tulisan Aeschylus, Shakespeare dan Goethe, yang termasuk daItar kesustraan pada zamannya. Secara general realisme sosialis menginginkan keharmonisan antara kenyataan dan idea. Kenyataan harus di nyatakan sebagai mana adanya, menurut proposisi aslinya, sementara idea harus di sandarkan pada konteks kondisi obyektiI. Hal yang paling prinsipil dari semuanya adalah semangat ideologi terhadap perjuangan klas bagi kaum tertindas (proletariat). Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai pemikiran realisme sosialis Mulai dari Maxim Gorki, Lu Hsun, George Lukacs, bahkan sampai Pramudya Ananta Toer.
Sastra realisme sosialis bisa dianggap sebagai sastranya rakyat jembel, kaum pekerja(buruh, tani dan nelayan) yang hadir untuk ikut terlibat berjuang melawan segala sesuatu yang menindas terutama sistem kapitalisme yang secara nyata menghisap kaum pekerja.( Kurniawan Eka, 1999). Ia harus menjadi aspeks gerakan partisan terhadap partai revolusioner. V. I. Lenin, sang pemimpin revolusi Rusia 1917 mengatakan; Sastra haruslah menjadi roda penggerak dan baling-baling dari sebuah mesin besar sosial demokrasi. Kenetralan tulisan dianggap oleh Lenin sebagai sesuatu yang mustahil, 'kebebasan penulis borjuis (klas menegah) hanyalah ditopengi oleh ketergantungan terhadap sekantong uang!.begitu juga dengan penulis-penulis non partisan. Apa yang dibutuhkan adalah sastra yang luas, bentuk yang beragam dan tidak terpisah dari gerakan klas pekerja (kaum buruh dan tani).
Karena persoalan komitmen dan keberpihakan inilah yang kemudian sering dikatakan oleh berbagai macam sastrawan idealis-borjuistik dengan klaim bahwa sastra marxis lebih mengutamakan visi politik (kepentinganya) dari pada mengutamakan netralitas dan kebebasan ekspresinya. Realisme sosialis yang paling dominan memang tidak mengelak dari persoalan ini. Aturan garis ini memang terkesan menjurus dalam satu Iormat ideologi kepentingan partai.
Kebebasan ekspresi bagi seniman seolah-oleh menjadi terengut didalamnya. Benarkah demikian halnya? Leon Trotsky, arsitek terpenting revolusi Rusia setelah lenin memberikan jawaban pada pertanyaan ini. Ia melihat bahwa wilayah budaya (baca; sastra dan seni) bukanlah suatu tempat dimana partai terpanggil untuk memerintah, tapi bukan berarti memilih mentoleransi karya-karya yang menentang revolusi. Sebuah kewaspadaan revolusioner haruslah disatukan dengan kebijakan yang luas dan Ileksibel dalam ilmu- ilmu sastra. (Issac Detscher, 1959)
Sastra bagi partai sosialis haruslah 'realis, tapi dalam pengertian umum yang tak sempit, karena kaum realis sendiri pada hakekatnya tidaklah revolusioner dan reaksioner. Realisme sebetulnya adalah 'sebuah IilsaIat hidup yang tidak seharusnya dibatasi menjadi teknik-teknik suatu sekolah khusus. Trotsky memandang bahwa bentuk-bentuk artistik sebagai hasil dari 'muatan sosial, tapi pada saat yang sama dia menganggapnya berasal dari sebuah tingkatan tinggi otonomi.(literature and evolution in Soviet1917-62). Pendek kata dari seluruh rangkaian teoritik diatas seni tidak bisa dinilai dan dihakimi dari parameter yang lain seperti politik, sosial, eksak, melainkan hanya melalui hukumnya seni itu sendiri.
Urgensi bagi Indonesia
Di atas telah dijelaskan akar dan garis visi serta komitmen keberpihakan sebuah sastra. Relevansi persoalan IilosoIis dan visi seni (sastra) di negara kita terhadap aliran kiri ini belumlah banyak di kaji oleh para sastrawan. Sastrawan kita lebih banyak yang sering mengkritik aliran ini secara vulgar tanpa pertimbangan basis teoritik yang memadai. Jikalau-pun ada yang berkeinginanmempraktekkan aliran ini di negara kita, kendala- kendala yang muncul tentulah tidak sedikit. Selain dari halangan yang muncul dari pihak luar yang berupa intrik, teror dan sikap sinis terhadap aliran ini, di kalangan penganutnya-pun sering terjadi kontradiksi yang menjurus pada sikap-sikap ideologis.
Diluar itu sebenarnya masyarakat kita membutuhkan aliran ini sebagai pelengkap keragaman yang telah ada. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan situasi makro dimana rakyat Indonesia membutuhkan komponen perubahan transIormasi sosialmaka realisme sosialis rasanya penting di jadikan elan revolusioner bagi aktivis gerakan akar bawah yang menginginkan tegaknya keadilan dan demokrasi.***
FAIZ MANSHUR (Penulis tinggal di Bandung)
aliran-aliran sastra Aliran realisme ialah aliran yang ingin mengemukakan kenyataan, barang yang lahir (lawan batin). SiIatnya harus obyektiI karena pengaranag melukiskan dunia kenyataan. Segala-galanya digambarkan seperti apa yang tampak, tak kurang tak lebih. Rasa simpati dan antipati pengarang terhadap obek yang dilukiskannya, tak boleh disertakannya. Dengan perkataan lain, pengarang dalam ceritanya itu tidak ikut bermain, dia hanya penonton yang obyektiI. Kalau aliran realisme melukiskan apa yang tampak, yang nyata, maka seniman ekspresionisme merasakan apa yang bergejolak dalam jiwanya. Pengarang ekspresionisme menyatakan perasaan cintanya, bencinya, rasa kemanusiaannya, rasa ketuhanannya yang tersimpan di dalam dadanya. Baginya, alam hanyalah alat untuk menyatakan pengertian yang lebih tentang manusia yang hidup. Kalau seniman impresionistis menyatakan kesannya sesudah dia melihat sesuatu, maka seniman ekspresionistis mengeluarkan rasa yang menyesak padat di dalam kalbunya dengan tak memerlukan rangsangan dari luar. SiIat lukisannya subyektiI. Pernyataan jiwa sendiri ini terutama dinyatakan dengan bentuk puisi karena puisi adalah alat utama pujangga sastra untuk melukiskan perasaannya. Sajak-sajak Chairil Anwar kebanyakan ekspresionistik siIatnya. Ke dalam aliran ekspresionisme termasuk juga aliran-aliran: romantic, idealisme, mistisisme, surealisme, simbolik, dan psikologisme. Aliran naturalisme ingin melukiskan keadaan yang sebenarnya, sering cenderung kepada lukisan yang buruk, karena ingin memberikan gambaran nyata tentang kebenaran. Untuk melukiskan kejelekan masyarakat, pengarang naturalis tidak segan-segan melukiskan kemesuman. Emelia Zola seorang pengarang naturalis Perancis yang paling besar di zamannya. Sering lukisannya dianggap melampaui batas kesopanan sehingga seolah-olah tidak ada lagi batas-batas ukuran susila dan ketuhanan padanya. Determinisme ialah cabang aliran naturalisme, bias diartikan paksaan nasib`. Tetapi bukan nasib yang ditentukan oleh keadaan masyarakat sekitar seperti kemiskinan, penyakit, penyakit keturunan, kesukaran karena akibat peperangan, dan sebagainya. Yang menjadi soal dalam karangan-karangan aliran ini ialah penderitaan seseorang: jahatkah, melaratkah, menderita karena penyakit keturunan, bukan karena Tuhan sudah menakdirkan dia harus hidup demikian, melainkan sebagai akibat masyarakat yang bobrok. Masyarakat yang bobroklah yang melahirkan manusia-manusia seperti itu. Cara pengarang melukiskan juga naturalistic. Pengarang impresionistis melahirkan kembali kesan atas sesuatu yang dilihatnya. Kesan itu biasanya kesan sepintas lalu.Pengarang takkan melukiskannya sampai mendetail, sampai kepada yang sekecil-kecilnya seperti dalam aliran realisme atau naturalisme sipaya ketegasan, spontanitas penglihatan, dan perasaan mula pertama tetap tak hilang. Lukisan seperti itulah lukisan beraliran impresionisme. Aliran romantic mengutamakan rasa, sebagai lawan aliran realisme. Pengarang romantis mengawan kea lam khayal, lukisannya indah membawa pembaca kea lam mimpi. Yang dilukiskannya mungkin saja terjadi, tetapi semua dilukiskan dengan mengutamakan keharuan rasa para pembaca. Bila seseorang berada dalam keadaan gembira, maka suasana sekitarnya harus pula memperlihatkan suasana yang serba gembira, hidup, berseri-seri. Demikian juga sebaliknya. Kata-katanya pilihan dengan perbandingan- perbandingan yang muluk-muluk. Aliran romantic terbagi pula atas aktiI romantic dan pasiI romantic. Dinamakan aktiI romantic apabila lukisannya menimbulkan semangat untuk berjuang, mendorong keinginan untk maju. Dinamakan pasiI romantic, apabila lukisannya berkhayal-khayal, bersedih-sedih, melemahkan semangat perjuangan. Idealisme ialah aliran romantic yang didasarkan pada ide pengarang semata-mata. Pengarang memandang ke masa yang dapat memberikan bahagia kepadanya atau kepada nusa dan bangsanya. Seolah-olah pengarang seorang juru ramal yang merasa bahwa ramalannya (Iantasinya) pasti atau sekurang-kurangnya mungkin terjadi. Dalam aliran ini lukisan realitasnya bercampur angan-angan, mala angan-angan amat mempengaruhi bentuk lukisan. Di dalamnya ada pernyataan jiwa, pemasakan dalam jiwa. Kalau dalam Iilm semua hal (gerak-gerik, suara, musik, pemandangan) dapat dinyatakan serentak, maka di dalam tulisan, hal-hal seperti itu harus dinyatakan satu demi satu. Itu sebabnya, lukisan tampak melompat-lompat dari yang satu kepada yang lain, justru untuk menyatakan keseluruhan itu sekaligus. Payah pembaca mengikuti karangan yang bercorak surealisme. Pembaca harus menyatukan dalam pikirannya segala lukisan yang seakan-akan bertaburan itu. Jalan atau aturan tata bahasa seolah-olah diabaikan oleh pengarang karena pikiranna meloncat- loncat dengan cepat. Logika seakan-akan hilang, alam benda dan alam pikiran bercampur aduk menjadi satu. Kebanyakan sajak-sajak Sitor Situmorang beraliran surealisme. Lukisan secara simbolik ialah lukisan yang menganbil sesuatu sebagai pelambang, sering kelihatan seperti sindiran. Pada masa jepang berkuasa di tanah air kita, sensor atas karangan-karangan amat keras. Untuk mencoba melepaskan diri dari jaringan sensor itu, dibuatlah karangan yang simbolis. Jika tidak, maka karangan ditambah lagi dengan kalimat-kalimat yang tak berarti sekedar untuk mengelabuhi mata sensor Jepang. Dalam karangan yang simbolis biasanya binatang atau tumbuhan dilukiskan sebagai manusia dengan siIat-siIatnya. Misalnya Hikayat Kalilah dan dimnah, Hikayat Panca Tantra, Syair si Burung Pungguk. Dalam kesusastraan Indonesia, kita lihat misalnya karangan Maria Amin Tinjaulah Dunia Sana. Tokohnya ikan-ikannya dalam akuarium. Gerak-gerik dan siIat-siIat ikan itu dilukiskannya sebagai lukisan manusia yang beraneka ragam siIatnya. Aliran simbolik sejalan dengan surealisme, yakni bahwa ala mini hanyalah sebagai batu loncatan untuk menyatakan pengertian yang lebih tentang manusia yang hidup. Aliran ini mengutamakan penguraian psiko (jiwa). Itu sebabnya pengarang harus mempunyai pengetahuan tentang dasar-dasar jiwa manusia berdasarkan teori-teori para ahli ilmu jiwa umpamanya Freud dan Kunkel, mengetahui teeori serta mendalami jiwa manusia seperti tokoh cerita yang akan ditampilkannya. Harus tahu bagaimana jiwa orang Islam, Kristen, Budha, Hindu, sehubungan dengan agama anutan masing-masing. Harus tahu bagaimana jiwa manusia yang berpaham Marxisme, anarchisme, dan sebagainya. Dengan tak memiliki pengetahuan tersebut, sukarlah bagi pengarang melukiskan jiwa tokoh-tokoh ceritanya setepat mungkin. Contoh kaangan yang beraliran psikologisme dalam kesusastraan kita adalah Atheis karya Achdiat Kartamihardja dan Jalan tak Ada ujung karya Mochtar Lubis.