Você está na página 1de 4

Contoh Study Kasus, tentang :

Argumentum Ad Hominem

Argumentum ad hominem adalah sesat nalar dimana suatu pernyataan ditolak
kebenarannya karena menolak diri orang yang mengatakannya. Kasarnya, orang yang
menggunakan argumentum ad hominem sudah punya asumsi dalam pikirannya terhadap si
pembicara "apapun yang kamu katakan pasti salah." Argumentum ad hominem diarahkan
untuk menyerang manusianya, bukan intelektualnya, argumentasinya, dan logikanya.
Argumentum ad hominem mengarah pada perasaan atau prasangka.

Contoh Studi kasusnya :
Seorang anak balita berlari-lari mengejar bola yang terus menggelinding di sebuah taman.
Tiba-tiba ia terjatuh. Sang ibu yang melihat kejadian itu sontak langsung mendekati buah
hatinya.

'Jatuh ya, Nak? Siapa yang nakal? Kodoknya yang nakal ya? Ugh! Kodoknya memang
nakal! Ibu pukul ya kodoknya? Cup..cup.. Jangan nangis lagi ya, kodoknya udah pergi.
Kodoknya memang nakal. kata sang Ibu sembari berpura-pura memukul kodok untuk
menghentikan tangis anaknya.

Jurus 'menyalahkan kodok seperti ini terkadang memang ampuh untuk menghentikan tangis
seorang anak kecil yang terjatuh. Menghadirkan sebuah kodok IiktiI untuk dipersalahkan
karena sebetulnya tidak ada kodok di taman itu. Lebih tepatnya, sebetulnya bukan kodok
yang menyebabkan anak itu terjatuh. Tentunya seorang anak kecil bisa terjatuh karena
banyak hal, karena perilaku anak itu sendiri yang berlari-lari kesana kemari, tersandung batu,
atau apa pun juga. Yang jelas, jarang sekali anak kecil terjatuh karena seekor kodok yang
nakal. Lalu kenapa kodok yang disalahkan? Apa salah kodok?

Ketika kita menimpakan kesalahan kepada orang lain atau benda, maka baru saja kita
melakukan argumentum ad hominem. Sebuah perilaku yang menunjukkan kesalahan logika
(logical fallacy) dimana kita menyerang pribadi seseorang atau sesuatu yang tidak ada
hubungannya ketika kita menghadapi masalah. Misalnya, kita datang terlambat ke kantor
kemudian kita menyalahkan traffic light yang berwarna merah sehingga menghalangi kita
sampai di kantor tepat waktu. Atau ketika kita gagal ujian, kita salahkan hujan yang datang
terus menerus.

Gejala argumentum ad hominem seperti ini menghalangi kita untuk belajar jujur mencari
sebab suatu masalah. Jeda traffic light saat berubah dari warna merah menjadi warna hijau
tentu saja tidak berubah setiap harinya. Lalu mengapa di lain hari kita bisa datang tepat
waktu, namun di waktu yang lain kita datang terlambat? Apa benar traffic light yang
menjadikan kita terlambat? Atau memang karena kita yang terlambat bangun pagi? Lalu,
apa salah hujan ketika kita tidak bisa mengerjakan soal ujian? Badai kah? Tentu saja
kejujuran dari masing-masing diri kita yang mampu menjawabnya.

Gejala argumentum ad hominem kerap pula kita temui saat berdebat. Baik perdebatan yang
terjadi dalam percakapan sehari-hari maupun dalam sebuah Iorum diskusi. Shoot the
messenger, not the message. Argumentum ad hominem adalah cara berdebat yang menyerang
pribadi lawan debat secara langsung, bukan argumennya. Dalam lomba debat sendiri, peserta
yang melontarkan argumen menyerang pribadi lawannya akan mendapat 'kartu merah
sehingga untuk selanjutnya dia tidak diperkenankan meneruskan debat dan dinyatakan kalah.
Kenapa begitu? Sebab, ad hominem adalah salah satu bentuk logical fallacy.

Logical fallacy adalah sebuah salah besar, karena bisa menjebak perdebatan konstruktiI
menjadi debat kusir penuh retorika. Beberapa jenis kesesatan penalaran dipelajari sebagai

lawan dari argumentasi logis. Teknik berargumen jenis ini bisa dilontarkan tampak sangat
Irontal ataupun disampaikan dengan bahasa yang sangat halus hingga tidak ada orang yang
menyadarinya. Namun yang paling penting, logical fallacy menghasilkan sebuah kesimpulan
yang sesat karena tidak disusun dengan logika yang benar.

Kesalahan relevansi. Benar tidaknya suatu konklusi tidak didasarkan pada kaidah-kaidah
logika, tapi pada ukuran-ukuran lain yang tidak relevan dengan logika. Sebuah kesalahan
logika karena pemilihan premis yang tidak tepat, yaitu membuat premis dari proposisi yang
salah dan proses kesimpulan premis yang caranya tidak tepat. Sehingga premisnya tidak
berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari. Secara psikologis, premis tersebut
nampak saling berhubungan. Namun kesan akan adanya hubungan psikologis ini sering kali
membuat orang terkecoh.

Dalam argumentum ad hominem, ukuran kebenaran yang digunakan adalah penilaian
terhadap orang yang menyampaikan pernyataan atau argumentasi. Sebuah hal yang keliru
ketika ukuran logika yang ada dihubungkan dengan kondisi pribadi personal seseorang yang
sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi argumennya.

Secara sederhana, argumentum ad hominem muncul saat ada keinginan untuk menang. Saat
dimana seseorang tidak bisa menerima kenyataan sehingga akhirnya mencari-cari subjek lain
untuk dipersalahkan. Sebuah hal yang wajar ketika semua orang ingin diterima oleh orang
lain. Baik diterima keberadaanya maupun cara berpikirnya. Yang menjadi masalah adalah
ketika mengusahakan penerimaan itu kita menghalalkan berbagai cara, termasuk dengan
merendahkan pribadi orang lain di sekeliling kita.

Ali ra sendiri pernah mengatakan bahwa 'Seorang muslim yang baik adalah ketika ia melihat
muslim yang lain maka ia merasa bahwa muslim yang lain itu lebih baik daripada dirinya
sendiri. SiIat merendahkan orang lain sebetulnya adalah sebuah sikap yang mencerminkan
kecacatan pribadi. Saat kecacatan pribadi seseorang terlihat oleh orang lain maka ia akan
sibuk mencari kecacatan yang ada pada diri orang lain. Sungguh benar kata sebuah
peribahasa yang kita kenal saat duduk di bangku sekolah dulu, 'kuman di seberang lautan
tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.

Sayangnya, menghindari kesalahan logika seperti ini dalam kehidupan sehari-hari sangat lah
susah. Kesesatan logika yang kita temui setiap harinya pun sebenarnya sangat eIektiI
digunakan untuk provokasi, menggiring opini publik, pembentukan sebuah regulasi,
pembunuhan karakter, atau penghindaran jerat hukum. Padahal jika ingin menemukan
sebuah solusi maka akan terasa lebih bijak jika kita bersama-sama membahas substansi
masalah yang ada dan bukan sekedar menginginkan pendapatnya diterima oleh orang lain.
Memang, dengan memanIaatkan kesalahan logika dalam sebuah silat lidah kita dapat
memenangkan suatu diskusi, namun itu menjauhkan kita dari esensi permasalahan. Suatu
bangsa akan maju ketika masyarakatnya sudah terbiasa berdiskusi secara konstruktiI,
termasuk pula bebas dari kesalahan-kesalahan logika saat berargumentasi.

Saya pribadi pun mungkin masih banyak melakukan kesalahan logika dalam menyusun
argumen. Dan bukan sebuah hal yang mustahil ketika selesai membaca tulisan saya yang
panjang dan membuat kerut berkening ini, seorang pembaca blog akan berkata : 'Heuleuh..
loe aja ngejelasin kesalahan logika masih nggak jelas gini pake ngemeng sok pilsup.. kuliah
lagi dulu sanah! ntar kalo dah lulus baru loe nulis lagi soal beginian.. Maka pembaca blog
tersebut baru saja memberikan contoh kalimat argumentum ad hominem
-og.akusukamenuis)

Você também pode gostar