Você está na página 1de 3

Antara PKS dan Ikhwanul Muslimin

Ada sebuah peristiwa menarik bertahun-tahun silam, menjelang Indonesia memasuki era Reformasi. Saya lupa waktunya, mungkin tahun 1996 atau 1997. Waktu itu di Masjid Al Manar Jl. Puter Bandung diadakan bedah buku Memoar Hasan Al Banna. Buku ini diterbitkan oleh Era Intermedia dari Solo. Hadir sebagai pembicara pimpinan Era Intermedia sendiri dan KH. Rahmat Abdullah. Dalam sessi tanya-jawab, Ustadz Rahmat rahimahullah ditanya tentang eksistensi Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Singkat kata, adakah Ikhwanul Muslimin di Indonesia? Secara mengejutkan, beliau malah menjawab: Wallahu Alam, ada atau tidak. Saya terus terang kecewa dan berburuk sangka kepada Ustadz Rahmat Abdullah ketika itu. Masak sih, ada kader-kader Tarbiyah (IM) sedemikian banyak, kok dibilang wallahu Alam? begitu pertanyaan saya di hati. Luar biasanya, jawaban Ustadz Rahmat Abdullah diulang kembali ketika beliau diwawancarai wartawan Suara Hidayatullah. Malah dalam wawancara itu beliau didesakdesak terus oleh sang wartawan untuk mengakui, bahwa Jamaah Tarbiyah di Indonesia, adalah representasi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tetapi berulang-ulang beliau tidak memberi jawaban tegas. Kesannya sama seperti dalam bedah buku di atas, jawaban sengaja digantung. Alasan Ustadz Rahmat sangat menarik. Kata beliau, kurang-lebih, Kalau kita mengaku bagian dari Ikhwanul Muslimin Mesir, apa memang kita ini sudah memiliki kualitas seperti mereka? Bahkan, ketika beliau diberitahu bahwa Habib Husein Al Habsyi telah mendeklarasikan berdirinya Ikhwanul Muslimin Indonesia, beliau mengecam hal itu dengan sengit. Kalau ada yang mengklaim, biar dia makan klaimnya, kata Ustadz Rahmat tegas. Saya semula menyangka, pernyataan Ustadz Rahmat itu adalah bagian dari diplomasi, atau katakanlah menjaga amniyah (kerahasiaan). Kalau diakui secara jujur, khawatir nanti komunitas Jamaah Tarbiyah atau Partai Keadilan (PK) ketika itu akan diberangus habis oleh kekuasaan. Ya, katakanlah pernyataan beliau hanya semata diplomasi belaka. Namun jujur saja, ketika saya melihat sikap-sikap PKS dewasa ini, saya sangat ragu bahwa mereka adalah bagian dari jaringan dakwah Ikhwanul Muslimin di Mesir. Wih, wih, bagi yang mengetahui perkembangan Al Ikhwan di Timur Tengah, pasti akan merasa ragu melihat sikap PKS selama ini. Benarkah partai ini representasi Al Ikhwan? Atau hanya ngaku-ngaku saja? Kenyataannya, perbedaan sikap di antara mereka amatlah tajam. Seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir, Kamaluddin As Saraniri (saya yakin orangorang PKS saat ini banyak yang tidak tahu tokoh ini). Beliau pernah diminta menandatangani surat yang isinya mengakui kepemimpinan Anwar Sadat dan meminta maaf kepadanya. Dengan sangat tegas beliau mengatakan, Kalau sepatuku ini mau tunduk kepada Anwar Sadat, ia akan aku buang. Atas sikap kerasnya itu beliau

mendapat hukuman eksekusi di selnya sendiri. Bandingkan dengan sikap PKS yang sangat pro kekuasaan, siapapun yang memegang tampuk kekuasaan itu. PKS bukan saja pro kekuasaan, tetapi tidak malu-malu menampakkan diri dengan maneuver-manuver menggelikan. Kemudian lihatlah sikap tegas Hamas kepada Israel. Biarpun tokoh-tokoh Hamas sudah banyak yang terbunuh oleh kezhaliman Israel, mereka tetap teguh dengan pendiriannya. Mereka tidak menginginkan, kecuali Israel keluar dari bumi Palestina. Hamas itu jelasjelas sosok Ikhwanul Muslimin sejati. Jelas yang demikian ini sangat berbeda dengan PKS di Indonesia. Bahkan, sampai saat ini Ikhwanul Muslimin masih menyertai gerakan jihad fisik di Iraq dan Afghanistan, selain di Palestina tentunya. Selain pemuda-pemuda Saudi, banyak pemuda Al Ikhwan berjuang di Irak mengusir penjajah. Berbeda dengan PKS yang kemarin itu berjihad dengan mengumpulkan sedekah untuk membantu korban bencana kemanusiaan di Ghaza. Tifatul Sembiring secara jelas mengatakan di media-media, mereka tidak berkepentingan dengan jihad fisik, tetapi lebih ke soal charity untuk membantu korban peperangan di Ghaza. Di Turki pun, kader-kader Al Ikhwan memiliki sikap yang militan. Baik Refah, Najamuddin Erbakan, maupun Erdogan, mereka tidak ragu-ragu untuk bersikap tegas dalam pendirian politiknya. Seperti Erdogan yang mengecam keras Shimon Perez dalam pertemuan di Davos yang menghebohkan dunia itu. Tipikal tegasnya Al Ikhwan ada disana. Malah sampai saat ini, penangkapan kader-kader Al Ikhwan di Mesir tidak pernah berakhir. Ia terus terjadi. Termasuk beberapa puluh pemuda Al Ikhwan yang ditangkap Pemerintah Mesir karena mau menyebrang ke Ghaza. Ingat lho, ini peristiwa aktual, baru beberapa bulan lalu saat Tragedi Ghaza meletus. Ini bukan peristiwa di jaman Syaikh Al Banna atau Syaikh Sayyid Quthb rahimahumallah di masa lalu. Parameter lain. Tidak ada tokoh-tokoh PKS yang menjadi para alim, ahli ilmiah Islam yang mumpuni. Padahal, Al Ikhwan banyak melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan Islam yang terkenal. Tokoh-tokoh seperti Said Ramadhan Al Buthi, Thaha Jabir Al Ulwani, Abdullah Nashih Ulwan, Jasim Al Muhalhil, dll. sangat banyak. Kalau di Palestina memang jarang melahirkan tokoh-tokoh ahli ilmu, tetapi dari Mesir dan negara-negara Timur Tengah lainnya, banyak lahir ilmuwan Islam. Padahal kalau mau jujur, beberapa elit PKS adalah doktor-doktor di bidang ilmiah Islam. Mengapa ilmunya yang sudah puluhan tahun dikejar seperti tidak dipakai? Masak ilmu sebanyak itu hanya dipakai sebagai roket pendorong kepentingan politik? Termasuk para ustadz yang bergelar Lc, alumni Saudi maupun LIPIA. Masak semuanya tumplek blek untuk urusan politik semua? Aneh bin ajaib. Begitu pula, jamaah Al Ikhwan terkenal dengan tradisi menghafal Al Quran di kalangan mereka. Konon, mahasiswa-mahasiswa Kedokteran di Mesir, rata-rata sudah hafizh Al

Quran. Menurut seorang kenalan baik di Jakarta, budaya Al Quran di Mesir itu sangat kuat. Sampai para satpam pun, saat-saat senggang mereka membaca Al Quran. Tapi kalau melihat komunitas PKS saat ini, apakah mereka benar-benar menghidupkan Al Quran dengan membaca, menghafal, dan mentadabburinya? Saya tidak yakin hal itu. Sebab, seperti yang disebutkan Sayyid Quthb, buah dari interaksi yang intens dengan Al Quran akan melahirkan banyak barakah. Sedangkan kalau melihat sikap-sikap politik PKS akhir-akhir ini, bagian mana yang disebut barakahnya? Semua ini menunjukkan, bahwa ada yang salah dari partai ini kalau mengaitkan diri dengan Al Ikhwan. Dan ada hal-hal lain yang bisa digali sebagai parameter pelengkap. Lalu karakter Ikhwanul Muslimin sendiri seperti apa? Setahu saya, wallahu Alam bisshawaab, mereka memiliki karakter sebagai berikut: [-] Minat kepada kajian ilmiah Islam. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya lahir penulis-penulis Al Ikhwan, banyak dosen-dosen ilmu Syari di Al Azhar maupun Universitas-universitas Saudi, Qatar, dan lainnya. [-] Komitmen kepada Syariat Islam. Sampai jabatan Mursyid Aam Ikhwanul Muslimin dipegang oleh Syaikh Muhammad Mahdi Akib saat ini, belum pernah ada pernyataan Mursyid Aam Ikhwan yang melegitimasi aliran sesat, sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. [-] Anti terhadap anasir-anasir asing (kafir) di dunia Islam. Ini sikap yang jelas dan banyak buktinya. Bahkan, sebenarnya jamaah Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Syaikh Al Banna di Mesir ialah untuk: Mengusir penjajah Inggris dari Mesir, dan menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah. Meskipun kemudian sikap pemimpinpemimpin Ikhwan tidak sefrontal Al Banna dan Sayyid Quthb, tetapi perlawanan mereka terhadap penjajah asing tetap kuat. Buktinya ialah jihad di Palestina, Afghanistan, dan Irak saat ini. Akhirnya, saya mengerti ucapan Ustadz Rahmat Abdullah rahimahullah yang disebutkan di bagian muka. Benar kata beliau, kalau hanya mengklaim saja mudah. Tetapi apakah suatu kaum telah memiliki kualitas seperti pihak yang diklaimnya? Nah, itulah pertanyaannya. Silakan Anda renungkan sendiri baik-baik, seraya memohon pertolongan dan petunjuk Allah Subahanahu Wa Taala. Wallahu Alam bisshawaab.

Você também pode gostar