Você está na página 1de 8

BAB II

VAKSINASI MENINGITIS

A. Pengertian Meningitis
Meningitis adalah penyakit radang selaput otak. Penyakit ini terjadi
pada meninges, yaitu selaput (membran) yang melapisi otak dan syaraI
tunjang. Meningitis dapat disebabkan berbagai organisme seperti virus,
bakteri, ataupun jamur yang menyebar masuk ke dalam darah dan
berpindah ke dalam cairan otak.
Bakteri yang dapat mengakibatkan serangan meningitis di
antaranya Streptococcus pneumoniae (pneumonoccus). Bakteri ini yang
paling umum menyebabkan meningitis pada bayi atau anak-anak. Jenis
bakteri ini juga yang bisa menyebabkan inIeksi pneumonia, telinga dan
rongga hidung (sinus). Bakteri lainnya adalah jenis Neisseria meningitidis
(meningococcus). Bakteri ini merupakan penyebab kedua terbanyak
setelah Streptococcus pneumenie. Meningitis terjadi akibat adanya inIeksi
pada saluran naIas bagian atas yang kemudian bakterinya masuk ke dalam
peredaran darah.
Meningitis yang disebabkan oleh virus dapat ditularkan melalui
batuk, bersin, ciuman, sharing makan atau sendok, pemakaian sikat gigi
bersama dan merokok bergantian dalam satu batangnya. Gejala meningitis
yang utama adalah nyeri kepala, leher kaku, kulit kemerahan, kesadaran
menurun dan kejang-kejang.
Memang penularan meningitis kerap terjadi, termasuk dalam
pelaksanaan ibadah haji. Daerah endemik meningitis meningokokus antara
lain AIrika, Amerika Utara, Amerika Latin, dan Selandia Baru.
B. Pengertian Vaksin Meningitis
'aksin Meningitis adalah vaksin yang disuntikkan kepada para
jamaah haji yang hendak melaksanakan ibadah haji dengan tujuan
mencegah penularan meningitis meningokokus antar jamaah haji.
'aksinasi meningitis sebaiknya dilakukan minimal 10 hari sebelum
keberangkatan. Untuk menghindari serta melakukan pencegahan terhadap
penularan meningitis tersebut, para calon jama`ah haji diwajibkan untuk
diberikan vaksin meningitis.
Dari berbagai sumber mengenai vaksin meningitis, dapat ditemukan Iakta
permasalahan sebagai berikut :
1. 'aksin meningitis lama (/ Mencevax TM ACW 135 Y),
pada produk akhir tidak mengandung unsur babi, tapi pada proses
pembuatan/pengolahannya bersinggungan atau bersentuhan dengan
unsur babi (sebagai katalisator). Di antaranya diambil dari pankreas
abi.
2. 'aksin meningitis baru (NEW Mencevax TM ACW 135 Y)
yang dipasarkan sejak akhir 2008. Dalam proses pembuatannya
tidak lagi menggunakan unsur babi sebagai katalisator, tetapi
bahannya merupakan larutan orking seed dari Iormula lama
(/ Mencevax TM ACW 135 Y). Dengan kata lain, vaksin
baru itu bahannya atau sumbernya dari vaksin lama.
3. Belum ditemukan vaksin meningitis yang benar-benar lepas dari
murni tanpa keterkaitan dengan vaksin meningitis yang ada.
C. Alasan Menggunakan 'aksin Meningitis
Adapun alasan Pemerintah Arab Saudi mewajibkan calon jemaah
haji tetap mendapatkan suntikan vaksin meningitis. Beberapa alasannya
adalah :
1. Untuk melindungi calon jemaah haji dari penyakit meningitis atau
radang selaput otak.
2. Penyakit meningitis ini dapat mengakibatkan kerusakan otak.
3. Dapat pula mengakibatkan hilang pendengaran hingga kematian.
4. Negara Arab Saudi adalah daerah endemik penyakit meningitis ini


C. Hukum 'aksinasi Meningitis Bagi Calon Jama`ah Haji Indonesia
Hukum syara` mengenai penggunaan vaksin meningitis ini
bergantung pada manath (Iakta yang akan dihukumi), apakah ia
mengandung zat babi atau tidak.
1. Hukum Vaksin 1ika Mengan/ung Enzim Babi
Jika vaksin mengandung zat babi, maka hukum yang perlu
diterapkan pada Iakta ini adalah hukum berobat (al-tadai / al-mudaaah)
dengan zat yang najis. Sebab babi adalah zat yang najis. Para ulama
berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya berobat dengan suatu zat yang
najis atau yang haram. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Muftahid, |Beirut : Darul
Fikr|, 1990, Juz I hal. 384). Ada pula QS An Na`am ayat 145

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya
semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."

Dalam masalah ini ada 3 (tiga) pendapat :
1. Jumhur ulama mengharamkan berobat dengan zat yang najis atau
yang haram, kecuali dalam keadaan darurat.
(Sayyid Sabiq, iqih Sunnah, Juz I hal. 492; Az-Zuhaili, Wahbah, Al-
iqh Al-Islami a Adillatuhu, |Damaskus : Darul Fikr|, 1996, Juz IX
hal. 662; Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz XIII hal. 166).

Al Baqarah 173
Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
dara, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keaadan terpaksa
(memakanya) sedang dia tidak menginginkanya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

2. Sebagian ulama, seperti Imam Abu HaniIah dan sebagian ulama
SyaIiiyah (bermazhab SyaIii) menghukumi boleh (faa:) berobat
dengan zat-zat yang najis.
(Izzuddin bin Abdis Salam, Qaaidul Ahkam fi Mashalih Al-Ahkam,
|Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah|, 1999, Juz II hal. 6; Imam Ash-
Shan`ani, Subulus Salam, Juz 'I hal. 100).
3. Sebagian ulama lainnya, seperti Taqiyuddin an-Nabhani, menyatakan
makruh hukumnya berobat dengan zat yang najis atau yang haram.
( Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III hal.
116).
Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, dalam Asy-Syakhshiyah Al-
Islamiyah (3/116), berobat dengan benda yang najis atau haram
hukumnya makruh, bukan haram. Dalil kemakruhannya dapat
dipahami dari dua kelompok hadis : Pertama, hadis-hadis yang
mengandung larangan (nahi) untuk berobat dengan sesuatu yang
haram atau najis. Kedua, hadis-hadis yang yang membolehkan berobat
dengan sesuatu yang haram/najis. Hadis kelompok kedua ini menjadi
indikasi (qarinah) bahwa larangan yang ada pada kelompok hadis
pertama bukanlah larangan tegas (haram), namun larangan tidak tegas
(makruh).
Ha/is yang melarang berobat dengan sesuatu yang haram atau najis,
misalnya :
Sabda Nabi SAW,Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit
dan obatnya, dan Dia menfadikan obat bagi setiap-tiap penyakit. Maka
berobatlah kamu dan fanganlah kamu berobat dengan sesuatu yang
haram.` (HR Abu Dawud, no 3376).
Sabda Nabi SAW 'fanganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram
(a laa tadaau bi-haram) menunjukkan larangan (nahi) berobat dengan
sesuatu yang haram/najis.
Namun menurut Imam An-Nabhani, hadis ini tidak otomatis
mengandung hukum haram (tahrim), melainkan sekedar larangan (nahi).
Maka, diperlukan dalil lain sebagai indikasi/petunjuk (qarinah) apakah
larangan ini bersiIat fa:im atau tegas (haram), ataukah tidak fa:im
(makruh).Di sinilah Imam An-Nabhani berpendapat, ada hadis yang
menunjukkan larangan itu tidaklah bersiIat fa:im (tegas).
Dalam Sahih Bukhari terdapat hadis, orang-orang suku Ukl dan
Urainah datang ke kota Madinah menemui Nabi SAW lalu masuk Islam.
Namun mereka kemudian sakit karena tidak cocok dengan makanan
Madinah. Nabi SAW lalu memerintahkan mereka untuk meminum air susu
unta dan air kencing unta. (Sahih Bukhari, no 226; Ibnu Hajar Al Asqalani,
athul Bari, 1/367). Dalam Musnad Imam Ahmad, Nabi SAW pernah
memberi rukhshash (keringanan) kepada Abdurrahman bin AuI dan Zubair
bin Awwam untuk mengenakan sutera karena keduanya menderita
penyakit kulit. (HR Ahmad, no. 13178).
Kedua hadis ini menunjukkan bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis
(air kencing unta), dan sesuatu yang haram (sutera). (Fahad bin Abdullah
Al-Hazmi, Taqrib iqh Ath-Thabib, hal. 74-75).
Kedua hadis inilah yang dijadikan qarinah (indikasi) oleh Imam An-
Nabhani bahwa larangan berobat dengan sesuatu yang najisa atau haram
hukumnya bukanlah haram, melainkan makruh. Maka dari itu, hukum
vaksin meningitis andai mengandung zat babi yang najis, hukumnya
adalah makruh, bukan haram. Hukum makruh ini berarti lebih baik dan
akan berpahala jika seorang jamaah haji tidak disuntik vaksin meningitis.
Namun jika disuntik dia tidak berdosa.
. Hukum Vaksin 1ika Ti/ak Mengan/ung Enzim Babi
Jika vaksin tidak mengandung zat babi, maka hukum yang perlu
diterapkan pada Iakta ini adalah hukum berobat (al-tadai atau al-
mudaaah) itu sendiri. Sebab tujuan vaksinasi ini adalah dalam rangka
pengobatan yang bersiIat pencegahan (iqayah, preventif).
Para ulama berbeda pendapat dalam hal hukum berobat. Sebagian ulama
berpendapat hukum berobat adalah boleh (mubah). Namun sebagian ulama
lainnya, seperti Syaikh Abdul Qadim Zalum, menyatakan hukum berobat
adalah mustahab (sunnah).
Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Hukmu Asy-Syari fi Al-
Istinsakh, hal. 30-33 menerangkan sunnahnya berobat. Menurut beliau,
memang terdapat hadis-hadis yang mengandung perintah (amr) untuk
berobat. Namun perintah dalam hadis-hadis tersebut tidaklah menunjukkan
hukum wajib (li al-ufub), melainkan menunjukkan hukum mandub
(sunnah) (li an-nadb), dikarenakan terdapat hadis-hadis yang menjadi
qarinah (indikasi) bahwa perintah yang ada sekedar anjuran, bukan
keharusan.
Hadis yang mengandung amr (perintah) berobat antara lain,
Sabda Nabi SAW : 'Sesungguhnya Allah A::a a Jalla setiap kali
menciptakan penyakit, Allah fuga menciptakan obatnya, maka berobatlah
kamu.` (HR Ahmad). Hadis ini mengandung perintah (amr) untuk berobat
(maka berobatlah kamu).
Namun perintah ini disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan
hukum sunnah, bukan hukum wajib. Misalkan sabda Nabi SAW,Akan
masuk surga dari umatku 70.000 orang tanpa hisab.` Para sahabat
bertanya,`Siapa mereka itu ahai Rasulullah?` Nabi SAW
menfaab,`Mereka itu adalah orang-orang yang tidak melakukan ruqyah
(berobat dengan doa), tidak melakukan tathayyur (menimpakan kesialan
pada pihak tertentu), dan tidak melakukan kay (berobat dengan cara
mencos tubuh dengan besi panas). Dan mereka bertaakkal hanya kepada
Tuhan mereka.` (HR Muslim). Hadis ini membolehkan kita untuk tidak
berobat. Jadi ini merupakan qarinah (indikasi) bahwa perintah berobat
pada hadis sebelumnya adalah perintah yang tidak tegas (ghairu fa:im),
yaitu hukumnya sunnah/mandub, bukan perintah yang tegas (fa:im), yang
hukumnya wajib. Jadi, hukum berobat adalah sunnah (mandub). Tidak
wajib. (Abdul Qadim Zallum, Hukmu Asy- Syari fi Al-Istinsakh, hal. 33).
3. Hukum 'aksin Menurut MUI
a. Penggunaan vaksin meningitis yang menggunakan bahan dari babi
dan atau yang di dalam proses pembuatannya telah terjadi
persinggungan dengan bahan babi adalah aram.
b. Penggunaan vaksin meningitis tersebut, khusus untuk haji wajib
(bagi mereka yang baru pertama kali menunaikan ibadah haji
red), atau karena bernadar untuk berhaji, ataupun juga untuk umrah
wajib karena nadar, hukumnya boleh atau mubah, apabila ada
kebutuhan yang mendesak atau disebut darurat karena memang
diperlukan untuk memenuhi atau melaksanakan kewajiban itu.
c. Ketentuan boleh mempergunakan vaksin meningitis tersebut
berlaku hanya sementara selama belum ditemukan vaksin
meningitis yang benar-benar halal, baik bahan baku maupun proses
pembuatannya. Ataupun selama pemerintah Kerajaan Arab Saudi
masih tetap mewajibkan penggunaan vaksin tersebut bagi jamaah
haji atau umrah.


.

Você também pode gostar