Você está na página 1de 34

Issued by: PUSGERAK BEM UI PENDAHULUAN (issued by: PUSGERAK BEM UI)

Latar Belakang Upaya untuk mempelajari ilmu lebh tinggi dilatarbelakangi oleh keinginan akan perubahan dan kebangkitan bangsa. Kesadaran sebagai bangsa yang mengalami ketertinggalan akibat dijajah ratusan tahun menimbulkan motivasi untuk menjadi bangsa yang lebih maju. Pendidikan menjadi sarana untuk mencapai hal itu. Perjalanan pendidikan tinggi di Indonesia masih panjang. Sejak permulaan awal bangsa ini, ketika kolonialisme masih berkuasa, para founding father Indonesia pun merupakan bentukan dari pendidikan tinggi saat itu. Mahasiswa yang pada mulanya hanya ratusan, setelah kemerdekaan 1945 jumlahnya meningkat. Bahkan setelah menunjukkan peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi. Perkembangan bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari peran mahasiswa, sehingga sejak dahulu istilah agent of change telah melekat padanya. Pada masa pergerakan kemerdekaan yang menjadi motor penggerak adalah para pemuda yang juga mahasiswa, begitu pula saat perjuangan kemerdekaan, maupun setelah merdeka dan masa-masa sesudahnya. Pada masa revolusi, kemudian masa akhir orde baru (reformasi) yang masih segar dalam ingatan, betapa mahasiswa memiliki andil besar dalam perubahan bangsa Indonesia. Initentunya tidak lepas dari pendidikan tinggi tempat para mahasiswa menuntut ilmu. Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan tinggi di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Perubahan tersebut tercermin pada Kerangka Pembangunan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPT-JP) yang ditetapkan oleh pemerintah (sejak 1975) setiap sepuluh tahun, yang berbeda hanyalah pada penekanan periodenya. Pada KPPT-JP III (1996-2005) telah dirintis reformasi kebijakan perguruan tinggi, yang memunculkan lima pilar perguruan tinggi, yaitu kualitas, otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi. Kelima pilar tersebut merupakan paradigma baru pendidikan tinggi Indonesia. Konsep paradigma baru bagi Perguruan Tinggi di Indonesia bukan murni pemikiran

Issued by: PUSGERAK BEM UI bangsa ini, melainkan merupakan penerjemahan dari kebijakan global yang digawangi oleh UNESCO. Adalah World Declaration on Higher Education for Twenty-First Century: Vision and Action di Paris tahun 1998 yang menjelaskan bahwa dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru Perguruan Tinggi. Deklarasi penting inilah yang menjadi sumber utama bagi konsep paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia. Dokumen itu memuat pula hal-hal mendasar mulai dari misi hingga fungsi perguruan tinggi; peranan etis, otonomi, tanggungjawab dan fungsi antisipatif perguruan tinggi; perumusan visi baru perguruan tinggi; penguatan partisipasi dan peranan perempuan dalam perguruan tinggi; pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi melalui riset dalam bidang ilmu-ilmu sosial humaniora, sains dan teknologi, serta penyebaran hasil-hasilnya; pengembangan orientasi jangka panjang perguruan tinggi berdasarkan relevansi; penguatan kerjasama perguruan tinggi dengan dunia kerja, analisis dan antisipasi terhadap kebutuhan masyarakat; diversifikasi pemerataan kesempatan pendidikan; pendekatan baru terhadap pendidikan secara inovatif; pemberdayaan mahasiswa sebagai aktor utama perguruan tinggi; pengembangan evaluasi terhadap kinerja akademis dan administratif; antisipasi terhadap tantangan teknologi; penguatan manajemen dan pembiayaan pergurua tinggi; peningkatan kerjasama dan aliansi antara perguruan tinggi dengan berbaga pihak (stakeholders) seperti lembaga keilmuan lain, dunia industri, masyarakat luas, dan sebagainya. Paradigma baru itu, mau tidak mau, melibatkan reformasi besar mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dalam konteks Indonesia, kajian ulang tentang perguruan tinggi semakin menemukan momentunya dengan dengan terjadinya krisis moneter, yang disusu krisis ekonomi, politik dan sosial. Untuk memperjelas visi dan aksi perguruan tinggi dalam abad 21 seperti dirumuskan UNESCO yang jelas sangat relevan dengan paradigma baru perguruan tinggi di Indonesia. Setelah Indonesia meratifikasinya melalui Dirjen Dikti menjadi Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang KPPT-JP III, berikutnya disusunlah KPPT-JP IV. Pada draft KPPTJP IV (19 maret 2003), pemerintah dala hal in Dirjen Dikti menekankan pentingnya sebuah reformasi dalam pendidikan tinggi, mengingat saat ini

Issued by: PUSGERAK BEM UI dunia sedang berada dalam masa transisi menuju demokrasi modern, desentralisasi, otonomi yang lebih luas, tingginya tingkat kompetisi, ekonomi pasar, da globalisasi. Ditekankan pentingnya penyesuaian orientasi pendidikan tinggi terhadap perkembangan dunia tersebut. Penyelenggaraan pendidikan tinggi semakin difokuskan pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat atau pengetahuan berbasis masyarakat. Tanpa melupakan lima pilar perguruan tinggi yang telah dirintis sejak awal, dirancang pula strategi baru penyelenggaraan pendidikan tinggi, seperti tercantum dalam KPPT-JP IV (2003-2010), yaitu: organisasi yang sehat (organizational health), desentralisasi dan otonomi (desentralization and autonomy), dan daya saing bangsa (nations competitiveness). Pada awal tahun 1998 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang membuka peluang IMF masuk lebih dalam. Hal ini menimbulkan dugaan kuat maraknya intervensiintervensi pada kebijakan pemerintah Indonesia. Pada tahun 1999 dibuat PP No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum. Dan pada tahun 2000 dipublikasikan tentang penetapan UI, UGM, ITB,IPB sebagai BHMN. Hanya ditujukan untuk sebagian pendidikan tinggi 2000 : PP No. 152 tahun 2000 tentang UI BHMN 2000 : PP No. 153 tahun 2000 tentang UGM BHMN 2000 : PP No. 154 tahun 2000 tentang IPB BHMN 2000 : PP No. 155 tahun 2000 tentang ITB BHMN Berawal dari terlaksananya perubahan beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), kemudian muncul rencana untuk melaksanakan hal yang sama di beberapa PTN lain yang telah merubah menjadi BHMN diantaranya UPI,USU dan UNAIR. Pada perkembangannya pemerintah sedang mempersiapkan Rancangan Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang nantinya semakin memantapkan kemandirian institusi pendidikan tinggi karena akan berlaku bagi semua institusi perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Rancangan Undang-undang tersebut merupakan hasil rekomendasi UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diatur dalam pasal 53. merupakan perluasan dari status PTN tersebut, atau lebih sering disebut dengan otonomi kampus, adalah untuk memberikan wewenang

Issued by: PUSGERAK BEM UI secara mandiri dalam pengelolaannya. Kampus diberikan kreativitas sebesar-besarnya untuk mencari sumber pendanaannya. Dan manajemen berbasis sekolah untuk sekolah. Diantara kreativitas yang dimaksud adalah kreativitas dalam mengembangkan kompetensi kampus sebagai basis riset sehingga dapat menghasilkan banyak paten, serta income generation technology. Akan tetapi, sejak pelaksanaan otonomi kampus pada tahun 1999, di beberapa PT-BHMN terjadi kenaikan biaya pendidikan, bahkan sampai tiga kali lipat. Selanjutnya, ada trend di beberapa PTN/Universitas tersebut menerima mahasiswa baru dengan jalur khusus yang disertai dengan biaya khusus, hingga 60 jutaan. Sedangkan untuk program regular juga mengalami kenaikan yang signifikan, yaitu hingga 25 juta. Dengan demikian, otonomi kampus nampaknya cenderung akan membuat pendidikan di Indonesia tidak dapat diakses oleh setiap warga negaranya. Untuk mewujudkan hal tersebut maka pada tahun 2003, dikeluarkan UU No. 20 tentang Sisdiknas yang mengamanatkan pembentukan BHP. Pada tahun 2005 Indonesia dalam Kongres WTO di Hongkong menawarkan lima bidang jasa pendidikan yang diliberalisasi. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan pendidikan diliberalisasikan adalah sebagai berikut: Beban utang yang terlalu tinggi membuat Indonesia harus mengurangi subsidi untuk kesehatan, pendidikan, pension bagi PNS dan TNI. Semua itu atas desakan IMF yang menjadi dokter ekonomi Indonesia sejak 1998. Posisi Indonesia yang sangat lemah sehingga membuat bargaining position. Kita lemah pada teanan asing, utamanya IMF atau WTO. Tahun 2007 keluar UU No. 25 tentang penanaman modal yang mengizinkan masuk ke sektor pendidikan. Tahun 2007 keluar Perpres No. 76 dan 77 yang menetapkan pendidikan sebagai bidang jasa yang public diperdagangkan services yan secara merupakan internacional kewajiban (comoditas), bukan

konstitusional pemerintah. Munculnya RUU BHP yang masih terus dalam pembahasan sejak 20032007. Rumusan Masalah

Issued by: PUSGERAK BEM UI Setelah membaca latar belakang di atas, dimana banyak perguruan tinggi yang dietapkan menjadi BHMN dan akan dilanjutkan oleh BHP sebagai perluasan status BHMN tersebut dan akan diterapkan pada sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan sejumlah pasal-pasal dan ayat-ayat didalamnya yang diharapkan akan efektif. Perubahan status tersebut dimaksudkan agar kampus dan sekolah diberikan kreativitas sebesar-besarnya dalam bentuk manajemen berbasis sekolah/madrasah dan otonomi perguruan tinggi. Namun, yang menjadi permasalahan adalah otonomi dalam hal mencari dana sebagai sumber pemasukan operasional sekolah dan perguruan tinggi dimana sekolah ataupun universitas harus juga creative dalam hal mencari dana sendiri. Maka kami merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah terdapat poin-poin yang mengindikasikan komersialisasi pada Badan Hukum Pendidikan tersebut? 2. Bagaimana Badan Hukum Pendidikan di tinjau dari aspek filosofis,sosiologis dan ekomomis. Tinjauan Secara Fiosofis A.Pendahuluan Dengan Undang-Undang Kewajiban belajar atau peraturan lain, jika keadaan di suatu daerah memaksanya pemerintah memelihara pendidikan dan kecerdasan akal budi untuk segenap rakyat dengan cukup dan sebaik-baiknya seperti ditetapkan dengan pasal 31 UUD 1945 (Garis-Garis Besar Pendidikan, Risalah Sidang BPUPKI). Permasalahan pendidikan masih menjadi benang kusut yang belum terpecahkan hingga saat ini. Kedudukan hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang merupakan hak dasar yang harus dipenuhi, tidak serta merta menjadi jaminan terpenuhinya hak pendidikan. Meskipun pemenuhan hak pendidikan telah banyak diatur dalam instrumen-instrumen hukum, baik dalam kovenan-kovenan internasional, konstitusi maupun dalam peraturan perundang-undangan, namun dalam realitanya, pendidikan masih menjadi barang mahal yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Dalam doktrin hak asasi manusia, hak untuk mendapatkan pendidikan dikategorikan sebagai generasi kedua perjuangan hak asasi manusia.

Issued by: PUSGERAK BEM UI Generasi kedua hak asasi manusia bicara mengenai hak-hak ekonomi sosial dan budaya yang merupakan positif rights. Apa artinya? Dimasukkannya hak pendidikan sebagai positif rights ini menuntut peran serta pemerintah dalam menjamin perlindungan dan pemenuhannya. Artinya negara sebagai wadah kedaulatan rakyat bettanggungjawab untuk mensejahterakan rakyatnya melalui pembangunan di sektor pendidikan. Namun hal ini tidaklah mudah, seringkali kewajiban asasi ini terbentur dengan ketidakmampuan negara dalam menjalankan tugasnya untuk memenuhi hak-hak warganegara. Maka wajar saja jika hingga saat ini belum ada anggaran yang memadai untuk membiayai mahalnya dunia pendidikan. Ironis! Pendidikan sebagai hak dasar seorang manusia untuk hidup harus selalu dijadikan urutan kesekian, padahal kita semua sepakat bahwa perlindungan terhadap akal adalah hal penting yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya .1 Namun pesatnya arus globalisasi yang kian gencar, pada akhirnya menempatkan peran serta negara dalam aktivitas masyarakatnya semakin tereduksi. Globalisasi yang semakin tidak mengenal batas-batas wilayah pada akhirnya mengancam kedaulatan suatu negara, seperti yang dikemukakan oleh Jan Art Scholte:2 In the respect of state , globalization has prompted five general changes , namely: (1) the end of soverignity, (2) reorientation to serve supraterriotirialas wellas territorial interest, (3) downward pressure on public-sector welfare guarantees, (4) redefinition of the use of welfare and (5) increased reliance on multilateral regulatory arrangements. Dengan demikian sejak tahun 1960-an baik secara fisik maupun konseptual di lingkungan global kontemporer, negara diarahkan untuk semakin melepaskan intervensinya dalam berbagai macam bidang, termasuk bidang pendidikan. Konsekuensinya Negara dituntut untuk terus menuju kepada privatisasi untuk menghadapi tantangan global. Yang jadi masalah adalah ketika pendidikan sebagai barang publik3 ikut dijadikan objek menuju arah privatisasi. Sampai di sini kita seolah
1

Tidak ada satu pun konstitusi Negara di belahan dunia ini yang tidak mencantumkan mengenai hak warganegara untuk mendapat pendidikan. Bahkan di dalam agama manapun menuntut ilmu dijadikan salah satu landasan yang penting dalam kehidupan manusia. Dalam agama islam perlindungan terhadap pengembangan akal budi manusia termasuk salah satu dari tujuan adanya syariat (maqasid syariah al khamsah) yang merupakan tujuan asasi didirikannya negara. 2 Jan Art Scholte , Globaliation A Critical introduction, Palgrave, 2000, hlm.133-138. 3 Pemikiran terhadap pendidikan sebagai barang public, diterjemahkan dari salah satu tujuan didirikannya NKRI, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang direalisasikan dalam kewajiban negara dalam memenuhi kebutuhan intelektual warganya. Sehingga hak pendidikan merupakan hak dapat diperoleh

Issued by: PUSGERAK BEM UI diajak berpikir bahwa untuk mempertahankan diri dalam globalisasi, eliminasi tanggung jawab negara mutlak dilakukan. Pertanyaannya adalah, jika lambat laun masyarakat dapat mengurus dirinya sendiri, lalu dimanakah fungsi Negara? Apakah kita akan kembali kepada konsep negara penjaga alam ?4 Bagaimanakah sistem pendidikan ideal dalam tataran global yang mampu memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia?

B. Wajah Buram Pendidikan di Indonesia Terlepas dari seluruh perdebatan mengenai system dan proses pendidikan yang ada di Indonesia, pada akhirnya kita mengakui bahwa pelaksanaan pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Dari evaluasi terhadap perjalanan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, setidaknya ada beberapa permasalahan esensial yang harus segera dibenahi . Berbagai masalah pendidikan ini antara lain: 1. Akses masyarakat terhadap pendidikan. Permasalahan akses terhadap pendidikan, masih menjadi masalah yang cukup pelik Diakui atau tidak, pada kenyataannya penyebaran akses untuk mendapatkan pendidikan belumlah merata Fasilitas pendidikan belumlah dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Penyebabnya bisa beragam dari mulai tidak tersedianya fasilitas, penyebaran yang kurang merata hingg masalah ketidakmampuan masyarakat dalam menjangkau mahalnya biaya pendidikan. Hal ini Sangay disayangkan mengingat pemerintah bertanggungjawab untuk menjamin hak-hak pendidikan terutama pendidikan dasar. Menurut data depdiknas tahun 2006/2007 jumlah peserta didik di tingkat sekolah dasar hanya berjumlah 17.589.180 dan jumlah ini terus menurun di setiap jenjang pendidikan berikutnya. Dari 619.535 ruang kelas yang ada di Indonesia, yang masuk ke dalam kategori baik hanya 273.844. Artinya lebih dari 50% ruang kelas yang ada di Indonesia mengalami kerusakan baik ringan maupun berat. Falta ini menunjukan bahwa
seluruh rakyat Indonesia. 4 Konsep Negara sebagai penjaga malam (naatwatchedstaat) merupakan konsep yang diajukan oleh imanuel kant dimana Negara hanya bertanggungjawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Konsep ini muncul sebagai reaksidari intervensi raja yang terlalu besar dalam kehidupan rakyatnya pada saat itu. (Sumber: Bahan Ajar Mata Kuliah Ilmu Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

Issued by: PUSGERAK BEM UI masih ada ketimpangan fasilitas pendidikan yang memadai bagi peserta didik. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ditataran sekolah dasar yang oleh UU sisdiknas dikatakan gratis saja masih mengalami permasalahan. Belum lagi mengenai penyebaran dan indeks pembangunan sekolah. Pembangunan sekolah belumlah dapat dikatakan merata.

2. Pemahaman mengenai pendidikan sebagai hak atau komoditas dan indikasi komersialisasi Salah satu permasalahan dalam dunia pendidikan adalah perbedaan pemahaman yang ada dalam memandang dunia pendidikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh PATTIRO di beberapa daerah di Indonesia, terlihat ada kubu dalam menyikapi hal ini. Sebagian besar stakeholder menganggap bahwa pendidikan adalah alat atau komoditas yang ada harganya. Ini jelas sangat bernuansa ekonomis. Yang menarik bahkan masyarakat pun memiliki penilaian yang sama. Hampir tidak ada masyarakat yang merujuk pendidikan sebagai pelayanan yang cuma-cuma.

Issued by: PUSGERAK BEM UI Kondisi ini menimbulkan dua implikasi terbesar. Pertama, bagi para penyelenggara pendidikan, pendidikan dijadikan barang privat yang tidak dapat dimiliki oleh semua kalangan. Pendidikan hanya boleh dinikmati oleh mereka yang memiliki uang untuk menanggung biaya pendidikan. Sehingga muncul adagium orang miskin dilarang sekolah. Implikasi kedua, persepsi masyarakat awam yang menganggap pendidikan sebagai komoditas yang pasti dan sudah sewajarnya membutuhkan biaya besar, pada akhirnya menyebabkan mereka cenderung pasrah menerima keadan. Masyarakat yang kurang beruntung tidak lagi memliki semangat untuk menuntut dan memperjuangkan hak mereka atas pendidikan. Lebih jauh lagi, jika menganalisis lebih dalam mengenai RUU BHP melalui teori pertukaran (excanghe framework) dan menggunakan tindakan sosial rasional nilai dimana tindakan ini menempatkan nilai sebagai tujuan yang akan dicapai dengan efektif dan efesien; baik nilai sebagai tujuan maupun nilai sebagai pendorong individu melakukan tindakan sosial, maka akan terlihat bahwa terdapat indikasi menuju komersialisasi pendidikan. Dalam teori pertukaran yang menjadi esensi adalah utilitarianisme dimana setiap individu secara rasional berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari pilihan tindakan sosialnya. Dalam RUU BHP diketahui bahwa pemerintah berharap lembaga pendidikan baik pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi mampu mandiri. Kemandirian inilah yang kemudian diejawantahkan pemerintah melalui dibukanya kanal-kanal investasi dalam bidang pendidikan. Namun, saut hal yang mungkin dilupakan oleh pemerintah adalah perbedaan motivasi dari investasi yang dilakukan oleh tiap investor. Lembaga pendidikan luar negeri tentu memiliki motivasi mendapatkan laba melalui investasinya, sedangkan prinsip BHP adalah nirlaba. Dalam pengimplementasian BHP kelak, tentu akan sulit untuk membayangkan keuntungan dan laba apalagi selain keuntungan profit yang akan dikejar oleh para investor (asing terlebih), keuntungan profit inilah yang disebut sebagai keuntungan rasional. Sebagai contoh, pada tahun 2000 Amerika Serikat meraup keuntungan Rp 126 trilyun dari pendidikan. Hal ini menujukkan bahwa pendidikan sebagai komoditas pendidikan amat menggiurkan 3. Pembiayaan pendidikan

Issued by: PUSGERAK BEM UI Masalah pendidikan yang lainnya adalah masalah pembiayaan pendidikan. Di dalam konstitusi Indonesia, telah diatur secara tegas mengenai kewajiban negara untuk menyisihkan 20% dari APBN dan APBD untuk membiayai pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Namun pada kenyataannya pemerintah telah melakukan empat kali pelanggaran terhadap konstitusi. Padahal adanya klausul 20% ini jelas bukan tanpa alasan. Memang banyak kalangan yang menilai bahwa tidak semestinya sebuah konstitusi mengatur jumlah anggaran. Namun konstitusi sebagai resultante (kesepakatan masyarakat) haruslah mampu mengakomodir kebutuhan rakyat. Pencantuman angka 20% ini betapapun tidak lazim, tetapi bukan berarti tidak ada negar yang mencantumkan ini dalam UUD-nya. Sebagai contoh Cina-Taiwan secara tegas mengatur jumlah alokasi anggaran untuk pendidikan dalam konstitusi mereka. Anggaran 20% ini betapapun bersifat imperativ, oleh karenanya ia merupakan kewajiban negara yang tidak dapat ditunda-tunda. Namun realita di lapangan menunjukan kondisi yang berbeda. Hingga saat ini belum pernah sekalipun Indonesia memenuhi amanah konstitusi terkait dengan pembiayaan pendidikan sebesar 20% dari APBN, bahkan kecenderungan yang terjadi adalah anggaran pendidikan tidak sesuai dengan target yang diinginkan.
*

*
14.68 17.4

20.1

% APBN

*
9.29 6.6

12.01 11.8 9.1 7 9.5 (pagu indikatif)

2 ] ( Tahun c7s \csR T ( (

Issued by: PUSGERAK BEM UI

Dengan demikian kita memang masih memiliki PR yang harus diselesaikan dalam masalah pendaan dunia pendidikan. Meskipun UU Sisdiknas telah mengamanahkan bahwa pendidikan dasar sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, namun pada tahap implementasi masih banyak pungutan-pungutan yang dilakukan pihak sekolah dengan alasan keterbatasan dana. 4. Masalah indepensi lembaga pendidikan Isu krusial yang hangat dibicarakan saat ini adalah masalah kemandirian yang harus dimiliki oleh sebuah institusi pendidikan. Pada dasarnya kita sepakat bahwa dalam melaksanakan proses belajar dan mengajar, lembaga pendidikan membutuhkan kebebasan dalam hal kurikulum agar muatan-muatan kebutuhan lokal dapat tersampaikan dengan baik. Kita pun sepakat bahwa institusi pendidikan membutuhkan menejemen yang berkualitas baik dalam hal pengelolaan SDM, fasilitas, pendanaan maupun output yang dihasilkan dari proses pengajaran itu sendiri. Dalam dua dekade terakhir terutama setelah globalisasi digaungkan, isu mengenai kemandirian pendidikan terutama perguruan tinggi menjadi topik yang terus di bahas. Akibat adanya diversifikasi pendidikan, pemerintahan melakukan reformasi dalam bidang pendanaan dan menejemen. Maka munculah ide menejemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi. Kita sepakat bahwa untuk menjamin mutunya institusi pendidikan memang harus diberikan kemandirian, namun yang jadi masalah kemandirian yang seperti apa yang harus dilakukan untuk menjamin mutu pendidikan dengan tidak melupakan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kemandirian yang dimaksud tentunya memang mengurangi intervensi negara tapi bukan berarti negara dapat lepas tangan. 5. Kerancuan hukum Permasalahan dalam dunia pendidikan yang juga cukup fatal adalah masalah hukum, terutama dalam perguruan tinggi. Di lihat dari sudut pandang institusi pendidikan swasta, terdapat dualisme dalam penyelenggaraan pendidikan antara pengurus yayasan dengan pelaksana satuan pendidikan. Seringkali terjadi kericuhan dan ketidaksepakatan

Issued by: PUSGERAK BEM UI antara pengurus dan unit pelaksana pendidikan. Hal ini menyebabkan independensi dari institusi pendidikan teracam. Permasalahan lain yang muncul adalah UU.No.16 Tahun 2001 tidak mengatur mengenai ranah pendidikan yang didirikan oleh yayasan. Yayasan hanya diperbolehkan mendirikan badan usaha. Kekhawatiran yang muncul yaitu ketika yayasan justru menggunakan lembaga pendidikan sebagai badan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Dari sudut pandang Perguruan Tinggi Negeri, terutama yang berstatus BHMN adalah permasalahan payung hukum. Seperti telah diketahui bahwa dasar pendirian dari PT BHMN adalah peraturan pemerintah, padahal PP merupakan peraturan pelaksana dari undang-undang dan dalam UU Sisdiknas No.2 tahun 1989 tidak diatur mengenai BHMN. Permasalahan status BHMN ini pun menimbulkan prahara tersendiri, karena tidak diatur secara jelas maka BHMN menjadi badan hukum yang memiliki beberapa masalah.

BUMN Kekayaan Negara Dipisahkan Penetapan Kekuasaan Tertinggi Pengurus Pengawas PP dan Notaris RUPS Dewan Direksi Dewan Komisaris Akta

BHMN

BLU

Dipisahkan, kecuali Tidak Dipisahkan tanah PP MWA Rektor MWA Menteri Keu./ Gub/Bup/Wkota Menteri Teknis/ Keuangan Pimpinan Dewan Pengawas

Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa sebagai badan hukum sebenarnya BHMN menganut pemisahan kekayaan. Pada awalnya selain alasan kemandirian, konsep BHMN ini juga dipilih karena penghasilan PTN masuk ke dalam PNBP (penghasilan Negara Bukan Pajak) sehingga dibutuhkan otonomi PT agar dapat mengelola keuangannya sendiri. Namun masalahnya adalah sebagian ahli hukum tidak mengakui adanya BHMN sebagai entitas baru dalam dunia hukum ditambah lagi dengan dasar hukum BHMN yang hanya peraturan pemerintah.

Issued by: PUSGERAK BEM UI

C. Strategi bernama BHP (Badan Hukum Pendidikan). Banyaknya masalah pendidikan yang muncul membuat banyak kalangan berspekulasi mengenai sistem pendidikan apakah yang cocok diterapkan di Indonesia? Dari kalangan pemerintah dan DPR digagas ide baru mengenai badan hukum pendidikan yang diharapkan mampu menjawab berbagai macamn permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia. BHP tentunya bukan sapu jagat yang dapat menyelasaikan seluruh tantangan dalam waktu sekejap. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman dan kajian secara komprehensif untuk dapat menilai apakah BHP memang dapat menjawab permasalahan pendidikan yang ada dan memoles kembali wajah suram dunia pendidikan kita. 1. Tinjauan Filosofis: Antara Tantangan Global, Kemandirian dan Fungsi Negara. Dalam memahami asal mula adanya BHP kita perlu melihat terlebih dahulu mengapa badan hukum pendidikan ini ada. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, tantangan global secara perlahan namun pasti kian menuju ke arah privatisasi dimana sektor pelayanan yang penting mulai diserahkan pada swasta. Artinya terjadi pengurangan peran negara dalam aktivitas masyarakat. Ketatnya persaingan dalam dunia global menuntut profesionalitas yang tinggi di seluruh bidang tidak terkecuali dunia pendidikan. Maka untuk menjamin persaingan mutu yang ada kemandirian institusi pendidikan mutlak adanya. Sebelum masuk kedalam pembahasan mengenai apa itu BHP, saya cukup penting untuk diketahui bahwa terjadi kesalahan ketik mengenai penamaan bhp. Awalnya bhp ditulis dalam huruf kecil bukan huruf besar. Namun karena bhp menjadi judul Bab dalam undang-undang Sisdiknas, maka bhp ditulis dalam huruf besar (BHP). Hal ini mempengaruhi esensi dari bhp itu sendiri. bhp dalam huruf kecil berarti badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan baik yayasan, BHMN maupun badan hukum lainnya. Akan tetapi BHP dalam huruf besar menunjuk pada badan hukum baru yang bernama Badan Hukum Pendidikan.5

Bahan dari buku sisdiknas warna merah tentang BHP yang merupakan risalah sidang pembahasan UU Sisdiknas.

Issued by: PUSGERAK BEM UI Terlepas dari perdebatan yang ada mengenai BHP huruf besar atau kecil, akan tetapi ada permasalahan yang lebih penting, yaitu badan hukum itu sendiri. Para pembuat kebijakan beranggapan bahwa dalam mencapai kemandirian institusi pendidikan harus dibentuk badan hukum yang dapat dijaga dari campur tangan pemerintah. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, badan hukum diatur dalam pasal 1653 KUH Perdata. Banyak kalangan menilai bahwa badan hukum merupakan bagian hukum privat. Dalam doktrin ilmu hukum terdapat beberapa pendapat yang menganut adanya pemisahan antara hukum publik dan hukum privat. Doktrin ini bermula dari pemisahan hukum publik dan hukum privat yang dilakukan oleh Romawi. Selama bertahun-tahun pendapat ini bertahan sebagai pendapat klasik yang dianut oleh negara-negara eropa kontinental termasuk Indonesia. Meskipun demikian tidak semuanya sepakat, Utrecht dan Kelsen menganggap bahwa pemisahan hukum publik dan hukum privat tidak lagi relevan untuk saat ini. Dengan demikian pembagian ini bukanlah pembagian yang asasi. Meskipun demikian Indonesia sebagai negara Eropa kontinental tampaknya masih menganut hal ini, termasuk dalam pembagian badan hukum publik dan badan hukum privat. Dalam memahami badan hukum ini, kita dapa melihat badan hukum (rechtperson) bertindak sebagai subjek hukum seperti halnya manusia (naturalperson). Terdapat beberapa teori yang melekat dalam badan hukum yang juga dijadikan alasan dibentuknya badan hukum pendidikan. 6 Teori ini antara lain: a. Teori fiksi yang dikemukakan oleh savigny. Bahwa adanya badan hukum merupakan anggapan saja yang diciptakan oleh negara , sebab sebenarnya badan hukum tidak memiliki kekuasaannya sendiri untuk bertindak, maka dibutuhkan wakil dari badan hukum untuk melakukan tindakan, misalnya direktur, dll. b. teori kekayaan yang diajarkan oleh Brinz Adanya badan hukum disebabkan badan ini memiliki hak dan kewajiban yaitu hak atas kekayaan dengan memenuhi kewajibannya terhadap pihak ketiga. Kekayaan dari badan hukum tersebut merupakan kekayaan seseorang yang dipisahkan menjadi kekayaan dari badan hukum tersebut c. teori Organ yang diberikan oleh Von-Goerke
6

Baca naskah akademis RUU BHP versi Depdiknas, 2006 hlm. 26

Issued by: PUSGERAK BEM UI Badan hukum seperti halnya manusia memiliki alat kelengkapan. Maka suatu badan hukum harus memiliki organ-organ penunjangnya sendiri. d. Teori Pemilikan bersama oleh Planol Menurut teori ini badan hukum sebenarnya adalah kumpulan manusia yang memilikin kepentingan bersama e. Teori Realitas Yuridis yang dikemukakan oleh scholten Badan hukum disamakan dengan manusia sebagai suatu kenyataan yuridis. Maka adanya badan hukum ditentukan oleh adanya hukum yang negatur badan hukum tersebut. Kesimpulan yang dapat kita tarik dari esensi badan hukum adalah : Mempunyai kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan anggotanya Disahkan oleh pihak yang berwenang Mempunyai tujuan tertentu Memiliki struktur organisasi. Filosofi yang dianut para pembuat kebijakan dalam naskah akademis pendirian BHP adalah BHP merupakan badan hukum yang kemandiriannya dapat dijaga dari intervensi pemerintah, dimana badan hukum yang dimaksud di sini adalah badan hukum privat yang diatur oleh peraturan perundang-undangan perdata. Mereka berpendapat bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur antar subjek hukum tanpa adanya campur tangan negara, sehingga badan hukum pendidikan yang paling cocok adalah badan hukum keperdataan. Padahal seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa pemisahan hukum publik dan privat tidak disepakati oleh seluruh kalangan sebagai pembagian yang asasi, toh dalam kenyataannya banyak urusan perdata yang membutuhhkan intervensi negara. Implikasi dari dianutnya badan hukum keperdataan dalam penyelenggaraan pendidikan adalah adanya pemisahan kekayaan. Maka meskipun BHP ini didirikan oleh pemerintah, tetap saja negaraharus memisahkan kekayaannya sebagai kekayaan BHP. Dengan demkian keuangan publik yang dipisahkan menjadi kekayaan BHP bukanlah keuangan negara. Implikasi selanjutnya adalah sebagai badan hukum, BHP berhak unutk melakukan tindakan hukum berupa melakukan perjanjian, hutang-piutang, dapat pailit

Issued by: PUSGERAK BEM UI dan dapat dilikuidasi . Bayangkan apa yang terjadi bila sebuah institusi pendidikan bisa dipailitkan. Implikasi selanjutnya yang kental akan nuansa eliminasi peran negara juga patut dipertanyakan. Memang kita tidak mungkin menghindar dari globalisasi sehingga peningkatan mutu dan kemandirian institusi pendidikan menjadi agenda utama. Tapi juga harus kita lihat adalah tujuan dari didirikan negara Indonesia. Apakah dalam rangka meraih kemandirian pendidikan, negara harus melepaskan perannya? Tentu tidak!! Tujuan pendidikan di Indonesia tidak dapat disamakan begitu saja dengan negara lain. Jika di negara lain privatisasi pendidikan sukses, maka hal itu belum tentu cocok untuk Indonesia. Di negara manapun di dunia, pendidikan diakui terhadap hak ecosoc yang mestinya dipenuhi oleh pemerintah. Hal ini telah disepakati dalam International covenant on economic, social and cultural rights ( ICESCR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan mengeluarkan UU.No.11 Tahun 2005. Menurut UNDP ada enam tanggung jawab negara dalam melindungi , memajukan dan menghormati hak ecosoc: a. Respect-bound obligation Kewajiban negara untuk menghormati disertai larangan bagi negar untuk mencampuri hak dann kebebasan negara yang telah diakui b. protection-bound obligation kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah sehingga tidak terjadi pelanggaran hak dan kebebasan manusia yang telah diakui c. Fulfillment-bound obligation Kewajiban negara untuk secara aktif menciptakan kondisi yang bertujuan untuk terpenuhinya hak ecosoc d. Obligation to take steps Kewajiban negara untuk mengambil langkah kongkret untuk terpenuhinya hak ecosoc melalui legislasi, yurisprudensi atau aksi e. obligaton towards progressive obligation kewajiban negara untuk bertindak sedemikian rupa ke arah terwujudnya hak ecosoc f. Obligation to establish benchmark

Issued by: PUSGERAK BEM UI Kewajiban meletakkan tolok ukur dan sasaran yang jelas untuk menilai langkah yang telah diambil. Dari penjabaran di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa tidak adanya campur negara terbatas pada hak dan kebebasan warganegara yang telah diakui. Dalam hal pendidikan misalnya negara tidak dapat mengintervensi peserta didik untuk memilih perguruan tinggi, tetapi tidak juga melepaskan fungsi negara sebagai penjamin bahwa peserta didik tersebut bisa masuk perguruan tinggi meskipun tidak memiliki cukup biaya. Selanjutnya meskipun hak ecosoc adalah hak yang harus dipenuhi sesuai dengan kemampuan negara, namun negara tidak dapat menjadikan ketidakmampuannya sebagai alasan untuk melepaskan tanggung jawab atau menunda pemenuhan hak ecosoc. Hal ini disebabkan negara sebagai badan hukum publik yang memiliki otoritas dalam membuat kebijakan dapat merancang dan memprioritaskan terpenuhinya hak ecosoc. Menapak pada realita di Indonesia, jauh sebelum Indonesia meratifikasi ICESCR, pada dasarnya rumusan tanggung jawab negara telah diperdebatkan oleh para founding father NKRI. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembentukan negara kita yang dituangkan dalam konstitusi diwarnai oleh ide-ide sosialis yang berkembang pada saat itu. Aroma penolakan terhadap individualisme, kapitalisme dan liberalisme sangat terasa. Ide negara kesejahteraan dalam konsep sosialisme yang menginginkan adanya intervensi negara banyak mewarnai konsep kenegaraan Indonesia. Maka para pendiri Republik ini pun sepakat bahwa Indonesia didirikan untuk mensejahterakan rakyat, meskipun mereka memiliki istilahnya sendiri. Soepomo berpendapat bahwa negara yang ideal bagi Indonesia adalah negara integralistik, negara persatuan dimana setiap warganegara saling menghormati satu sama lain, adanya toleransi dan peran serta negara untuk menjaga kedamaian dan persatuan meskipun dalam lingkup pribadi seperti dalam hukum perdata. Soekarno bicara mengenai negara gotong royong dimana setiap entitas dalam negeri ini saling bahu-membahu dan negara memiliki kewajiban untuk membuat rakyatnya sejahtera. Hatta menelurkan konsep negara pengurus yang berbicara mengenai fungsi negara sebagai pengejawantahan dan pelaksana kedaulatan rakyat, sehingga negara mengurus kebutuhan dan melindungi hak asasi warganya.

Issued by: PUSGERAK BEM UI Ide-ide mengenai fungsi negara ini dituangkan juga dalm bidang pendidikan yang secara tegas tercantum dalam pembukaan UUD 1945, bahwa salah satu tujuan kemerdekaan NKRI adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita luhur pendidikan ini juga dapat kita temukan dalam Garis-Garis Besar Pendidikan point I dan II,yang berisi: I. Dengan Undang Undang kewajiban belajar atau peraturan lain jika keadaan di suatu daerah memaksanya, pemerintah memelihara pendidikan dan kecerdasan akal budi untuk segenap rakyat dengan cukup dan sebaiksebaiknya, seperti ditetapkan dalam UUD 1945 pasal 31 II. Dalam garis-garis adab kemanusiaan seperti terkandung di dalam segala pengajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi pada agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah keselamatan dan kebahagian masyarakat. Maka filosofi pendidikan yang dicita-citakan oleh Indonesia adalah pendidikan yang bersendikan pada agama, tatanan moral dan budaya bangsa dengan kewajiban negara untuk memelihara terpenuhinya hak atas pendidikan dan pendidikan yang diberikan mestilah mampu memberikan kebahagiaan bagi masyarakat, mengangkat derajtnya dan tidak membebankan rakyat dengan biaya pendidikan yang tidak terjangkau atau sistem pendidikan yang tidak dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian secara filosofis kita memang berada dalam titian antara kemandirian institusi pendidikan dan peran negara. Namun kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa independensi institusi pendidikan tidaklah dapat menegasikan tanggung jawab negara NKRI. Selama spirit yang dibawa dalam otonomi kampus atau menejemen berbasis sekolah ini adalah spirit melepaskan intervensi negara dari dunia pendidikan, maka penjelasan apapun tidaklah dapat diterima. 2. Analisis Sosiologis: Konsep Alternatif yang Tak Membumi. Diskusi Badan Hukum Pendidikan tidak saja menjadi wacana di tingkatan elit, tetapi telah menyedot perhatian banyak orang. Meskipun demikian konsep BHP tidak mudah dipahami oleh semua orang. Dimulai dari sulitnya akses informasi untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai BHP baik dari pembuat kebijakan,

Issued by: PUSGERAK BEM UI pemerhati pendidikan maupun para akademisi. Sulitnya mendapatkan informasi mengenai BHP ini menjadi indikator awal dari sulitnya pelaksanaan BHP di masa selanjutnya. Bagaimana mungkin masyarakat dapat melaksanakan seuatu dengan baik jika mereka tidak memahami apa yang mereka lakukan. Rasanya penting bagi kita untuk melihat kondisi realitas masyarakat dalam menghadapi sistem Badan Hukum Pendidikan.Hal ini agar tidak terjadi pertentangan antara das sollen dan das sein, karena seringkali kebijakan yang dibuat adalah romantisme si pembuat kebijakan sendiri bukan jawaban dari kebutuhan di masyarakat. 7 Oleh karena itu dalam memahami implementasi dari BHP ini kita harus melihat kesiapan dari masyarakat, pemerintah maupun stakeholder. Untuk mengukur sejauh mana hak-hak pendidikan telah diperoleh masyarakat dan apakah sistem yang ada atau akan ada (BHP) dapat menjangkau seluruh kalangan, Katarina Tomasevski menggunakan empat indikator yang juga akan kami gunakan untuk meninjau pelaksanaan BHP secara sosiologis. a. Ketersediaan Seluruh perjanjian internasional mengamanahkan wajib belajar dan tanpa biaya bagi anak yang mengikuti pendidikan dasar. Pengesan ini didasarkan pada prinsip bahwa terdapat korelasi yang kuat antara rendahnya tingkat pendidikan dengan kemiskinan. Menyangkut kemampuan finansial setiap negara yang berbeda , perjanjian tadi memberikan peluang agar perwujudannya progresif melalui komitmen pemerintah. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pemerintah harus membuat langkah-langkah dalam memeuhi hak pendidikan warganya. Implikasi yang muncul dengan adanya BHP adalah, seperti telah kita lihat bersama, bahwa hingga saat ini pemerintah masih belum mampu memberika akses pendidikan yang sama bagi eluruh warganya. Ketidakmampuan pemerintah ini seringkali ditutupi oleh peran sekolah swasta di beberapa daerah terpencil.
7

Dalam filsafat hukum dikenal adanya romantisme hukum (histories Yurisprudence), dimana para pemikirnya lebih mengutamakan perasaan dan nilai-nilai ideal dalam menjabarkan peran negara. Di era globalisasi ini, banya para pengambil kebijakan yang meromantisme pemikiran masyarakat melalui peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan nilai ideal yang ia rasakan. Spirit mengeliminasi peran Negara sebagai strategi agar Indonesia tetap memiliki eksistensi dalam pergaulan internasional disinyalir merupakan romantisme modern dimana pembuat kebijakan tidak lagi melihat kebutuhan rakyat, tetapi semata-mata lebih mementingkan perasaan-perasaan elit yang banyak bermain

Issued by: PUSGERAK BEM UI Sayangnya memang harus diakui bahwa tidak semua sekolah baik negeri maupun swasta memiliki mutu yang berkualitas. Upaya yang ingin dicapai oleh pemerintah mungkin dapat dibenarkan. Dengan adanya Badan Hukum Pendidikan, diharapkan adanya perbaikan dalam menejemen, namun hal ini sekaligus dapat menjadi blunder. Bagaimana jikalau banyak sekolah swadaya masyarakat yang tidak memenuhi standar atau tidak mampu mengelola pendidikan dengan struktur organisasi yang ada di BHP dengan pemisahan kekayaan, organ-organ wajib BHP, AD/ART yang mengatur upaya yang dilakukan agar tidak pailit dan ketentuan badan hukum lainnya? Di satu sisi memang akan ada penyeleksian untuk penyelenggaraan pendidikan, namun di sisi lain dikhawatirkan banyak institusi pendidikan yang tidak bertahan dengan sistem BHP, padahal pemerintah belum mampu memberikan akses terhadap pendidikan secara merata. Yang mesti diperbaiki adalah penyebaran fasilitas pendidikan secara merata sehingga sarana pendidikan dapat diraih peserta didik dengan mudah. Selain itu ketersedian sarana pendidikan ini juga berkaitan erat dengan besarnya anggaran yang diberikan pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan b. Keterjangkauan Sebuah sistem pendidikan yang baik hendaknya mampu dijangkau oleh seluruh kalangan baik mayoritas maupun minoritas, dari suku, agama atau ras apapun. Artinya setiap anak punya hak yang sama untuk menuntut ilmu. Dengan adanya evaluasi yang terjadi dengan adanya menejemen berbasis sekolah yang dilakukan di beberapa sekolah, dapat kita lihat bahwa peningkatan mutu selalu membutuhkan biaya yang besar. Seperti telah dijabarkan dalam permasalahan pendidikan seblumnya, bahwa paradigma masyarakat baik pengguna jasa pendidikan maupun stakeholder masih menganggap bahwa pendidikan adalah komoditas yang membutuhkan biaya. Pada kenyataannya ketika menejemen diserahkan secara mandiri kepada institusi pendidikan, sekolah misalnya, maka sekolah akan berlomba-lomba untuk meningkatkan mutunya, padahal biaya yang diberikan oleh negara tidak cukup

Issued by: PUSGERAK BEM UI utnuk meningkatkan mutu sekolah. Lalu kepada siapakah beban biaya peningkatkan mutu pendidikan diberikan? Realita di lapangan menjawab peserta didik dan orangtuanyalah yang menaggung kekurangan biaya pendidiakn. Meskipun larangan untuk menjadikan masyarakat sebagai sumber pendanaan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, namun peraturan yang ada hanyalah balngko kosong tanpa tindakan yang nyata untuk membebaskan peserta didik dari kungkungan mahalnya biaya pendidikan. Hal ini terlepas dari kemungkinan bahwa mereka yang mampu memang semestinya membayar lebih. Toh kenyataannya subsidi silang yang diharapkan tidak selalu sukses. Di tingkat perguruan tinggi pun kondisinya tidak terlalu jauh berbeda. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan satu tahun lalu, dapat kita lihat di tiga PTN BHMN, dana mayarakat masih merupakan pendapatan terbesar PTN BHMN.

SPESIFIKASI KOMPONEN BIAYA (Universitas Indonesia / UI)

Saldo awal Dana Masyarakat 1) Biaya Pendidikan - S1 Reguler - Non S1 Reguler 2) Hasil Kerjasama 3) Hasil Penelitian 4) Hasil Ventura 5) Dana wisuda 6) Hasil Konsultasi 8) Hasil sewa gedung 9) Pinjaman Bank 10) Investasi 10) Lain - lain Dana Pemerintah 1) Dana Rutin 2) Pembangunan IPB 3) Hibah GDLN 4) Dana BHMN Total

2006 (Rp 579.358.714.015,-) 80,24% (Rp 468.520.709.004,-) 64,89% Rp 90.496.442.161,Rp 378.024.266.843,Rp 11.825.983.000,Rp 22.852.238.600,Rp 14.074.201.000,Rp Rp Rp Rp Rp 2.579.000.000,1.029.500.000,8.963.732.445,1.262.607.360,340.807.029,2.530.000.000,-

2005 Rp 208.406.402.506,(Rp 429.729.625.808,-) (Rp 372.143.731.806,-) Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 2.667.894.300,(Rp 129.718.615.000,-) Rp 102.008.115.000,Rp 27.710.500.000,3.710.445.000,8.275.000.000,8.018.104.000,2.045.335.000,1.201.617.250,5.883.666.880,1.254.454.676,692.000.000,-

27,14% 55,96% 48,47% 1,08% 1,04%

2004 Rp 156.997.058.000,25,13% (Rp 344.565.253.000,-) 55,51 % (Rp 307.257.316.000,-) 49,5 % Rp 51.066.424.000,Rp 256.190.892.000,Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 9.907.916.000,2.303.400.000,8.827.370.000,5.062.300.000,1.406.951.000,4.350.000.000,2.000.000.000,3.450.000.000,1,42 % 0,82 %

7) Sumbangan Beasiswa Rp

Rp 45.879.935.577,(Rp 142.701.079.000,-) 19,76% Rp 123.383.779.000,-

16,89%

(Rp 119.123.875.000,-) 19,19 % Rp 83.699.895.000,Rp 21.923.980.000,Rp 7.500.000.000,Rp 6.000.000.000,-

Dana PembangunanRp 19.317.300.000,-

Percepatan Rp 722.059.793.015,100% Rp 767.854.643.312,100 % Rp 620.686.187.000,100 %

Issued by: PUSGERAK BEM UI

SPESIFIKASI KOMPONEN BIAYA (Institut Pertanian Bogor / IPB


2006 Posisi Awal Tahun Dana Masyarakat 1) SPP 2) Non SPP 3) Kerjasama dan Penelitian 4) Usaha Komersial 5) Pengembalian Utang Dana Pemerintah 1) Eks. Anggaran Rutin 2) Eks. Anggaran Pembangunan IPB 3) Anggaran Pembangunan Depdiknas (Pusat) Total Rp 7.773.228.000,(Rp 174.026.723.000,-) Rp 65.694.397.000,Rp 34.724.109.000,Rp 63.880.000.000,Rp 5.900.000.000,Rp 3.828.218.000,(Rp 123.973.693.000,-) Rp 71.416.653.000,Rp 36.507.034.000,Rp 16.050.000.000,2,5 % 58,4 % 22 % 11,7 % 21,4 % 2% 1,3 % 41,6 % 24 % 12,3 % 5,4 % 2005 Rp 13.307.833.000,(Rp 148.336.014.000) Rp 60.934..344.000,Rp 26.519.435.000,Rp 58.981.235.000,Rp 1.901.000.000,(Rp 131.344.124.000,-) Rp 79.701.388.000,Rp 38.808.160.000,Rp 12.834.576.000,4,5 % 53 % 21,8 % 9,5 % 21,1 % 0,7 % 47 % 28,5 % 13.9 % 4,6 % 2004 Rp 22.256.035.000,(Rp 125.185.074.000,-) Rp 66.435.707.000,Rp 21.584.253.000,Rp 36.965.113.000,Rp 200.000.000,(Rp 119.103.815.000-,) Rp 61.098.876.000,Rp 38.673.509.000,Rp 19.331.430.000,8,3 % 47 % 24,9 % 8,1 % 13,9 % 0,1 % 44,7 % 22,9 % 14,5 % 7,3 %

Rp 305.773.644.000,-

100 &

Rp 292.987.971.000,-

100 %

Rp 266.544.923.000,-

100 %

SPESIFIKASI KOMPONEN BIAYA (Institut Teknologi Bandung / ITB


2006 2005 2004

Dana Masyarakat (SPP) mahasiswa

Rp 142.315.000.000,- 39,61 %

Rp 131.782.000.000,- 39,39 % Rp 107.011.920.392,- 34,59%

Dana Masyarakat (non Rp 112.228.000.000,- 31,23 % SPP termasuk penelitian) Dana Pemerintah (DIP & Rp 91.450.000.000,DIK) Satuan Pendukung (Unit Usaha) Jasa Giro dan Tabungan Rp 6.000.000.000,25,45 %

Rp 109.200.000.000,- 32,64 % Rp 113.721.164.625,- 36,75 %

Rp 89.003.000.000,-

26,6 %

Rp 83.875.914.983,-

27,11 %

1,67 %

Rp 7.500.000.000,-

2,24 %

Rp 5.000.000.000,-

1.39 %

Rp 4.594.000.000,-

1,37 %

Rp 4.800.000.000,-

1,55 %

Issued by: PUSGERAK BEM UI


Total Rp 359.311.000.000,- 100% Rp 334.579.000.000,- 100 % Rp 309.409.000.000,- 100 %

Dari data di atas dapat kita perhatikan bahwa persentase antara negara dengan masayarakat lebih banyak ditanggunggung oleh masyarakat baik yang merupakan peserta didik maupun penyumbang dana PTN BHMN. Padahal dana yang dibutuhkan untuk PT BHMN ini tidaklah sedikit. Ada kecenderungan biaya yang dibutuhkan terus naik, dan partisipasi masyarakat dalam pendanaan pun ikut naik.
UI IPB ITB

2006

Rp 722.059.793.015

Turun 6,34%

Rp 305.773.644.000

Naik %

4,36 Rp 359.311.000.000

Naik 7,39 %

2005

Rp 767.854.643.312

Naik 23,71 %

Rp 292.987.971.000

Naik %

9,92 Rp 334.579.000.000

Naik 8,13 %

2004

Rp 620.686.187.000

Naik 49,52 %

Rp 266.544.923.000

Naik 31.39 Rp 309.409.000.000 %

Naik 5,88 %

2003

Rp 415.106.750.000

Rp 202.860.802.479

Rp 292.222.006.985

Naik 7,64 %

2002

Rp 271.461.276.563

Untuk menyiasati masalah pendanaan ini memang PTN BHMN berupaya untuk mencari alternatif pendapatan lain. Menuju research University, PTN BHMN berlombalomba untuk meningkatkan penelitiannya yang juga dugunakan untuk menunjang biaya pendidikan. Namun tidak semua PT BHMN mampu menjadikan penelitian sebagai alternatif pendananaan. Universitas yang cenderung berhasil dalam meningkatkan risetnya adalah IPB.

Issued by: PUSGERAK BEM UI

Sementara itu beberapa Universitas lain mencoba menutupi besarnya biaya Perguruan Tinggi dengan berbagai cara, UI misalnya membentuk PT Daya Makara dan memperbanyak proyek Ventura serta menerapkan admission fee. ITB mengambil jalan lain, seperti Ujian Mandiri ITB, kenaikan biaya yang konstan , dll. Dengan demikian, hasil evaluasi dari PT BHMN, ternyata perubahan status ini tidak menjamin warganegara untuk dapat menjangkau perguruan tinggi karena mahalnya biaya pendidikan. PT BHMN dapat dikatakan tidak sepenuhnya sukses. Tujuan awal PT BHMN yang menginginkan adanya transparansi, partisipasi dan akuntabilitas belum dapat tercapai meski BHMN telah tujuh tahun berjalan. Jika model badan hukum ini masih mengalami permasalahan di tingkatan universitas, maka apa jadinya jika model badan hukum diterapkan merata dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi? Pernahkah terbayang ada badan hukum pendidikan ada yang menyelenggarakan pendidikan di dasar di daerah manukwari misalnya yang dituntut memiliki organ BHP , adanya good corporate governance dalam pengelolaannya dan dapat dengan bebas melakukan perjanjian dengan subjek hukum lainnya. Proses perubahan menuju Badan Hukum Pendidikan dapat dikatakan tidak terjadi begitu saja, ada masa peralihan yang menjadi era transformasi institusi pendidikan menjadi BHP. Namun yang perlu kembali kita ingat adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sebuah institusi pendidikan dalam menyesuaikan bentuknya dengan BHP? 3. Keberterimaan

Issued by: PUSGERAK BEM UI Sebuah institusi pemerintah yang baik haruslah dapat diterima oleh peserta didik dengan sebaik mungkin dan dapat meningkatkan derajat serta martabat manusia. Kerangka Kerja Aksi Dakar menekankan kebutuhan untuk penjaminan mutu dan relevansi terhadap pengalaman belajar untuk siswa sesegera mungkin Adanya penjaminan bahwa silabus, kurikulum dan bahasa pengantar sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik . Sampai di sini kita dapat melihat sisi positif BHP di mana BHP mampu mengakomodir kekhasan daerah dan kebutuhan peserta didik. Dengan model BHP muatan lokal memang lebih mudah untuk dikelola. Namun sebenarnya tanpa pelaksanaan pendidikan dikelola dalam bentuk BHP sekalipun, muatan lokal sudah diajarkan di sekolah. Bahkan di era desentralisasi ini daerah diberi keleluasaan dalam memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya.8 Pencapaian pendidikan yang dapat diterima juga mensyaratkan pentingnya perhatian yang memungkinkan lulusan dapat memasuki dunia kerja. Maka kurikulum yang dibuat harus mampu memberikan ketrampilan khusus bagi para peserta didik untuk menghadapi tantangan globlisasi. 4. Kebersesuaian Perspektif HAM mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan peran vital pendidikan yang mentranformasi nilainilai inti dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan untuk menghapuskan kemiskinan, rasialisme dan alasan-alasan yang dapat menyebabkan ketidakharmonisan. Institusi pendidikan sebaiknya menanamkan nilai-nilai luhur budaya dan cita negara yang dianut oleh bangsa Indonesia. Kedudukan BHP sebagai badan hukum yang dapat melakukan tindakan hukum sebagaimana pribadi kodrati, pada akhirnya tetap harus dikontrol oleh pemerintah agar tindakan hukum yang dilakukan tidak bertentangan nilai luhur dan filosofi pendidikan itu sendiri. Di sisi lain, dimungkinkannya penggabungan antara BHP dengan lembaga pendidika asing dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Realitanya institusi
8

Dalam UU. No. 32 Tahun 2004, pendidikan merupakan wewenang residu (wewenang sisa, selain tujuh bidang yang diatur oleh pemerintah pusat) yang dilimpahkan kepada daerah untuk mengatur dan mengurusnya sendiri sebagai konsekuensi lkogis dari prinsip otonomi daerah.

Issued by: PUSGERAK BEM UI pendidikan asing telah ada sebelum adanya BHP, namun jika kedudukan institusi pendidikan menjadi badan hukum yang mandiri, maka harus ada mekanisme yang dapat menjamin intervensi kepentingan asing dalam lembaga pendidikan di Indonesia. Melihat semangat RUU BHP yang kaya akan muatan globalisasi, tampaknya masuknya kepentingan asing ini sulit untuk dihindari. Sesuai dengan doktrin globalisasi itu sendiri, maka semakin lama batasan kedaulatan negara semakin sempit, kepentingan nasional pun semakin susah untuk dipertahankan. Meskipun RUU BHP versi terbaru tidak mengatur secara rinci mengenai kepemilikan saham asing di dalam BHP, namun tanpa disahkannya RUU BHP pun investor asing dapat menjamah sektor pendidikan dengan keluarnya Perpres 76 dan 77 tahun 2007 sebagai turunan dari UU. No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dengan demikian tanpa disahkannya RUU BHP modal dari pihak asing tetap dapat menguasai dunia pendidikan. 3. Tinjauan Yuridis: Kerancuan Hukum yang Tidak Terpecahkan Dari sudut pandang yuridis, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa ada permasalahan dasar hukum dalam pelaksanaan proses pendidikan. Dilihat dari RUU BHP versi 5 Desember 2007, meskipun tampaknya terlihat jauh lebih baik dari RUU sebelumnya, namun RUU BHP ini masih memiliki beberapa permasalahan. Pertama kita akan melihat permasalahan ini dari sudut pandang peraturan perundang-undangan yang ada. Hak untuk mendapatkan pendidikan diatur dalam: Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. UUD Negara Republik IndonesiaPasal 28 C : Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan. Pasal 31 ayat (1) : Setiap warganegara berhak mendapatkan pendidikan UU.No.11 Tahun 2005 tentang pengesahan ICESCR pasal 14: Negara peserta kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan.. UU. No. 20 Tahun 2003 Pasal 5 ayat (1):

Issued by: PUSGERAK BEM UI Setiap warganegara punya hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Beberapa klausul penjaminan hak pendidkan dia atas merupakan pernyataan yang tidak terbantahkan bahwa pendidikan hak asasi yang harus segera ditunaikan dan dipenuhi oleh negara. Meskipun secara yuridis, BHP merupakan amanta dari UU Sisdiknas, namur secara khusus RUU BHP sebagai realisasi dari konsep Badan Hukum Pendidikan justru menimbulkan beberapa kerancuan hukum antara lain: a. Secara semangat, dilihat dari filosofi awal didirikannya BHP tidak sesuai dengan semangat yang ada dalam peraturan perudang-undangan Indonesia khususnya Undand Undang Dasar yang mengandung spirit kolektivitas. b. Mengenai pemisahan kekayaan dalam Badan Hukum Pendidikan. c. Permasalahan jika terjadi pailit, siapa yang berhak untuk memailitkan BHP, dalam BHP dinyatakan bahwa masalah ini diselesaikan sesuai dengan UU Kepailitan, padahal UU Kepailitan tidak mengenal BHP, bahkan BHMN yang telah ada terlebih dahulu pun tidak dikenal dalam UU Kepailitan ini. d. Penanaman modal asing yang pada RUU sebelumnya dinyatakan maksimal 49% , pada RUU BHP sudah dihapuskan mengenai jumlah bilangan 49% tersebut. Namun tanpa adanya RUU BHP ini pun pihak asing tetap dapat menanamkan modalnya, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Perpres. No. 77 menjadikan sektor pendidikan termasuk wilayah yang terbuka dengan syarat untuk penanaman modal asing. 4. Analisis Ekonomi; Idealisme dan Realitas Pendidikan Sebagian dari masyarakat yang skeptis terhadap BHP mengeluarkan beberapa hipotesis, diantaranya BHP merupakan produk akibat keanggotaan Indonesia di WTO, BHP merupakan wujud lepas tangan pemerintah dari pendanaan pendidikan, BHP merupakan aktivitas rent seeking oleh para pelaku ekonomi yang dekat dengan lingkar kekuasaan. Sebenarnya hipotesis mana yang paling mendekati kebenarannya?.

Issued by: PUSGERAK BEM UI Pertama, aktivitas rent seeking oleh mereka yang dekat dengan lingkar kekuasaan tertinggi. Menurut teori ekonomi, meningkatnya permintaan akan suatu komoditas akan berakibat pada meningkatnya harga komoditas tersebut. Begitu pula yang dapat terjadi pada komoditas pendidikan ini dengan argumen sebagai berikut. Dengan semakin mengglobalnya dunia dan akan dibukanya perdagangan bebas bagi negaranegara berkembang di seluruh dunia mengharuskan suatu negara memiliki SDM yang kompetitif. Dengan demikian seluruh individu akan berusaha meningkatkan kompetensinya untuk memenangkan persaingan dengan cara memperoleh pendidikan yang terbaik, sehingga nilai imbal hasil yang diraih dari pendidikan akan semakin tinggi dan berujung pada peningkatan harga yang memperkaya pemilik institusi pendidikan yang diminati. Hipotesis yang kedua lebih menggambarkan pesimisme tinggi, yaitu anggapan bahwa pemerintah ingin lepas tangan. bagaimana pendidikan dilihat dari kacamata ekonomi publik? Apakah BHP layak dan relevan dengan kondisi Indonesia saat ini? Sekiranya terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu permasalahan pendidikan sebagai merit good, masalah eksternalitas positif dari pendidikan, masalah distribusi benefit dari BHP, dan masalah trade-off dari efficiency dan equity. Hal yang pertama yang harus diperhatikan adalah pendidikan sebagai merit good. Seringkali kita melihat anak-anak kecil dan remaja, baik di kota maupun di desa tidak sekolah. Terlepas dari masalah kemampuan finansial, mereka seringkali juga tidak menyadari arti pentingnya pendidikan bagi masa depan mereka. Oleh sebab itulah, pemerintah harus menyediakannya. Dalam hal ini pendidikan merupakan merit good. Namun, kita lihat bahwa pemerintah ingin RUU BHP berhasil digolkan yang kemungkinan besar dapat berimbas pada tingginya biaya pendidikan yang tidak terjangkau oleh rakyat kecil. Padahal secara logika ekonomi sederhana, bila nanti pemerintah tidak intervensi langsung, para investor kecil kemungkinanannya mau mendirikan institusi pendidikan di daerah-daerah terpencil sebab tidak ada insentif; daya beli masyarakat di sana rendah. Selain itu, bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar namun yang berasal dari keluarga berpendapatan menengah ke bawah akan merasakan biaya pendidikan yang semakin mahal sebab mereka harus bersaing

Issued by: PUSGERAK BEM UI dengan mereka yang berasal dari keluarga berpendapatan menengah ke atas. Hal ini seakan menguatkan hipotesa pertama. Hal yang kedua yang harus diperhatikan adalah distribusi benefit dari kebijakan ini. Melihat tingginya biaya yang mungkin timbul dari kebijakan BHP ini, kemungkinan besar distribusi benefit dari kebijakan ini akan lebih dirasakan oleh mereka yang relatif lebih mampu secara finansial atau dapat dikatakan regressive distribution. Padahal, seperti yang telah diketahui bersama, rakyat miskin di Indonesia, yang bisa mencapai 50 % dari penduduk Indonesia bila diukur dari pendapatan US$ 1/ hari, juga merupakan bagian dari negara Indonesia yang juga berpotensi menjadi pintar dan memberikan kontribusi yang signifikan. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya memandang pendidikan sebagai suatu komoditas yang dapat memberikan eksternalitas positif bagi pembangunan ekonomi. Masalah klasik dari suatu kebijakan publik, yaitu trade off antara efficiency dan equity kembali terjadi pada kebijakan BHP ini. Inilah hal ketiga yang harus diperhatikan. Kebijakan BHP ini, merefleksikan lepas tangan pemerintah dalam masalah pendanaan, meskipun dalam pasal 34 ayat 1 dikatakan pemerintah akan turut membantu dalam hal biaya operasional, namun tidak ada jaminan mereka akan mampu menyalurkannya dengan tepat sasaran. Lalu hal terakhir yang harus diperhatikan adalah trade-off antara efisiensi dan pemerataan. Okelah bila kita mengasumsikan kinerja pemerintah luar biasa dan mampu memilih siapa saja yang layak menerima bantuan operasional, maka akan terjadi efisiensi sebab mereka yang relatif lebih mampu tidak akan menerima subsidi, atau akan terjadi subsidi yang tepat sasaran. Namun, terjadi masalah equity; rakyat yang relatif lebih miskin akan sulit mengakses pendidikan, apalagi yang berkualitas. Pendidikan : Barang Privat atau Barang Publik? Mengapa pemerintah memutuskan untuk melahirkan BHP? Apakah pemerintah menganggap pendidikan sebagai barang privat atau publik? Sesungguhnya pendidikan itu bukan merupakan pure public good sebab tambahan biaya untuk setiap individu tidak sama dengan nol (MC 0). Barang publik itu bercirikan MC = 0 dan non excludable, yaitu tidak mungkin atau sangat sulit untuk dapat menghalangi

Issued by: PUSGERAK BEM UI seorang individu dalam menikmati keuntungan dari konsumsi barang tersebut. Contoh yang termasuk pure public good adalah mercusuar, kembang api, pertahanan negara, dll. Akan tetapi, pendidikan merupakan, seperti yang disebutkan sebelumnya, yaitu merit good yang harus didorong oleh pemerintah. Paradigma Market is Efficient dalam BHP Disebutkan oleh pemerintah dalam naskah akademik RUU BHP maupun di berbagai media massa, bahwa tujuan BHP adalah untuk memberikan otonomi yang dalam segala hal, terutama kurikulum yang banyak diributkan. Namun, seperti hipotesa yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan sebenarnya adalah lepas tangan pemerintah dalam masalah pendanaan dan aktivitas rent seeking oleh pihak-pihak yang dekat dengan lingkar kekuasaan. Bila kita melihat tuntutan pembenahan infrastruktur untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan tren yang semakin meningkat, maka sebagian besar dana anggaran belanja pemerintah dalam APBN, akan tersedot ke sana, sehingga pemerintah, yang menganggap bahwa rate of return dari investasi di sektor pendidikan itu rendah, hanya mewacanakan 20 persen anggaran untuk pendidikan yang sesungguhnya secara level kemampuan dari birokrasi dan keuangan sendiri sebetulnya masih meragukan. Nampaknya, dalam kasus BHP ini pemerintah, terlepas dari hipotesa yangada , menganggap bahwa pasar itu efisien dan mampu memberikan pilihan dan kualitas institusi pendidikan yang baik bagi masyarakat luas. Memang benar bahwa dalam analisis ekonomi, semakin banyak pilihan, semakin sejahtera konsumen, dan memang benar pula bila sektor pendidikan dilepas ke mekanisme pasar kemungkinan besar akan dapat meningkatkan kualitas dan pilihan, namun pemerintah nampaknya kurang menyadari bahwa rakyat miskin akan kesulitan mengakses pendidikan berkualitas. Di samping itu, harus diperhatikan pula market failures. Argumen yang paling fundamental adalah permasalahan social value bangsa Indonesia yang jika diserahkan ke pasar akan tergerus. Kemungkinan, sekolahsekolah yang nantinya akan tumbuh bila BHP jadi digolkan akan terpaku pada kreasi tingkat intelektualitas yang tinggi saja dan kurang memberikan perhatian pada pembiakan nasionalisme pada siswa-siswanya sebab para pendirinya nanti akan

Issued by: PUSGERAK BEM UI mengambil keuntungan dari wacana persaingan globalisasi di pasar tenaga kerja di masa depan. Bila saja pemerintah berkeras untuk memperbaiki kualitas birokrasi dan sistem pendidikan, rakyat akan dapat menikmati pendidikan yang murah dan berkualitas, baik dalam hal kognitif dan moralitas. Namun, tentu saja dengan catatan pemerintah dan komunitas pendidikan di Indonesia mau menggerus rasa kemewahan dan penilaian dari sampul. Cobalah lihat India yang biaya pendidikan tingginya sangat murah, yakni, kalau tidak salah ingat, biaya pendidikan satu semester bagi seorang mahasiswa setara dengan gaji sebulan seorang guru. Semua dosen di universitas di India, apalagi di universitas ternamanya, bergelar doktor yang berpenampilan sederhana dan papan tulisnya pun masih menggunakan kapur serta ruangan kuliahnya tidak ber-AC. Tetapi, teman-teman pasti sudah tahu kualitas mahasiswa dan dosen India, bukan?! Selain masalah tergerusnya social value, kita juga harus memperhatikan kegagalan pasar (market failure) yang mungkin terjadi. Terdapat enam market failure dalam suatu perekonomian, yaitu permasalahan terjadinya monopoli dan oligopoli, permasalahan penyediaan barang publik oleh pasar, permasalahan eksternalitas, baik negatif maupun positif, incomplete market, informasi yang tidak sempurna, dan pengangguran dan permasalahan makroekonomi lainnya. Dari keenam kegagalan pasar yang mungkin terjadi, incomplete market merupakan yang paling mungkin terjadi dan yang paling mengkhawatirkan. Kegagalan ini dikatakan incomplete market bila private market gagal menyediakan barang atau jasa meskipun biaya untuk mengadakan barang tersebut lebih rendah daripada yang konsumen ingin bayar untuk mengonsumsi barang tersebut (willingness to pay). Akan tidak adanya atau sedikitnya institusi pendidikan yang murah untuk rakyat kecil mungkin akan kita temui di masa depan sebagai konsekuensi dari kegagalan pasar ini. Analisis BHP secara positif mengatakan bahwa pembangunan manusia Indonesia di masa depan akan mengalami masa-masa yang paling suram, bahkan bisa jadi mengalahkan kesuraman ketika Soeharto masih berkuasa dan dapat berujung pada pembangunan ekonomi yang tidak merata serta polarisasi ekonomi. Dengan adanya liberalisasi sektor pendidikan dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar akan mempersempit akses rakyat kecil terhadap pendidikan, mereka yang sudah bodoh

Issued by: PUSGERAK BEM UI akan semakin bodoh. Padahal, Amartya Sen mengingatkan pembangunan ekonomi harus disertai dengan kebebasan dalam mengakses aset non-fisik, seperti pendidikan bagi siapapun. Dilihat dari kacamata kebijakan publik, BHP ini baik dalam hal efisiensi sebab mereka yang secara relatif lebih mampu tidak akan menerima subsidi yang memang seharusnya tidak mereka terima, namun buruk dalam hal kriteria pendidikan sebagai merit good, kemungkinan terjadinya kegagalan pasar, serta belum terdistribusinya keuntungan secara merata. Meskipun demikian, kita tidak dapat mengingkari the beauty of BHP dan kemungkinannya untuk dapat berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya, namun BHP memang tidak bisa diterapkan saat ini, sebab keberhasilan BHP ini mengasumsikan kinerja luar biasa baik birokrasi yang berwenang, daya beli masyarakat yang memadai, serta pemimpin yang tegas yang kesemuanya belum eksis saat ini.

D. Kesimpulan: Permasalahan Pendidikan Apa yang Dapat diselesaikan dengan BHP? Rangkuman dari seluruh analisis dan kajian di atas adalah tanda tanya besar yang harus dijawab sebelum kita menyikapi permasalahan Badan Hukum Pendidikan, yaitu permasalahan pendidikan apa yang dapat diselesaikan dengan adanya BHP? 1. Permasalahan akses masyarakat terhadap pendidikan. Seperti telah dijabarkan di atas bahwa adanya BHP dikhawatirkan akan menghambat hak-hak masyarakat dalam memperoleh pendidikan. Dengan adanya BHP kita memiliki permasalahan dalam hal ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas dan akses pendidikan. 2. Pemahaman mengenai pendidikan merupakan hak atau komoditas. Adanya BHP yang dalam naskah akademis secara tegas disebutkan sebagai badan hukum keperdataan semakin menguatkan asumsi masyarakat bahwa pendidikan adalah komoditas yang mahal dan hanya dapat diraih segelintir orang yang beruntung. 3. Masalah pembiayaan pendidikan

Issued by: PUSGERAK BEM UI Berdasarkan pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa tanpa adanya RUU BHP sekalipun masalah pembiayaan telah dijamin oleh konstitusi kita. Mengenai tanggung jawab negara terhadap biaya pendidikan pun telah disinggung dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Mengenai pembebasan wajib belajar juga telah dijamin dalam UUD 1945, UU Sisdiknas dan ICESCR. Permasalahan pembiayaan adalah pada tahap implementasi, prioritas anggran dan political will pembuat kebijakan. Tanpa pasal 34 RUU BHP versi 5 Desember 2007 , penjaminan terhadap pembiayaan pendidikan sudah ada. Adanya klausul dalam pasal 34 dikhawatirkan hanya akan menjebak pemerintah ke dalam pelanggaran undang-undang untuk kesekian kalinya. 4. Terkait dengan independensi institusi pendidikan Pada dasanya kita sepakat bahwa dalam menuju peningkatan mutu dibutuhkan kemandirian agar institusi pendidikan dapat mengelola menejemnnya sesuai dengan kebutuhannya. Namun tidak akan pernah kita sepakati adalah ketika alam pemikiran yang ada diarahkan bahwa kemandirian dan peningkatan mutu ini hanya dapat diraih jika institusi pendidikan berbetuk badan hukum privat dengan sedapat mungkin menjaga dari campur tangan negara. Sehingga kami melihat hal ini tidaklah dapat diterima, kemandirian pengelolaan pendidikan tidak seharusnya mengurangi peran negara terutama dalam hal pendanaan dan penanaman nilainilai luhur yang hidup di Indonesia. 5. Kerancuan hukum Dengan adanya ulasan mengenai kerancuan hukum pada pemaparan sebelumnya memang BHP dimaksudkan untuk mengatasi beberapa kericuhan hukum yang terjadi. Namun di sisi lain BHP justru menimbulkan masalah-masalah hukum baru, sehingga BHP tidak dapat menyelesaikan masalh hukum yang ada dalam dunia pendidikan. 6. Paradigma pembangunan ekonomi indonesia yang market oriented dan liberal. Setidaknya dalam hal pendidikan (baca: BHP), yang menurut hipotesis merupakan aktivitas rent seeking serta pelepasan tanggung jawab dalam pendanaan, dapat memberikan konsekuensi yang suram bagi masa depan bangsa ini. Bila ada yang berargumentasi bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan

Issued by: PUSGERAK BEM UI pertumbuhan ekonomi Indonesia, hal tersebut bisa saja dibenarkan, namun bila ada yang berargumentasi bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,hal tersebut tentu tidak dapat dibenarkan.

Rekomendasi: 1) Memastikan bahwa Pasal 34 dalam RUU BHP akan benar-benar terealisasi, terimplementasi dan penyelenggaraannya dapat diawasi 2) Perjelas koordinasi antara Depdiknas dan Departemen Keuangan (mengenai Block Grant / alokasi anggaran) 3) Perjelas status peserta didik ketika sewaktu-waktu BHP dibubarkan atau dinyatakan pailit. Minimalisir kerugian materiil dan psikologis peserta didik. 4) Perjelas fungsi dan peran pemerintah saat peralihan status dari BHMN menjadi BHP ( peralihan termasuk perlaihan status kepegawaian, tata kelola, pengubahan bentuk) 5) Optimalkan aksesibilitas peserta didik untuk peserta didik (kembali kepada azas berkeadilan, keadilan mana? Kalau yang dimaksud adalah Keadilan distributif, maka hanya yang memiliki uang dan kesempatan yang akan mendapatkan akses bukan?!) 6) Perkuat peran negara!! (jangan dieliminir dan tidak boleh dikurangi perannya)

Você também pode gostar