Você está na página 1de 18

[Artikel - Th. - No.

3 - Mei 2003]
Soedjatmoko
PEMBANGUNAN EKONOMI SEBAGAI MASALAH KEBUDAYAAN


..samubarang ana kang kardhi, lamun waniya ing gampang, wediya ing pakewuh, sabarang nora
tumeka, yen antepen gampang ewuh dadi siji, ing purwa nora nana. (Yasadipura).
Tidak perlulah kiranya membentangkan, di sini secara panjang lebar betapa pentingnya pembangunan
ekonomi untuk ndonesia. Harapan bangsa kita akan kehidupan yang lebih luas dan lebih baik, yang
begitu kuat dorongannya di dalam revolusi kita, belum terpenuhi. Harapan itu menyertai dan merupakan
akibat perubahan-perubahan sosial besar yang sedang kita alami.
Susunan masyarakat yang tertutup tidak dapat bertahan menghadapi masuknya kehidupan ekonomi
moderen. Lingkungan desa tidak lagi dapat memberi jaminan hidup yang cukup dan suasana, kehidupan
ini dirasakan sebagai kungkungan. Akibatnya ialah runtuhnya susunan sosial yang lama, pemboyongan
ke kota-kota, keinginan para petani untuk mencoba cara-cara yang baru, atau untuk bertindak sendiri
memperbaiki nasibnya antara lain dengan turut dalam gerombolan-gerombolan. Dipandang dari sudut ini,
maka masalah kemerdekaan serta pembangunan negara yang merdeka, tidak lain dari pada menyusun
kembali masyarakat kita atas tingkat produksi yang lebih tinggi dengan pembagian penghasilan yang
lebih merata. Di dalam keadaan seperti sekarang ini susunan masyarakat serta sistem politik, negara
yang akan dapat bertahan, hanyalah suatu susunan masyarakat serta sistem politik yang sanggup
mengatasi masalah kemelaratan di negeri kita. Jelaslah kiranya, cara-cara kita membangun ekonomi kita
akan menentukan bentuk dan sifat negara kita, dan akan menetaukan isi kemerdekaan kita.
Apabila kita meninjau kedudukan negara kita di dunia internasional, maka terlihatlah bahwa pada tingkat
kehidupan ekonomi kita sekarang nasib, kita sebagai bangsa untuk sebagian besar masih ditentukan
sebagai obyek oleh faktor-faktor di luar kekuasaan kita. Selama demikian halnya maka sebenarnya asas
menentukan nasib sendiri itu tidak lain daripada suatu pengertian yang hampa bagi kita. Memang untuk
beberapa waktu mungkin untuk memperkuat kedudukan kita dan melindungi kepentingan bangsa kita
dengan berbagai tindakan politik. Akan tetapi hasil-hasilnya sangat terbatas dan sementara. Jaminan
yang mulak bagi asas menentukan nasib kita sendiri terletak pada kekuatan ekonomi yang besar.
Urgensi pembangunan ekonomi lebih nyata lagi jikalau kita mengingat bahwa sebagian besar negara-
negara lain telah berhasil memulihkan keadaan ekonominya pada tingkat sebelum perang, malahan
tingkat itu dapat dilampauinya.
Angka-angka yang dimajukan oleh Dr. Daniel Neumark dalam laporannya kepada Biro Perancang
Negara beberapa bulan yang lau telah menunjukkan bahwa kita belum berhasil mencapai kembali atau
melebihi penghasilan nasional sebelum perang, malahan angka-angkanya membuktikan bahwa kita tidak
berhasil menahan mundurnya tingkat kehidupan, yang sudah mulai merosot sebelum perang. Perbedaan
kekuatan yang diakibatkan oleh keadaan ini dart yang berbahaya itu, lebih terang lagi jikalau kita
menginsyafi bahwa makin tinggi tingkat ekonomi sesuatu negara, makin besar kemampuan dan
kecepatannya untuk mempertinggikannya lagi. Dengan perkataan lain, negara-nepara yang terbelakang
ekonominya makin lama makin jauh perbedaan tingkat ekonominya dengan negara-negara yang sudah
lebih maju dan makin sukarlah bagi negara-negara yang terbelakang ekonominya itu untuk menyamai
pesatnya kenaikan tingkat ekonomi itu. Bahaya bahwa negara-negara yang terbelakang ekonominya ini
makin lama makin ketinggalan dan relatif makin lemah bukan suatu bahaya yang kosong.
Maka kemerdekaan kita dan kemungkinan bagi kita untuk benar-benar menentukan nasib kita sendiri
tergantung dari kesanggupan, kita untuk meluncurkan pembangunan ekonomi yang proporsi serta
kecepatannya sepadan dengan urgensi serta luasnya masalah ini. Dan juga bentuk politik negara serta
kemerdekaan kita akan ditentukan olehnya.
Meskipun di dalam tahun-tahun yang akhir ini kita telah mencapai sekedar kemajuan dalam lapangan
pembangunan ekonomi, namun orang tidak dapat melepaskan diri dari kesan bahwa kemajuan itu tidak
memegang peranan dalam alam pikiran bangsa kita. Memang harus dikatakan bahwa kemajuan itu
belum mencukupi untuk memenuhi tuntutan zaman seperti digambarkan di atas tadi. Hasil-hasil
pembangunan ekonomi hingga kini belum merupakan sesuatu yang dapat memupuk kepercayaan diri-
sendiri kita, dan menambah kesanggupan kita untuk membangun secara bersemangat. Seolah-olah
rencana-rencana pembangunan dari pemerintah tidak merupakan suatu barang yang hidup untuk
masyarakat dta sebagai kebulatan, meskipun pentingnya hal itu diterima juga oleh daerah-daerah yang
bersangkutan langsung. Kesan umum ialah bahwa, pembangunan ekonomi itu tinggal sebagai rencana-
rencana Pemerintah saja, di mana setiap Kementerian berusaha sendiri-sendiri dan bukannya sebagai
pelaksanaan sebagian dari suatu rencana pembangunan umum yang integral. Begitu pun dengan partai-
partai politik. Partai-partai politik umumnya menyokong pembangunan, ekonomi sebagai suatu semboyan
umum. Akan tetapi kita melihat juga bahwa masalah pembangunan ekonomi tidak memegang peranan
dalam pikiran kaum politikus partai sekarang.
Dalam menghadapi keadaan ndonesia sekarang, percaturan perang didahulukan dan pembangunan
ekonomi seolah-olah dikesampingkan sebagai sesuatu yang kurang urgensinya. Maka tidak
mengherankanlah bahwa juga di kalangan khalayak-ramai tidak ada bayangan yang terang tentang apa
yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi, dan apa yang harus dikerjakannya sebagai sumbangan
untuk pembangunan ekonomi ini. Aktivitasnya tidak kurang, di dalam lingkungannya sendiri, akan tetapi'
sering keaktifan itu timbul dari kekecewaan terhadap usaha pembangunan pemerintah di daerahnya,
sehingga ia merasa terpaksa mengambil inisiatif sendiri. Bagaimanapun juga, umumnya tidak ada
perasaan pada khalayak-ramai bahwa ia menjadi bagian dari suatu usaha bersama yang meliputi baik
pemerintah maupun dirinya sendiri untuk membangun negara kita.
Oleh sebab itu maka timbullah kesan umum bahwa pembangunan ekonomi kita ini seolah-olah setengah-
setengah saja dikerjakan, seperti tak dapat berangkat dan macet. Padahal, pembangunan ekonomi itu
seharusnya merupakan penjelmaan suatu pergerakan rakyat yang dibimbing secara sadar oleh
Pemerintah.
Sebabnya, bermacam-macam. Ada sebab-sebab yang harus dicari di bidang politik, oleh sebab memang
ada berbagai-bagai syarat politik yang harus dipenuhi dulu sebelum suatu bangsa dapat menempuh jalan
ke arah pembangunan ekonominya. Menurut pandangan kami beberapa sebab yang penting, di luar
lapangan politik ini, ialah kekurangan pengetahuan tentang arti pembangunan ekonomi untuk negara kita,
sehingga umumnya kurang dirasakan urgensinya. Di samping itu ada juga kekurangan pengetahuan
tentang apa yang dituju dengan pembangunan ekonomi ini di dalam akibat-akibatnya untuk kehidupan
masing-masing orang di dalam lingkungannya sendiri. Ada juga kekuranginsafan bahwa proses
pembangunan ekonomi ini ialah suatu proses yang meliputi kehidupan kita di dalam segala lapangan.
Begitu pun kita belum secara sistematis menghadapi rintangan-rintangan di dalam masyarakat kita
sendiri dalam menempuh jalan ke arah pembangunan ekonomi ini, yang berakar pada kebudayaan kita
sendiri. Oleh sebab itu perlu kita tinjau masalah pembangunan ekonomi di dalam rangka kebulatan
kehidupan bangsa kita, atau dengan kata-kata lain, dalam rangka kebudayaan kita.
Karangan ini tidak akan membicarakan faktor-faktor ekonomi khusus ataupun faktor politik yang
tersangkut dalam perumusan suatu rencana pembangunan serta pelaksanaannya. Begitu pun ia tidak
akan mengupas syarat-syarat politik yang harus dipenuhi sebelum kita dapat mulai melaksanakan
pembangunan ekonomi. Kita juga tidak akan menyinggung perumusan suatu politik pembangunan
ekonomi. Maksud karangan ini ialah mencoba meninjau sekedarnya beberapa hubungan antara usaha
pembangunan ekonomi dan bermasalah kebudayaan yang mengenai, inti pribadi sesuatu bangsa dan
masalah kebudayaan yang fundamental. Sebab dapatlah dikatakan bahwa pembangunan ekonomi
langsung menyentuh inti pribadi sesuatu bangsa yang masyarakat dan negaranya menjadi
penjelmaannya.
Bahwa pembangunan ekonomi bukanlah suatu masalah ekonomi semata-mata, sudah dapat
dibayangkan apabila kita mengingat bahwa tujuan-tujuan sesuatu rencana pembangunan ekonomi, sifat-
sifatnya, perbandingan antara penanaman modal untuk pembuatan barang-barang modal dengan
penanaman modal pombuatan barang-barang konsumsi, ditentukan berdasarkan suatu keputusan politik.
Jadi oleh suatu keputusan yang bukan bersifat ekonomis. Begitu pun keputusan mengenai cara-cara
pelaksanaan pembangunan ekonomi, misalnya tentang sentralisasi atau desentralisasi, apakah rencana
pembangunan ekonomi itu harus dilaksanakan dengan menggunakan aparatur negara saja atau dengan
mengajak rakyat untuk turut serta secara aktif; tempat dan penghargaan yang diberikan kepada inisiatif
sendiri di dalam perumusan serta pelaksanaannya, dan kebebasan pribadi di dalamnya, semuanya
merupakan suatu keputusan yang sangat erat terjalin dalam maksud tujuan sesuatu masyarakat, atau,
dalam perkataan lain, mengenai dasar kebudayaannya.
Pembangunan Ekonomi sebagai Perubahan SosiaI
Betapa luasnya sangkut-paut satu unsur saja dalam pembangunan ekonomi dapat dilihat dari beberapa
contoh.
Di dalam usaha pernbangunan ekonomi di negeri kita, pembemtukan koperasi memegang peranan yang
penting. Susunan koperasi dianggap, dan memang demikian halnya, sebagai suatu susunan keaktifan
ekonomi moderen, yang masih cukup dekat kepada suasana kehidupan kita yang lama, namun cukup
potensinya untuk digunakan sebagai dasar pembinaan kekuatan ekonom kita. a juga merupakan suatu
batu loncatan dan perantara, dengan susunan-susunan keaktifan ekonomi yang lebih besar.
Pendirian suatu koperasi di desa berarti bahwa kita menggunakan suatu teknik organisasi yang tertentu:
ia memerlukan administrasi serta pembukuan yang moderen. ia meminta tanggung jawab finansial. Sikap
orang-orang desa terhadap uang daan kredit harus berubah sebab keaktifan koperasi dan para
anggotanya harus dapat diperhitungkan dengan uang. Pendirian koperasi tidak hanya merupakan
perubahan dalam cara-cara orang menyusun diri dan bekerja bersama, melainkan juga berarti perubahan
dalarn lembaga-lembaga sesuatu desa. Susunan administratif baik di desa maupun dalam hubungan
desa itu dengan daerah di sekitarnya akan harus disesuaikan kepadanya. Timbulnya suatu koperasi di
dalam desa juga merupakan timbulnya suatu pusat kekuasaan baru sebagai saingan di dalam susunan
kekuasaan lama. Maka susunan politik pun berubah karenanya. Orang-orang desa, pendapat-pendapat
dan adapt-adat kebiasaannya terpaksa menyesuaikan diri kepada badan-badan baru ini. Dengan
adanya suatu koperasi di dalam desa akan muncul orang-orang baru dengan kejuruan dan keahlian yang
istimewa, yang dahulu tidak terdapat dalam lingkungan itu. Orang-orang desa harus belajar bergaul
dengar orang-orang baru ini dan memberi tempat dan penghargaan kepadanya.
Persamaan yang dangkal antara bentuk koperasi dan susunan kehidupan gotong-royong, sebenamya
menambah kesukaran-kesukaran orang untuk memahami arti perubahan dalam suatu desa yang
diakibatkan oleh berdirinya suatu koperasi, dan sering juga merupakan halangan utama dalam
perkembangan, koperasi tadi. Kehidupan secara gotong-royong berdasar pada rasa kekeluargaan dalam
suatu masyarakat tertutup, di mana kebutuhannya untuk sebagian besar dipenuhi oleh dan di dalam
masyarakat itu sendiri. Koperasi memerlukan penilaian jasa-jasa orang dengan uang, sedangkan dalam
kehidupan gotong-royong penghargaan itu, biasanya tidak diukur dengan mata uang. Koperasi
berdasarkan atas satu keputusan yang diambil secara sadar dan suka-rela oleh orang-orang yang
bersangkutan sendiri. Anggota-anggotanya bersatu untuk mencapai suatu maksud tertentu, berdasarkan
pengertian yang rasional tentang hak dan kepentingan sendiri dan hak dan kepentingan bersama. la
melingkupi lingkungan kehidupan terbuka yang lebih luas daripada dahulu. Pengalaman kita di lapangan
koperasi telah membuktikan bahwa jikalau perbedaan antara koperasi dan kehidupan gotong-royong
yang berakar pada susunan agraris-feodal, tidak disadari dengan secukupnya, maka ada bahaya bahwa
bentuk koperasi yang baru menjadi tidak lain dari pada suatu wujud baru yang mengandung isi feodal
yang sama seperti dulu. Tidak sedikit jumlah koperasi yang sebenarnya hanya merupakan perkumpulan
unsur-unsur feodal di dalam suatu desa yang dengan cara baru ini, hanya melanjutkan kekuasaan
tradisionalnya atas orang-orang kecil.
Akan tetapi, bagaimanapun juga, telah nyatalah bahwa berhasil tidaknya suatu koperasi di desa tidak
hanya tergantung pada keahlian dan kecakapan para pemimpin dan anggota-anggotanya untuk
menyelenggarakan koperasi itu. Keberhasilan itu tergantung pada perubahan-perubaban lainnya di
lapangan sosial dan kebudayaan yang secara langsung atau tidak langsung tersangkut dalam
penyelenggaraan koperasi ini.
Maka berdirinya suatu koperasi di suatu desa harus disertai oleh berbagai perubahan di lapangan lain.
Malahan boleh dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya usaha koperasi untuk sebagian besar tergantung
dari kesanggupan orang untuk mengadakan perubahan-perubahan lain itu. Ternyatalah bahwa koperasi
itu hanya salah satu muka saja dari proses pertumbuhan dan perkembangan desa seluruhnya yang
terjadi di berbagai lapangan pada waktu yang sama. Untuk mencapai hasil baik dengan koperasi ini perlu
perubahan-perubahan lain itu dihadapi dan dilaksanakan sekaligus. Artinya kita berhadapan dengan
masalah pendinamisan kehidupan desa seluruhnya.
Begitupun pemasukan mesin ke dalam kehidupan desa, seperti penggunaan traktor atau didirikannya
usaha-usaha kerajinan, berarti penyesuaian segala aspek kehidupan dan susunan kehidupan di desa
kepadanya. Dalam hal traktor misalnya, yang perlu bukan hanya bahwa orang cakap menggunakannya,
melainkan bahwa orang yakin akan perlunya memeliharanya. Pengalaman kita menunjukkan bahwa
justeru dalam hal itu kita masih lemah. Di samping itu, perlu untuk menyesuaikan cara-cara bekerja
bersama di dalam desa mengenai penggarapan tanah dan sebagainya kepada adanya traktor-traktor
tadi, agar supaya kita dapat menarik keuntangan sebesar-besamya daripadanya, dan begitu seterusnya.
Traktor dan mesin oleh orang desa harus dapat dianggap dan diperlukan sebagai lanjutan tangan
manusia yang dapat dikuasainya, sepenuhnya, seperti juga paculnya. Dengan demikian itu si mesin tadi
bukan lagi suatu benda yang asing baginya, melainkan suatu alat yang asli, suatu penjelmaan dari
kebutuhan dan kesanggupan masyarakat desa itu. Dan untuk itu kita perlu menyesuaikan diri, termasuk
mentalitet kita, cara-cara hidup, dan hubungan produksi pada umumnya kepada mesin yang kita
masukkan dan terima ke dalam kehidupan kita, atau dalam perkataan lain, kita harus mencernakan
mesin tadi dalam tubuh, kehidupan masyarakat kita.
Hal ini juga berlaku jikalau kita meningkat pada lapangan industrialisasi umumnya. Di sini pun
pemasukan mesin-mesin hanya merupakan permulaan proses perubahan sosial dan tanggapan jiwa
bangsa kita. Baru sesudah kita menyesuaikan, cara-cara organisasi kerja, disiplin kerja, kecepatan hidup
kita dan sebagaimana di samping kecakapan kita untuk menggunakan mesin itu, dapat kita katakan
bahwa mesin itu sudah menjadi barang yang hidup dalam masyarakat kita. Malahan lebih jauh lagi, kita
baru dapat dikatakan telah mencernakan mesin itu, sesudah pada kita timbul keinginan dan
kesanggupan, tidak saja untuk memelihara mesin itu, melainkan juga untuk membuatnya sendiri dan
untuk senantiasa menciptakan mesin-mesin yang lebih baik daripada yang sudah, yang lebih sesuai lagi
dengan kebutuhan kita sendiri. Nyatalah bahwa mesin itu hanya pernyataan dan alat suatu masyarakat
untuk mencapai tujuan-tujuannya:. Kita tidak dapat melepaskan mesin itu serta teknologi umumnya dari
nilai-nlaai sesuatu masyarakat, dari segala sesuatu yang dianggap penting oleh masyarakat itu. Dengan
perkataan lain mesin serta teknologi merupakan penjelmaan kebudayaan suatu masyarakat yang tidak
dapat dipisahkan dari kebudayaan yang menciptakannya. Jadi menghadapi masalah industrialisasi di
negeri kita berada juga menghadapi suatu proses perubahan sosial, suatu proses perubahan tanggapan
jiwa, suatu penyesuaian kreatif dari kebudayaan kita.
Penyesuaian kreatif ini berarti bahwa kita harus mencari dan membangkitkan di dalam kebudayaan kita
sendiri asas-asas otonom, yang atas kekuatan sendiri, akan memperkembangkan dinamik sosial kita
sendiri, dan mampu mendorong dan menuntun kita dalam menempuh jalan modernisasi, kehidupan kita.
Jikalau tidak demikian, maka segala penyesuaian kita akan bersifat pasif. Kita tidak akan dapat
melampaui taraf imitasi, taraf tiruan belaka, dan kita hanya akan meningkat dari tingkat statis yang satu
kepada tingkat statis yang lain, dan kita senantiasa akan terbelakang.
Oleh sebab itu, dalam menghadapi masalah industrialisasi, kita tidak dapat mengatakan bahwa kita
hanya bersedia menerima mesin serta teknologi dunia moderen dengan menolak begitu saja
penjelmaan-penjelmaan lain dari kebudayaannya. Eklektisisme yang murah ini, yang dianut oleh
beberapa pendekar kebudayaan kita dan yang secara samar-samar juga terdapat di berbagai kalangan
masyarakat kita, tidak dapat dipertahankan. Untuk menguasai mesin dan teknologi kita perlu mengertinya
lebih dahulu, yaitu menyelami dan mengerti kebudayaan dan jiwa yang menciptakannya. Usaha untuk
menyelami kebudayaan Barat, yang menjadi induk dunia moderen ini, agaknya akan dapat membantu
kita dalam mencari asas-asas dinamik otonom pada kita sendiri, yang kita maksudkan di atas ini.
Akan tetapi sebelum kita meningkat pada soal ini, agaknya ada baiknya kita menyimpang sebentar dan
menghadapi suatu soal lain dahulu. Kita telah melihat bahwa proses industrialisasi dan pembangunan
ekonomi umumnya ialah suatu proses perubahan sosial dan suatu proses perubahan tanggapan jiwa.
Akan tetapi, orang dapat bertanya, apakah perubahan mentalitas itu bukannya akibat dari pemasukan
mesin dan teknologi dalam kehidupan kita? Bukankah kebudayaan itu merupakan bangunan atas dari
susunan hubungan produksi di dalam suatu masyarakat? Memang sejarah jalannya revolusi industri di
Eropa Barat membuktikan bahwa pada umumnya hal itu demikianlah adanya. Akan tetapi jikalau suatu
negara hendak mengubah susunan hubungan produksinya dan mempertinggi tingkat produksinya dalam
waktu singkat dan menurut rencana tertentu, dengan sedapat-dapatnya mengurangi kesengsaraan yang
diderita oleh rakyat Eropa Barat sewaktu revolusi industrinya itu, maka ia terpaksa turut
memperhitungkan dan menggunakan secara sadar faktor-faktor kebudayaan tadi.
Demikianlah Uni Soviet, pada suatu ketika merasa perlu untuk mengabdikan kehidupan kebudayaan
Rusia kepada keperluan industrialisasinya. Dan untuk keperluan itu ia telah mengendalikan dan
mengatur penciptaan di segala lapangan. Faham Realisme Sosialis adalah akibat dari politik ini.
Begitupun di ndonesia mentalitas kita akan berubah dengan adanya industrialisasi serta segala akibat
sosialnya. Sebenarnya mentalitas kita sudah berubah dan akan terus-menerus berubah dengan
berlangsungnya keruntuhan susunan masyarakat kita yang lama. Akan tetapi terang jugalah, bahwa
apabila kita hendak mengejar waktu, mengingat urgensi pembangunan ekonomi ini untuk keselamatan
kemerdekaan kita, kita akan harus mengerahkan secara sadar faktor-faktor kebudayaan untuk
memudahkan dan mempercepat proses perubahan itu. Lepas dari itu ada juga suatu hal lain. Perubahan
mentalitas akan terjadi sesudah proses industrialisasi dimulai. Dimulai oleh Pemerintah. Artinya
perubahan mentalitas harus dimulai di kalangan pemerintah dan pemimpin masyarakat kita, sebelum kita
dapat mulai dengan pembangunan ekonomi. Dan ternyata di situlah letaknya kesukaran kita, sebab tekad
dan hasrat pembangunan kurang dirasakan. Dan akibatnya ialah, lambatnya usaha pembangunan
ekonomi. Dan kita akan melihat nanti bahwa untuk sebagian hal itu disebabkan oleh rintangan-rintangan
kebudayaan yang berpengaruh di lapisan masyarakat itu. Akibatnya ialah bahwa perubahan mentalitas
yang bergandengan dengan runtuhnya susunan sosial yang lama dan keinginan rakyat banyak untuk
mencoba cara-cara baru, tidak dapat ditampung dengan secukupnya.
Jelaslah, betapa pentingnya peranan faktor-faktor kebudayaan, sehingga tidak usah disangsikan lagi.
Mari kita kembali pada pokok pembicaraan kita. Kita telah melihat bahwa jikalau kita menghadapi
kekuatan industrial dunia moderen, kita pada hakekatnya menghadapi kebudayaannya. Dan bahwa,
apabila kita hendak mencari dan memperkembangkan asas-asas dinamik yang otonom pada kita sendiri,
ada baiknya jikalau kita juga menyelami intisari kebudayaan Barat yang menjadi akar dinamik Barat itu.
Untuk itu, barangkali kita mendapat pegangan sedikit jikalau kita menggunakan dua pengertian sebagai
penuntun yaitu sikap aktif terhadap alam, dan asas pembaharuan terus-menerus.
Di dalam susunan statis dari masyarakat agraris feodal, yang kita kenal itu, intisari asas hidup sebagian
besar bangsa kita ialah penyesuaian serta persatuan dengan kodrat dan hukum-hukumnya. Manusia
adalah bagian kodrat, dan kodrat itu meliputi keseluruhannya. Manusia itu menentukan tempatnya serta
hubungannya dengan alam di sekitarnya dengan perantaraan bermacam-macam upacara dan
pantangan. Dengan jalan ini sedapat-dapatnya ia menjamin keselamatannya. Di dalam suatu tingkat
yang lebih tinggi, kebahagiaan terbesar yang dapat dirasakannya ialah mengatasi dan membebaskan diri
kungkungan pribadinya sendiri dan dengan cara demikian menikmati rasa persatuan dengan kodrat. Di
dalam tanggapan jiwa yang demikian sungguh segala pemikiran untuk menguasai alam dan
mengabdikannya kepada kebutuhan manusia.
Tanggapan jiwa dunia moderen berpangkal pada paham bahwa penguasaan alam oleh manusia
merupakan suatu hal yang mungkin dan yang patut dikejar. Dengan tanggapan jiwa ini manusia tidak lagi
merupakan suatu bagian dari alam melainkan ia mulai menyendiri daripadanya, ia mulai menyelidikinya
sebagai suatu hal yang lepas dari dirinya sendiri, dan ia mulai menguasainya. Untuk dapat menguasai
alam, perlu manusia mengetahui hukum-hukumnya agar ia mampu mengganakan hukum-hukum itu
untuk menaklukan alam. Dan dorongan mengenal alam ini, untuk mengetahui hukum-hukum demi
pengetahuan itu sendiri, tidak lain daripada tanggapan jiwa Pengetahuan. Tanggapan ilmu pengetahuan
ini berikhtiar melihat mengerti alam di dalam keseluruhannya sebagai suatu kebulatan yang berangsur-
angsur dapat dikenal dan dipahaminya, yang pengetahuannya dapat disusun dalam suatu teori yang
logis, yang bagian-bagiannya saling berhubungan secara konqisten. a senantiasa berusaha membuat
obyektif pendapatnya dan mengujinya kembali, untuk mencocokkannya dengan pendapat-pendapat dan
hubungan-hubungan baru yang didapatnya, dan jika perlu mengubah teorinya. Maka intisari tanggapan
ilmu pengetahuan ini ialah usaha pembaharuan terus-menerus. Kebenaran yang didapatnya tidak
dianggap sebagai suatu kebenaran yang mudak, melainkan sebagai sesuatu yang senantiasa harus diuji
kemboli, ditaklukkan dan dipahami kembali. Sebab baginya yang benar pada hari ini, besok sudah
menjadi takhyul, dan yang baik sekarang besok menjadi musuh dari yang lebih baik.
Keinginan untuk mengenal dan menguasai alam, ikhtiar manusia untuk terus-menerus, mencari
kebenaran sebagai sesuatu yang senantiasa harus dikejar namun tidak pemah dicapai seluruhnya,
kesediaan untuk mencocokkan pandangan serta cara-cara hidupnya kepada faham ini, bersama dengan
keyakinan bahwa nasib manusia di dunia ini untuk sebagian penting dapat diperbaiki oleh manusia
sendiri berkat pengetahuan alam ini, kedua unsur inilah yang menjadi sumber perkembangan teknologi
Barat dan sumber dinamik sosialnya yang besar itu. Kami rasa, dengan segala kekurangan dan
kedangkalan yang dikandung dalam generalisasi semacam ini, kita dapat menggunakannya dalam
penyelidikan kita ini.
Teranglah sekarang bahwa tidak cukup kita hanya mengoper saja alat-alat, cara-cara dan bentuk-bentuk
susunan produksi dari luar. Semuanya ini akhimya harus menjadi darah-daging kita sendiri; ia harus
menjadi alat-alat dan cara-cara kita memenuhi kebutuhan kita sendiri, menjadi penjelmaan kebudayaan
kita sendiri. Dalam pada itu intisari persoalan yang kita hadapi ialah mencari asas-asas dinamik kita
sendiri yang otonom, artinya yang dapat berkembang menurut hukum-hukum pribadi kita sendiri berkat
kekuatan kita sendiri. Dinamik itu harus sedemikian kuatnya sehingga kita tidak lagi ketinggalan oleh
dinamik perkembangan dunia. Dan bagaimanapun juga di samping komponen-komponen lainnya asas-
asas dinamik itu akan harus meliputi juga kepercayaan bahwa manusia sanggup dan harus dapat
menguassi nasibnya sendiri di dunia ini, lebih daripada semula. Lagi pula, keinginan untuk mengenal dan
menguasai alam dan kesanggupan untuk menghadapi perubahan dan pembaruan terus-menerus harus
hidup pula.
Dari uraian ini kelihatan betapa mendalam pembahan-perubahan yang akan harus kita alami untuk
memungkinkan pembangunan ekonomi, sebab pada hakekataya kita berhadapan dengan masalah-
masalah yang langsung menyentuh akar-akar kebudayaan kita.
Daya ke Arah Pembaruan dan Daya Penentang Perubahan
Bagaimanakah keadaan kita dalam menghadapi perubahan yang mendalam ini? Pada umumya dapat
dikatakan bahwa dalam setiap kebudayaan terdapat suatu daya ke arah perubahan, suatu faktor yang
senantiasa hendak menyesuaikan kebudayaan itu kepada masalah-masalah baru yang dihadapinya.
Daya ke arah perubahan ini ialah daya ke arah pembaruan, dan ia berakar pada vitalitas kebudayaan itu.
Akan tetapi sebaliknya, sudah menjadi hakekat suatu kebudayaan juga, bahwa ia hendak
mempertahankan sifat dan pribadinya sendiri, dengan sedapat-dapatnya menolak hal-hal dari luar yang
akan dapat mengubah sifat dan pribadinya. sendiri itu. Dan biasanya bertambah meningkat integrasi
suatu kebudayaan dan suatu masyarakat, bertambah kuat pula daya penentang perubahan itu.
Maka setiap bangsa dalam sejarahnya senantiasa menghadapi bentrokan antara dua kekuatan ini.
Kekuatan-kekuatan itu kedua-duanya merupakan penjelmaan dari vitalitas dan pribadi bangsa dan
kebudayaan itu. Dalam menghadapi masalah pembangunan ekonomi di negeri kita, daya penentang,
perubahan ini akan nyata dalam berbagai-bagai bentuk. Salah satu di antaranya ialah sikap yang banyak,
terdapat di kalangan pegawai tinggi, pemimpin politik dan juga profesor-profesor kita. Sering didengar
ucapan mereka ; Apakah perlu pembangunan ekonomi? Apakah bangsa kita harus menjadi seperti
bangsa barat? Apakah kita harus membimbing bangsa kita ke arah suatu masyarakat yang dikuasai oleh
suasana persaingan yang tak terbatas, dimana manusia menjadi serigala untuk sesama manusia,
dimana individu tidak merasakan hubungan bathin dengan pekerjaan yang dijalankannya atau dengan
kawan-kawan sekerjanya? Apakah semangat ini yang harus kita tanamkan ke dalam kebudayaan dan
susunan masyarakat kita?
Di dalam sikap demikian sebenamya terdapat dua unsur. Pertama, ialah penolakan kapitalisme Barat.
Hal itu sudah bukan permasalahan yang baru. Di Asia boleh -dikatakan penolakan semangat kapitalisme
Barat itu umum sifatnya. Dan reaksi semacam ini sudah semestinya. Akan tetapi yang lebih penting di
dalam rangka persoalan kita ini ialah unsur kedua, yaitu penolakan terhadap kehidupan industrial.
Penolakan kehidupan industrial dalam segala konsekuensinya ini menjadi sumber dari perlawanan atau
kekurangan semangat terhadap soal pembangunan di dalam sebagian kalangan atas ndonesia. Maka
perlulah kita mengupasnya secara lebih dalam. Dipandang dari suatu sudut tertentu, dapat dikatakan
bahwa kebahagiaan manusia timbul dari keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhannya dan
kemungkinan-kemungkinan yang terbuka baginya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Untuk
mencapai kebahagiaan itu manusia pada satu pihak dapat berusaha sekuat tenaganya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tadi, betapapun tinggi tingkat kebutuhan-kebutuhan itu. Keseimbangan terjadi pada
suatu tingkat material yang tinggi. Sebaliknya ia juga dapat mencari kebahagiaan itu dengan menurunkan
kebutuhan-kebutuhannya sehingga ia tidak memerlukan ikhtiar istimewa untuk memenuhinya. Umumnya
jalan yang kedua ini terdapat pada suatu tempat di mana tanggapan jiwa terhadap kehidupan manusia
pada hakekatnya bersifat "eltverneinung, yaitu bersifat menolak sepenuh-penuhnya kenikmatan lahir
dari hidup di dunia ini.
Di berbagai bagian Asia dan terutama di mana kebudayaannya dipengaruhi oleh filsafat Hindu dan
umumnya oleh tradisi mistisisme, sikap yang demikian ini sering kita dapati. Di bagian-bagiap ini ikhtiar
manusia untuk mengurangi kebutuhan-kebutuhan lahirnya sering merupakan suatu cita-cita yang kuat.
Diantara guru-guru dan pendekar-pendekar Asia, yang menganjurkan cita-cita ini harus dihitung juga
seorang seperti Gandhi. Bagi Gandhi kehidupan moderen berdasarkan suatu tingkat, di mana kebutuhan-
kebutuhan lahir manusia ditinggi-tinggikan sampai melampaui batas. Pada tingkat kebutuhan manusia
yang terlalu tinggi ini, manusia terpaksa menjadi hamba dari mesin-mesin yang menjadi syarat mutlak
baginya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya itu. Maka pada pendapatnya sangat berbahayalah
cita-cita itu bagi bangsa ndia dan bangsa-bangsa Asia umumnya, apabila mereka hendak menyaingi
bangsa-bangsa Barat atas dasar-dasar kehidupan Barat ini dan atas dasar susunan industrial. Maka
dianjurkannya agar menolak jalan ke kebahagiaan yang berbahaya ini, memperjuangkan kemerdekaan
ndia dengan tidak mengikuti jalan industrialisasi Barat, dan kembali kepada alat-alat pemintal yang
sederhana. Penolakan kehidupan industrial oleh Gandhi berdasar terutama atas, pertimbangan moral.
Yang dikuatirkannya ialah kerugian jiwa yang akan diderita o1eh bangsanya sebagai akibat menerima
kehidupan industrial itu. Tak perlu diterangkan bahwa pendapat yang sedemikian ini hanya dapat tumbuh
di dalam isolasi Gandhi dan ndia dari dunia luar. a sukar bertahan dalam menghadapi masalah
kemelaratan di ndia secara obyektif, begitu pula ia tidak dapat bertahan dalam menghadapi kekuatan-
kekuatan yang mendesaknya dari luar. Maka tidaklah mengherankan bahwa ndia dalam hal
pembangunan ekonomi ini tidak mengikuti jejak Gandhi, meskipun pengaruhnya masih terasa juga dalam
lapangan ini. Sebaliknya, ndia telah mengikuti pimpinan Nehru.
Di beberapa kalangan di ndonesia pun, baik secara samar-samar, maupun dalam bentuk-bentuk yang
lebih tegas, penolakan terhadap kehidupan moderen semacam ini terdapat juga. Dan agaknya inilah
salah satu sebabmengapa sebagian lapisan atas kita kurang memperhatikan masalah ini sebagai suatu
masalah yang tak dapat ditunda. Boleh dikatakan bahwa masalah pembangunan ini tidak memegang
peranan dalam pikiran dan sepak-terjang kebanyakan partai-partai politik umumnya, kecuali sejauh suatu
rencana pembangunan khusus ada singkut-paut langsung dengan kepentingan partai.
Jikalau kita menghendaki supaya usaha pembangunan ekonomi itu tidak tinggal omongan saja dan
semua partai politik sebenarnya dengan bibirnya telah menyokong perlunya pembangunan ekonomi,
perlulah lebih dahulu urgensi pembangunan ekonomi dirasakan, sehingga bangkitlah hasrat untuk
membangun. Perlu juga orang menyadari kecepatan yang diperlukan. Hal itu berarti bahwa tidak boleh
lagi ada kebimbangan moril terhadap faedah dan baiknya pembangunan ekonomi. Tidak boleh ada
kesangsian lagi bahwa pembangunan ekonomi berarti menambah pada suatu waktu tingkat konsumsi,
menambah kebutuhan-kebutuhan masyarakat, artinya perlunya menimbulkan keinginan di dalam
masyarakat dan setiap individu untuk memiliki atau menggunakan hasil-hasil kehidupan industrial. Dalam
perkataan lain, menerima konsepsi pembangunan ekonomi berarti menerima lebih dulu halalnya umat
manusia dan bangsa ndonesia khususnya mengecap kenikmatan hidup di dunia ini dalam segala bentuk
material dan spiritualnya dan mengejarnya sebagai salah satu dari beberapa tujuan hidup. Sikap itu
berarti membuang segala ciri sikap eltverneinung tersebut. Kita harus mengerti bahwa tanggapan jiwa
ilmu kebatinan yang klasik dan etik Wedhotomo, betapapun 1uhurnya nilai-nflai yang terkandung di
dalamnya, berakar pada suasana hidup agraris feodal, yaitu suasana hidup yang tidak dapat
dipertahankan lagi oleh sebab dasar sosialnya sudah runtuh. Tugas bangsa ndonesia dalam taraf
sejarah sekarang ini terletak di dunia fana ini dan bukannya di dalam dunia yang baka.
Rupanya belum begitu disadari bahwa apabila kita sebagai bangsa menghadapi masalah pernbangunan
ekonomi, maka pada bakekatnya juga kita menghadapi masalah pandangan hidup bangsa kita. Selama
hal ini belum terang di dalam pemikiran kita sendiri, segala rencana pembangunan ekonomi akan
dijalankan setengah-setengah saja, oleh sebab ia selalu akan tersentuh pada weerstanden, perlawanan
yang timbul dari pandangan hidup yang lama.
Jikalau di lapisan atas masa pandangan hidup ini terutama merupakan masalah moral-falsafah, di dalam
lapangan lain daya penentang perubahan itu menyatakan dirinya dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit.
Yaitu di lapangan penyesuaian suasana agraris ke suasana industrial atau penyesuaian si tani menjadi
buruh. Masalah yang berhubungan dengan itu ialah masalah perangsang kerja.
Jikalau dilihat selayang pandang, maka surplus penduduk di desa yang sudah mulai memboyong secara
besar-besaran ke kota-kota untuk melepaskan diri dari kesempitan hidup di desa itu, akan merupakan
suatu pasaran buruh yang baik untuk program industrialisasi kita. Dan memang dapat dikatakann bahwa
kemelaratan akan mendorong golongan ini ke lapangan industri. Akan tetapi di situ pun ada batasnya.
Golongan ini ialah golongan yang biasanya tidak mempunyai suatu keahlian atau kejuruan, jadi mereka
merupakan pasaran buruh hanya untuk pekerjaan di pabrik-pabrik yang tidak memerlukan kejuruan.
Akan tetapi untuk pekerjaan-pekerjaan lainnya di lapangan industri, kita tetap menghadapi kesukaran.
Soalnya ialah bagaimana caranya kita dapat membawa golongan buruh ini ke taraf kejuruan?
Kemungkinan-kemungkinan perkembangan industri di negeri kita, untuk sebagian besar tergantung dari
jawaban kita atas soal ini. Dan jikalau kita tidak dapat mengatasi kesukaran ini, maka sangat boleh jadi
kita akan kekurangan buruh yang berkejuruan di dalam suatu pasaran buruh tidak berkejuruan yang
sangat luas.
Pengalaman di negara-negara lain yang juga menghadapi soal ini telah menunjukkan bahwa meskipun
kemelaratan mendorong orang-orang ke lapangan industri, kemelaratan saja tidak cukup untuk
memaksakan mereka menambah pengetahuan serta kejuruan yang diperlukan oleh perkembangan
industrialisasi itu. Timbullah di sini soal incentives, soal perangsang yang diperlukan untuk memajukan
golongan ini sehingga mereka merasa perlu menambah kejuruannya itu. Ternyatalah bahwa
penambahan upah tidak senantiasa memberikan tambahan dorongan tadi. tu memang benar di negara-
negara di mana uang memang menjadi ukuran segala nilai yang berlaku di dalam masyarakatnya. Akan
tetapi cukup banyak negara-negara yang ekonominya masih terbelakang, di mana nilai-nilai dalam
masyarakat tidak dapat dinyatakan dalam mata uang. Banyak pertimbangan lain yang berlaku di negara
dan kebudayaan itu. Ada pertimbangan prestise sosial, tanggapan jiwa terhadap kerja, terhadap arti
waktu luang dan cara-cara menggunakannya serta anggapan orang banyak mengenai apa yang
terpenting dalam hidupnya. Di samping itu harus diinsyafi juga bahwa jikalau dalam sesuatu masyarakat
barang-barang konsumsi tidak banyak jumlah dan ragamnya, maka penambahan upah itu tidak ada
artinya dalam hubungan kehidupan buruh tadi. Semua faktor-faktor ini membatasi arti uang sebagai
perangsang kerja dalam lapangan buruh ini.
Ada juga rintangan-rintangan psikologis yang menghalangi pemboyongan penduduk ke lapangan
industri. Meninggalkan desa biasanya menimbulkan berbagai kesulitan jiwa bagi orang-orang yang
bersangkutan. Jikalau ia meninggalkan desa, ia juga meninggalkan suatu susunan nilai dan juga suatu
suasana hidup yang dikenalnya dan yang dianggapnya baik dan benar : Suasana itu memberikan
kepadanya kepastian jiwa, yang di dalam berbagai kebudayaan merupakan suatu tujuan hidup yang
sangat ponting. Oleh sebab itu pemboyongan ke kota itu sering diangapnya sebagai suatu tindakan
darurat. Sesudah ia dapat memperbaiki taraf kehidupannya, biasanya ia ingin pulang lagi ke desa. Maka
di sini pun terasa kesukaran yang kita hadapi dalam usaha kita untuk mencapai perbaikan pada tingkat
kejuruan kaum buruh.
Di dalam suasana desa soal kedudukan serta prestise sosial yang terkandung di dalam setiap pekerjaan
itu semuanya mempunyai tempat sendiri. Susunan itu dikenal oleh tiap anggotanya dan ia dapat
menempatkan dirinya di dalam susunan dan suasana itu. Agar supaya ia dapat menetap di dalam
lingkungan industrial, maka sangat perlu baginya untuk mengetahui dan menerima susunan kedudukan
dan prestise pekerjaan di dalam lingkungan yang baru itu. Permasalahan ini penting kita pelajari secara
lebih mendalam. Kita harus mengetahui apa yang merupakan perangsang kerja yang kita perlukan dan
apa yang menjadi rintangan. Unsur-unsur di dalam kebudayaan kita yang dapat menjadi perangsang
harus kita pupuk dan yang dianggap sebagai rintangan harus kita singkirkan. Di samping itu masih ada
soal-soal yang kita hadapi seperti perangsang-perangsang yang mempengaruhi disiplin kerja, hubungan
akrab dengan pekerjaan yang dijalankan dan konsep waktu. Di samping itu bagaimana caranya kita
dapat menanamkan sikap-sikap baru yang lebih sesuai dengan kehidupan industrial, dan yang perlu
dicapai dalam waktu yang lebih singkat.
Sampailah kita sekarang pada pertanyaan : Berapa besarkah perubahan yang masih dapat diterima dan
dicernakan oleh suatu kebudayaan. Atau di dalam hubungan pembangunan ekonomi kita, haruskah kita
bersikap evolusioner atau revolusioner dalam mengejar tujuan-tujuan pembangunan ekonomi. Kita telah
melihat adanya suatu keinginan untuk perubahan. Akan tetapi kita telah melihat juga bahwa jikalau
perubahan-perubahan itu terlalu jauh perbedaannya dengan suasana serta adat kebiasaan yang lama,
maka sikap terhadap perubahan itu ialah negatif dan menolak. Dapat dikatakan bertambah padat
perpaduan suatu kebudayaan, bertambah kuat pula penolakannya terhadap perubahan yang demikian
itu. Kesediaan suatu kebudayaan untuk menerima perubahan akan menjadi lebih besar jikalau
perubahan itu tanpa menimbulkan kesukaran besar dapat disesuaikan di dalam susunan yang lama.
Berdasarkan alasan inilah orang dapat membenarkan suatu politik berangsur-angsur, suatu politik
evolusioner, dalam memasukkan unsur-unsur pembangunan ekonomi ke dalam tubuh masyarakat kita.
Akan tetapi sebaliknya timbul pertanyaan: Apakah perubahan yang kecil-kecil dan secara berangsur-
angsur itu akan mencukupi untuk mengatasi kesukaran yang sekarang kita alami dalam rangka susunan
masyarakat kita yang lama itu? Jikalau kita mengikuti politik evolusioner, sangat bisa jadi perubahan
yang kecil itu memang dapat ditampung dan dicernakan berkat keinginan akan perubahan yang sudah
ada itu. Akan tetapi, sekali keinginan itu sudah dipenuhi dan kita tidak boleh melupakan bahwa keinginan
itu ialah keinginan yang besar-kecilnya ditentukan oleh keadaan di dalam lingkungan desa saja maka
mungkin sekali, masyarakat desa itu akan kembali kepada konservatisme baru dan akan menolak
penerusan perubahan itu yang tidak begitu lagi dirasakan pentingnya dan urgensinya. Konkritnya,
andaikata di dalam suatu desa dimulai suatu kerajinan desa, maka besarlah kemungkinan bahwa
kerajinan itu akan diterima dengan gembira oleh masyarakat desa itu. Akan tetapi belum pasti entah hal
itu berarti bahwa mereka akan bersedia juga untuk bekerja di lapangan industri yang lebih besar, yang
hubungannya dengan kehidupan di desa mungkin tidak begitu erat tetapi akan lebih penting artinya untuk
mempertinggi taraf kehidupan di dalam suatu daerah yang lebih luas, daripada desa itu. Atau dengan
perkataan lain, kalau toh perkembangan cottage industries tidak merupakan penyelesaian bagi masalah
rekonstruksi desa dan keperluan industrial, apakah tidak lebih baik kita membuang cara evolusioner ini
dan menggantikannya dengan cara-cara revolusioner, yaitu dengan terus meloncat kepada industrialisasi
besaf-besaran? Orang dapat, mengatakan, meskipup penderitaan, dan kesukaran penyesuaian akan
lebih besar, barangkali waktu penderitaan itu akin lebih singkat.
Syukurlah, pertanyaan ini yang dalam bentuk abstraknya ada baiknya juga kita hadapi, bagi ndonesia
tidak akan dijawab pada tingkat abstraksi ini. Melihat keadaan dan kemungkinan-kemungkinan obyektif
kita akan harus menempuh kedua jalan bersama-sama. Dan di samping itu, kemungkinan-kemungkinan
untuk industrialisasi untuk sebagian penting akan tergantung juga dari faktor-faktor yang sementara
waktu, masih di luar kekuasaan kita. Dengah mempermasalahkan pertanyaan tersebut dapat kita
hindarkan perdebatan yang tak habis-habisnya antara mereka yang menganggap jalan pertama lebih
unggul dan mereka yang menjagoi jalan kedua.
Kembali pada pokok persoalan kita dapatlah dikatakan bahwa setiap kebudayaan dan setiap masyarakat
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang sudah terjalin di dalam suasana kehidupannya, dan yang secara
sadar atau tidak, dikejar oleh semua anggota masyarakat dan kebudayaan itu. Pembangunan ekonomi
berarti bahwa tujuan-tujuan kebudayaan itu diubah dan kemudian ditentukan tujuan-tujuan yang baru.
Jika hendak menjamin bahwa pembangunan ekonomi itu berhasil, maka perlu kita berusaha supaya
tujuan-tujuan baru itu yang berlainan dan pada yang lama, meresap menjadi darah daging kebudayaan
tadi. Dalam hal ini penyesuaian itu sebenarnya merupakan suatu reintegrasi pribadi berdasarkan
perkembangannya hubungan pribadi antara si buruh atau anggota lainnya dengan tujuan-tujuan
masyarakat yang baru itu.
Maka dari uraian di atas ini agaknya sudah teranglah bahwa, jikalau kita hendak melaksanakan
pembangunan ekonomi dengan kecepatan yang diperlukan dan sesuai dengan proporsi masalah ini
dalam segala sangkut-pautnya, tidak cukup menghadapi pembangunan ekonomi ini dari sudut ekonomi
ataupun dari sudut birokratis saja. Pembangunan ekonoini harus didasarkan atas, atau lebih tegas lagi,
harus merupakan penjelmaan dari suatu proses perubahan sosial dan kebudayaan yang dibimbing
dengan kesadaran. Perubahan-perubahan yang dipedukan harus meliputi juga susunan serta lembaga-
lembaga hukum, kebiasaan konsumsi dan juga taraf kebutuhan serta sifat-sifat kebutuhan anggota
masyarakat ndonesia. Kita harus menyelami soal dorongan untuk kerja (motivation), perangsang kerja
serta etika kerja. Kita harus menghadapi masalah makna hidup dan masalah penguasaan alam dan
pengabdiannya kepada kebutuhan-kebutuhan manusia. Kita akan harus menentukan nilai-nilai hidup kita,
beroepskeuze, sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonomi dalam taraf sejarah kita sekarang ini.
Dan, kita harus menghadapi dan menyelami ilmu serta- penggunaannya untuk keselamatan umat
manusia.
Maka pembangunan. ekonomi, ternyatalah mempunyai sttatu dimensi lain, di samping. pengetahuan,
keahlian dan faktor-faktor, ekonomis yang khusus. a juga berdimensi manusia.
Usaha pembangunan ekonomi ternyata juga merupakan suatu proses yang dapat dipengaruhi, yang
dapat dikuasai dan diarahkan secara sadar meskipun ia meliputi hampir segala lapangan kehidupan
manusia, kita menyadari lebih dahulu segala sangkut-pautnya. Perlu kita menyelami kebudayaan kita
sendiri, agar supaya kita dapat mengatasi rintangan-rintangan yang timbul dari kebudayaan kita dan yang
sekarang menghalangi kemajuan kita ke arah pembangunan ekonomi. Perlu juga kita menyelaminya
agar kita dapat menyadari kembali unsur-unsurnya yang dapat memberi dorongan dan perangsang bagi
kita yang sudah ada dalam kebudayaan kita untuk mengejar tujuan pembangunan ekonomi ini.
Kita telah mengetahui juga, bahwa proses pembangunan ekonomi itu disertai oleh kesukaran dan
penderitaan besar bagi bangsa yang sedang menempuhnya. Jikalau kita cukup, menyadari dan
memperhitungkan faktor-faktor kebudayaan yang terkandung dalam dimensi manusia ini, kita akan dapat
meringankan penderitaan itu dan akan dapat pula mempercepat lamanya proses pembangunan ekonomi
kita, sebab kita juga telah melihat betapa pentingnya keeepatan itu untuk kedudukan kita di dunia.
Dengan kesadaran ini pula, peranan paksaan dalam pelaksanaan rencana pembangunan ekonomi akan
dapat ditiadakan atau setidak-tidaknya dikurangi. Dengan jalan ini pula akan mungkin untuk
menghubungkan rencana-rencana negara dengan keinginan akan perbaikan dan pembaruan di tingkat
lokal. Jikalau kedua kutub ini dapat dihubungkan, maka hal ini berarti bahwa rencana pernbangunan
ekonomi negara akan dapat didukung oleh dinamika sosial yang sudah ada dalam masyarakat kita
dengan segala daya dan inisiatifnya, yang menjadi syarat mutlak berhasilnya usaha kita.
Berbagai Ragam Jawaban
Sebenarnya masalah yang sekarang kita badapi ini bukan soal yang baru, dan bukan kita saja yang
menghadapinya. Uni Soviet telah berhasil menyusun jawabannya atas soal ini dengan memusnahkan
susunan masyarakat lama dengan kekerasan dan ia telah mulai mengintegrasilkan kembali masyarakat
itu dalam susunan- susunan yang baru dengan suatu campuran paksaan dan antusiasme ideologi,
menurut suatu revolusi dari atas. Kemudian selama Perang Dunia patriotisme telah turut
memperkokoh susunan-susunan yang baru ini.
Jepang telah berhasil menyesuaikan dirinya kepada kehidupan moderen dan melaksanakan
pernbangunan ekonominya dengan tidak mengubah hubungan-hubungan kekuasaan serta susunan
kekuasaan umumnya di dalam negeri untuk mencapai transformasi ekonominya sampai ia dikalahkan
pada tahun 1945. Gambaran Jepang ialah gambaran suatu negara feodal dengan alat-alat moderen.
Transformasi ekonomi dijalankan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan yang terletak di dalam
campuran ideology dan againa yang khas Jepang yaitu Shintoisme. Saluran-saluran kekuasaan otoriter
di dalam suasana kekeluargaan digunakannya untuk membangun industri. Kekalahan Jepang dalam
peperangan sekarang telah menunjukkan betapa besar pertentangan-pertentangan sosial yang terdapat
dalam jawaban Jepang atas masalah pembangunan ekonominya. Pertentangan-pertentangan ini
sekarang tampak. Belum jelas lagi, arah perkembangan masa depan Jepang.
Bagaimanapun juga, pengalaman Jepang penting bagi kita, sebab ia membuktikan sesuatu yang
kemudian juga telah dibuktikan oleh beberapa negara yang lain, yaitu bahwa pilihan kita dan jawaban kita
atas masalah pembangunan ini tidak hanya terbatas pada suatu pilihan antara jawaban komunis dan
jawaban kapitalis. Perubahan-perubahan susunan sosial di Yugoslavia, sesudah negara itu melepaskan
diri dari lingkungan dan dukungan kekuasaan Rusia, mendapat arti yang sangat besar dalam hubungan
ini. Begitupun ragam bentuk-bentuk kooperatif (kibutzin) di srael menunjukkan, bahwa di samping
bentuk-bentuk komunis dan kapitalis masih banyak kebebasan dan daya manusia untuk menyusun
jawabannya sendiri atas masalah reintegrasi suatu masyarakat baru. Di samping itu dunia sekarang
sudah lebih mengetahui, bagaimana caranya manusia dapat mempertahankan kemanusiaannya dalam
menghadapi mesin.
ndia, Tiongkok dan Birma semuanya sekarang menghadapi masalah penyesuaian kepada kehidupan
moderen. Selain faktor-faktor interen, akan banyak tergantung dari ruangan dari kemungkinan yang akan
diberikan kepada negara-negara ini oleh kekuasaan-kekuasaan luar, untuk mencari jawaban sendiri itu.
Jalan yang ditempuh oleh ketiga negara. ini berbeda-beda. Jalan sejarah dunia akan sangat dipengaruhi
oleh pertanyaan siapakah di antara kedua negara, ndia dan Tiongkok, akan lebih dahulu berhasil
menyusun jawaban yang tetap dan tahan uji.
Pengalaman negara-negara itu dengan singkat menunjukkan bahwa memang ada kemungkinan bagi kita
untuk mencari, jawaban yang sesuai dengan keadaan dan pribadi kita sendiri. Asal saja kita dapat
melepaskan diri dari kungkungan dogma dan berani mempercayakan nasib kita kepada ; daya kreatif kita
sendiri. Dengan demikian, soal apakah sifat dan corak kebudayaan ndonesia, yaitu kebudayaan bangsa
ndonesia yang moderen tidak usah menjadi soal yang harus kita jawab lebih dahulu sebelum kita dapat
memulai melakukan pembangunan ekonomi kita. Kebudayaan ndonesia akan merupakan penjelmaan
jiwa bangsa ndonesia baru yang telah dibebaskan dari kungkungan kemiskinan dan yang telah
menemukan dan menyadari inti pribadinya sendiri dalam kesanggupannya serta kepercayaannya kepada
diri sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri. Tak usah kita sangsikan bahwa pokok sifat ndonesia dari
kebudayaan kita tidak akan dapat menyatakan diri dalam jawaban ndonesia tethadap masalah
pembangunan. Oleh sebab itu kita tidak perlu bersikap normatif terhadap sifat dan corak kebudayaan kita
yang baru ini kita tidak perlu takut dan menolak suatu hal hanya karena ia asing bagi perasaan kita.
Kebudayaan hanya mempunyai arti bagi kita jika ia dapat mempertahankan tempat kita di dunia ini, dan
menjadi penjelmaan kita sendiri. Oleh sebab itu kita harus berani dalam menghadapi masalah
pembangunan masyarakat baru ini, bersikap pragmatis, berani mencoba jalan-jalan baru, dan jikalau
ternyata tidak sesuai atau tidak mencukupi berani pula membuangnya dan mencoba jalan-jalan lain.
Syarat mutlak dan asas penyusunannya (ordenend beginsel) ialah tekad dan hasrat pembangunan.
Jikalau hasrat ini tidak ada maka segala-segalanya tidak ada artinya. Sebaliknya hasrat itu hanya bisa
timbul apabila cukup terang dalam pikiran kita sendiri apa sebenarnya pembangunan ekonomi itu jikalau
kita mengetahui dengan jelas apa tujuan-tujuan kita dalam usaha pembangunan ekonomi, jikalau kita
dapat membayangkan sifat-sifat hari depan kita dan juga jikalau kita benar-benar yakin bahwa tujuan-
tujuan pembangunan ekonomi ialah tujuan-tujuan yang halal yang patut kita kejar.
Kita telah melihat bahwa pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang dapat dikuasai dan
dibimbing.
Maka timbullah pertanyaan sekarang, berapa besarkah tempat yang dapat dan harus diberikan kepada
kebebasan pribadi. Apakah soal kebebasan pribadi ini tidak bertentangan dengan keharusan-keharusan
yang merupakan ciri planning?
Masalah ini memang perlu ditinjau sedalam-dalamnya, akan tetapi di dalam karangan ini, cukuplah jika
dikemukakanbahwa dimensi manusia, beserta segala faktor-faktor kebudayaan menjadi penting hanya
kalau kebahagiaan dan kebebasan manusia dan pribadinya dianggap sebagai hal-hal yang penting
dalam cara pelaksanaan usaha pembangunan ekonomi dan bukan saja sebagai tujuan terakhir. Kalau
kedua hal ini hanya dianggap penting sebagai tujuan terakhir yang tidak perlu diperhatikan dan dipelihara
dalam memilih cara dan jalan ke arah pembangunan, maka segala sesuatu yang dikemukakan di dalam
karangan ini, tidak ada gunanya.
AIat PeIaksana
Sampailah kita sekarang pada alat-alat atau badan-badan perantara yang harus melaksanakan
perubahan-perubahan yang menyertai pembangunan ekonomi ini.
Alat-alat yang harus kita gunakan untuk membimbing perubahan yang luas dan mendalam ini, ialah
pengajaran dan pendidikan, partai-partai politik serta serikat-serikat buruh dan tani, alat-alat pembentuk
pendapat umum dan aparat birokrasi negara.
Di dalam sekolah-sekolah rakyat sudah harus diusahakan untuk menanam dan memupuk suatu
tanggapan.jiwa yang baru. Suatu tanggapan jiwa yang akan mendorong si anak itu untuk melihat
lingkungannya sendiri sebagai suatu susunan yang bukan tetap dan tidak langgeng sebagai sesuatu
yang dapat diatur secara lebih bermanfaat. a harus dibimbing sampai yakin bahwa ia dapat mengubah
dan memperbaiki lingkungan hidupnya itu dengan mencapai suatu tingkat produksi yang lebih tinggi. Si
murid itu harus dibiasakan menggunakan teknologi yang serba sederhana, tetapi moderen. la harus
mengetahui bahwa lingkungan hidup baginya tidak terbatas pada batas-batas desanya yang dikenalnya
sekarang.
Di dalam sekolah-sekolah lanjutan harus diadakan suatu usaha terarah untuk menyesuaikan
beroepskeuze (pilihan bidang kerja) murid-murid tadi, sesuai dengan kepentingan negara dan
pembangunan ekonomi pada taraf perkembangannya pada suatu waktu. Rasa kemerdekaan terutama
terletak pada kemungkinan memilih dan apabila kemungkinan-kemungkinan untuk memilih itu diperluas,
maka rasa kebebasan itu akan bertambah. Oleh sebab itu si murid harus dibebaskan dari kungkungan
pikiran bahwa tujuan satu-satunya yang layak baginya ialah menuntut pendidikan tinggi, sebagai dokter
atau sarjana hukum. Padanya harus ditimbulkan keinginan untuk menempuh jalan yang baru. a harus
dapat melihat kehidupannya sebagai avontur. Perlu juga ditanamkan dasar-dasar etika kerja yang kita
perlukan dan penyadaran akan hubungan antara semangat pembangunan dan semangat patriotisme
yang ada padanya. Berhubung dengan itu susunan PGP harus ditinjau kembali, dan perbandingan antara
gaji, masing-masing macam pekerjaan akan harus dapat ditinjau kembali dari sudut kebutuhan
masyarakat pada suatu taraf tertentu. Peninjauan kembali serta penyesuaian, PGP ini akan harus dapat
dilakukan setiap jangka waktu tertentu. Misalnya harus dapat ditentukan bahwa untuk jangka waktu 10
tahun, kepada tamatan sekolah teknik menengah dan kepada para pemegang buku dan akuntan diberi
tunjangan yang istimewa yang jika perlu dapai melebihi gaji para academicus. Sesudah 10 tahun
tunjangan istitnewa ini akan dapat ditinjau kembili dan akan dapat diberikan kepada kejuruan-kejuruan
lain yang pada waktu itu relatif lebih dibutuhkan. Juga perguruan tinggi akan harus lebih disesuaikan,
dengan usaha pembangunan masyarakat ndonesia. a harus menjadi alat dan abdinya. Perguruan
Tinggi hendaknya di samping memberi pengetahuan serta keahlian dan menjalankan riset dalam
hubungan itu, juga menyelidiki dan senantiasa mengawasi aspek sosial dan kultural dalam pembangunan
ekonomi ini dan menyiasatkan cara-cara, yang sebaik-baiknya untuk mengatasi segala eeistanden
(hambatan) itu dan untuk, menahan kebiasaan-kebiasaan baru.
Artinya, di samping menanamkan pengetahuan dan keahlian di masing-masing lapangan, ia juga akan
harus mendidik tenaga-tenaga yang dapat menjalankan tugas ini. Hukum adat serta etnologi hendaknya
dikerahkan untuk keperluan ini juga. Dahulu kedua ilmu pengetahuan ini terutama digunakan oleh
Pemerintah kolonial untuk mempertahankan stalus quo sosial. Sekarang bahan-bahan penyelidikan itu
dapat digunakan untuk melancarkan dan mempercepat pembangunan dan perkembangan kita, dengan
mengatasi weerstanden yang merintangi perubahan-perubahan sosial dan mengerahkan kekuatan-
kekuatan di dalam susunan kebudayaan dan sosial lama yang masih dapat diguhakan dalam taraf
kehidupan kita sekarang. Dengan cara-cara demikian ini, persoalan-persoalan apakah sebenarnya
pengajaran maka nasional sudah dipecahkan. Dengan cara-cara ini pengajaran kita bersifat ndonesia
dan nasional, bukannya karena secara negatif menolak segala sesuatu yang dirasakan asing bagi
perasaan ndonesia, melainkan karena ia ditujukan kepada memenuhi kebutuhan ndonesia dewasa ini.
Sekali pengajaran serta pendidikan telah disesuaikan, maka dengan sendirinya di dalam kalangan
birokrasi akan timbul suatu sikap baru, yang tidak lagi memandang kedudukan sebagai pegawai negeri
terutama, dari sudut prestise sosial yang menyertainya, melainkan sebagai salah satu dari berbagai-
bagai alat yang ada pada masyarakat ndonesia untuk mencapai tujuan pembangunannya.
Adapun peranan pers serta alat-alat lain untuk mempengaruhi pendapat umum tak usah dibentangkan
dengan panjang-lebar di sini. Kami rasa tidak usah disangsikan bahwa jikalau pada suatu waktu keadaan
politik di ndonesia menjadi sedemikian rupa coraknya, sehingga terasa kembali arah tujuan
perkembangan politik dan pembangunan kita, pers juga akan mencerminkan keadaan yang baru itu dan
akan menstimulirnya. Sebab sudah ada keyakinan pada para wartawan umumnya, bahwa fungsi pers di
ndonesia ini bukannya hanya memberitakan, yang telah terjadi melainkan juga mengarahkan perhatian
serta kekuatan ke arah pembangunan masyarakat ndonesia.
Di dalam penyebutan alat-alat yang mempengaruhi perubahan masyarakat kita ke arah pembangunan
tidak boleh kita lupakan peranan yang akan dan harus dimainkan oleh partai-partai politik dan organisasi-
organisasi buruh dan tani. Pada hakekatnya di samping pengajaran dan pendidikan yang hasilnya
terutama terasa di hari kemudian, partai-partai politiklah yang akan menentukan berhasil tidaknya dan
pesat lambatnya perubahan-perubahan ke arah pembangunan ini. Pentingnya peranan partai-partai
politik dan organisasi-orpnisasi lainnya, dalam menentukan politik pembangunan tidak perlu kita uraikan
di sini. Uraian semacam itu akan melampaui batas-batas karangan ini. Akan tetapi juga di dalam aspek-
aspek perubahan pembangunan yang lebih luas daripada sifat politiknya, yaitu di lapangan sosial serta
kebudayaan, organisasi ini akan dapat dan harus memegang peranan yang penting ini. Partai-partai
politik serta serikat buruh dan tani sendiri merupakan suatu perubahan di dalam perkembangan
masyarakat kita. a merupakan pelopor perubahan tadi. Seperti sudah kami katakan di tempat lain,
organisasi-organisasi ini merupakan salah satu dari jawaban kita yang bersifat modern atas masuknya
pengaruh asing di negeri kita. Sebagai alat-alat politik moderen partai-partai politik kita masih jauh dari
sempurna. Di dalam susunan kekuasaannya, di dalam ikatan-ikatan yang menggabungkan suatu partai
politik dan organisasi lainnya dan juga di dalam dinamik kekuasaannya masih terdapat unsur-unsur yang
biasanya tidak terdapat di dalam susunan serta dinamik politik di negara-negara yang sudah lebih lama
menikmati, serta lebih lama memikul tanggungjawab kemerdekaannya. Akan tetapi bagaimanapun juga,
dalam bentuknya sekarang organsasi-organisasi itu merupakan faktor yang terbesar dalam usaha
reintegrasi masyarakat ndonesia. Di dalam pelaksanaan usahanya tidak boleh tidak mereka ini
menjumpai bermacam-macam soal yang tidak langsung berhubungan dengan politik, akan tetapi yang
tidak dapat. diabaikannya. Dan untuk sebagian besar soal-soal yang dijumpai itu menjadi bagian dari hal-
hal yang digambarkan di atas ini. Dan sebenarnya arti suatu partai politik dan juga organisasi-organisasi
buruh dan tani akan tergantung dari sikapnya terhadap perubahan-perubahan itu, dan terhaap masalah
pembangunan ekonomi umumnya. Akan tetapi agar supaya partai-partai politik dapat memegang
peranan yang diminta daripadanya, banyak hal yang harus diubah dalam. sikapnya terhadap percaturan
politik umumnya. Partai-partai politik ini harus dapat menginsyafi, yang sekarang seolah-olah sudah
dilupakan bahwa politik itu bukan hanya alat untuk merebut kekuasaan, melainkan. bahwa berpolitik itu
terutama ialah menimbulkan, menggerakkan, mengarahkan dan membimbing kekuatan-kekuatan sosial
dalam suatu masyarakat ke arah tujuan yang tertentu.
KesimpuIan
Maka kita sekarang boleh mengambil beberapa kesimpulan. Pembangunan ekonomi ialah suatu proses
perubahan yang meliputi kehidupan suatu bangsa seluruhnya. Pembangunan ekohomi berarti
mempercepat desintegrasi susunan magyarakat yang lama dan mempercepat juga keharusan untuk
mencapai reintegrasi masyarakat itu.
Pembangunan ekonomi akan membawa kita melalui suatu taraf perkembangan yang amat sukar, oleh
sebab runtuhnya kepastian-kepastian hidup yang lama dengan menghadapi keharusan untuk
membentuk kepastian-kepastian serta nilai-nilai yang baru.
Meskipun demikian pembangunan ekonomi ialah suatu taraf perkembangan bangsa kita yang harus
dilalui. Hak menentukan nasib kita sendiri serta pembangunan ekonomi adalah dua syarat, yang mutlak
dan yang saling berhubungan.
Agar pembangunan ekonomi dapat dilaksanakan dengan hasil yang baik, maka pertama-tama keharusan
kita untuk menempuh jalan pembangunan ekonomi ini harus lebih dirasakan dari pada sekarang. Perlu
juga kita lebih sadar sejak sekarang tentang kenyataan bahwa pembangunan ekonomi itu bukan suatu
proses ekonomi semata-mata, melainkan suatu penjelmaan dari perubahan sosial dan kebudayaan yang
meliputi bangsa kita di dalam kebulatannya.
Sudah barang tentu karangan ini tidak lebih dari suatu goresan pertama tentang masalah yang luas dan
dalam ini. Secara selayang pandang kita baru menyingung beberapa faktor saja yang perlu
diperhitungkan. Kita belum membicarakan peranan agama, baik slam maupun Kristen, yang sedang dan
akan dapat dilakukan berhubungan dengart pembangunan ekonomi kita ini baik secara positif maupun
secara negatif. Unsur-unsur di dalam warisan, kebudayaan nenek-moyang kita yang perlu dihidukan
kembali atau diinterpretasikan kembali masih banyak yang belum kita singgung.
Juga masalah planning dan hubungan serta perbandingannya dengan kebebasan pribadi adalah suatu
masalah yang perlu kita selami dan sadari lebih dalam.
Akan tetapi bagaimanapun juga, goresan ini hanya mencoba memajukan beberapa faktor dari masalah
yang penting ini, dan menempatkannya di dalam batas-batas pandangan mata kita, sebagai perangsang
bagi kita bersama untuk menyelami masailah ini dalam kebulatannya, dan untuk dengan jalan bertukar
pikiran mencapai suatu kristalisasi pendapat tentang niasalah ini.
Sebab kesadaran dan penjernihan pikiran adalah syarat mutlak untuk memupuk serta membimbing
hasrat kita untuk membangun.***




1[1] Tulisan ini diambil dari "Dimensi Manusia dalam Pembangunan



Dr. Soedjatmoko (aIm.) Mantan Rektor Universitas PBB

hLLp//wwwekonomlrakyaLorg/edlsl_13/arLlkel_4hLm (27/11/11) 323 M


PENCERTIAN DASAR KEPARIWISATAAN
osLed on AugusL 12 2010 by Care 1ourlsm






1 voLes
Bagi Anda yang telah mengalami 'asam-garam di bidang kepariwisataan pengertian dasar
kepariwisataan bukan lagi merupakan masalah. Namun kami yakin banyak di antara kita yang
masih belum Iaham berbagai istilah kepariwisataan yang acapkali kita jumpai sehari-hari,
merupakan hal yang menimbulkan pengertian yang 'kisruh. Lihat saja contoh di bawah ini.
Salah satu istilah yang digunakan secara 'resmi sebagai nama sebuah kementerian, yaitu
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang berwenang menangani 'kebudayaan dan


'kepariwisataan', tidak menggunakan istilah 'kepariwisataan melainkan 'pariwisata',
berbeda halnya dengan istilah 'kebudayaan yang digunakannya secara berdampingan.
Sementara itu Undang-undang no. 10/Th 2009 (UU no.10/2009) disebutnya sebagai Undang-
undang tentang 'Kepariwisataan. Di samping itu, kita sering mendengar dan membaca adanya
istilah 'obyek wisata dan 'atraksi wisata'. Oleh karena itu tidaklah heran jika banyak pihak
yang mempertanyakan akan perbedaan antara wisata, pariwisata dan kepariwisataan. Atas dasar
apa pilihan istilah wisata, pariwisata dan kepariwisataan itu digunakan?
Dengan diundangkannya UU no.10/2009 tentang Kepariwisataan, diharapkan penggunaan
istilah-istilah itu dilakukan lebih tertib sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa sehingga tidak lagi
menimbulkan pengertian yang membingungkan.
Di dalam BAB I Ketentuan Umum UU no.10/2009 ditetapkan berbagai ketentuan yang terkait
dengan kepariwisataan, di antaranya sebagai berikut.
O JA1A adalah keglaLan per[alanan yang dllakukan oleh seorang aLau sekelompok orang
dengan mengun[ungl LempaL LerLenLu unLuk Lu[uan rekreasl pengembangan prlbadl aLau
mempela[arl keunlkan daya Larlk wlsaLa yang dlkun[ungl dalam [angka wakLu LerLenLu
O JA1AJAn adalah orang yang melakukan wlsaLa
O A8JA1A adalah berbagal macam keglaLan wlsaLa dan dldukung berbagal faslllLas serLa
layanan yang dlsedlakan oleh masyarakaL pengusaha emerlnLah dan emerlnLah uaerah
O A8JA1AAn adalah keseluruhan keglaLan yang LerkalL dengan parlwlsaLa dan berslfaL
mulLldlmensl serLa mulLldlslplln yang muncul sebagal wu[ud kebuLuhan seLlap orang dan negara
serLa lnLeraksl anLara wlsaLawan dan masyarakaL seLempaL sesama wlsaLawan emerlnLah
emerlnLah uaerah dan pengusaha
DeIinisi yang ditentukan dalam UU no.10/2009 tersebut merupakan salah satu deIinisi di antara
sekian banyak deIinisi yang kita kenal selama ini. DeIinisi ini dimaksudkan sebagai acuan dalam
upaya pengembangan kepariwisataan Indonesia. Tidak berlaku universal.
Untuk memperoleh pengertian yang sama mengenai istilah-istilah tersebut, sebaiknya kita tinjau
juga dari sudut lainnya yang bersiIat universal dan ditujukan untuk memberikan acuan bagi
kebutuhan lainnya, antara lain kebutuhan statistik dan / atau pengaturan dan pengelolaan
kepariwisataan secara internasional. Tinjauan tersebut dapat dilakukan dari dua segi pengertian,
yaitu Pengertian istilah (etimologi) dan Pengertian ilmiah (deIinisi);
!engertian Istilah
Kata pariwisata` telah berhasil dipopulerkan, pada mulanya diperkenalkan oleh Menteri PDPTP
(Perhubungan, Pos, Telekomunikasi & Pariwisata), pada waktu itu Let.Jen. Djatikusumo, dalam
kesempatan Musyawarah Nasional Tourisme II di Tretes, Jawa Timur, pada tahun 1958.
Diperkenalkannya istilah pariwisata` dimaksudkan sebagai pengganti tourisme` (Belanda,
Perancis) atau tourism` (Inggris).
Bila diuraikan menurut arti-katanya, maka pariwisata` yang berasalkan kata pari` dan wisata`
dari bahasa Sansekerta, akan berarti sebagai berikut:
Pari seringkali, berulangkali/berkali-kali; dapat juga berarti umum` (bandingkan dengan:
sidang paripurna` sidang umum & lengkap, umum masalahnya yang dibicarakan dan
lengkap anggotanya yang hadir -, bermakna sama dengan 'sidang pleno, plenary
session/meeting);
isata pergi (to go, kata kerja), bepergian (to travel, kata kerja); dapat juga berarti
perjalanan` (travel, kata benda);
Pariwisata beberapa perjalanan yang dilakukan secara bersambung/ berantai dari satu tempat
ke tempat berikutnya dan diakhiri di tempat keberangkatan (tour, perjalanan keliling);
Sebagaimana lazim dalam bahasa Indonesia, pembubuhan awalan ke-` dan akhiran -an`
memberikan arti yang lebih luas kepada asal katanya, seperti seni` menjadi kesenian`, budaya`
menjadi kebudayaan`. Dalam bahasa Belanda dan Inggris, masing-masing membubuhkan
akhiran -isme` dan -ism`, seperti hinduism`, budhism`.
Maka atas dasar Iaham tersebut, tourisme` atau tourism` sebetulnya lebih tepat digantikan
dengan kepariwisataan`;
Secara ringkas dapatlah tersusun beberapa istilah seperti berikut:
O JlsaLa beperglan (Lo Lravel) per[alanan (Lravel)
O JlsaLawan orang yang beperglan (Lraveler)
O ara JlsaLawan wlsaLawanwlsaLawan orangorang yang beperglan (Lravelers)
O arlwlsaLa per[alanan kellllng (Lour)
O eparlwlsaLaan halhal yang menyangkuL LerkalL dengan parlwlsaLa (Lourlsm)
O arlwlsaLawan orang yang melakukan per[alanan kellllng (LourlsL)
O ara arlwlsaLawan parlwlsaLawanparlwlsaLawan orangorang yang melakukan
per[alanan kellllng (LourlsLs)
Pada prakteknya penggunaan istilah-istilah tersebut seringkali dikacaukan satu dengan lainnya,
seperti seringkali kata pariwisata` digunakan sebagai sinonim dari kepariwisataan`. Demikian
pula kata wisatawan` acapkali digunakan sebagai sinonim dari pariwisatawan` atau tourist,
bahkan tidak jarang digunakan pula sebagai sinonim dari pengunjung` atau visitor.
!engertian ilmiah
Yang dimaksud dengan pengertian ilmiah di sini adalah pengertian yang dinyatakan dalam
bentuk deIinisi, yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan 'Apa sebenarnya
kepariwisataan itu?
Dari sekian banyak deIinisi, dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam pengertian
kepariwisataan` terkandung adanya tiga Iikiran dasar mengenai:
O Adanya 'gerak' perplndahan manusla darl saLu LempaL ke LempaL lalnnya
O Adanya '[eda' perhenLlan unLuk semenLara wakLu (bukan unLuk meneLap) darlpada orang
orang yang bergerak LersebuL dl saLu aLau beberapa LempaL yang bukan LempaL Llnggalnya
O erslnggahan dan/aLau kun[ungan LersebuL Lldak unLuk mencarl nafkah
Dengan bertolak dari tiga Iikiran dasar tersebut dapatlah disusun suatu deIinisi yang dapat
mencakup pengertian yang lebih luas dan bersiIat Ilexible, dapat digunakan untuk berbagai
maksud, sebagai berikut.
Kepariwisataan adalah gejala-gejala yang menyangkut lalulintas manusia, berikut barang
bawaannya, yang melakukan perjalanan untuk tujuan apa pun sepanjang tidak untuk
maksud-maksud menetap serta memangku suatu jabatan dengan memperoleh upah dari
tempat yang dikunjunginya.
Bila kepariwisataan (tourism) adalah gejala-gejala mengenai lalulintas manusia, maka
pariwisatawan (tourist) adalah orang-orangnya yang berlalulintas, sehingga dapat dinyatakan
bahwa:
!ariwisatawan, adalah orang yang malakukan perjalanan untuk tujuan apapun sepanjang
tujuannya tidak untuk maksud-maksud menetap dan memangku suatu jabatan dengan
memperoleh upah dari tempat yang dikunjunginya, paling sedikit tinggal selama 24 jam di
tempat ia berkunjung tersebut.
Landasan pemikiran daripada deIinisi tersebut di atas adalah deIinisi yang dianjurkan oleh
IUOTO (International Union of Official Travel Organi:ations yang sekarang bernama TO,
World Tourism Organi:ation) dalam rekomendasinya kepada Komisi Statistik PBB, sebagai
hasil konIerensi mengenai perjalanan dan pariwisata internasional (The United Nations
Conference on International Travel and Tourism) di Roma, 21 Agustus 5 September 1963.
IUOTO memberikan deIinisi tersebut dalam hubungannya dengan maksud-maksud statistik,
yang digunakan juga oleh Indonesia, sebagai berikut:
&ntuk maksud-maksud statistik, dengan istilah ~pengunjung ;isitor dimaksudkan:
"Setiap orang yang berkunjung ke suatu negara selain dari negara di mana ia biasanya
bertempat tinggal, untuk tujuan apapun selain untuk maksud memangku jabatan dengan
memperoleh upah dari negara yang dikunjunginya".
Pada hakekatnya, penghitungan pengunjung tidak dilakukan berdasarkan jumlah orang,
melainkan jumlah kunjungan (visit).
Dengan demikian seseorang dapat dihitung lebih dari satu kali kunjungan. Misalnya seorang
melakukan kunjungan tiga kali dalam setahun, maka pengunjungnya 1; kunjungan 3).
hLLp//careLourlsmwordpresscom/2010/08/12/pengerLlandasarkeparlwlsaLaan/
hLLp//wwwgooglecold/webhp?hlldLablw#pqarLl+kaLa+parlwlsaLahlldcp13gs_ld33xhr
Lq[enls[enls+wlsaLapfpscllenLpsyabslLewebhpsourcehppbx1oq[enls
[enls+wlsaq0aqlg2aqlgs_smgs_uplbavon2orr_gcr_pwcfosbfp966eb3e3efccd332
blw1024blh607

Você também pode gostar