Você está na página 1de 18

Konon, istilah bullying ini terkait dengan bull, sapi jantan yang suka mendengus (untuk mengancam, menakuti-nakuti,

atau memberi tanda). Kamus Marriem Webster menjelaskan bahwa bully itu adalah to treat abusively (memperlakukan secara tidak sopan) atau to affect by means of force or coercion (mempengaruhi dengan paksaan dan kekuatan). Dalam dunia anak-anak, Dan Olweus, seorang pakar yang berkonsentrasi menangani praktek bullying, menyimpulkan, bullying pada anak-anak itu mencakup penjelasan antara lain: a) upaya melancarkan permusuhan atau penyerangan terhadap korban, b) korban adalah pihak yang dianggap lemah atau tak berdaya oleh pelaku, dan c) menimbulkan efek buruk bagi fisik atau jiwanya (Preventing Bullying, Kidscape, UK, 2001). Bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya, takut, terintimidasi, oleh tindakan seseorang baik secara verbal, fisik atau mental. Ia takut bila perilaku tersebut akan terjadi lagi, dan ia merasa tak berdaya mencegahnya. (Andrew Mellor, antibullying network, univ. of edinburgh, scotland). Bullying adalah bentuk-bentuk perilaku berupa pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik maupun psikologis terhadap seseorang/kelompok yang lebih lemah oleh

seseorang/sekelompok orang yang memersepsikan dirinya lebih kuat. Bully: Siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin yang berinisiatif dan aktif terlibat dalam perilaku bullying.( Hadiyanto:2010)
Dunia pendidikan Indonesia kembali terpukul dengan peristiwa tewasnya siswa SD yang ditikam oleh gurunya sendiri. Peristiwa itu terjadi pada pertengahan Desember 2007 di Jawa Barat. Guru yang idealnya menjadi sahabat, pendamping murid, fasilitator, ternyata sangat mampu menjadi pelaku kekerasan bahkan membunuh muridnya sendiri. Guru itu telah melakukan bullying terhadap anak didiknya. Bullying menurut kamus Webster, bermakna penyiksaan atau pelecehan yang dilakukan tanpa motif tapi dengan sengaja atau dilakukan berulang-ulang terhadap orang yang lebih lemah. Motif yang menjadikan seseorang sebagai pelaku bullying sangat beragam. Namun dari keberagaman motif tersebut, inti utama terjadinya bullying karena adanya ketidakseimbangan dalam relasi kuasa. Pernyataan ini ditemukan oleh seorang ahli masalah bullying dari Jaringan Antibullying, Skotlandia, Andrew Mellor. Buku ini mengupas tuntas tentang latar belakang terjadinya bullying, ciri-ciri pelaku, ciri-ciri para korban, skema sistem antibullying, program kegiatan antibullying yang dapat dilakukan di sekolah, rumah, dan lingkungan sekitar. Buku ini tercipta berdasarkan riset, yang secara faktual bullying terjadi akibat faktor lingkungan,

keluarga, sekolah, media, budaya, peer group, bahkan pengaruh situasi politik dan ekonomi yang koruptif. Orang-orang pemerintahan, kepala sekolah, guru, orangtua, peserta didik ternyata mampu menjadi pelaku bullying verbal dan atau non-verbal Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.

Bullying dalam Dunia Pendidikan (bagian 1)


Kamis, 26 April 2007 tags: agresi, anak, bullying, remaja, sekolah by Catshade Beberapa minggu belakangan ini media kita (termasuk blog) diramaikan oleh pembahasan seputar insiden yang terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Dalam insiden tersebut, seorang praja tewas karena dianiaya oleh para seniornya dalam rangka pemberian hukuman atau dalam istilah mereka sendiri, pembinaan atau koreksi atas kesalahan yang dilakukan sang praja. Ini bukan yang pertama kalinya; menurut penelitian yang dilakukan oleh seorang dosen IPDN, terdapat lebih dari 30 kasus kematian tak wajar yang dicurigai disebabkan oleh penganiayaan. Kasus-kasus itu terjadi dalam rentang waktu yang panjang, dan diduga telah menjadi tradisi di institut itu. IPDN tidak sendirian. Beberapa tahun sebelumnya juga sempat ramai diperdebatkan aktivitas perploncoan di sebagian universitas yang dianggap menyiksa dan menganiaya mahasiswa baru. Dalam skala yang lebih kecil, hubungan siswa senior-junior yang tidak sehat juga terjadi di sekolah-sekolah menengah. Bullying, adalah kata kunci untuk mendeskripsikan semua gejala itu. Apa sebenarnya bullying? Perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai bullying? Mengapa pelaku melakukan bullying, dan apa dampaknya bagi korban? Apa itu Bullying? Ada banyak definisi mengenai bullying, terutama yang terjadi dalam konteks lain (tempat kerja, masyarakat, komunitas virtual). Namun di sini penulis akan membatasi konteksnya dalam school bullying. Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Mereka kemudian mengelompokkan perilaku bullying ke dalam 5 kategori:

Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain) Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip) Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya diertai oleh bullying fisik atau verbal). Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng). Pelecehan seksual (kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal).

Dari beberapa penelitian sebelumnya, juga ditemukan perbedaan umur dan gender yang dapat mempengaruhi perilaku bullying. Pada usia 15 tahun, anak laki-laki ditemukan lebih cenderung mem-bully dengan kontak fisik langsung, sementara anak perempuan lebih cenderung mem-bully dengan perilaku tidak langsung. Namun tidak ditemukan perbedaan dalam kecenderungan melakukan bullying verbal langsung. Pada usia 18 tahun, kecenderungan anak laki-laki membully dengan kontak fisik menurun tajam, dan kecenderungannya untuk menggunakan perilaku verbal langsung dan perilaku tidak langsung meningkat, meskipun anak perempuan masih tetap lebih tinggi kecenderungannya dalam hal ini. Patut dicatat bahwa ini adalah hasil penelitian di luar negeri yang belum tentu sesuai dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Riauskina dkk. menemukan dalam penelitiannya pada 2 SMA di Jakarta bahwa kecenderungan untuk melakukan kontak fisik langsung masih terlihat pada anak laki-laki di usia 18 tahun. Mengapa Melakukan Bullying? Seperti yang telah terjadi pada kasus IPDN dan sebagian kasus-kasus lainnya, bullying adalah sebuah siklus, dalam artian pelaku saat ini kemungkinan besar adalah korban dari pelaku bullying sebelumnya. Ketika menjadi korban, mereka membentuk skema kognitif yang salah bahwa bullying bisa dibenarkan meskipun mereka merasakan dampak negatifnya sebagai korban. Hal ini tampak dalam sebuah potongan wawancara pra-survei: Tanya: kalo nanti kalo kalian udah kelas dua gitu, mungkin ga jadi kaya mereka sekarang? Jawab: tergantung si, tergantung ade kelasnyakalo ade kelasnya nyolot ya gue marahin Mengapa seorang korban bisa kemudian menerima, bahkan menyetujui perspektif pelaku yang pernah merugikannya? Salah satu alasannya dapat diurai dari hasil survei: sebagian besar korban enggan menceritakan pengalaman mereka kepada pihak-pihak yang mempunyai kekuatan untuk mengubah cara berpikir mereka dan menghentikan siklus ini, yaitu pihak sekolah dan orangtua. Korban biasanya merahasiakan bullying yang mereka derita karena takut pelaku akan semakin mengintensifkan bullying mereka. Akibatnya, korban bisa semakin menyerap falsafah bullying

yang didapat dari seniornya. Dalam skema kognitif korban yang diteliti oleh Riauskina dkk., korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena

Tradisi Balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki) Ingin menunjukkan kekuasaan Marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan Mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan) Iri hati (menurut korban perempuan)

Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena

Penampilan menyolok Tidak berperilaku dengan sesuai Perilaku dianggap tidak sopan Tradisi

Apa Dampak dari Bullying? Salah satu dampak dari bullying yang paling jelas terlihat adalah kesehatan fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Bahkan dalam kasus-kasus yang ekstrim seperti insiden yang terjadi di IPDN, dampak fisik ini bisa mengakibatkan kematian. Dampak lain yang kurang terlihat, namun berefek jangka panjang adalah menurunnya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan penyesuaian sosial yang buruk. Dari penelitian yang dilakukan Riauskina dkk., ketika mengalami bullying, korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial juga muncul pada para korban. Mereka ingin pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah itu, dan kalaupun mereka masih berada di sekolah itu, mereka biasanya terganggu prestasi akademisnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah. Yang paling ekstrim dari dampak psikologis ini adalah kemungkinan untuk timbulnya gangguan psikologis pada korban bullying, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder). Dari 2 SMA yang diteliti Riauskina dkk., hal-hal ini juga dialami korban, seperti merasa hidupnya tertekan, takut bertemu pelaku bullying, bahkan depresi dan berkeinginan untuk bunuh diri dengan menyilet-nyilet tangannya sendiri! Dari informasi di atas, kita dapat melihat bagaimana perilaku bullying sebenarnya sudah sangat meluas di dunia pendidikan kita tanpa terlalu kita sadari bentuk dan akibatnya. Dalam bagian ke2, penulis akan menelusuri beberapa sumber lebih jauh lagi untuk melihat karakteristik pelaku

bullying, mitos dan fakta tentang bullying, serta bagaimana menghadapi bullying, baik bagi korban, siswa lain yang menonton, maupun bagi pihak sekolah atau orangtua. Sumber: Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005). Gencet-gencetan di mata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak gencet-gencetan. Jurnal Psikologi Sosial, 12 (01), 1 13 Preventing Bullying in Schools: A Guide for Teachers and Other Professionals" by 'Chris Lee' 'ISBN: 0761944729' Preventing Bullying in Schools is offers guidance to teachers, student teachers, teaching assistants, and other educational professionals on countering and preventing bullying in schools. It provides tried and tested strategies based on the author's school-based research and regular work in schools training staff who deal with incidents of bullying. Included is advice on: * Understanding the terminology * Anti-bullying strategies * Writing a whole-school policy * Generating whole-school responsibility and involvement Table of Contents 1 What this book will do for you 1 2 How do we know when it is bullying? 9 3 Who are involved in bullying? 31 4 What is needed in an anti-bullying policy 53 5 What might be put in place 62 6 How to move your school forward 92 Semarang (ANTARA News) - Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala menilai, kekerasan di kalangan pelajar terjadi karena "tradisi" yang dibentuk secara turun temurun oleh kakak-kakak kelasnya. "Kekerasan di kalangan pelajar ini seperti sudah menjadi fase yang harus dilewati," katanya di Semarang, Selasa, menanggapi aksi kekerasan di kalangan pelajar yang akhir-akhir ini kian sering terjadi. Hal itu diungkapkan Adrianus yang juga Guru Besar Kriminologi FISIP UI itu usai seminar "Konstruksi dan Implikasi Model Private Security Dalam Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat" di Universitas Diponegoro Semarang. Kebanyakan remaja yang suka melakukan tawuran, kata dia, adalah mereka yang duduk di kelas I dan II, terutama jenjang sekolah menengah atas (SMA), sedangkan pelajar yang kelas III cenderung serius belajar.

"Sepertinya rotasi fasenya semacam itu, mereka yang duduk di kelas I dan II nakal, namun setelah kelas III baik karena konsentrasi menghadapi ujian nasional (UN). Sepertinya tidak ada mereka yang betul-betul nakal," katanya. Menurut dia, aksi kekerasan di kalangan pelajar itu terus akan terjadi jika mata rantainya tidak diputus, karena itu perlu peran alumni untuk memutus tradisi kekerasan yang membuat pelajar bertindak beringas. "Peran alumni sangat penting menghentikan tradisi kekerasan, baik kekerasan senior terhadap yunior maupun tawuran. Mungkin ada sekolah-sekolah yang bermusuhan sejak lama, peran alumni menyelesaikannya," katanya. Kondisinya bisa berbeda pada kekerasan di kalangan mahasiswa, kata dia, sebab kondisi pembelajaran di perguruan tinggi yang kian membuat tertekan dan biaya kuliah tinggi bisa memancing mahasiswa berbuat kekerasan. Ia menjelaskan, kondisi sulit dalam perkuliahan semacam itu membuat solidaritas antarmahasiswa, baik satu fakultas, satu kampus kian tinggi, merasa senasib, dan susah jika harus "berdiri sendiri". Persoalannya, kata dia, solidaritas antarmahasiswa satu fakultas dan kampus itu membuat kelompok-kelompok, ada yang dianggap "in-group", yakni satu kelompoknya dan mereka di luar kelompoknya "out-group". "Akhirnya mereka mudah menyerang mahasiswa yang berada di luar kelompoknya, dan sebaliknya. Memang tidak semua mahasiswa perguruan tinggi seperti itu, tergantung ketatnya peraturan yang diterapkan kampus," kata Adrianus. (U.KR-ZLS/M029) Editor: Ruslan BurhaniSelasa, 22 November 2011 22:00 WIB | 857 Views
MENUMPAS KEKERASAN PELAJAR & MAHASISWA - TOKO BUKU DAFFA PALASARI ... www.tokobukudaffapalasari.com/index.php?...Tembolok PENGARANG SUSAN LIPSKIN PENERBIT PT. NIAGA SWADAYA.

Jakarta - Sejumlah kalangan sulit menerima hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tentang radikalisme. Survei itu menunjukkan hampir 50 persen pelajar setuju dengan aksi radikal demi agama. Seperti apa detail survei tersebut? Direktur Pelaksana LaKIP Ahmad Baedowi menyatakan ada dua tujuan digelarnya penelitian tersebut. Pertama, mengidentifikasi kecenderungan radikalisme keagamaan di sekolah. Kedua menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kecenderungan radikalisme tersebut. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011 lalu terhadap siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek. Metode yang dilakukan yakni dengan survei melalui wawancara tatap-muka dengan panduan kuesioner. Dari hasil penelitian itu diketahui: Kecenderungan Radikalisme Ideologis -Tingkat pengenalan atas organisasi radikal, guru PAI 66,4 %, siswa 25,7 % -Tingkat kesetujuan atas organisasi radikal, guru PAI 23,6 %, siswa 12,1 % -Tingkat pengenalan pada tokoh radikal, guru PAI 59,2 %, siswa 26,6 %. -Tingkat kesetujuan kepada tokoh radikal, guru PAI 23,8 %, siswa 13,4 %. Dukungan, Kesediaan & Partisipasi Atas Kekerasan * Tingkat Kesetujuan terhadap tindakan: -Menangkap atau menghakimi pasangan bukan suami istri, guru 48,2 %, siswa 74,3 % -Perlawanan terhadap barat atas pengeboman yang dilakukan pelaku teroris, guru 7,5%, siswa 14,2 %. -Membantu umat Islam di daerah konflik bersenjata, guru 37,8 %, siswa 48,9 %. -Penyegelan dan perusakan rumah ibadah yang bermasalah, guru 40,9 %, siswa 52,3 %.

-Pengrusakan rumah atau fasilitas anggota aliran keagamaan sesat, guru 38,6%, siswa 68,0 %. -Penyegelan dan perusakan tempat hiburan malam, guru 43,7%, siswa 75,3 %. * Tingkat Kesediaan terhadap tindakan: -Pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain, guru 32,4%, siswa 43,3 %. -Pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah bermasalah, guru 24,5%, siswa 41,1 %. -Pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan sesat, guru 22,7%, siswa 51,3 %. -Pengrusakan tempat hiburan malam, guru 28,1%, siswa 58,0 %. -Penangkapan dan mengkahimi pasangan bukan suami istri, guru 51,9%, siswa33,1 %. * Tindak kekerasan seperti tawuran sebagai solidaritas teman: - 14,4 % siswa setuju - 11,4 % siswa bersedia - 8,5 % siswa pernah terlibat Toleransi: -Secara umum, tingkat toleransi guru PAI lebih rendah dibandingkan siswa, baik dalam lingkup sosial, sekolah, maupun politik. -Hanya toleransi sosial terkait soal umum, yakni hidup bertetangga, guru PAI terlihat lebih toleran dibanding siswa. -Tapi: toleransi sosial dalam hal pendirian rumah ibadah maupun penyelenggaraan acara keagamaan komunitas agama lain di tingkat lingkungan tempat tinggal, secara umum cukup rendah. Menurut Baedowi, populasi yang dijadikan responden merupakan guru PAI di SMP dan SMA di Jabodetabek. Sementara untuk siswa SMP itu diambil hanya untuk Kelas 8 dn 9, SMA kepada siswa di seluruh kelas yang memiliki mata pelajaran agama yang berjumlah 611.678 orang. Jumlah total populasi guru PAI yang diambil sampel adala 2.639 orang, terdiri dari 1.639 guru PAI SMP

dan 800 guru PAI SMA. "Dari jumlah populasi itu hasilnya jumla total sampel guru yang valid ada 590 guru, di antaranya 327 guru PAI SMP dan 263 guru PAI SMA. Sementara jumlah total sampel siswa valid ada 993 siswa, antara lain 401 siswa SMP dan 592 SMA. Semua kita cek ulang dengan ketat dan melalui skrining," jelas Baedowi. Batas kesalahan pengambilan sampel kurang lebih 3,6 persen untuk guru PAI dan 3,1 persen untuk siswa. Senin, 02 Mei 2011
Hasil Survei LaKIP tentang kekerasan bermerek agama di kalangan pelajar Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Jakarta - Sejumlah kalangan sulit menerima hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tentang radikalisme. Survei itu menunjukkan hampir 50 persen pelajar setuju dengan aksi radikal demi agama. Seperti apa detail survei tersebut? Direktur Pelaksana LaKIP Ahmad Baedowi menyatakan ada dua tujuan digelarnya penelitian tersebut. Pertama, mengidentifikasi kecenderungan radikalisme keagamaan di sekolah. Kedua menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kecenderungan radikalisme tersebut. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011 lalu terhadap siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek. Metode yang dilakukan yakni dengan survei melalui wawancara tatap-muka dengan panduan kuesioner. Dari hasil penelitian itu diketahui: Kecenderungan Radikalisme Ideologis

Tingkat pengenalan atas organisasi radikal, guru PAI 66,4 %, siswa 25,7 % Tingkat kesetujuan atas organisasi radikal, guru PAI 23,6 %, siswa 12,1 % Tingkat pengenalan pada tokoh radikal, guru PAI 59,2 %, siswa 26,6 %. Tingkat kesetujuan kepada tokoh radikal, guru PAI 23,8 %, siswa 13,4 %.

Dukungan, Kesediaan & Partisipasi Atas Kekerasan

* Tingkat Kesetujuan terhadap tindakan:


Menangkap atau menghakimi pasangan bukan suami istri, guru 48,2 %, siswa 74,3 % Perlawanan terhadap barat atas pengeboman yang dilakukan pelaku teroris, guru 7,5%, siswa 14,2 %. Membantu umat Islam di daerah konflik bersenjata, guru 37,8 %, siswa 48,9 %. Penyegelan dan perusakan rumah ibadah yang bermasalah, guru 40,9 %, siswa 52,3 %. Pengrusakan rumah atau fasilitas anggota aliran keagamaan sesat, guru 38,6%, siswa 68,0 %. Penyegelan dan perusakan tempat hiburan malam, guru 43,7%, siswa 75,3 %.

Tingkat Kesediaan terhadap tindakan:


Pembelaan dengan senjata terhadap umat Islam dari ancaman agama lain, guru 32,4%, siswa 43,3 %. Pengrusakan dan penyegelan rumah ibadah bermasalah, guru 24,5%, siswa 41,1 %. Pengrusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan sesat, guru 22,7%, siswa 51,3 %. Pengrusakan tempat hiburan malam, guru 28,1%, siswa 58,0 %. Penangkapan dan mengkahimi pasangan bukan suami istri, guru 51,9%, siswa33,1 %.

* Tindak kekerasan seperti tawuran sebagai solidaritas teman:


14,4 % siswa setuju 11,4 % siswa bersedia 8,5 % siswa pernah terlibat

*Toleransi:

Secara umum, tingkat toleransi guru PAI lebih rendah dibandingkan siswa, baik dalam lingkup sosial, sekolah, maupun politik. Hanya toleransi sosial terkait soal umum, yakni hidup bertetangga, guru PAI terlihat lebih toleran dibanding siswa. Tapi: toleransi sosial dalam hal pendirian rumah ibadah maupun penyelenggaraan acara keagamaan komunitas agama lain di tingkat lingkungan tempat tinggal, secara umum cukup rendah.

Menurut Baedowi, populasi yang dijadikan responden merupakan guru PAI di SMP dan SMA di Jabodetabek. Sementara untuk siswa SMP itu diambil hanya untuk Kelas 8 dn 9, SMA kepada siswa di seluruh kelas yang memiliki mata pelajaran agama yang berjumlah 611.678 orang. Jumlah total populasi guru PAI yang diambil sampel adala 2.639 orang, terdiri dari 1.639 guru PAI SMP dan 800 guru PAI SMA. "Dari jumlah populasi itu hasilnya jumla total sampel guru yang valid ada 590 guru, di antaranya 327 guru PAI SMP dan 263 guru PAI SMA. Sementara jumlah total sampel siswa valid ada 993 siswa, antara lain 401 siswa SMP dan 592 SMA. Semua kita cek ulang dengan ketat dan melalui skrining," jelas Baedowi. Batas kesalahan pengambilan sampel kurang lebih 3,6 persen untuk guru PAI dan 3,1 persen untuk siswa. (zal/iy) Sumber: http://us.detiknews.com/read/2011/04/28/205903/1628139/159/ini-dia-hasilsurvei-lakip-yang-menghebohkan-itu?nd991103605 Catatan SCN: Ternyata, penyebab kekerasan berlabel agama marak adalah kurikulum PAI dan guru agama PAI. Baru tercerahkan pada hari membaca hasil survey tersebut setelah bertahun-tahun bertanya-tanya sebenarnya doktrin kekerasan berlabel agama itu datangnya dari mana. Sungguh sangat memprihatinkan. Sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" sedang berupaya diubah menjadi "Kemanusiaan yang biadab". Benarbenar memprihatinkan. Survey yang dilakukan oleh Lembaga Islam dan Perdamaian itu mengindikasikan bahwa ideologi terorisme berhasil menyusup masuk melalui mata pelajaran PAI dan guru-guru agama PAI.

Konflik
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Definisi konflik 2 Konflik Menurut Robbin 3 Konflik Menurut Stoner dan Freeman 4 Konflik Menurut Myers 5 Konflik Menurut Peneliti Lainnya 6 Teori-teori konflik 7 Faktor penyebab konflik 8 Jenis-jenis konflik 9 Akibat konflik 10 Contoh konflik 11 Lihat pula

[sunting] Definisi konflik


Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. 2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. 3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan. 4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres. 5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan. 6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993). 7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).

8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984). 9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341). 10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda beda (Devito, 1995:381)

[sunting] Konflik Menurut Robbin


Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan. 2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi. 3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis diri, dan kreatif.

[sunting] Konflik Menurut Stoner dan Freeman


Stoner dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik. 2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai nilai, dan sebagainya. Konflik dapat

mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.

[sunting] Konflik Menurut Myers


Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari. 2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.

[sunting] Konflik Menurut Peneliti Lainnya


1. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai perang dingin antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata kata yang mengandung amarah. 2. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu waktu terjadi kembali.

[sunting] Teori-teori konflik


Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama adalah teori konflik C. Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori konflik Karl. Marx, yaitu tentang pertentangan kelas, dan ketiga adalah teori konflik James Scott, yaitu tentang Patron Klien.

[sunting] Faktor penyebab konflik

Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.

Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.

Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilainilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

[sunting] Jenis-jenis konflik


Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :

Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role)) Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank). Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa). Koonflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara) Konflik antar atau tidak antar agama Konflik antar politik.

[sunting] Akibat konflik


Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :

meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain. keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai. perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll. kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia. dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:

Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.

Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.

[sunting] Contoh konflik


Konflik Vietnam berubah menjadi perang. Konflik Timur Tengah merupakan contoh konflik yang tidak terkontrol, sehingga timbul kekerasan. hal ini dapat dilihat dalam konflik Israel dan Palestina. Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya. Banyak konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik di Rwanda, dan konflik di Kazakhstan.

[sunting] Lihat pula


Kompetisi Pertentangan Konsensus Disosiatif Integrasi Kontravensi

Você também pode gostar