Você está na página 1de 18

PENYULIT PASCA BEDAH

(Hipertermi, Hipotermi & Pain)


MAKALAH

Disusun Oleh :
1. Aglies Tumangke 2. Indhira Adhista 3. Rudyanto Wiharja 4. Lisa Carolline 5. Fitria Dewi Irawati 6. Putu Lia Paramitha 7. Muhammad Ahwan 04.70.0091 04.70.0093 04.70.0095 04.70.0101 04.70.0103 04.70.0105 04.70.0109

ANESTHESI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmatNya dalam membimbing kami mengerjakan makalah anesthesi ini dengan baik. Tanpa bimbingan-Nya kami yakin bahwa kami tidak akan mampu menyelesaikan tugas kami ini. Kami mengucapkan rasa terima kasih juga yang sebesar-besarnya kepada Staf Pengajar Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan terutama kepada dosen pembimbing kami dr.Budi Tjatur Prasetjo Sp.An yang telah memberi kami tugas yang sangat membantu kami dalam memahami pelajaran anestesi sehingga kami lebih tertarik kepada anestesi. Tak lupa kami juga mengucapkan rasa terima kasih kami kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini yang tidak dapat kami sebut satu persatu. Akhir kata kami mengucapkan mohon maaf jika ada kesalahan baik dalam pembuatan maupun dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

TIM PENULIS

DAFTAR ISI
Kata Pengantar Pendahuluan Hipertermi Hipotermi Pain Penutup

PENDAHULUAN
Setelah menjalani suatu bentuk operasi, seorang ahli anestesi masih mempunyai tanggung jawab terhadap perawatan pasien pada saat pemulihan yaitu dapat dilakukan dengan cara monitoring pasien atau dengan kata lain dilakukan observasi. Tujuan dari observasi ini adalah deteksi sedini mungkin dari penyimpangan-penyimpangan fisiologis sehingga dapat dilakukan tindakan pengobatan sedini mungkin sehingga morbiditas dan mortalitas dapat ditekan serendah mungkin. Observasi utama dilakukan dengan mengukur nadi, tekanan darah dan frekuensi pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal dan perdarahan yang berlanjut. Jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya bagi pasien. Refleks perlindungan jalan nafas masih tertekan, walaupun pasien tampak sudah bangun, dan efek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi pernafasan. Ini dapat menyebabkan kematian karena hipoksia. Selain itu juga perlu dibuat pencatatan teknik yang digunakan dan setiap komplikasi yang terjadi. Hal tersebut dapat berguna bagi pasien di masa mendatang. Untuk mempermudah dalam melakukan observasi maka sistem tubuh dibagi atas 6B yang berurutan menurut prioritasnya, mulai dari yang paling berbahaya sampai yang kurang membahayakan bila terjadi kelainan-kelainan. Pembagian tersebut adalah : 1. B1 2. B2 3. B3 4. B4 5. B5 6. B6 : Breath : Bleed : Brain : Bladder : Bowel : Bone (Sistem Pernafasan) (Sistem Kardiovaskuler) (Sistem Syaraf) (Sistem Urogenital) (Sistem Gastrointestinalis) (Sistem Skelet)

Observasi pada keenam sistem tersebut meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik diagnostik, pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan dengan bantuan alat. Beberapa komplikasi dapat terjadi pasca bedah. Komplikasi yang paling umum terjadi adalah: 1. Failure to awaken 2. Nausea-vomiting, kadang-kadang dipersulit oleh dehidrasi. 3. Chest atau komplikasi pada paru

4. Trombosis vena tungkai, kadang-kadang dipersulit oleh emboli 5. Retensi karbon dioksida 6. Nyeri Pasca Bedah 7. Trauma mekanis 8. Efek toksik lambat dari obat anasthesi 9. Hipertermi atau hipotermi 10. Agitation 11. Bleeding hypovolemia 12. Hypertension 13. Hypervolemia Oleh sebab beberapa komplikasi tersebut maka pasien pasca operasi harus memperhatikan hal-hal berikut : 1. Pernafasan Gangguan sistem pernafasan cepat menyebabkan kematian karena hipoksia, sehingga harus diketahui sedini mungkin dan harus segera diatasi. Penyebab yang paling sering dijumpai sebagai penyulit pernafasan adalah sisa obat anestetik (penderita tidak sadar kembali) dan sisa obat pelemas otot yang belum dimetabolisme dengan sempurna. Disamping itu lidah yang jatuh kebelakang dapat menyebabkan obstruksi hipofaring. 2. Sirkulasi Diagnosis penyulit sirkulasi juga harus dilakukan secara dini. Penyulit yang sering dijumpai adalah hipotensi, syok dan aritmia. 3. Regurgitasi Muntah dan regurgitasi disebabkan oleh hipoksia selama anestesi, anestesi yang terlalu dalam, rangsang anestetik, misalnya pada eter, langsung pada pusat muntah di otak, dan tekanan lambung yang tinggi karena lambung penuh atau karena tekanan dalam rongga perut yang tinggi misalnya karena ileus. 4. Gangguan faal lain Pemanjangan masa pemulihan kesadaran dapat disebabkan oleh gangguan metabolisme yang berpengaruh pada metabolisme otak seperti pada hipotermi, syok, gangguan faal hati, gangguan faal ginjal, dan hiponatremia. 5. Penanggulangan nyeri Nyeri pasca bedah harus segera diatasi. Nyeri ini bersifat sangat individual. 6. Terapi cairan

Pengaruh hormonal yang masih menetap beberapa hari pasca bedah dan dapat mempengaruhi keseimbangan air dan elektrolit harus diperhatikan dalam menentukan terapi cairan tersebut. Bila penderita sudah dapat minum secepatnya diberikan peroral. Apabila penderita tidak boleh peroral, maka pemberian secara parenteral diteruskan. Dalam makalah ini kami hanya membahas hipertermi, hipotermi serta nyeri pasca bedah.

HIPERTERMI
Hipertermi atau kenaikan suhu badan dapat terjadi pada post operasi. Kenaikan suhu badan ini dapat mencapai 38C dan berlangsung sampai beberapa hari diperkirakan sebagai akibat terjadinya luka sehingga terjadi inflamasi. Bila suhu badan naik sampai 38C hingga 39C, harus dicari sebab-sebabnya, mungkin ini disebabkan oleh komplikasi di paru-paru atau trombosis pembuluh darah. Biasanya komplikasi ini terjadi pada hari ke 4 sampai 7 post operasi. Pada Hiperpireksia maligna terdapat kelainan metabolisme otot yang dapat diturunkan dan secara potensial dapat membahayakan jika dicetuskan oleh beberapa obat karena menyebabkan kenaikan suhu tubuh sekurang-kurangnya 2C setiap jam, disertai dengan rigiditas otot yang berat. Jika tidak diobati, keadaan ini hampir pasti dapat menyebabkan kematian karena hipoksemia, asidosis metabolik, hiperkalemia, hipokalsemia, gagal ginjal akut, dan henti jantung. Agen pencetus hampir semuanya berkaitan dengan obat yang digunakan pada anestesi, terutama dikaitkan dengan halotan dan suksametonium, demikian juga dengan agen yang mudah menguap, juga anestesi lokal amida seperti lignokain. Jika keadaan diatas terjadi maka ahli anestesi yang cemas dapat sgera disadarkan oleh adanya takikardi, hiperpnea dan sianosis disamping terjadinya hiperpireksia, dan rigiditas otot. Anestesi inhalasi harus segera ditarik, 100% oksigen diberikan, respirasi dikendalikan, dan ice pack digunakan daalm usaha mengendalikan kenaikan suhu. Asidosis metabolik diobati dengan Natrium Bikarbonat. Insulin mungkin diperlukan untuk hiperkalemia. Terapi khususnya adalah dantrolen, yang mengendalikan penyebaran kalsium selular ke sarkoplasma otot. Dantrolen (1mg/kg) diberikan melalui suntikan intravena berualng. Juga diberikan per oral secara profilaktif pada kasus potensial yang dicurigai. Banyak ruang pembedahan menyimpan perlengkapan hiperpireksia maligna dalam lemari esnya.

HIPOTERMI
Hypothermia merupakan menurunnya suhu tubuh dibawah normal, dimana jika penurunan tersebut hingga dibawah 35C merupakan masalah post operasi yang harus segera ditangani. Pada pasien yang menjalani operasi dapat terjadi beberapa system organ yang tidak normal. Ketidaknormalan tersebut menyebabkan kebutuhan O2 meningkat serta produksi CO2 yang dihasilkanpun meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat tersebut maka kerja jantung dan paru pun meningkat. Hal tersebut mengakibatkan takikardi yang kemudian terjadi bradikardi. Biasanya pada suhu tubuh 28C telah terjadi penurunan 50% pada denyut nadi. Tekanan darah pun terjadi penurunan disertai juga penurunan cardiac output. Oleh karena hal tersebut diatas maka aliran darah yang ke perifer pun berkurang untuk memenuhi kebutuhan pada organ-organ yang lebih penting, sehingga suhu badan menjadi hipotermi. Pada pasien yang telah lanjut usia frekuensi mengalami hipotermi post operasi lebih tinggi. Oleh karena itu pengawasan post operasi pada pasien usia lanjut haruslah lebih hatihati. Hal tersebut dikarenakan pada usia lanjut yang mempengaruhi hasil operasi selain perubahan fisiologis ketuaan, penyakit penyerta lebih berperan sebagai faktor resiko. Secara umum pada usia lanjut terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan juga menurunnya respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat dan juga mudah terjadi hipotermi. Pengelolaan pada pasien hipotermi haruslah segera. Pengelolaan yang dapat dilakukan adalah dengan : Memberi oksigen, agar kebutuhan O2 yang diperlukan tubuh segera terpenuhi Selimut hangat Lampu penghangat Inj meperidine (pethidine)

NYERI PASCA BEDAH


Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tak dapat dihindari tetapi ini merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien. Definisi dari nyeri itu sendiri adalah pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan jaringan yang rusak, cenderung rusak atau segala sesuatu yang menunjukkan kerusakan. Penanggulangan nyeri pasca bedah yang efektif merupakan salah satu hal yang penting dan menjadi problema bagi ahli anestesi. Hal tersebut dikarenakan berbagai hal sebagai berikut: Nyeri pasca bedah sangat bersifat individual, tindakan yang sama pada pasien yang kurang lebih sama keadaan umumnya tidak selalu mengakibatkan nyeri pasca bedah yang sama. Pengalaman penderita terhadap derajat atau intensitas nyeri pasca bedah sangat bervariasi. Banyak penderita yang kurang mendapat terapi yang adekuat untuk mengatasi nyeri pasca bedah. Bebas nyeri dapat mengurangi komplikasi pasca bedah. Timbulnya nyeri, derajat maupun lamanya pengelaman nyeri dari penderita setelah operasi yang berlainan tidak dapat diketahui dengan pasti. Dari penyelidikan-2 yang dilakukan ternyata timbulnya (incidence) intensitas, dan lamanya nyeri pasca bedah sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita yang lain, dari rumah sakit yang berbeda apalagi dari negara yang berbeda. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kualitas, intensitas dan lamanya nyeri pasca bedah dapat disebutkan sebagai berikut : 1. Lokasi operasi, jenis operasi dan lamanya operasi serta berapa besar kerusakan ringan akibat operasi tersebut. 2. Persiapan operasi baik psychologik, fisik dan pharmakologik dari penderita oleh anggota / team pembedahan atau dengan kata lain disebut pelaksanaan perioperatif dan premedikasi. 3. Adanya komplikasi yang erat hubungannya dengan pembedahan. 4. Pengelolaaan anestasi baik sebelum, selama, sesudah pembedahan. 5. Kwalitas dari perawatan pasca bedah.

6. Suka, ras, warna kulit, karakter dan sosiokultural penderita 7. Jenis kelamin, perempuan lebih cepat merasakan nyeri 8. Umur, ambang rangsang orang tua lebih tinggi. 9. Kepribadian, pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila dibandingkan dengan pasien dengan kepribadian normal 10. Pengalaman pembedahan sebelumnya, bila pembedahan di tempat yang sama rasa nyeri tidak sehebat nyeri pembedahan sebelumnya. 11. Motivasi pasien, pembedahan paliatif tumor ganas lebih nyeri dari pembedahan tumor jinak walaupun luas yang diangkat sama besar. 12. Fisiologik, psychologik dari penderita. Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca bedah yang paling sering terjadi dan sifat nyerinya paling hebat (severe) adalah sbb: Operasi daerah Thocaro abdominal Operasi ginjal Operasi Columna vertebralis (spine) Operasi Sendi besar Operasi tulang panjang (large Bone) di extrimitas 2 Penderita setelah selesai mengalami bedah thorax, abdomen maupun operasi ginjal, bila penderita batuk, tarik nafas dalam atau gerakan tunuh yang berlebihan akan timbul nyeri yang hebat. Macam luka pembedahan (incision) juga sangat berperan dalam timbulnya nyeri pasca bedah, pada luka operasi/insisi subcostal (Choiecystectomy) kurang menimbulkan rasa nyeri pasca bedahnya dibandingkan luka operasi midline, pada insisi abdomen arah transversal akan terjadi kerusakan syaraf intercostalis minimal. Pada pembedahan yang letaknya di permukaan (superficial), daearah kepala, leher, extrimitas, dinding thorax dan dinding abdomen rasa nyerinya sangat bervariasi, : Nyeri hebat (severe) 5 15 % Nyeri yang sedang (moderate) 30 50 % dari penderita. Nyeri yang ringan/tanpa nyeri : 50%, dimana penderita tidak memerlukan narkotik. Terdapat pengecualian pada operasi tandur kulit (Skin graft) yang luas dan radical mastectomy, nyeri pasca bedahnya termasuk kategori nyeri yang hebat (severe). Dari segi penderita, timbulnya dan beratnya rasa nyeri pasca bedah juga sangat dipengaruhi fisik, psikis/emosi, karakter individu dan sosial kultural maupun pengalaman masa lalu terhadap rasa nyeri. Derajat kecemasan penderita pra bedah dan pasca bedah juga

mempunyai peranan penting. Misalnya, takut mati, takut kehilangan kesadaran, takut akan terjadinya penyulit dari anestesi dan pembedahan, rasa takut akan rasa nyeri yang hebat setelah pembedahan selesai. Penderita yang masuk rumah sakit (mrs) akan timbul reaksi cemas/strees. Dan keadaan ini membentuk pra kondisi nyeri pasca bedah. Keadaan tersebut digolongkan hospitel Strees. Pada golongan penderita dengan Hospitel Strees tinggi cenderung mengalami nyeri lebih hebat daripada golongan Hospitel Strees rendah. Faktor 2 Hospitel Strees : a. Rasa tidak bersahabat disekelilingnya. b. Pemisahan dengan keluarga, orang tua, suami/istri. c. Informasi yang kurang/tidak jelas. d. Pengalaman-2 masa lalu tentang penanggulan nyeri yang tidak adekwat. Faktor lain yang berperan dalam nyeri pasca bedah adalah pengelolaan baik sebelum, sedang dan sesudah pembedahan dan tehnik anestesi yang dilakukan pada penderita. Pengelolaan profilaksis yaitu pengelolaan penderita pada persiapan pembedahan dan perawatan pasca bedah yang baik. Dari segi anestesi trauma pemasangan pipa endotracheal (intubasi), nyeri otot akibat pemberian succinyi cholin. Dari segi bedah, keterampilan dari ahli bedah, jenis pembedahan (Ekstenip) juga sangat berperan. Mekanisme terjadinya nyeri pasca bedah dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada dasarnya mirip dengan timbulnya luka atau suatu penyakit, yang mengakibatkan kerusakan jaringan lokal dengan disertai keluarnya bahan-2 yang merangsang rasa nyeri (algogenik subtance) seperti; kalium dan ion Hydrogen, asam laktat, serotonin, bradylinin, prostaglandin. Inflamasi perifer menghasilkan prostaglandin dan berbagai sitokin yang menginduksi COX-2 setempat (local). Selanjutnya akan mensensitisasi nocicieptor perifer yang ditandai dengan timbulnya rasa nyeri. Sebagian sitokin melalui aliran darah sampai ke sistem syaraf pusat meningkatkan kadar interleukin-1 yang pada gilirannya menginduksi COX-2 di dalam neuron otak. Bagaimanapun, sekali enzim COX-2 dipicu berbagai aksi muncul di perifer dan susunan syaraf pusat. Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dengan bantuan enzim

cyclooxygenase (COX) dapat dihambat dengan pemberian AINS (anti-inflamasi non-steroid) yang juga dikenal sebagai COX-inhibitor. Pembentukan prostaglandin dapat ditingkatkan oleh bradikinin dan interleukin-1. Di perifer, prostaglandin dapat merangsang reseptor EPI yang meningkatkan sensasi nyeri dan reseptor EP4 yang menurunkan sensasi nyeri. Namun prostaglandin yang dibentuk melalui aktivasi COX-2 berperan dalam percepatan transmisi

nyeri di syaraf perifer dan di otak, terutama dalam peran sentralnya memodulasi nyeri hiperalgesia dan alodinia. Oleh karena kejadian nyeri inflamasi bukan hanya berkaitan dengan peningkatan produki prostaglandin oleh aktivasi COX-2, AINS yang ideal hendaklah lebih nyata menghambat aktivitas COX-2 dan juga mampu menghambat aktivitas mediator-mediator inflamasi lainnya seperti bradikinin, histamin dan interleukin, serta mampu merembes ke cairan serebrospinal. Timbulnya spasme pada otot-2 tubuh dengan akibat turunnya compliance/kelenturan dinding Thorax. Keadaan tersebut merupakan lingkaran setan, nyeri -------+ spasme otot ----+ nyeri. Stimulasi neuron syaraf sympatik mengakibatkan meningkatnya frekwensi jantung dan stroke volume, sehingga kerja jantung (heart work) dan komsumsi oksigen dari jantung bertambah. Terjadi pengeluaran hormon-2 katabalik, Cathecolamine, Cortisol, ACTH, ADH, Glocagon dan Aldosteron serta penurunan hormon anabolik Insulin dan Testosteron. Cortical merangsang nyeri yang diteruskan sampai ke cortex cerbri akan dikenal/persepsi berupa rasa nyeri dan manifestasinya dapat berupa suatu reaksi kecemasan dan rasa takut. Komplikasi akibat nyeri pasca bedah juga harus diperhatikan oleh ahli anestesi. Komplikasi tersebut bermacam-macam. Pasca bedah stroke-abdomen ataupun operasi ginjal akan terjadi gangguan radio ventilasi-perfusi di paru-2 (V/O ratio), apabila penderita pasca bedahnya disertai/mengalami distensi dari abdomen atau dipasang bandage yang ketat (gurita) maka akan terjadi gangguan nafas yang berat. Rasa nyeri yang bertambah hebat bila penderita batuk, tarik nafas dalam dan adanya broncho spasmus berakibat penderita takut akan mengeluarkan dahak ataupun bernafas dalam, akibatnya akan terjadi penurunan kapasitas paru (VC), FRC, dan timbulnya Hypoksemia. Penurunan VC 40% dari pra bedah, dimulai saat 1-4 jam pasca bedah yang dipertahankan s/d 12-24 jam, selanjutnya meningkat pelan-2 mencapai 60-70% dari kondisi Pra bedah setelah hari ke-7, selanjutnya kembali ke normal setelah beberapa minggu. FRC menurun 70% dari pra bedah setelah 24 jam pasca bedah, dan tetap rendah dalam beberapa hari, lalu pelen-pelan kembali ke normal dalam waktu 10 hari. Terjadinya pengeluaran hormon-2 katabalik, Cathecolamine, Cortisol, ACTH, ADH, Glocagon dan Aldosteron serta penurunan hormon anabolik Insulin dan Testosteron juga merupakan komplikasi dari pasca bedah. Hal tersebut dapat menyebabkan kadar gula darah naik, tekanan darah naik, kebutuhan oksigen naik.

Tehnik anestesi baik general anestesi maupun regional anestesi, sangat berbeda dari segi pemberian obat-obatan analgetik pasca bedah pada general anestesi 5% pasien bedah tidak memerlukan analgesik. Kadang pada regional anestesi lebih disenangi pemakaian obat lokal anestesi yang kerjanya lama (long action ). Tehnik anestesi gabung general anestesi dan regional anestesi terbukti berhasil mengurangi kebutuhan akan narkotik pasca bedahanya. Pengelolaan nyeri pasca bedah dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Prophyiaktik Incidance, derajat dan lamanya nyeri pasca bedah dapat dikurangi dengan persiapan operasi dengan baik, dan perawatan pasca bedah optimal. 2. Terapi Aktif Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi partial atau total (tanpa nyeri) dengan cara-cara berbagai berikut : a. Obat-2 sistemik analgesik dan ajuvant b. Analgesik regional (Intra spinsi opiat) c. Analgesik regional dengan obat lokal anestesi. d. Analgesik dengan rangsangan litrik (transcutancus electrical nerve stimulation = TENS), atau dengan electroacupuncture. e. Analgesik psykologik dengan Hypnosis dan Sugesti. Obat Analgesik Sistemik & Adjuvan Golongan opiat

Obat opiat setelah bergabung dengan reseptor dalam susunan saraf pusat dan bagian lain dari tubuh akan menimbulkan khasiat analgesik, kontraksi otot polos, depresi pernafasan dan lainlain. a. Opioid Intra Muskular Cara ini adalah cara yang paling sering dipakai, walaupun sering berhasil mencapai efek anelgesia yang diinginkan karena pemberian intramuskular (im) absorpsinya tidak sempurna, terutama pada pasien dengan perfusi perifer yang buruk. Karena absorpsi melalui otot relatif lambat, meka harus diperhatikan kapan anelgesia dibutuhkan dan kapan pemberian ulangan harus di suntik b. Opioid Intravena Kontinyu Walaupun pemberiannya kurang menyenangkan bila dibandingkan dengan pemberian 1 M cara ini memiliki sejumlah keunggulan. Pada umumnya diberikan sejumlah dosis tertentu (infus dipercepat) untuk mendapatkan konsentrasi efektif analgesia, kemudian dilanjutkan dengan infus yang lambat dengan alat yang akurat seperti pompa infus

c. Pasien Mengontrol Pemberian Analgesia Opioid Saat ini sudah dikembangkan cara/alat agar pasien dapat memberikan sendiri anelgesia opioid yang diinginkan melalui pompa infus yang sudah diatur terlebih dahulu dosisnya, yang aman untuk pasien. d. Opioid Subligual Cara ini makin populer penggunaannya, karena mudah dan menyenangkan. Obat yang paling sering dipakai adalah biprenorfin yang bersifat agonis antagonis sehingga efek samping depresi nafas sangat jarang dijumpai, keuntungan lain adalah masa kerja yang lama (lebih dari 8 jam). e. Opioid Oral Opioid oral dapat diberikan pada pasien yang dapat menelan. Morfin sulfat dapat memberikan analgesia yang adekuat selama 6-8 jam. Obat opiat yang paling sering dan mudah diperoleh : 1. Morphine Morphine merupakan obat narkotik analgesik yang sampai saat ini tetap dipakai sebagai standard dalam penanggulangan nyeri pasca bedah, karena alasan sbb: Mudah didapat # Murah # Pemberiannya mudah # dan efektif Cara pemberian dapat : o Intra muskuler, onset lama dicapai, mudah cara pemberiannya. o Intra venous, cara ini mempunyai beberapa keuntungan a.l : onset obat cepat, hasilnya cepat terlihat dengan demikian efek emosi penderita akibat dapat dikurangi. Selain itu, kebutuhan individu akan obat mudah dikontrol dengan titrasi. Konsentrasi obat di darah cepat menurun, sehingga perlu pemantauan selama 15-20 menit setelah injeksi untuk menilai hilangnya rasa nyeri dan efek samping obat. 2. Pethidine #

Untuk mendapatkan analgesik yang efektif, dan mengurangi efek samping dari cara pemberian iv, dosis obat diberikan dalam jumlah yang kecil dan diberikan pelan-pelan Untuk Morphime : 2-3 minggu diencerkan dalam PZ. Untuk Petidhine : 20-30 minggu diencerkan dalam PZ.

Cara memberikan dengan titrasi interfal 15-20 menit, sampai analgesik tercapai, interfal dapat ditingkatkan menjadi 45-60 menit sampai steady state. Infusi (continuous infusion) Perlu monitoring yang lebih ketat. Bahaya overdoss mudah terjadi.

Morphin : Kecepatan pemberian (rate) 0,1 mg/menit (6 mg/jam) Pethidine : Rate 1,0 mg/menit (60 mg/jam) Terjadinya analgesi lebih cepat dicapai dan berlangsung dalam 15 20 jam. Pethidine mempunyai efek lokal anestesi, dengan akibat menghambat/ blok saraf simpatik, sensorik, motorik.

Patient Cotrolled Analgesik adalah salah satu cara penggunaan analgesik. Cara ini dimulai pada th 1970 an. Caranya dapat dilakukan oleh penderita dengan alat yang sudah di program sesuai kebutuhan penderita (on demand). Hasilnya sangat memuaskan 88% penderita bebas nyeri, dengan alat ini konsentrasi obat narkotik di plasma hampir mendekati minimal effective analgesic concentration (MEAC). Yang harus diperhatikan pada pemakaian narkotik adalah keadaan sebagai berikut: 1. Penderita sakit berat 2. Manula (Geriatric) 3. Status hidrasi penderita (Hypovolemik) 4. C.O.P.D (cronic obstructive pulmonary disease) 5. Trauma kepala 6. Advance liver disease Selain pada golongan tersebut terdapat golongan Non Narkotik Analgesia yaitu : NSAIDS = Non steroidal anti inflammatory drugs. Cara kerja obat adalah menghambat bahan-2 Algogenic. Yang termasuk golongan ini adalah : Golongan Salisilat o Acetyl salicylic acid (Aspirin) Dosis obat 500-600 mg tiap 4 jam. Dosis maksimal 4000 mg sehari. Efek samping : perdarahan lambung, reaksi hipersentitif. o Acetaminophen (Parasetamol)

Mempunyai khasiat analgesik dan antipiretik seperti asam asetil salisilat, tetapi tidak mempunyai efek antiinflamasi. Tidak mengadakan iritasi mukosa lambung. Dosis 500-1000 mg setiap 4 jam. Dosis max 4000 mg sehari. Antiinflamasi nonsteroid Dibanding dengan asam salisilat khasiat analgesik bervariasi, ada yang sama dan ada yang lebih kuat. Obat golongan antiinflamasi non steroid memberikan efek samping pada darah, gastrointestinal, ginjal dan saraf pusat. 1. Proprionic acid derivat o Ibuprofen : dosis 200-400 mg, setiap 4-6 jam per os. Dosis max 2400 mg sehari (Brufen) o Ketiprofen (profenid): Dosis 25 50 mg, setiap 6 8 jam p.o dosis max 300 mg sehari 2. Benzothiazine deriv. o Piroxicain (feldene) Dosis 20 mg setiap 12-24 jam. 3. Pyrazole deciv. o Phenylbutazone Dosis 100-200 mg setiap 6 jam. o Oxyphenbutazone (Tanderil) Dosis 100-200 mg setiap 6 jam. 4. Fenmates o Mefanamic acid (Ponstan) Dosis 500 mg setiap 6-8 jam Epidural / Intrathecal Narkotik Tehnik epidural & intrathecal narkotik mulai populer pada akhir-2 ini. Namun cara ini memerlikan keahlian khusus dan harus dipantau dengan ketat, serta dipersiapkan tenaga paramedik yang sudah terdidik, karena ada penyulit depresi nafas yang lambat. Pemakaian narkotik epidural lebih menguntungkan dibanding obat anestesi lokal, karena tidak mempengaruhi sistim somatomotor dan sympatik. Intrathecal narkotik mengurangi reflek 2 pascabedah, sehingga membantu hemodinamik penderita tetap stabil. Dosis : 0,5 1 mg Marphine.

Analgesi timbul 15 30 menit, dan berakhir 8 24 jam. Epidural narkotik Dosis : 2 10 mg, Morphine, onset 5 10 menit, lamanya 6 24 jam. Komplikasi : Pruritus 15 20 % Retensi urinae 15 20 % Nausea 15 25 % Depresi nafas (delayed) Regional anestesi dengan lokal anastesi Kerugian pemakaian obat lokal anestesi terutama adanya gangguan/ blok pada afferent dan afferent pada segmentasi maupun supra segmental. Keuntungannya menghilangkan nyerinya sangat efektip, dan spasmus otot tidak terjadi. Intercostal block Cara ini efektif untuk nyeri pasca bedah cholecystectomy, thoraco tomy, gatrectomy dan mastectomy. Keuntungannya tidak terjadi hypotensi.

TENS (Transcutancus Electrical nerve stimulation) Dilaporkan bahwa cara ini dapat menghilangkan nyeri pasca bedah laporotomy, thoracotomy maupun laminec tomy. Namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa tens tidak memperbaiki faal paru pasca bedah. Akan tetapi Tes dapat dipakai sebagai cara alternatip untuk mengurangi kebutuhan narkotik.

Hipnosis dan sugesti. Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut perlu perlu dihilangkan untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi pelaksanaan pembedahan. Oleh karena hal tersebut maka hypnosis dan sugesti dapat membantu menghilangkan komplikasi nyeri pasca bedah. Pedoman Pemberian analgetik pasca bedah

Awal, diberikan obat dengan potensi dan dosis yang sangat kuat (2 hari) Selanjutnya diturunkan potensi dan dosisnya By the clock Multimodal multifocal : lewat berbagai jalan masuk.

DAFTAR PUSTAKA

1 Diktat kuliah Ilmu Anestesi, Unair 2 e-USU Repository 2004 Universitas Sumatra Utara 3 www.medlinux.blogspot.com 4 NELSON WE : Textbook of pediatrics, 8 ed. Philadelphia, London, WB Saunders Co., 1964, p 1114.

Você também pode gostar