Você está na página 1de 18

REFERAT

SINDROM METABOLIK

Oleh Eva Yunita, S.Ked I11106034

Pembimbing dr. Bambang SN, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS TANJUNGPURA RSU DOKTER SOEDARSO PONTIANAK 2011

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


1

LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui referat dengan judul: Sindrom Metabolik

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Mayor Ilmu Penyakit Dalam

Telah disetujui, Pontianak, 25 Juli 2011

Pembimbing,

Disusun oleh

dr. Bambang SN, Sp.PD

Eva Yunita

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


2

BAB I PENDAHULUAN
Sindrom metabolik adalah kumpulan dari berbagai faktor risiko yang termasuk obesitas sentral, dislipidemia, hipertensi dan peningkatan glukosa darah puasa yang ditandai dengan kenaikan risiko diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskuler. Sindrom ini pada awalnya diperkenalkan Reaven pada tahun 1988 dengan nama sindrom X atau Reaven atau sindrom resistensi insulin dengan adanya kumpulan faktor resiko yang terdiri dari hipertensi, intoleransi glukosa dan dislipidemia. Pada tahun 1999, WHO mengubahnya menjadi sindrom metabolik dengan kumpulan faktor risiko yang terdiri dari hiperinsulinemia, dislipidemi, obesitas sentral dan mikroalbuminuria dengan resistensi insulin sebagi titik sentral dari komponen faktor resiko. Selanjutnya NCEP ATP III melakukan modifikasi dengan kumpulan faktor resiko yang terdiri dari obesitas sentral, dislipidemia, hipertensi dan peningkatan glukosa darah puasa, dimana semua komponen dari faktor resiko saling berhubungan satu sama lain.1 Pandemi sindrom metabolik berkembang seiring dengan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia.2 Hal ini berkaitan dengan penelitian yang berkembang sekarang bahwa obesitas sentral berperan dalam menyebabkan resistensi metabolik. insulin
3,4,5

yang

berperan

penting

dalam

patofisiologi

sindrom

Pada penelitian Soegondo (2004) didapatkan prevalensi sindrom metabolik adalah 13,13%. Penelitian lain yang dilakukan di Depok (2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik menggunakan kriteria NCEP-ATP III dengan modifikasi Asia terdapat 25,7% pria dan wanita 25%.3

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Sindrom metabolik adalah kelompok berbagai komponen faktor risiko yang terdiri dari obesitas sentral, dislipidemia (meningkatnya trigliserida dan menurunnya kolesterol HDL), hipertensi, dan gangguan toleransi glukosa yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah puasa. Disfungsi metabolik ini dapat menimbulkan konsekuensi klinik yang serius berupa penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati nonalkoholik.1 2.2 Epidemiologi Prevalensi Sindrom Metabolik bervariasi tergantung pada definisi yang digunakan dan populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari the Third National Health and Nutrition Examination Survey (1988 sampai 1994), prevalensi sindrom metabolik (dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari 16% pada laki-laki kulit hitam sampai 37% pada wanita Hispanik. Prevalensi Sindrom Metabolik meningkat dengan bertambahnya usia dan berat badan. Karena populasi penduduk Amerika yang berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari separuh mempunyai berat badan lebih atau gemuk, diperkirakan sindrom Metabolik melebihi merokok sebagai faktor risiko primer terhadap penyakit kardiovaskular. Di indonesia sendiri dilakukan penelitian yang dilakukan Semiardji pada pekerja PT. Krakatau steel didapatkan prevalensi sebesar 15,8% pada tahun 2005 dan meningkat sebesar 19,7% pada tahun 2007. Hal ini meningkat dengan adanya pengaruh gaya hidup yang cenderung kurang dalam aktifitas fisik dan makanan siap saji dan berlemak.3 2.3 Etiologi Etiologi dari sindrom metabolik bersifat multifaktor. Penyebab primer yang menyebabkan gangguan metabolik yang ditemukan pada sindrom metabolik adalah resistensi insulin yang berhubungan dengan obesitas sentral yang ditandai

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


4

dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang (waist to hip ratio). Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular dan pembentukan atheroma. Hipotesis lain menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang mendasari adalah terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa pada individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol didalam serum (yang disebabkan oleh stres kronik) mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin dan dislipidemia.4 2.4 Diagnosis 3 Setelah Reaven pada tahun 1988 mencanangkan sindrom resistensi insulin, maka WHO 1999 melakukan tata cara diagnostik sindrom metabolik yang memberi persyaratan harus ada komponen resistensi insulin atau hiperinsulinemia yang ditandai dengan kadar glukosa darah puasa > 110 mg/dl ditambah dengan komponen lain. Berikut tabel kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut WHO (1999) Tabel 1. kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut WHO (1999) Faktor Risiko Hiperinsulinemia Tekanan darah Trigliserida HDL Pria Wanita Obesitas abdominal (Lingkar pinggang) Pria Wanita Mikroalbuminuria Rasio albumin:kreatinin Nilai Batas 110 mg/dl (GDP) >160/90 mm/Hg 150 g/dl <35 mg/dl <39 mg/dl >0,90 >0,85 >30 mg/gr

Berdasarkan atas kriteria WHO 1999 maka jelas komponen resistensi insulin dalam hal ini diabetes mellitus dan atau resistensi glukosa terganggu merupakan titik sentral dari komponen faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Pada dasarnya semua komponen dari sindrom metabolik terkait satu sama lain sehingga

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


5

dengan penanganan salah satu dari komponen akan memberi dampak positif pula pada komponen lain. Selanjutnya NCEP ATP III merekomendasikan sindrom metabolik dengan kriteria berbeda dimana gangguan resistensi insulin tidak dimasukkan dalam salah satu persyaratan melainkan memasukkan dalam kedudukan yang sejajar dengan komponen lainnya. Menurut rekomendasi ATP III, dikatakan sindrom metabolik apabila ditemukan 3 atau lebih komponen yang ada pada satu subjek. Berikut kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut ATP III dan ATP III yang dimoifikasi.

Tabel 2. Kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut ATP III Faktor risiko NCEP ATP III NCEP ATP III (Modifikasi) Obesitas abdominal Lingkar perut Pria Wanita Hipertrigliseridemia HDL Pria Wanita Hipertensi GDP >102 >88 150 <40 <50 130/85 110 > 90 cm 80 cm 150 <40 <50 130/85 110

Selanjutnya klasifikasi ATP III mengalami modifikasi khusus bagi orang Asia dimana lingkar pinggang dianggap terlalu besar untuk orang Asia dimana lingkar pinggang orang Asia untuk laki-laki adalah 90 cm dan wanita 80 cm. Komponen lainnya tetap sama sebagaimana ATP III. Namun, jika dilihat dari kriteria diagnosis WHO dan NCEP ATP digunakan glukosa darah puasa terganggu. 2.5 Faktor Resiko6 1) Genetik Banyak penelitian menyebutkan bahwa orang dengan sindrom metabolik memiliki riwayat keluarga dengan hipertensi dan diabetes mellitus.

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


6

2) Obesitas sentral Faktor risiko utama dalam perkembangan sindrom metabolik adalah obesitas sentral. Obesitas sentral ini merupakan faktor risiko utama penyebab resistensi insulin sebagai penyebab dari berbagai gangguan yang dapat berkembang dari sindrom metabolik. 3) Kurangnya aktifitas fisik Kurangnya aktifitas fisik dapat menyebabkan obesitas karena

ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran energi. 4) Usia Pada sebuah studi di Amerika serikat, terjadi peningkatan jumlah orang dengan sindrom metabolik seiring dengan peningkatan usia. Ditemukan prevalensi sindrom metabolik sebesar 6.7% pada usia 20-29 tahun dan 43.5% pada usia 60-69 tahun. 2.6 Patofisiologi Patofisiogi dari sindrom resistensi insulin tidak didasarkan dari satu faktor utama dan bersifat multifaktor. Namun, dari beberapa penelitian didapatkan bahwa resistensi insulin dan obesitas sentral merupakan patofisiologi dasar yang saling berkaitan erat satu sama lain tanpa mengesampingkan faktor lainnya dari sindrom metabolik. 1) Obesitas sentral Obesitas adalah penimbunan lemak tubuh melebihi nilai normal sehingga dapat menyebabkan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas penyakit. Obesitas dapat disebabkan oleh banyak faktor tetapi prinsip dasarnya adalah sama yaitu ketidakseimbangan dalam penyimpanan dan pengeluaran energi. Energi yang dimasukkan dalam tubuh tidak digunakan secara efektif sehingga tertimbun dalam jaringan lemak. Terdapat dua tipe obesitas yaitu obesitas sentral dan perifer. Pada obesitas sentral terjadi penimbunan lemak dalam tubuh melebihi nilai normal di daerah abdomen. Sedangkan, obesitas perifer adalah penimbunan lemak didaerah gluteofemoral.5

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


7

Obesitas sentral merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam mencetuskan terjadinya resistensi insulin. Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin, antara lain: a. Lipotoksisitas Pemaparan asam lemak bebas yang lama pada sel beta pankreas meningkatkan pengeluaran insulin basal tapi menghambat sekresi insulin yang disebabkan oleh glukosa. Selain itu asam lemak bebas juga dapat menghambat ekspresi insulin pada keadaan glukosa plasma yang tinggi dan menginduki apoptosis sel beta pankreas. Asam lemak bebas yang meningkat mengganggu kemampuan insulin untuk menghambat penghasilan glukosa hepatik dan menghambat pemasokan glukosa ke dalam otot skelet, juga menghambat sekresi insulin dari sel beta pankreas. Hal ini menyebabkan resistensi insulin pada organ hati dan otot. b. Adipositokin Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak seperti TNF-, IL-6 dan resistin dapat mencetuskan terjadinya resistensi insulin karena adanya efek proinflamasi. Efek-efek ini dapat mengganggu fungsi GLUT-4 sebagai transporter glukosa sehingga tidak dapat memasukkan glukosa ke dalam sel. Jaringan lemak yang dulu dianggap sebagai deposit trigliserid ternyata mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon TNF-, leptin, interleukin 6, resistin. TNF, interleukin dan resitin menyebabkan resistensi insulin sedang adiponektin dan leptin menghambat resistensi insulin. Adinopektin Adinopektin adalah protein sekretorik mirip kolagen yang dihasilkan oleh sel lemak. Kadar adinopektin dalam serum berbanding terbalik dengan berat badan. adinopektin juga memiliki peran dalam meningkatkan sensitifitas insulin, anti-inflamasi dan anti-aterogenik.

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


8

Gambar 1. Peran adinopektin terhadap resistensi insulin Leptin Kadar leptin serum sangat berhubungan dengan ekspresi mRNA leptin pada sel lemak dan kadar trigliserida dalam sel tersebut. Tempat kerja leptin di hipotalamus, dimana leptin bekerja sebagai regulator pemasukan dan pengeluaran energi. Leptin memiliki efek menurunkan sintesis lemak, menurunkan sintesis trigliserida dan meningkatkan oksidasi asam lemak sehingga bisa meningkatkan sensitifitas insulin. Selain itu leptin berfungsi menurunkan nafsu makan dan meningkatkan penggunaan energi. Interleukin-6 IL-6 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak dimana peningkatan kadarnya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dan ukuran sel lemak. IL6 disekresi 2-3 kali lebih banyak oleh jaringan lemak viseral daripada jarigan lemak subkutan pada orang yang obes berat.IL-6 memiliki sifat pro-inflamasi yang dapat dihubungkan dengan terjadinya resistensi insulin. IL-6 diperkirakan dapat mengirimkan sinyal-sinyal secara sistemik untuk menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin khususnya sel hati. Resistin Resistin adalah hormon yang diekspresi dan disekresi oleh sel lemak. Ekspresi gen resistin diinduksi pada saat diferensiasi sel lemak. Resistin diperkirakan memiliki peran dalam obesitas dan resistensi insulin. TNF-

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


9

Sel lemak merupakan sumber dan target dari sitokin TNF-. Orang yang mengalami obesitas mengekspresikan mRNA TNF- 2-3 kali lebih banyak daripada orangbkurus. Kadar TNF- akan menurun dengan penurunan berat badan. Efek TNF- pada jaringan lemak yaitu penurunan eksresi transporter glukosa GLUT-4 dan peningkatan hormon lipase. TNF- memiliki potensi untuk mencetuskan resistensi insulin karena glukosa plasma yang masuk ke sel berkurang. 2. Resistensi insulin Perkembangan resistensi insulin pada sindrom metabolik disebabkan oleh banyaknya asam lemak bebas yang beredar di plasma pada orang dengan obesitas sentral.

Gambar 2. Patofisiologi gangguan pada sindrom metabolik

Berdasarkan gambar diatas, adanya resistensi insulin ini akan semakin meningkatkan pemecahan asam lemak bebas (lipolisis) di jaringan adiposa yang menyebabkan terjadinya beberapa gangguan pada sistem organ antara lain: Jaringan otot Terjadi penurunan ambilan glukosa (Glucose uptake) Hati Terjadi peningkatan pemecahan glukosa di hati (glukoneogenesis) Pankreas Terjadi peningkatan sekresi insulin oleh sel- pankreas

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


10

Pembuluh darah Terjadinya vasokonstriksi dan penurunan relaksasi pembuluh darah akibat penurunan Nitrit oxide.

Resistensi insulin dapat menyebabkan dislipidemia melalui peningkatan asam lemak bebas yang dapat meningkatkan sintesis dan sekresi apoB100 sebagai kofaktor dari trigliserid dan VLDL. Pada hipertrigliseridemia terjadi penurunan isi ester kolesterol dari inti lipoprotein menyebabkan penurunan isi kolesterol HDL dengan peningkatan beragam trigliserida menjadikan partikel kecil dan padat. Hal ini menyebabkan peningkatan bersihan HDL di sirkulasi.

Gambar 3. Patofisiologi dislipidemia pada sindrom metabolik

Hipertensi pada sindrom metabolik dapat disebabkan oleh mekanisme yang sulit dipisahkan satu sama lain karena adanya resistensi insulin dan obesitas. Adanya resistensi insulin akan mengganggu produksi endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS) sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


11

Gambar 3. Patofisiologi hipertensi pada sindrom metabolik

Selain itu, obesitas juga dapat menimbulkan hipertensi melalui beberapa mekanisme berikut: Pada individu obese terjadi peningkatan volume darah, stroke volume dan cardiac output sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular resistance pada individu obese yang dapat menimbulkan kondisi hipertensi Obesitas dikaitkan dengan disfungsi endotel, resistensi insulin, perubahan sistem saraf simpatik, dan pelepasan mediator proinflamasi (Tumor Necrosis Factor/TNF- dan Intrleukin/IL-6) sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular resistance

1.7

Evaluasi Klinis

Terhadap individu yang dicurigai mengalami Sindrom Metabolik dilakukan evaluasi klinis, yang meliputi: 1. Anamnesis, tentang : Riwayat keluarga dan penyakit sebelumnya. Riwayat adanya perubahan berat badan. Aktifitas fisik sehari-hari. Asupan makanan sehari-hari 2. Pemeriksaan fisik, meliputi : Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT)

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


12

Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap risiko kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip ratio. 3. Pemeriksaan laboratorium, meliputi : Kadar glukosa plasma dan profil lipid puasa. Pemeriksaan klem euglikemik atau HOMA (homeostasis model assessment) untuk menilai resistensi insulin secara akurat biasanya hanya dilakukan dalam penelitian dan tidak praktis diterapkan dalam penilaian klinis. Highly sensitive C-reactive protein Kadar asam urat dan tes faal hati dapat menilai adanya NASH. USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya fatty liver karena kelainan ini dapat dijumpai walaupun tanpa adanya gangguan faal hati. Penatalaksanaan2,10 Saat ini belum ada studi acak terkontrol yang khusus tentang penatalaksanaan Sindrom Metabolik. Berdasarkan studi klinis, penatalaksanaan agresif terhadap komponen Sindrom Metabolik dapat mencegah atau

2.8

memperlambat onset diabetes, hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Semua pasien yang didiagnosis dengan Sindrom Metabolik hendaklah dimotivasi untuk merubah kebiasaan makan dan latihan fisiknya sebagai pendekatan terapi utama. Penurunan berat badan dapat memperbaiki semua aspek Sindrom Metabolik, mengurangi semua penyebab dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Namun kebanyakan pasien mengalami kesulitan dalam mencapai penurunan berat badan. Latihan fisik dan perubahan pola makan dapat menurunkan tekanan darah dan memperbaiki kadar lipid, sehingga dapat memperbaiki resistensi insulin. 1. Latihan Fisik Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin didalam tubuh, dan merupakan target utama terjadinya resistensi insulin. Latihan fisik terbukti dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


13

didalam otot rangka. Pengaruh latihan fisik terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam 24 48 jam dan hilang dalam 3 sampai 4 hari. Jadi aktivitas fisik teratur hendaklah merupakan bagian dari usaha untuk memperbaiki resistensi insulin. Pasien hendaklah diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan derajat aktifitas fisiknya. Manfaat paling besar dapat diperoleh bila pasien menjalani latihan fisik sedang secara teratur dalam jangka panjang.

Kombinasi latihan fisik aerobik dan latihan fisik menggunakan beban merupakan pilihan terbaik. Dengan menggunakan dumbbell ringan dan elastic exercise band merupakan pilihan terbaik untuk latihan dengan menggunakan beban. Jalan kaki dan jogging selama 1 jam perhari juga terbukti dapat menurunkan lemak viseral secara bermakna pada laki2 tanpa mengurangi jumlah kalori yang dibutuhkan. 2. Diet Sasaran utama dari diet terhadap Sindrom Metabolik adalah menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus. Review dari Cochrane Database mendukung peranan intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Bukti-bukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet rendah sodium dapat membantu mempertahankan penurunkan tekanan darah. Hasil dari studi klinis, diet rendah lemak selama lebih dari 2 tahun menunjukkan penurunan bermakna dari kejadian komplikasi

kardiovaskular dan menurunkan angka kematian total. Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi karbohidrat terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut atau mencegah kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua. Studi dari the Coronary Artery Risk Development in Young Adults mendapatkan bahwa konsumsi produk2 rendah lemak dan garam disertai dengan penurunan risiko sindrom metabolik yang bermakna. Diet rendah lemak tinggi karbohidrat dapat meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


14

HDL kolesterol, sehingga memperberat dislipidemia. Untuk menurunkan hipertrigliseridemia atau meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien dengan diet rendah lemak, asupan karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti dengan makanan yang mengandung lemak tak jenuh

(monounsaturated fatty acid = MUFA) atau asupan karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik rendah. Diet ini merupakan pola diet Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan mortalitas penyakit

kardiovaskular. Suatu studi menunjukkan adanya korelasi antara penyakit kardiovaskular dan asupan biji-bijian dan kentang. Para peneliti

merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian, buah-buahan dan sayuran untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Efek jangka panjang dari diet rendah karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka pendek, terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL-cholesterol dan menurunkan berat badan. Pilihan untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah dengan mengganti makanan yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan indeks glikemik rendah yang banyak mengandung serat. Makanan dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan kadar glukosa post prandial dan insulin. 3. Medikamentosa Obat-obatan dapat dipakai sebagai bagian pengaturan berat badan. Obat yang dapat diberikan adalah sibutramin dan orlistat. Sibutramin bekerja disentral memberikan efek mengurangi asupan energi melalui efek memberikan rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi. Demikian pula dengan efek metabolik, sebagai efek penurunan berat badan pemberian sibutramin setelah 24 minggu yang disertai dengan diet dan aktifitas fisik, memperbaiki kolesterol HDL dan kadar trigliserida. Untuk hipertensi pada sindrom metabolik, dapat digunakan golongan ACE-inhibitor yang memiliki makna dalam meregresi hipertrofi ventrikel. Selain itu, valsartan sebagai penghambat reseptor angiotensin dapat mengurangi albuminuria yang diketahui sebagai faktor risiko independen kardiovaskular. Tiazolidindion juga memilki pengaru persisten dalam

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


15

menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan kadar asam lemak bebas. Pada diabetes prevention program, penggunaan metformin dapat mengurangi progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan obesitas. Pilihan terapi untuk dislipidemia selain dengan modifikasi gaya hidup adalah dengan pemberian obat. Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tapi juga menurunkan risiko kardiovaskuler. Fenofibrat juga secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL, telah meningkatkan perbaikan profil lipid yang sangat efektif dan mengurangi risiko kardiovaskular.

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


16

BAB III KESIMPULAN


Sindrom metabolik adalah kelompok berbagai komponen faktor risiko yang terdiri dari hipertensi, gangguan toleransi glukosa, obesitas sentral dan dislipidemia yang ditandai dengan meningkatnya trigliserida dan menurunnya kolesterol HDL yang dapat menimbulkan konsekuensi klinik yang serius berupa penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati non-alkoholik. Sindrom metabolik dapat didiagnosis dengan menggunakan kriteria NCEP ATP dengan modifikasi. Faktor resiko yang mendasari terdiri dari faktor genetik, diet, inaktifitas fisik dan usia. Patofisologi mendasar terjadinya gangguan adalah obesitas sentral dan resistensi insulin. Tindakan pengobatan sangat bermanfaat untuk mencegah manifestasi klinis akibat perkembangan penyakit.

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


17

DAFTAR PUSTAKA
1. Bethene, Ervin. Prevalence of Metabolic Syndrome Among Adults 20 Years of Age and Over, by Sex, Age, Race and Ethnicity, and Body Mass Index: United States, 20032006. 2009. Division of Health and Nutrition Examination Surveys 2. Sugondo, Sidartawan. Sindrom Metabolik dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. 2006: pg 1871-1872 3. Amy Z. Fan. Etiology of the Metabolic Syndrome. 2007. Current Cardiology Review pg. 232-239 4. Aquilante, Christina and Joseph P. Vande Griend. Metabolic syndrome. 2008. BCPS 5. Sherwood, Lauralee. Organ endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem hal. 661-667. 2006. EGC 6. Mallos, Crina Frincu. Endothelial Dysfunction in Metabolic Syndrome May Predict Cardiovascular Risk. 2008. NJHS,Baltimore, Marylan. 7. Renaldy,oly. Peran adinopektin terhadap kejadian resistensi insulin pada Sindrom metabolik. 2009. FK. UGM 8. Nurtanio, Natasha&Sunny Wangko. Resistensi insulin pada obesitas sentral. 2006. BLK Biomed,.Volume 3:89-96 9. Sutomo Kasiman. Pengaruh Makanan Pada Sindrom Metabolik 2011. J Kardiol Indones;32:24-26 10. Scott M,G et al. Diagnosis and Management of the Metabolic Syndrome. An American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute Scientific Statement. 2008:1823-1835

Yesterday we learn...Today we practice and Tomorrow we achieve...


18

Você também pode gostar