Você está na página 1de 5

TUGAS FILSAFAT LINGKUNGAN Tema : ETIKA LINGKUNGAN

Dosen Dr.Ir. Bambang Joko Priatmadi, MP. Mahasiwa Eddy Elminsyah Jaya NIM 117150100111004

PROGRAM DOKTOR KAJIAN LINGKUNGAN DAN PEMBANGUNAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2011

ETIKA LINGKUNGAN Sumber dari segala permasalahan lingkungan hidup sekarang ini sebagian besar bersumber pada perilaku manusia. Perilaku manusia yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri menjadi faktor utamanya. Kasus-kasus ini tidak saja menyangkut orang per orang tetapi juga kumpulan manusia yang terlibat dalam jajaran birokrasi. Adanya peribahasa Tidak ada kebijakan tanpa ada kepentingan uang membuat lingkungan menjadi korban. Lingkungan tidak menjadi prioritas bahkan dari perumusan kebijakan pun selalu saja berpijak pada kepentingan jangka pendek (pertumbuhan ekonomi) dengan menepikan pentingnya fungsi lingkungan. Sebagai contoh sampai sekarang indikator dari pertumbuhan suartu daerah selalu dikaitkan dengan berapa besar faktor produksi, faktor konsumsi dan faktor transportasi yang telah dicapai sehingga selalu menciptakan jurang (gap) dengan kualitas lingkungan hidup. Indikator kemakmuran (wealth) selalu dihubungkan dengan indikator ekonomi moneter seperti cadangan logam mulia (gold stock), Nilai mata uang, Indeks Bursa Efek, Pendapatan Nasinoanl Bruto, pendapatan perkapita dll sehingga menutup ruang indeks kulaitas lingkungan hidup sebagai salah satu tolak ukur kemakmuran. Kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya dalam hubungannya dengan alat dan ruang manusia di dalam ekosistem melahirkan perilaku yang menyimpang dari prinsi-prinsip kesimbangan alam. Tidak bersatunya cara pikir dan perilaku antara manusia dengan alam membuat manusia keliru dalam menempatkan diri dengan alam semesta. Sebagai pemecah kebuntuan dalam menghadapi perosalan diatas diperlukan suatu pedoman hidup, cara pandang dan kebiasaan yang bisa membuat hubungan timbal balik antara manusia dengan alam menjadi selaras, harmonis dan semibang atau biasa disebut dengan Etika Lingkungan. Etika lingkungan lahir atas dasar semua krisis ekologi yang terjadi sehingga dalam etika ini menawarkan paradigma baru terhadap lingkungan hidup atau alam yang bisa dianggap sebagai solusi terhadap krisis ekologi. Untuk memahami etika lingkungan , kita dapat membedakan tiga model etika lingkungan yaitu yang dikenal sebagai Shallow Enviromental Ethics, Intermediate Envoromental Ethics Dan Deep Enviromental Ethics. Ketiga teori ini secara singkat dikenal pulsa sebagai Antroposentrisme, Biosentrisme dan Ekosentrisme. Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Di dalam teori ini hanya manusia dan kepentingannya menjadi satu-satunya alat ukur. Alam hanya dipandang sebagai objek,alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Manusia bebas mengektraksi alam tanpa memandang hak alam dalam rangka memenuhi kepentingan selama hidupnya. Selain sifatnya yang antroposentris , etika ini juga bersifat instrumentalistik dalam pengertian pola hubungan manusia dan alam hanya dilihat dalam relasi instrumental. Alam dinilai sebagai alat untuk pentingan manusia dan kalaupun manusia peduli terhadap alam itu semata-mata demi menjamin kebutuhan hidup manusia bukan karena pertimbangan bahwa alam itu sebenarnya mempunyai nilai sehingga pantas dilindungi. Akar dari etika antroposentrisme dianggap bersumber dari tradisi pemikiran liberal yang berasal dari agama kristen. Ini bisa dilihat dari Kitab Kejadian Pasal 1 : 26-

28 dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia secitra dengan Allah pada hari keenam sebagai puncak dari seluruh karya ciptaan-Nya, selanjutnya Allah menyerahkan alam semesta beserta isinya kepada manusia untuk dikuasai dan ditaklukan. Ajaran ini telah ditafsirkan bahwa Allah memberi kewenangan penuh kepada manusia untuk mengeksploitasi alam demi kepentingannya. Kemudian tokoh yang dianggap memberikan sumbangsih dalam etika ini yaitu Thomas Aquinas dengan fokus utama pada rantai kehidupan (the great chain of being). Menurut buku ini semua kehidupan di bumi membentuk dan berada dalam rantai kesempurnaan kehidupan , mulai dari bentuk kehidupan sederhana samapai kepada yang Maha Sempurna. Manusia dalam posisi ini menempati posisi yang paling mendekati Maha Sempurna sehingga dianggap superior dibandingkan ciptaan lainnya. Pola pikir etika seperti ini disepakati pula oleh tokoh lainnya dengna pernyataan manusia memiliki tempat paling istimewa diantaa makhluk lainnya (Rene Descartes) dan hanya manusia yang merupakan makhluk rasional (Imanuel Kant ). Teori etika inilah yang dituding banyak kaum filosof dan ilmuwan sebagai sumber dari semua krisis ekologi yang terjadi baik di masa lampau maupun di masa sekarang. Sebagai kritik dari teori antroposentrisme maka terciptalah teori etika biosentrisme yang menyatakan bahwa tidak benar hanya manusia yang mempunyai nilai namun alam juga memiliki nilai terlepas dari asas kepentingan manusia. Ciri utama dari etika ini menganggap bahwa setiap makhluk hidup tanpa kecuali memunyai nilai dan berharga bagi dirinya sendiri sehingga pantas untuk mendapatkan pertimbangan dan kepedulian moral. Dengan demikian, etika ini memuat perluasan dari atroposentrisme dimana tidak hanya terbatas dan sempit kepada komunitas manusia saja namun berlaku bagi seluruh komponen biotis, termasuk komponen manusia dan komunitas makhluk hidup lainnya. Salah satu tokoh yang berperan dalam argumen biosentrisme adalah Albert Schweitzer, Pemenang Nobel Tahun 1952. Beliau adalah seorang dokter dan filsuf yang tinggal dan mengabdi sebagai dokter di Afrika. Menurutnya etika ini bersumber pada kehidupan yang merupakan hal yang sakral. Argumennya yang terkenal terucap saya menjalani kehidupan yang menginginkan tetap hidup di tengah kehidupan yang menginginkan untuk tetap hidup. Pendapat ini didukung oleh Paul Taylor yang menyatakan bahwa biosentrisme didasarkan atas pada keyakinan yang melahirkan pemahaman bahwa manusia hanya makhluk biologis yang sama dengan makhluk biologis lainnya atau secara biologis manusia sama dengan makhluk hidup lainnya. Teori ini menciptakan suatu keyakinan yang membuat manusia menjadi lebih netral dalam memandang semua makhluk hidup dengan segala kepentingannya. Tentu saja manusia akan selalu memandang semua makhluk hidup dengan kepentingannya namun dengan keyakinan manusia akan lebih terbuka untuk mempertimbangkan dan memperhatikan kepentingan makhluk hidup lainnya secara serius khususnya ketika ada benturan kepentingan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Inti dari teori biosentrisme adalah pada komunitas biotis yang memiliki bobot dan perilaku moral yang sama tanpa kecuali. Dari beberapa kasus lingkungan yang terjadi ternyata yang luput menjadi perhatian dalam teori antroposentrisme dan biosentrisme adalah komponen abiotik atau yang disebut benda yang statis dan tidak hidup seperti batu, air , tanah, udara dan sejenisnya yang sebenarnya berperan penting dalam terjadinya kasus ekologi yang terjadi. Ekosentrisme merupakan sebuah paradigma baru dalam etika lingkungan yaitu

memperluas cakupan etika dari biosentrisme yang tidak hanya terfokus pada komunitas biotik saja namun diperluas dalam komunitas yang luas termasuk alam semesta dan isinya (biotik dan abiotik). Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada komponen hidup (biotik) , ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis baik yang hidup maupun tidak. Oleh karena itu kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup saja namun juga berlaku terhadap semua realitas ekologis. Akar dari etika ini sebenarnya bersumber dari pengaruh taoisme, zen dan budhisme. Namun dalam konteks kemodernan ajaran ini dipopulerkan oleh Arne Naess seorang filsuf Norwegia tahun 1973. Sebuah istilah Deep Ecology dipopulerkannya melalui artikelnya yang berjudul The Shallow and the deep , long range ecological movement : A Summary. Etika lingkungan yang dipopulerkan dalam istilah Deep Ecology adalah sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan artinya prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam sebiah aksi yang nyata dan kongkret. Etika baru ini menuntut suatu pemahaman yang baru tentang relasi etis yang ada dalam semesta ini disertai adanya prinsip-prinsip baru sejalan dengan relasi etis yang kemudian diterjemahkan dalam gerakan atau aksi yang nyata di lapangan. Filsafat pokok dari Deep Ecology disebut Naess sebagai ecosophy. Ecospohy diartikan sebagai kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga yang luas.Dalam hal ini ecosophy meliputi suatu pergeseran dari sekedar sebuah ilmu (science) menjadi sebuah kearifan (wisdom). Ecosophy menjadi sebuah filsafat yang selalu mengajukan pertanyaan paling dalam dan fundamental yaitu pertanyaan yang mencakup nilai, etika termasuk di dalamnya kebijakan politik dan ekonomi yang harus selalu menyelaraskan dengan semua kepentingan ekologi di dalamnya. Jika dilhat dari ketiga etika diatas sebenarnya krisis ekologi yang tercipta sebenarnya adalah suatu hasil atau dampak dari perubahan gaya hidup manusia yang manifestasinya adalh pola produksi dan konsumsi yang sangat eksesif dan tidak ekoligis. Hal ini disebabkan kemajuan ekonomi dan industri modern telah mempromosikan gencar suatu pola hidup konsumeristis. Kesalahan fatal oleh ekonom menganggap bahwa ekonomi adalah segala-galanya sehingga tercipta kesalahan reduksionistis yang mereduksi kehidupan manusia dan maknya hnays ebatas makna ekonomis sehingga apapaun yang menjadi sumber ekonomi dikesploitasi yang berarti semakin banyak pengrusakan dan pencemaran trhadap lingkungan. Asumsi bahwa kerusakan lingkungan hanya bersifat teknis yang tidak membutuhkan perubahan kesadaran manusia dan sistem ekonomi sehingga ekonom selalu dibenci oleh pemerhati dan aktivis lingkungan (ekolog). Simpulan dari tulisan ini bahwa etika lingkungan itu perlu dan wajib menjadi pertimbangan dan selalu dinamis dalam memecahkan semua permasalahan lingkungan yang terjadi. Etika lingkungan membutuhkan evaluasi kritis atas semua dan seluruh situasi terkait dalam hal penanganan yang cepat sehingga etika membutuhkan berbagai disiplin ilmu untuk bisa sampai pada keputusan moral yang benar sehingga etika lingkungan bisa juga dianggap sebuah ilmu interdisipliner. Di satu sisi ia bertumpu pada moral dan nilai yang diberika etika di pihak lain ian mengandalkan kajian dari ilmu lain untuk mengambil dan mengaevaluasi suatu kebijakan atau tindakan yang akan diambil.

Daftar Pustaka

Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan.Kanisus. Jakarta Magnis-Suseno, Franz. 1987.Etika Dasar : Masalahj-masalah Pokok Filsasat Moral. Kanisius. Jakarta www.suplirahim.multiply.multiplycontent.com/Etika Lingkungan dan Persfektif Filsafat.html

Você também pode gostar