Você está na página 1de 15

ANALISIS PUTUSAN NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 Oleh: Abdullah Muhsin Assegaf S.H. (116010200111054) a.

Pendahuluan Sejak awal diproduk dan diberlakukan di masyarakat, kehadiran UU BHP mengundang penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Bagi kelompok yang menolak, mereka ini berpendapat, bahwa UU BHP merupakan pisau bermata dua, yang kedua-dua sangat berbahaya, jika tidak disikapi dengan benar, arif, obyektif, dan proporsional. Pengaturan atau regulasi pendidikan (BHP) ini sepertinya cukup menjanjikan bagi masa depan dunia pendidikan, namun sebenarnya dapat memproduk efek yang membuat luka bagi masyarakat, yang luka ini tidak bisa dianggap ringan oleh pemerintah, karena berhubungan dengan hak pendidikan masyarakat (education right) miskin. Diingatkan oleh Fahmi Ahmad1, bahwa Undang-Undang (UU) No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) memang telah menimbulkan perdebatan panjang. Tidak sedikit yang menghakimi, kalau UU BHP membatasi, bahkan menciptakan garis demarkasi yang secara tidak langsung melarang anak orang miskin masuk universitas negeri (PTN) atau lembaga-lembaga pendidikan berbiaya mahal, walau banyak dari mereka yang cerdas (berbakat). Pendidikan merupakan bagian esensial dari hak asasi manusia, yang diselenggarakan oleh setiap negara demi tercapainya cita-cita nasional negara yang bersangkutan. Indonesia mengakui dan melindungi hak asasi tersebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) sebagai konstitusi negara, yaitu pada alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945 dan Pasal 31 UUD Tahun 1945. Pengaturan pendidikan dalam konstitusi negara menimbulkan hak konstitusional bagi setiap rakyat Indonesia dan kewajiban konstitusional bagi negara, yaitu setiap warga negara berhak untuk mendapatkan untuk pendidikan sedangkan negara dan berkewajiban mengusahakan, menyelenggarakan,

1 Fahmi Ahmad, Neokapitalisme Pendidikan, makalah disampaikan dalam diskusi di Yayasan Permata Hati Malang, 3 April 2010, hlm. 2.

membiayai pendidikan serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Amanat UUD Tahun 1945 bidang pendidikan ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan diganti lagi menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas mengharuskan penyelenggara pendidikan formal baik yang didirikan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Ketentuan mengenai badan hukum pendidikan diatur dalam undang-undang tersendiri, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas. Pasal 53 UU Sisdiknas ini merupakan pijakan bagi terbentuknya UndangUndang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Lahirnya UU BHP pada tanggal 16 Januari 2009 bersifat kontroversial dan menimbulkan pro-kontra dari berbagai elemen masyarakat. Kontroversi timbul sebagai akibat adanya ketentuan unifikasi bagi penyelenggaraan pendidikan termasuk mengenai tata kelola, komersialisasi pendidikan terkait adanya otonomi pengelolaan pendidikan dengan berprinsip nirlaba dan pengelolaan dananya secara mandiri yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan. Ketentuan unifikasi dan otonomi pendidikan menimbulkan kekhawatiran terjadi pengalihan kewajiban negara kepada pihak swasta. Kontroversi UU BHP mengakibatkan banyaknya perkara permohonan pengujian terhadap UU BHP yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Kontroversi ini mencapai puncaknya pada tanggal 31 Maret 2010 ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan judicial review terhadap UU Sisdiknas dan UU BHP dalam Putusan Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan atas permohonan pengujian undangundang baik pengujian secara formil maupun materiil (judicial review) yang diajukan pada tanggal 16 Februari 2009, 25 Februari 2009, 1 April 2009 dan 5 Oktober 2009.

b. Posisi Kasus Ketika Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan di undangkan banyak pihak yang menentangnya tidak hanya para masiswa tetapi juga praktisi pindidikan dan akademisi. Mereka beranggapan bahwa undang-undang BHP akan memperusilit masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Badan hukum pendidikan juga berpotensi menjadikan lembaga pendidikan sebagai mesin pendulang uang dengan begitu arah kebijakan pendidikan menjadi kebijakan kapitalisme. Biarpun salah satu pasalnya menyatakan tidak untuk mencari laba (not profit orientet)2 tetapi hal itu tidak bisa menjadi sebuah jaminan. Oleh sebab itu beberapa perwakilan masyarakat mengajukan judicial review ke MK. Ada 5 kelompok perwakilan masyarakat yang mengajukan Judicial Review ke MK, yaitu; a. Permohonan Pemohon I 1. Aep Saepudin, lahir di Tasikmalaya, 1 Juli 1957, pekerjaan Wiraswasta, beralamat di Kp. Sukaruas RT 004 RW 001, Desa Sukaraji, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya. 2. Kristiono Iman Santoso, lahir di Yogyakarta, 11 September 1959, pekerjaan wiraswasta, beralamat di Depok Maharaja Blok M 3/39 RT 02 RW 16, Rakepanjaya, Pancoranmas, Depok. 3. Sandi Sahrinnurrahman, S.TP, lahir di Bogor, 15 November 1973, pekerjaan Guru/Dosen, beralamat di Kampung Jiwananya Nomor 44, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. 4. Mega Yuliana Lukita BT Luki, lahir di Karawang, 30 Oktober 1988, pekerjaan Mahasiswa, beralamat di RT 03 RW 1 Desa Jatirangas, Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang. 5. Dai, lahir di Pamekasan, 16 Mei 1980, pekerjaan Mahasiswa, Desa Banyupelle, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan, Madura. Perkara No. 11/PUU-VII/2009 atau Para

2 Lihat pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan

6. A.Shalihin

Mudjiono,

lahir

di

Sampang,

27

Maret

1983,

pekerjaan Mahasiswa, beralamat di Jalan Budi Mulia RT 006 RW 11, Pademangan Barat, Jakarta Utara. 7. Eruswandi, lahir di Sukabumi, 7 September 1984, pekerjaan Mahasiswa, beralamat di Kp. Sindang Palay RT 002 RW 005, Desa Pangauban, Kecamatan Katapang, Kabupaen Bandung. 8. Utomo Dananjaya, lahir di Kuningan, 6 Februari 1936, pekerjaan Direktur IER Paramadina, beralamat di Casablanca Mansion RT 004 RW 005, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. 9. RR.Citra Retna S, lahir di Malang, 6 September 1971, pekerjaan Pengurus Pattiro, beralamat di KPP IPB, Barangansiang 4 Blok B Nomor 66.Tanah Baru, Bogor Utara. 10. Yanti Sriyulianti, lahir di Bandung, 10 Juli 1969, pekerjaan Swasta, beralamat di Kalibata Utara Nomor 22, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan. 11. Suparman, lahir di Jakarta, 29 September 1963, pekerjaan Guru, beralamat di Jalan Bambu Apus Nomor 24 RT 010 RW 003, Bambu Apus, Jakarta Timur. Para Pemohon I ialah warga negara Indonesia yang mengatas namakan dirinya sebagai orang tua dari anak-anaknya yang masih mengikuti pendidikan Perkara sehingga No. harus menanggung atau biaya Para pendidikan anak-anaknya. b. Permohonan Pemohon II 1. Aminudin Maruf, lahir di Karawang, 27 Juli 1986, beragama Islam, Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), beralamat di Jalan sunter I RT010/001, Kelurahan Pulogadung, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. 2. Naufal Azizi, lahir di Gresik, 26 November 1989, beragama Islam, pekerjaan Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), beralamat di Jalan Manggis Nomor 1 RT 002/006, Wadeng, Sedayu, Gresik. 3. Senja Bagus Ananda, lahir di Temanggung, 6 Januari 1988, beragama Islam, pekerjaan Mahasiswa Universitas Indonesia 14/PUU-VII/2009

(UI),

beralamat

di

Desa

Umumbalong,

Kecamatan

Dukupuntung, Kabupaten Cirebon. Para Pemohon II ialah warga negara Indonesia yang statusnya sebagai orang tua dari anak-anaknya yang masih mengikuti pendidikan c. Permohonan Pemohon III 1. Yura Pratama Yudistira, lahir di Jakarta, 1 Januari 1987, pekerjaan Mahasiswa Universitas Indonesia, beralamat di Jalan S Nawi I Nomor 27, Kompleks BPKP RT 005 RW 001, Kelurahan Cempaka Tangerang. 2. Fadiloes Bahar, lahir di Jakarta, 15 Februari 1965, pekerjaan Guru, beralamat di Jalan Keroncong Permai DP4/02 RT 008 RW 02, Kelurahan Keroncong, Jatiuwung Kota Tangerang. 3. Lodewijk F. Paat, lahir di Manado, pekerjaan Dosen Universitas Negeri Jakarta, beralamat di Jalan Kunci Nomor 7, RT 12 RW 02, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. 4. Jumono, lahir di Jakarta, 24 April 1965, pekerjaan Swasta, orang tua murid, beralamat di Jalan Rawamangun Muka Barat D-5, RT 09 RW 12, Kelurahan Rawamangun, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. 5. Zaenal Abidin, lahir di Tangerang, 8 Oktober 1967, pekerjaan pegawai swasta, orang tua murid, beralamat di Jalan Kampung Cengkok RT 03, RW 02, Desa Sentul, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang. 6. Yayasan Sarjana Wiyata Tamansiswa, yayasan yang didirikan berdasarkan hukum negara Republik Indonesia, berkedudukan di Yogyakarta, dalam hal ini diwakili Adi Susanto, lahir Banjar, 9 April 1940, pekerjaan Dosen Universitas Gajah Mada Yogyakarta, beralamat di Jalan Skip Blok N Nomor 11, RT 03, RW 17, Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta. 7. Sentra Advokasi Untuk Hak Pendidikan Rakyat (SAHdaR), perkumpulan yang didirikan berdasarkan hukum Republik Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Kabupaten Perkara No. 21/PUU-VII/2009 atau Para

Indonesia, berkedudukan di Medan, dalam hal ini diwakili Arif Faisal, lahir di Padang Sidempuan, 21 Juli 1973, pekerjaan Advokat, beralamat di Jalan Durung Nomor 14 LK VIII, Kelurahan Sudirejo, Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan. 8. Pusat Kajian Belajar Masyarakat (PKBM) Qaryah Thayyibah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yang didirikan berdasarkan hukum Republik Indonesia, berkedudukan di Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, dalam hal ini diwakili Bahrudin, lahir di Kabupaten Semarang, 9 Februari 1965, pekerjaan Pegawai Swasta, beralamat di Kali Bening, RT 04 RW 01, Kelurahan Kali Bening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. 9. Serikat Rakyat Miskin Kota, perkumpulan yang didirikan berdasarkan hukum Republik Indonesia, berkedudukan di Jakarta, dalam hal ini diwakili oleh Marlo Sitompul, lahir di Jakarta, 21 Desember 1983, pekerjaan Pegawai Swasta, beralamat di Kampung Pedongkelan, RT 007 RW 15, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Para Pemohon III ialah warga negara Indonesia yang statusnya ialah orang tua anak-anaknya, mahasiswa, dan pekerja bantuan hukum negara. d. Permohonan Perkara No. 126/PUU-VII/2009 atau Pemohon IV 1. Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Asosiasi BPPTSI atau ABPPTSI), beralamat di Kampus C Trisakti, Jalan Jenderal Ahmad Yani-By Pass Kav. 85, Jakarta Timur (13210). 2. Yayasan Pusat. 3. Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, beralamat di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 4. Yayasan Perguruan Tinggi As-Syafiiyah, beralamat di Jalan Raya Jatiwaringin Nomor 12, Pondok Gede, Jakarta Timur. Rumah Sakit Islam Indonesia (Yayasan Yarsi), beralamat di Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta yang memperjuangkan hak-hak konstitusional warga

5. Yayasan Trisakti, beralamat di Gedung C, Kampus C Trisakti, Jalan Jenderal Ahmad Yani Kav. 85, By-Pass, Jakarta Timur. 6. Yayasan (12640). 7. Yayasan Universitas Surabaya, beralamat di Jalan Ngagel Jaya Selatan Nomor 169, Surabaya 60284 8. Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK), beralamat di Gedung Universitas Nasional, Jalan Sawo Manila Nomor 61 Pejaten, Jakarta Selatan (12520). 9. Yayasan Universitas Profesor Doktor Moestopo, beralamat di Jalan Hang Lekir I Nomor 8, Jakarta Pusat. 10. Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (YPLP-PGRI), beralamat di Jalan Tanah Abang III Nomor 24, Jakarta Pusat. 11. Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia, beralamat di Jalan Cut Meutia Nomor 10, Jakarta Pusat. 12. Yayasan Mardi Yuana, beralamat di Jalan Laksamana R. E. Martadinata Nomor 52, Sukabumi. 13. Majelis Pendidikan Kristen Di Indonesia (MPK), beralamat di Kompleks Ruko Taman Pondok Kelapa Blok D-13, Jalan Raya Pondok Kelapa, Jakarta Timur. 14. Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTK Satya Wacana), beralamat di Jalan Diponegoro Nomor 60, Salatiga 50711, Jawa Tengah. Pemohon IV ialah warga negara Indonesia yang statusnya sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. e. Permohonan Pemohon V 1. Harry Syahrial, pekerjaan wiraswasta, beralamat di Jalan Flamboyan Nomor 46-A, RT. 009 RW 002, Bendungan Jago, Kemayoran, Jakarta Pusat ; 2. Heru Narsono, wiraswasta, beralamat di JalanEkor Kuning Raya Nomor 33, Rawamangun, Jakarta Timur; Perkara No. 136/PUU-VII/2009 atau Para Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila, beralamat di Jalan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan

3. Tayasmen Kaka, guru, beralamat di Jalan Pemuda II Nomor 30 RT 006 RW 002, Rawamangun, Jakarta Timur; Para Pemohon V ialah warga negara Indonesia yang statusnya sebagai orang tua dari anak-anaknya. Menurut ketentuan pasal 51 ayat (1) UU MK pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu; a. Perseorangan warga negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republic Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum privat atau public, atau; d. Lembaga negara. Hak konstitusional yang dimaksud ialah hak-hak yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 066/PUU-VII/2005 dan putusan-putusan selanjutnya, memberikan penafsiran terhadap pasal 51 ayat (1) UU MK terkait dengan hak konstitusional ialah; a. Harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan actual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, d. Ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian, e. Ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud tidak akan atau tidak lagi terjadi. C. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena

dinilai melanggar UUD 1945. MK menilai, UU BHP ini dinilai oleh MK bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dikabulkan permohonan pemohon untuk itu, Ketua Majelis Hakim MK Mahfud MD saat membacakan putusan uji materiil UU BHP dan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) menilai, UU BHP menyeragamkan bentuk badan hukum pendidikan sehingga mengabaikan bentuk badan hukum lainnya seperti yayasan, wakaf, dan sebagainya.3 Selain itu, penyeragaman juga mengakibatkan orang miskin tidak bisa mengakses pendidikan. Padahal, hal itu diamanatkan secara tegas dalam UUD 1945, yang menyebutkan, bahwa setiap warga negara jika berhak memperoleh pendidikan dari yang layak. Kelayakan yang pendidikan memang masih sering menimbulkan bias tafsir, terutama yang menafsirkan berasal pengelola pendidikan berorientasi pengejaran dan pengumpulan keuntungan materialistik.4 Realitasnya selama ini, tafsir kepentingan bercorak pengejaran dan pembenaran kepentingan kapitalistik, seperti memburu dan mengumpulkan dana dari calon mahasiswa atau siswa sebanyakbanyaknya atas nama otonomi perguruan tinggi atau lembaga pendidikan, sulit dikendalikan di masyarakat. Tafsir demikian ini sudah jelas bertentangan dengan prinsip hukum yang secara fundamental menetapkan kalau setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sederajat atau egalitarian. Ketidaksederajatan dalam perlakuan hukum, akan melahirkan ketidak-adaban, ketidakmanusiaan, dan ketidak-adilan. Kalau kondisi demikian yang menang di masyarakat, maka kehidupan masyarakat menjadi akrab dengan kesenjangan, keterbelakangan, ketertinggalan, dan kebodohan.5 UU BHP adalah produk hukum kontroversial yang ditentang banyak fihak sejak awal, bahkan sebelum UU tersebut ditetapkan. Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas memerintahkan semua penyelenggara pendidikan formal harus berbentuk badan hukum pendidikan. Dan Pasal 53 ayat (4) menetapkan ketentuan tentang badan hukum
3 4 5

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=249914MK Batalkan UU BHP Fahmi Ahmad, Op.Cit, hlm. 4. Abdul Wahid, Kearifan Bernegara, (Surabaya: Mahisrsindo Persada, 2010), hlm.

45.

pendidikan diatur dalam UU tersendiri. Perintah itulah yang kemudian melahirkan UU No 9 tahun 2009. Karena kelahiran UU tersebut terlalu dipaksakan, tanpa konsep serta tujuan yang jelas, serta tanpa pemahaman mendalam tentang filosofi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UUD, maka lahirlah UU cacat yang bertentangan dengan hukum dasar Negara. UU BHP menjadi catatan hitam dalam sejarah perundangundangan Indonesia karena dibatalkan MK sebelum UU tersebut dilaksanakan. Rakyat Indonesia terutama para penyelenggara pendidikan seharusnya bersyukur kepada Yang Maha Kuasa karena melalui pembatan tersebut MK telah memperlihatkan tekadnya untuk menjaga agar semua UU yang dihasilkan oleh DPR dan Pemerintah agar selalu berjalan di atas relnya yaitu UUD 1945. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi pada Rabu 30 Maret 2010 telah membuat keputusan bersejarah bagi Bangsa Indonesia. MK menyatakan UU No 9 tahun 2009 tentang BHP bertentangan dengan UUD NRI 1945 (Putusan No 9). Karenanya UU tersebut sejak 30 Maret 2010 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (Putusan 10). Rapat tersebut juga menetapkan Penjelasan Ps 53 (1) UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945 (Putusan 5) dan karenanya Penjelasan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (Putusan 8). MK berkesimpulan penyeragaman badan hukum penyelenggara pendidikan telah menghilangkan hak hidup yayasan, perkumpulan, badan wakaf serta badan hukum lainnya, walau pun mereka telah sangat berjasa dalam pembangunan pendidikan nasional. MK juga berpendapat beberapa pasal dalam UU Sisdiknas tidak menjamin kesamaan akses berbagai golongan masyarakat terhadap pendidikan dan telah mereduksi kewajiban konstitusional dan tanggungjawab Negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu MK menetapkan Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dikoreksi atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusan setebal 403 halaman, MK memberikan 5 (lima) alasan mengapa MK menggugurkan eksistensi BHP, yaitu:6 1. UU BHP mempunyai banyak kelemahan baik secara yuridis, kejelasan maksud dan keselarasan dengan UU lain. 2. UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Tapi, realitasnya kesamaan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tak berarti semua PTN mempunyai kesamaan yang sama.

3. Pemberian otonomi kepada PTN akan berakibat beragam. Karena


lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha di tiap daerah. Hal ini akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan.

4. UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan


menimbulkan kepastian hukum. UU BHP bertentangan dengan pasal 28D ayat (1), dan Pasal 31 UUD 1945. 5. Prinsip nirlaba tak hanya bisa diterapkan dalam BHP tapi juga dalam bentuk badan hukum lainnya. Hakim Konstitusi Harjono menjelaskan bahwa MK menyatakan UU BHP mempunyai banyak kelemahan baik dari aspek yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasan dengan UU lain. UU BHP mendasarkan pada asumsi bahwa penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan yang sama untuk melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam UU BHP meskipun diberi batas waktu selama enam tahun untuk menyesuaikan dengan UU BHP. Hal demikian tanpa melihat realitas bahwa kesamaan status sebagai perguruan tinggi negeri (PTN) saja tidak berarti secara serta-merta semua terlihat.7 Sementara itu, Harjono juga menuturkan adanya ketentuan penyelenggaraan pendidikan harus dalam satu bentuk badan hukum
6

PTN

di

Indonesia

mempunyai

kemampuan

yang

sama.

Perbedaan kemampuan antara PTN-PTN di Indonesia sangatlah jelas

Lihat Putusan Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 MK, diakses dari

Sawali Tuhusetya, UU BHP Pasca-Keputusan www.google.com, tanggal 16 Nopember 2011

tertentu saja sebagaimana ditetapkan dalam UU BHP bagi sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM) dengan cara melarang bentuk perserikatan dan perkumpulan adalah jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945. Di samping tidak boleh melanggar konstitusi, sistem pendidikan nasional seharusnya memberi ruang kepada potensi yang masih eksis sebagai modal nasional dalam penyelenggaraan pendidikan yang terbukti pada masa lalu dengan segala keterbatasan, justru mampu menjadi tulang punggung pendidikan bangsa dan potensi tersebut masih mempunyai hak hidup secara konstitusional.8 Sedangkan mengenai sekolah swasta, MK berpendapat bahwa sekolah-sekolah swasta yang dikelola dengan keragaman yang berbeda telah turut berjasa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Di luar peran sertanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, lanjut Harjono, yang paling harus dihargai oleh negara ialah sekolah-sekolah swasta turut menjadi pelopor dan pembangkit semangat nasional dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu negara seharusnya memberdayakan sekolah-sekolah swasta tersebut supaya bersama-sama dengan pemerintah menjadi mitra dalam memajukan pendidikan nasional. Mengenai perlunya penyeragaman penyelenggaraan pendidikan, MK tidak menemukan alasan yang mendasar diperlukannya penyeragaman penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam bentuk badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam UU BHP. Keperluan praktis dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan tidak cukup menjadi alasan pembenar untuk mengurangi hak konstitusional warga negara. Penyeragaman bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM), tidak sesuai dengan ramburambu yang telah ditetapkan oleh MK dalam putusan perkara Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007. Hal tersebut melanggar hak konstitusional para Pemohon sehingga dalil-dalil para Pemohon dalam perkara Nomor 126/PUU-VII/2009 beralasan karena pada intinya para Pemohon berkeberatan atas penyeragaman yang diatur dalam UU
8

Ibid.

BHP.

Selain

itu,

MK

juga

berpendapat badan

bahwa

UU

BHP

yang yang

menyeragamkan

bentuk

hukum

hukum pendidikan

diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM) adalah tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh MK dalam putusan perkara Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007. Hal tersebut juga telah melanggar hak konstitusional para Pemohon sehingga dalil-dalil para Pemohon dalam perkara Nomor 126/PUU-VII/2009 beralasan karena pada intinya para Pemohon berkeberatan atas penyeragaman yang diatur dalam UU BHP. UU BHP ini tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional, Sedangkan mengenai UU Sisdiknas, MK menilai, Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 itu sepanjang frasa bertanggung jawab adalah konstitusional. Artinya, Sepanjang dimaknai ikut bertanggung jawab, maka pasal tersebut selengkapnya menjadikan setiap warga negara ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Kalau kata yang digunakan dalam produk yuridis ini sudah tegas-tegas menyebut setiap warga negara, maka kosa kata ini menunjukkan pada prinsip substansial yuridis yang menganut egalitarian. Artinya setiap warga negara diberi kesempatan atau hak dan kewajiban untuk menyelenggakan atau menjadi manajer-manajer pendidikan, tanpa dibedakan kedudukan dan kekuatan yang dimilikinya. Pasal 35 ayat (1) UU Sisdiknas juga dinyatakan konstitusional sepanjang frasa badan hukum pendidikan dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. MK berpendapat, pasal tersebut tidak ada yang menunjukkan hilangnya kewajiban negara terhadap warga negara di bidang pendidikan, tidak mempersulit akses pendidikan, tidak menjadikan biaya pendidikan mahal, dan tidak mengubah paradigma pendidikan sehingga hak warga negara untuk memperoleh pendidikan terhalang.9 Sikap penolakan yang dilakukan masyarakat berlanjut hingga ke Mahkamah Konstitusi. Sejumlah yayasan dan individu mengajukan uji materi atas beberapa pasal dalam UU BHP ke Mahkamah Konstitusi
9

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=249914 MK Batalkan UU BHP.

(MK). Dalam putusannya, majelis hakim MK membatalkan berlakunya UU BHP karena dipandang bertentangan dengan UUD 1945.10 Setidaknya, kita mencatat tiga hal yang membuat sekelompok masyarakat menolak UU tersebut. Pertama, kehadirannya dianggap menghilangkan eksistensi yayasan yang selama ini telah memberi kontribusi dalam pembangunan pendidikan nasional. Kedua, upaya menyeragamkan badan hukum pendidikan dikhawatirkan menghilangkan kekhasan penyelenggaraan pendidikan, khususnya yang dikelola kelompok masyarakat tertentu. Ketiga, kehadiran UU BHP dinilai telah membuat biaya pendidikan, khususnya di perguruan tinggi negeri (PTN), menjadi semakin mahal. Tidak hanya itu, mahalnya biaya pendidikan juga mulai dirasakan orangtua siswa di sekolahsekolah negeri berstandar internasional (SBI). Intinya, komersialisasi pendidikan semakin nyata, karena UU BHP mendorong satuan pendidikan untuk mandiri dalam hal pembiayaan pendidikan. Sebuah keputusan yang cerdas dan mencerahkan di tengah aroma komersialisasi pendidikan yang mulai tercium pascapengesahan UU BHP. Keputusan ini jelas disambut gembira oleh berbagai kalangan yang selama ini menentangnya. Jauh sebelum UU ini disahkan, reaksi penolakan dan resistensi memang gencar dilakukan. Selain tidak sejalan dan sebangun dengan semangat untuk memperluas akses masyarakat terhadap pendidikan, kehadiran UU BHP dikhawatirkan akan menyingkirkan, bahkan membunuh talenta anak-anak cerdas dari kalangan masyarakat miskin akibat mahalnya biaya pendidikan. Bahkan, UU BHP dinilai juga akan membuka peluang masuknya investor asing untuk menguasai aset-aset pendidikan, sehingga dikhawatirkan akan melunturkan nilai-nilai kesejatian diri, kehormatan, dan martabat bangsa. D. Penutup Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena dinilai melanggar UUD 1945. MK menilai, UU BHP ini dinilai oleh MK bertentangan
10

dengan

UUD

1945

sehingga

harus

dikabulkan

Menuju Pendidikan Berkeadilan, (Suara Pembaruan, 3 April 2010).

permohonan pemohon untuk itu. UU BHP selain menyeragamkan bentuk badan hukum pendidikan sehingga mengabaikan bentuk badan hukum lainnya seperti yayasan, wakaf, dan sebagainya, juga memberikan pembenaran terhadap praktik-praktik komersialisasi atau kapitalisme pendidikan, yang berakibat fatal bagi terancamnya hakhak kesamaan derajat orang miskin dalam mendapatkan pendidikan yang layak atau memanusiakan. Vonis MK tentang pembatalan UU BHP, diharapkan bisa dijadikan sebagai pelajaran berharga bagi setiap pengelola pendidikan untuk bernalar keadilan, bening dan dan merumuskan demi langkah berbasis keadaban, yang kemanusiaan mewujudkan pendidikan

memanusiakan manusia. MK secara tidak langsung mengingatkan setiap pengelola atau manajer pendidikan supaya tidak semakin menenggelamkan diri dalam praktik-praktik peminggiran hak kependidikan orang miskin. Semoga dengan pembatalan UU BHP, dunia pendidikan kita benar-benar mampu menjalankan fitrah-nya sebagai pembangun peradaban bangsa berbasiskan nilai-nilai luhur kemanusiaan, sehingga anak-anak masa depan negeri ini memiliki jaminan kepastian akan masa depan dan tidak lagi terjadi kesenjangan antara si kaya dan si miskin dalam mengakses pendidikan.

Você também pode gostar