Você está na página 1de 20

Makalah Manajemen Pascapanen

ANALISIS BIAYA DAN KELAYAKAN


USAHA PASCA PANEN COKLAT






Oleh :


Tajul Iflah
(F153100021)

















SEKOLAH PASCASARJANA - INSTITUT PERTANIAN BOGOR
TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
TEKNOLOGI PASCA PANEN
2012
2

DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................... 4
B. Tujuan................................................................................................................ 5

II. PROSPEK USAHA ................................................................................................. 6
2.1 Bahan Baku .................................................................................................... 6
2.2 Teknologi ....................................................................................................... 9
2.4 Pasar ............................................................................................................. 12

III. ANALISA USAHA .............................................................................................. 13
3.1 Biaya Pokok ................................................................................................. 13
3.2 Break Event Point (BEP) .............................................................................. 13

IV. ANALISA KELAYAKAN .............................................................................. 14
4.1 Net Present Value (NPV) .............................................................................. 14
4.2 Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) ..................................................................... 15
4.3 Internal Rate of Return (IRR) ....................................................................... 16
4.4 Pay Back Period (PBP) ................................................................................. 17
4.5 Sensitivitas ................................................................................................... 17

V. KESIMPULAN ................................................................................................... 19

Daftar Pustaka ............................................................................................................ 20



3

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kebutuhan tenaga kerja/operator pada pengolahan kakao primer ................... 11
Tabel 2. Perubahan Discount Factor terhadap NPV, B/C ratio dan IRR ...................... 18


4

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Coklat (kakao) merupakan salah satu produk pertanian yang memiliki peranan
yang cukup nyata dan dapat diandalkan dalam mewujudkan program pembangunan
pertanian. Pengusahaan kakao di Indonesia sebagian besar merupakan perkebunan
rakyat di desa-desa yang tersebar di hampir seluruh provinsi di tanah air. Di pasar dunia,
harga biji kakao dan produk olahannya sangat menarik dan prospek perkembangannya
cukup cerah pada saat ini dan di masa mendatang. Hal ini menjadikan pendorong
semangat masyarakat untuk terus mengembangkan perkebunan kakau di seluruh
Indonesia. Adanya nilai tambah yang tinggi dalam industri pengolahan kakao dipandang
sangat perlu untuk terus mendorong perkembangan industri pengolahan di dalam negeri.
Pangsa pasar produk kakao, baik ekspor maupun domestik terus meningkat
secara siginifikan. Namun demikian masih banyak kendala yang masih belum
sepenuhnya bisa diatasi, baik di tingkat produksi bahan baku di lapangan hingga
industri hilirnya, tak terkecuali dalam hal penanganan pasca panennya.
Proses penanganan dan pengolahan pasca panen biji kako merupakan kegiatan
yang sangat penting karena pada kegiatan tahapan ini sangat menentukan mutu biji
kakao. Salah satu tahapan dari rangkaian proses penanganan dan pengolahan pasca
panen biji kakao yang dangat menentukan mutu biji kakao adalah fermentasi karena
pada tahapan inilah citarasa khas kakao terbentuk.
Akan tetapi sampai saat ini, biji kakao dari perkebunan rakyat masih dicirikan
dengan karakter citarasa yang masih lemah, kadar kotoran yang masih tinggi serta
banyak terkontaminasi oleh serangga, cendawan, dan mikotoksin. Keadaan tersebut
selain membuat harga kakao Indonesia berharga paling rendah, juga menyebabkan citra
mutu kakao Indonesia, khususnya yang berasal dari terus terpuruk.
Hal ini disebabkan karena semua tahapan proses penanganan pasca panen yang
dilakukan oleh petani masih dilakukan secara manual dengan menggunakan peralatan
yang masih konvensional. Ditambah lagi sewaktu penanganan pasca panen tersebut
dilakukan banyak pihak petani yang tidak memperhatikan faktor kebersihan (sanitasi).
Untuk meminimalkan permasalahan pada saat proses penanganan pasca panen
tersebut maka diperlukan suatu usaha untuk memperkenalkan teknologi tepat guna
5

kepada masyarakat yang memiliki kebun coklat (perkebunan rakyat). Teknologi yang
diperkenalkan ini diharapkan mudah dan murah sehingga efisien selama proses
berlangsung dan dapat menghasilkan produk (biji kakao) dengan kualitas yang lebih
baik. Untuk mengetahui apakah biaya yang dikeluarkan selama tahapan proses
penanganan pasca panen sesuai dengan nilai jual dari produk tersebut maka diperlukan
suatu analisis biaya dan kelayakan usaha pasca panen kakao.
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui teknologi (mesin
dan peralatan) penanganan pasca panen kakao yang dapat digunakan untuk memperoleh
biji kakao dengan mutu yang lebih baik. Serta untuk menganalisis biaya yang
diperlukan sehingga usaha pasca panen kakao tersebut dianggap layak untuk didirikan
sebagai suatu unit usaha.
6

II. PROSPEK USAHA
Biji kakao merupakan salah satu komoditas pertanian yang berperan penting
bagi perekonomian negara dan sumber pendapatan petani. Perluasan perusahaan kakao
yang terus dilakukan harus diikuti dengan penanganan pasca panen yang memadai.
Adanya peningkatan berbagai produksi di berbagai negara menyebabkan terjadinya
kelebihan penawaran/pasokan di pasaran dunia. Keadaan ini menuntut produsen kakao
untuk meningkatkan mutu biji kakaonya dan mulai mengalihkan perhatiannya untuk
tidak hanya menjual kakao dalam bentuk biji, tetapi juga menjual dalam bentuk bahan
jadi maupun setengah jadi. Dalam situasi tersebut peranan teknologi pengolahan dan
industri hilir perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar. Sementara ini, perhatian
produsen kakao dalam negeri terhadap teknologi pasca panen dan industri hilir
cenderung masih sangat minim.
Kelemahan pokok yang dihadapi mutu kakao Indonesia adalah tingginya tingkat
keasaman biji yang diikuti oleh citarasa (flavour) yang lemah, belum mantapnya
konsistensi mutu, dan khususnya masih ditemukan biji-biji yang tidak terfermentasi.
Kelemahan tersebut adalah permasalahan pasca panen yang harus segera ditangani guna
memperbaiki citra perkebunan Indonesia dan meningkatkan daya saing di pasaran
dunia.
Di sisi lain, industri hilir yang memproses biji kakao menjadi bahan jadi dan
setengah jadi belum berkembang di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi antara lain
adalah belum dikuasainya teknologi pasca panen (dan juga pengolahan) sehingga mutu
produk menjadi relatif rendah dibanding produk impor. Permasalahan lainnya adalah
karena masih rendahnya tingkat konsumsi produk-produk coklat dalam negeri.
2.1 Bahan Baku
Perkembangan produksi kakao di Indonesia tidak diimbangi dengan perbaikan
mutu biji keringnya. Mutu biji kakao kering yang dihasilkan Indonesia masih tergolong
rendah. Permasalahan yang dihadapi oleh kakao Indonesia adalah rendahnya daya hasil
dan mutu biji yang dihasilkan. Rendahnya mutu biji disebabkan kurangnya penanganan
panen dan pasca panen.
Panen merupakan kegiatan memetik buah dari pohon dan memecahnya untuk
memanfaatkan biji basah didalamnya. Agar tujuan panen tercapai dan diperoleh
7

produktivitas yang tinggi maka diperlukan pengelolaan panen yang tepat. Pengelolaan
panen terdiri dari organisasi panen dan sistem panen. Kesalahan dalam pengelolaan
panen akan mempengaruhi pelaksanaan kegiatan pemanenan di lapang yang selanjutnya
berdampak pada tingkat produktivitas yang dihasilkan dan kualitas buah yang dipanen.
Buah kakao umumnya dapat dipanen hampir sepanjang tahun. Selama setahun,
biasanya terdapat satu atau dua puncak panen dan yang terjadi 5-6 bulan setelah
perubahan musim kemarau dan musim hujan ke musim kemarau. Waktu panen tersebut
terutama terjadi pada wilayah yang terdapat musim hujan dan musim kering. Semakin
rendah jumlah panen puncak maka akan semakin menguntungkan karena penyebaran
waktu panen yang merata dapat menurunkan jumlah kebutuhan dan kapasitas alat-alat
pengolahan (Yusianto et al., 2008).
Buah yang siap dipanen atau dipetik adalah buah-buahan yang masak optimal.
Kriteria buah masak umumnya berdasarkan warna luarnya. Warna ini dipengaruhi oleh
jenis atau varietas tanaman kakao. Buah yang semula berwarna merah jika masak akan
berwarna jingga dan buah yang semula hijau jika masak akan berwarna kuning (Heddy,
1990).
Buah kakao sebaiknya dipetik tepat matang. Kulit buah kakao matang
mempunyai warna kulit kuning atau jingga yang saat masih muda berwarna hijau atau
merah. Buah matang mempunyai kondisi fisiologis yang optimal dalam hal
pembentukan senyawa penyusun lemak di dalam biji, sedangkan buah yang lewat
masak akan menyebabkan biji berkecambah di dalam buah dan terserang hama.
Pemetikan buah dilakukan hanya dengan memotong tangkai buah. Tangkai buah
disisakan kurang dari 0.5 cm untuk menghindari kerusakan pada bantalan buah
(Widyotomo et al., 2004).
Buah kakao yang akan mengalami proses pengolahan primer berasal dari
perkebunan rakyat dan biasanya disekitar perkebunan rakyat tersebut langsung terdapat
unit-unit pengolahan primer (pasca panen) dari buah kakao menjadi biji kakao yang
telah terfermentasi. Wardani (2008) mengatakan bahwa rata perkebunan rakyat
memiliki luas 4 ha dengan produktifitas 1430 kg/tiap panennya ( 3 kali dalam
setahun), sehingga produktifitas panen tiap tahunnya mencapai 4290 kg/tahun dengan
harga buah kakao segar per kg hanya sekitar Rp. 2.500. Dan apabila rendemen biji
8

kakao basah adalah 35% dari berat buah kakao yang dipanen maka akan diperoleh
sekitar 1500 kg biji kakao/tahun.
Tahap setelah pemanenan yaitu tahap pasca panen yang merupakan proses
pengolahan buah kakao menjadi kakao kering (Gambar 1). Komponen teknologi pasca
panen yang berpengaruh terhadap kualitas biji kakao antara lain fermentasi, pencucian,
pengeringan, sortasi, grading dan pengemasan.























Gambar 1. Tahapan Pengolahan Kakao Primer (Widyotomo et al., 2004)

Panen Buah Masak
Sortasi Buah
Pengupasan
Fermentasi
Perendaman dan Pencucian
Pengeringan
Sortasi
Grading
Pengemasan
Penggudangan
9

2.2 Teknologi
Berdasarkan diagram alir tahapan pengolahan kakao primer yang terdapat pada
Gambar 1. dapat dilakukan pemilihan teknologi pada beberapa tahapan proses
pengolahan tersebut.

y Sortasi Buah
Pada sortasi tahap awal yaitu setelah buah kakao dipanen, sortasi dilakukan
untuk memisahkan buah kakao antara yang baik dan yang jelek. Buah jelek dapat
berupa buah yang telah terserang hama/penyakit, buah muda, atau buah lewat
masak. Proses sortasi ini dilakukan secara manual di kebun sesaat setelah panen
berlangsung. Buah kakao yang memenuhi syarat dapat di proses ke tahapan
selanjutnya.

y Pengupasan
Pengupasan buah kakao biasanya dilakukan dengan cara memecahkan kulit
buah dengan menggunakan pemukul kayu, pemukul berpisau, atau dengan pisau
bagi yang berpengalaman. Cara pemecahan dengan menggunakan alat-alat tersebut
dapat menyebabkan kerusakan biji. Beberapa tahun terakhir telah banyak
dikembangkan mesin pemecah kulit kakao yang dalam pengoperasian langsung
bersama dengan ayakan yang berfungsi untuk memisahkan biji kakao dan kotoran
(serpihan kulit kakao, plasenta serta bagian dari buah kakao lainnya yang tidak
digunakan) (Yusianto et al., 2008).

y Fermentasi
Fermentasi merupakan inti dari proses pengolahan biji kakao, yang bertujuan
untuk memperoleh biji kakao kering yang stabil dalam hal rasa dan aroma khas
cokelat yang disukai untuk pembuatan kakao konsumsi. Dengan fermentasi, biji
kakao akan lebih mudah dibebaskan dari pulp yang melekat dan perkecambahan
biji penyebab rasa pahit dapat dicegah (Widyotomo et al., 2004). Fermentasi
biasanya berlangsung selama 4-6 hari dan selama fermentasi berlangsung biji
dibalikkan setiap 48 jam. Fermentasi biasanya dilakukan dalam kotak (peti) kayu
yang dilengkapi dengan lubang-lubang pada dasar kotaknya yang berfungsi sebagai
saluran pembuangan cairan fermentasi dan sebagai aerasi. Untuk perkebunan rakyat
biasanya kapasitas kotak-kotak fermentasi antara 20-50 kg dengan panjang/lebar
10

bagian dalam kotak tersebut sekitar 23-36 cm dan pada dinding serta bagian dasar
kotak diberi lubang-lubang aerasi dengan jarak 10 cm antar lubang.

y Perendaman dan Pencucian
Tujuan utama perendaman dan pencucian adalah untuk menghentikan proses
fermentasi dan memperbaiki penampilan biji. Biji yang tidak dicuci cenderung
memiliki penampakan kurang menarik, tetapi pencucian yang terlalu bersih berisiko
menyebabkan biji pecah dan mengurangi rendemen. Pencucian terhadap biji kakao
dilakukan karena masih banyaknya pulp yang melekat pada kulit biji masih tebal
sehingga menurunkan kadar kulit biji kering. Biasanya sebelum pencucian
dilakukan, terlebih dahulu dilakukan perendaman selama kurang lebih 3 jam. Hal
ini dilakukan untuk meningkatkan jumlah biji bulat dengan penampilan menarik
dan berwarna cokelat cerah.

y Pengeringan
Pelaksanaan pengeringan dapat dilakukan dengan menjemur, memakai mesin
pengering atau kombinasi keduanya. Pada proses pengeringan terjadi sedikit
fermentasi lanjutan dan kandungan air menurun dari 55-60% menjadi 6-7%, selain
itu terjadi pula perubahan-perubahan kimia untuk menyempurnakan pembentukan
aroma dan warna yang baik. Suhu pengeringan sebaiknya antara 55-66
0
C dan
waktu yang dibutuhkan bila memakai mesin pengering antara 20-25 jam, sedang
bila dijemur waktu yang dibutuhkan 7 hari apabila cuaca baik, tetapi apabila
banyak hujan, penjemuran 4 minggu. Bila biji kurang kering pada kandungan air
diatas 8% maka biji akan mudah ditumbuhi cendawan (Departemen Perindustrian,
2007).

y Penyortiran dan Grading
Setelah proses pengeringan tahap selanjutnya adalah penyortiran dan
pemutuan biji kakao. Biji kakao kering dibersihkan dari kotoran dan
dikelompokkan berdasarkan mutunya. Departemen Perindustrian (2007)
mengatakan bahwa proses penyortiran dan pemutuan ini dilakukan setelah 1-2 hari
dikeringkan agar kadar air seimbang, sehingga biji tidak terlalu rapuh dan tidak
mudah rusak. Pada tahapan proses ini, bisa dilakukan secara manual ataupun
11

dengan menggunakan ayakan yang dapat memisahkan biji kakao dari kotoran.
Pengelompokkan kakao berdasarkan mutu dapat berupa :
Mutu A : dalam 100 gr biji terdapat 90-100 butir biji
Mutu B : dalam 100 gr biji terdapat 100-110 butir biji
Mutu C : dalam 100 gr biji terdapat 110-120 butir biji

y Pengemasan dan penggudangan
Biji kakao kering dimasukkan ke dalam karung goni. Tiap karung goni diisi
sekitar 50 kg biji kakao kering kemudian karung tersebut disimpan dalam
ruangan yang bersih, kering dan memiliki lubang pergantian udara. Antara lantai
dan wadah biji kakao diberi jarak 8 cm dan jarak dari dinding 60 cm. Biji kakao
dapat disimpan selama 3 bulan (Departemen Perindustrian, 2007).

2.3 Sumber Daya
Sumber daya selama proses pengolahan primer kakao dapat dibedakan menjadi
sumber daya manusia (tenaga kerja) dan sumber daya utilitas (kebutuhan akan air dan
tenaga pembangkit (kebutuhan akan listrik, bahan bakar)). Untuk kebutuhan air yang
akan digunakan pada saat perendaman dan pencucian biji kakao dapat diperoleh dari air
tanah/ sumur dengan bantuan pompa ataupun dengan air dari PDAM dengan tarif dasar
air Rp.2.000/m
3
(www.pdamkotabogor.go.id/). Sedangkan untuk kebutuhan akan listrik
untuk menggerakkan pompa air bila sewaktu-waktu diperlukan diperoleh dari PLN
dengan tarif dasar listrik Rp.435/kwh (http://id.wikipedia.org/wiki/Tarif_dasar_listrik).
Serta kebutuhan bensin sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin pemecah kulit
dan pengeringan dengan harga Rp. 4.500/liter. Sedangkan kebutuhan tenaga
kerja/operator di masing tahapan proses dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan tenaga kerja/operator pada pengolahan kakao primer
No Tahapan Proses Pengolahan Kakao Kebutuhan Tenaga Kerja/Operator
1. Sortasi buah 3 orang
2. Pemecahan kulit kakao 1 orang
3. Fermentasi 1 orang
4. Perendaman dan pencucian 1 orang
5. Pengeringan 1 orang
6. Penyortiran dan grading 3 orang
7. Pengemasan dan penggudangan 1 orang
TOTAL 11 orang

12

2.4 Pasar
Kakao merupakan komoditas ekspor unggulan bernilai ekonomi tinggi yang nilai
jualnya dikendalikan oleh harga dunia. Referensi bursa komoditas kakao dunia
ditentukan di London dan New York. Komoditas kakao tergolong penyumbang devisa
tinggi bagi perekonomian Indonesia mencapai US$ 503,328,000 atau 12,7% dari total
ekspor hasil perkebunan (Dirjenbun, 2003).
Pada akhir tahun 2002 harga komoditas kakao relatif stabil. Berdasarkan info
pasar komoditi perkebunan dari Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perkebunan tahun 2003, pada bulan November 2002 harga kakao biji kering di pasar
domestik Rp.10.490/kg (sekitar US$ 1,165/kg dengan asumsi US$ 1 = Rp. 9.000) dan
pada bulan Desember 2002 menjadi Rp. 10.523/kg (US$ 1,169/kg) atau mengalami
kenaikan Rp.0,31/kg, dan pada bulan Maret 2003 harga kakao meningkat menjadi
Rp.10.615/kg (US$ 1,179/kg).
Jasman (2008) mengatakan kebutuhan masyarakat dunia akan produk kakao-
dikenal sebagai cokelat-dirasakan terus meningkat sepanjang tahunnya, yaitu sekitar 3%
per tahun. Aneka produk kakao yang terdiri dari atas cocoa liquor, cocoa butter, dan
cocoa powder biasa digunakan sebagai bahan dasari pembuat makanan seperti snack,
confectionary, bakery, minuman/beveragesi, dan yang saat ini sedang tren adalah
sebagai bahan terapi (spa therapy dan aroma therapy).


13

III. ANALISA USAHA
3.1 Biaya Pokok
Biaya pokok adalah biaya yang dikeluarkan suatu usaha untuk menghasilkan
setiap unit produk. Biaya pokok diperoleh dari total biaya produksi per unit produk
yang dihasilkan. Total biaya produksi pengolahan kakao primer sebanyak 1000
kg/bulan adalah Rp.10.706.000 dan menghasilkan sekitar 350 kg biji kakao kering.
Sehingga diperoleh biaya pokok dari usaha pasca panen pengolahan kakao primer
sebesar Rp.30.589/kg. Adapun rincian perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.2 Break Event Point (BEP)
Break event point (BEP) yang dikenal juga dengan istilah titik impas merupakan
titik dimana terjadinya keseimbangan antara dua kondisi/alternatif yang berbeda,
biasanya kondisi untung-rugi. Analisis titik impas dapat diterapkan pada penentuan
volume produksi.
Berdasarkan informasi dari Deptan (2012) harga biji kakao kering setelah
difermentasi di kabupaten/kota berkisar antara Rp.16.500-Rp.24.000 per kg. Dari
informasi tersebut ditetapkan nilai jual biji kakao kering per kg-nya adalah nilai
terendah, yaitu Rp.16.500 sehingga akan diperoleh titik impas pada produksi dimana
bahan baku (buah kakao) sebanyak 3000 kg/bulan dan menghasilkan biji kakao kering
sebanyak 1050 kg dengan keuntungan sebesar Rp. 2.268.000. Rincian perhitungan
dapat dilihat pada Lampiran 2.




14

IV. ANALISA KELAYAKAN
Metode analisis kelayakan pada suatu usaha agroindustri sama dengan yang
diterapkan pada usaha komersial lainnya, demikian pula kriteria yang menentukan
keputusan manajemen dan investasi (Brown, 1994). Tahap evaluasi finansial dapat
dilakukan apabila hasil analisis pasar dan teknis yang diperoleh menunjukkan positif
(Didu, 2000).
Brown (1994) menetapkan langkah-langkah analisis finansial perusahaan
agroindustri sebagai berikut : (1) menentukan pola penghasilan yang mungkin, (2)
memperkirakan kapasitas dan harga untuk tiap-tiap produk dan pasar, (3) menyiapkan
prakiraan awal biaya investasi dan operasi, (4) menentukan suplai potensial bahan baku
termasuk harga, (5) melakukan penilaian awal kelayakan finansial, (6) melakukan
analisis finansial yang lengkap dari beberapa alternatif, (7) melakukan analisis
sensitivitas melalui identifikasi variabel-variabel kunci dalam kinerja finansial
perusahaan yang diusulkan, (8) mengindentifikasi kondisi dimana perusahaan yang
diusulkan tidak memenuhi kriteria investasi.
Analisis kelayakan investasi dalam pengembangan unit usaha pasca panen kakao
menggunakan instrumen-instrumen analisis seperti Net Present Value (NPV), Benefit
Cost Ratio (B/C Ratio), Internal Rate of Return (IRR), Payback Period (PBP), dan
analisis sensitivitas.
4.1 Net Present Value (NPV)
NPV menyatakan nilai bersih investasi saat ini yang diperoleh dari selisih antara
nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan kas bersih dimasa yang akan
datang, setelah memperhitungkan discount factor. Suatu proyek dapat dinyatakan
bermanfaat untuk dilaksanakan bila NPV 0. Jika NPV = 0 berarti proyek dapat
mengembalikan sebesar social opportunity cost of capital. Jika NPV < 0 proyek ditolak
atau proyek tidak dapat dilaksanakan, berarti ada penggunaan lain yang lebih
menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan proyek (Kadariah,1999). Rumus
untuk menghitung NPV adalah :
NPv
B
t
C
t

i
t
n
t


15

Keterangan :
B
t
= Benefit sosial kotor proyek pada tahun ke-t
C
t
= Biaya sosial kotor proyek pada tahun ke-t
n = Umur ekonomis proyek
i = Social opportunity cost of capital, yang ditunjuk sebagai social discount rate

Kriteria kelayakannya adalah :
Jika nilai NPV = 0 berarti investasi layak untuk dilaksanakan, dan
Jika nilai NPV < 0 maka investasi rugi atau tidak layak untuk dilaksanakan.

Metode NPV memiliki beberapa kelebihan, yaitu telah memasukkan faktor nilai
waktu dari uang, mempertimbangkan semua arus kas proyek, dan mengukur besaran
absolut sehingga mudah mengikuti kontribusinya terhadap usaha meningkatkan
kekayaan perusahaan atau pemegang saham. Keputusan yang sulit dalam penggunaan
NPV adalah menentukan besarnya tingkat arus pengembalian (i) atau hurdle rate. Arus
pengembalian ini dikenal juga sebagai cut-off rate atau opportunity cost.
Analisis NPV dari usaha pengolahan primer kakao ini bernilai positif dengan
menggunakan discount factor (DF) sebesar 5% yaitu Rp.575.967.512. Dan usaha
pengolahan primer kakao ini dianggap layak untuk dilaksanakan karena menghasilkan
NPV bernilai negatif. Perhitungan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 4.

4.2 Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)
B/C ratio merupakan perbandingan antara total present value dari keuntungan
bersih dalam tahun-tahun dengan Bt-Ct positif sebagai pembilang terhadap total present
value dari biaya bersih dalam tahun-tahun dengan Bt-Ct negatif sebagai penyebut. Jika
nilai B/C ratio > 1 berarti proyek dapat dilaksanakan sebaliknya kalau nilai B/C ratio <
1 berarti proyek tidak dapat dilaksanakan, dan jika B/C ratio = 1 maka keputusan
proyek dilaksanakan atau tidak bergantung pada investor (Kadariah 1999). B/C ratio
dapat dihitung dengan rumus :
BC Ratio

B
t
C
t

i
t
B
t
C
t

n
t

C
t
B
t

i
t
n
t
B
t
C
t




16

Kriterianya adalah:
Jika nilai B/C > 1 berarti investasi layak untuk dilaksanakan
Jika nilai B/C < 1 investasi tidak layak untuk dilaksanakan dan
Jika nilai B/C = 1, maka keputusan pelaksanaan tergantung pada investor

B/C ratio menghasilkan angka komparatif (relatif) dan lebih dikenal
penggunaannya untuk mengevaluasi proyek publik. Penekanan metode pada manfaat
bagi kepentingan umum, tetapi dapat juga digunakan untuk manfaat perusahan swasta,
yang dilihat dari pendapatan proyek (Soeharto, 2002).
Berdasarkan analisis B/C ratio yang dilakukan terhadap usaha pengolahan kakao
primer pada discount factor (DF) 5%, usaha ini dianggap layak untuk dilaksanakan. Hal
ini disebabkan karena nilai B/C ratio yang dihasilkan adalah lebih besar dari 1, yaitu
1,3652%. Perhitungan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 4.

4.3 Internal Rate of Return (IRR)
IRR menunjukkan tingkat bunga pada saat jumlah penerimaan sama dengan
jumlah pengeluaran atau tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV = 0. Jika nilai
IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku maka suatu proyek dapat
dilaksanakan dan sebaliknya proyek tidak dapat dilaksanakan jika nilai IRR lebih kecil
dari tingkat suku bunga (Kadariah, 1999). IRR dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
RR B
f
P
PvP
PvP PvN
B
f
N B
f
P
Keterangan :
D
f
P = Discount factor yang menghasilkan present value positif.
D
f
N = Discount factor yang menghasilkan present value negatif.
PVP = Present value positif.
PVN = Present value negatif.

Kriteria kelayakannya adalah:
Jika nilai IRR > i, maka investasi layak untuk dilaksanakan dan sebaliknya
Jika nilai IRR < i, maka investasi tidak layak untuk dilaksanakan.

17

Dari hasil analisis IRR pada usaha pengolahan kakao primer ini didapatkan nilai
IRR sebesar 20,123%. Nilai IRR tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai
tingkat suku bunga yang telah ditentukan yaitu sebesar 13%. Oleh karena itu usaha
pengolahan kakao primer ini layak untuk dilaksanakan, karena dengan nilai IRR yang
lebih tinggi dari nilai suku bunga menunjukkan bahwa usaha tersebut profitable.

4.4 Pay Back Period (PBP)
PBP merupakan periode pengembalian investasi yang diperlukan untuk
mengembalikan modal suatu investasi yang dihitung berdasarkan arus kas bersih.
Perhitungannya dilakukan berdasarkan aliran kas bersih baik tahunan maupun yang
merupakan nilai sisa. Alternatif investasi yang mempunyai umur ekonomis lebih besar
dari periode pengembalian maka alternatif tersebut dinyatakan layak. Sebaliknya, bila
PBP lebih besar dari estimasi umur ekonomis suatu investasi maka dikatakan investasi
tersebut tidak layak (Soeharto 2002). PBP dapat dihitung dengan rumus :

PBP t Cf At
n

At

Keterangan :
Cf = Biaya investasi awal
At = Arus kas pada tahun ke-t
t = Tahun pengembalian ditambah 1 (periode dimana terjadi arus kas bersih
kumulatif positif pertama)

Dari perhitungan analisis usaha pengolahan primer kakao diperoleh payback
period 2,417 tahun. Ini menunjukkan bahwa pada saat usaha telah berjalan selama 2
tahun 5 bulan, investasi yang telah dikeluarkan telah dapat diperoleh kembali. Dan
usaha yang masih berlangsung hingga tahun ke-10 adalah untung bagi pelaku usaha.

4.5 Sensitivitas
Analisis sensitivitas merupakan suatu teknik untuk menunjukkan seberapa besar
perubahan keriteria investasi diakibatkan oleh perubahan masukan dengan asumsi
bahwa hal lain tidak terjadi perubahan (Sutoyo, 1993). Analisis sensitivitas biasanya
didasarkan pada suatu kondisi awal, misalnya: setiap input sesuai dengan yang
18

diharapkan (expected value), kemudian diikuti dengan skenario bagaimana kalau suatu
variabel naik dan sebaliknya bagaimana kalau turun. Analisis skenario dapat juga
digunakan untuk menunjukkan sensitivitas terhadap perubahan variabel kunci yang
memungkinkan. Skenario umumnya dibagi menjadi skenario normal, terbaik, dan
terburuk atau skenario rendah, sedang, dan tinggi.
Suatu usaha dikatakan layak untuk dilaksanakan apabila usaha tersebut sensittif
terhadap suatu perubahan yang bisa saja terjadi. Ketidakpatisan dari terjadinya
perubahan tersebut menunjukkan semakin banyak kemungkinan yang akan terjadi.
Untuk menganalisa tingkat sensitivitas usaha pengolahan primer kakao ini digunakan
skenario perubahan discount factor pada 5%,10%,15%,20% dan 25% dengan tingkat
suku bunga tetap (13%) terhadap nilai NPV, B/C ratio dan IRR yang disajikan secara
lengkap pada Tabel 2.

Tabel 2. Perubahan Discount Factor terhadap NPV, B/C ratio dan IRR
Discount Factor NPV B/C ratio IRR
5 % Rp.575.967.512 1.362 % 21.440 %
10 % Rp.420.392.780 1.269 % 18.591 %
15 % Rp.309.565.257 1.175 % 16.545 %
20 % Rp.228.365.503 1.085 % 13.476 %
25 % Rp.167.338.778 1.002 % 11.178 %

Dari Tabel 2. dapat dilihat bahwa walaupun nilai DF berada dalam kondisi
apapun nilai yang diberikan terhadap NPV, B/C ratio dan IRR tetap dalam keadaan
positif. Ini menunjukkan bahwa usaha pengolahan kakao primer ini berada dalam
keadaan layak dilaksanakan. Akan tetapi pada keadaan dimana DF 20% dan 25% angka
dari B/C ratio bisa dikatakan sama dengan 1, ini menunjukkan bahwa pada keadaan
seperti tersebut usaha dalam keadaan resiko (untung yang tidak terlalu banyak). Hal ini
juga berpengaruh terhadap IRR yang diperoleh dimana nilainya tidak lebih besar
daripada nilai suku bunga yang telah ditentukan (13%).

19

V. KESIMPULAN
Dari perhitungan analisis usaha dan analisis kelayakan maka dapat diambil
kesimpulan bahwa usaha pengolahan primer kakao (biji kakao kering) ini layak
dilaksanakan. Kesimpulan ini didasarkan kepada nilai BEP sebesar Rp. 2.268.000 pada
saat mengolah bahan baku (buah kakao) sebanyak 3000 kg/bulan dan menghasilkan biji
kakao kering sebanyak 1050 kg. Selain itu usaha pengolahan kakao ini dinyatakan layak
dilaksanakan karena :
1. Memiliki NPV bernilai positif dengan menggunakan discount factor (DF) sebesar
5% yaitu Rp.575.967.512.
2. Memiliki B/C ratio pada discount factor (DF) 5% lebih besar dari 1, yaitu
1,3652%.
3. Memiliki nilai IRR IRR sebesar 20,123%, dan nilai IRR tersebut jauh lebih besar
dibandingkan dengan nilai tingkat suku bunga yang telah digunakan yaitu sebesar
13%.
4. Memiliki nilai payback period 2,417 tahun atau dengan kata lain masa
pengembalian modalnya adalah 2 tahun 5 bulan.
5. Memiliki nilai sensitivitas positif terhadap perubahan DF.


20

Daftar Pustaka
Brown. 1994. Agroindustrial investment and operation. EDI Development Studies.
World Bank Pub, Washington.

Departemen Perindustrian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Kakao.
http://www.kemenperin.go.id/PaketInformasi/Kakao/kakao.pdf [1 Januari 2012].

Deptan. 2012. Laporan Harian Harga Produsen Komoditas Perkebunan Tingkat
Kabupaten/Kota. http://aplikasi.deptan.go.id/smshargakab/lhk10.asp. [5 Januari
2012].

Didu MS. 2001. Rancang Bangun Sistem Penunjang Keputusan Pengembangan
Agroindustri Kelapa Sawit untuk Perekonomian Daerah. [disertasi]. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2003. Penyusunan Peta Komoditi Utama Sektor
Primer dan Pengkajian Peluang Pasar serta Peluang Investasinya di Indonesia.
http://regionalinvestment.com/newsipid/userfiles/komoditi/3/kakao_kajianpelua
nginvestasi.pdf. [26 Desember 2011].
Jasman, P. 2008. Kakao Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir : Manfaat dan
Kualitas Produk. Penebar Swadaya, Jakarta.

Kadariah, Karlina L, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Soeharto, I. 2002. Studi Kelayakan Proyek Industri. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Sutoyo S. 1993. Studi Kelayakan Proyek : Teori dan Praktek. PT. Pustaka Binaman
Pressindo, Jakarta.

Wardani, S. 2008. Kakao Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir : Analisis
Usaha Tani. Penebar Swadaya, Jakarta.

Widyatomo. S, Mulato. S dan Handaka. 2004. Mengenal Lebih Dalam Teknologi
Pengolahan Biji Kakao. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 26(2) :
5-6.

Yusianto, T. Wahyudi, dan Sulistyowati. 2008. Kakao Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir : Pascapanen. Penebar Swadaya, Jakarta.

Você também pode gostar