Você está na página 1de 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) merupakan penyakit malignan sumsum tulang dengan proliferasi dini sel prekursor limfoid yang menggantikan sel hematopoietik dari sumsum tulang. Limfoblas berproliferasi pada sumsum tulang, hati, limpa, dan limfe. ALL dibedakan dengan keganasan limfoid lainnya dengan immunofenotip sel yang hampir sama dengan sel prekursor B atau T. Tanda immunochemistry, cytochemistry, dan cytogenetic juga digunakan untuk mengkategorikan keganasan limfoid (Seiter, 2009). Sel malignan ALL merupakan sel prekursor limfoid (limfoblas) yang terhenti di tahap awal perkembangan. Perhentian ini disebabkan oleh ekspresi abnormal gen yang sering sebagai hasil dari translokasi kromosom. Limfoblas menggantikan elemen sumsum tulang normal, sebagai tanda penurunan produksi sel darah normal. Oleh karena itu, anemia, trombositopenia dan neutropenia muncul dalam berbagai derajat (Seiter, 2009).

Gambar 2.1 Hapusan Darah Pasien ALL ( University of Virginia, 2008) Beberapa gejala umum ALL antara lain panas; fatigue; infeksi yang sering; pembengkakan kelenjar limfe, hati dan limpa; pucat; mudah berdarah dan lebam; petechiae di kulit, dan nyeri pada tulang dan sendi. Pengobatan untuk ALL meliputi kemoterapi, steroid, radioterapi, pengobatan kombinasi intensif (meliputi transplantasi sumsum tulang dan stem cell) dan growth factor (National Cancer Institute, 2009). 2.1.1 Terapi ALL Kemoterapi merupakan pilihan awal pengobatan. Kebanyakan pasien ALL menerima kombinasi pengobatan yang bebeda. Kemoterapi untuk ALL terdiri dari 3 fase: remission induction, intensification, dan maintenance therapy. Pada umumnya kemoterapi untuk ALL kombinasi dari obat antileukemi multipel dengan variasi kombinasi (Pui, 2004). Radioterapi digunakan pada area tubuh yang nyeri, dengan beban penyakit yang tinggi atau bagian yang dipersiapkan untuk transplantasi sumsum tulang (total body irradiation). Radiasi dalam bentuk radiasi seluruh otak juga digunakan untuk profilaksis sistem saraf pusat, untuk mencegah rekurensi leukemia pada otak. Semakin dini ALL terdeteksi, maka pemberian pengobatan semakin efektif. Tujuannya adalah untuk menginduksi remissi terakhir yang didefinisikan sebagai hilangnya sel kanker yang terdeteksi pada tubuh (umumnya kurang dari 5% sel blast pada sumsum tulang) (Pui, 2004). Saat ini telah ditemukan pendekatan terapi leukemia dengan menggunakan teori apoptosis yang menginduksi obat antikanker dengan aktivasi sistem CD95 (Beltinger, 1998). Fas receptor (CD95) adalah transmembran glikoprotein yang kaya akan sistein, terdiri atas 335 asam amino, merupakan bagian dari reseptor nerve growth factor (NGF) atau tumor necrosis factor (TNF). Fas receptor (FasR) dapat merangsang sinyal yang berperan dalam apoptosis sel. Sistem FasR-FasL (Fas

ligand) berkontribusi terhadap limfosit T-sitotoksik spesifik dan nonspesifik setelah aktivasi limfosit pada sel hematopoietik. FasR diskspresikan oleh sel yang bertransformasi atau sel ganas. Ekspresi CD95 berhubungan dengan prognosis yang lebih baik pada limfoma sel B dan respon kemoterapi pada acute myeloid leukemia (AML). Proses tumor difasilitasi produksi CD95 terlarut pada tumor melalui alternative splicing (Iijima, 1997). FasR diekspresikan pada berbagai sel ganas yang bertransformasi, termasuk pada sel yang terinfeksi HIV, kultur sel yang diperoleh dari sel T leukimia dewasa, Burkitt lymphoma, dan virus Epstein Barr. FasR mampu menyalurkan sinyal yang berakibat pada apoptosis sel. FasR terdapat pada limfosit perifer aktif dan yang resting, sedangkan kematian sel dengan mediasi FasR didapatkan pada limfosit aktif. Gagalnya sinyal FasR untuk memicu kematian sel pada limfosit yang resting menunjukkan bahwa FasR secara primer terlibat dalam proses aktivasi kematian sel pada limfosit perifer dan sensitivitas seluler juga berpengaruh (Beltinger, 1998). 2.2 Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen utama bagi manusia. Bakteri ini kadang-kadang mengkoloni pada manusia dan menimbulkan infeksi apabila fungsi pertahanan inang abnormal. Oleh karena itu, P.aeruginosa disebut patogen oportunistik, yaitu memanfaatkan kerusakan pada mekanisme pertahanan inang untuk memulai suatu infeksi. Bakteri ini dapat juga tinggal pada manusia yang normal dan berlaku sebagai saprofit pada usus normal dan pada kulit manusia. Tetapi, infeksi P.aeruginosa menjadi problema serius pada pasien rumah sakit yang menderita kanker, fibrosis kistik dan luka bakar. Angka fatalitas pasien-pasien tersebut mencapai 50 % (Evita, 2006). Pseudomonas aeruginosa berbentuk batang dengan ukuran sekitar 0,6 x 2 m. Bakteri ini terlihat sebagai bakteri tunggal, berpasangan, dan terkadang membentuk rantai yang pendek. P. aeruginosa termasuk bakteri gram negatif. Bakteri ini bersifat

aerob, katalase positif, oksidase positif, tidak mampu memfermentasi tetapi dapat mengoksidasi glukosa/karbohidrat lain, tidak berspora, tidak mempunyai selubung (sheat) dan mempunyai flagel monotrika (flagel tunggal pada kutub) sehingga selalu bergerak (Boel, 2004). Faktor sifat yang memungkinkan organisme mengatasi pertahanan tubuh normal dan menimbulkan penyakit ialah : pili, yang melekat dan merusak membran basalis sel; polisakarida simpai, yang meningkatkan perlekatan pada jaringan tetapi tidak menekan fagositosis; suatu hemolisin yang memiliki aktivitas fosfolipasa; kolagenasa dan elastasa dan flagel untuk membantu pergerakan (Boel, 2004) . Sedangkan faktor yang menentukan daya patogen adalah LPS mirip dengan yang ada pada Enterobacteriaceae; eksotoksin A, suatu transferasa ADP-ribosa mirip dengan toksin difteri yang menghentikan sintesis protein dan menyebabkan nekrosis di dalam hati; eksotoksin S yang juga merupakan transferasa ADP-ribosa yang mampu menghambat sintesis protein eukariota (Evita, 2006). 2.2.1 Taksonomi Taksonomi P. aeruginosa adalah sebagai berikut (Todar, 2008) : Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Pseudomonadales Family : Pseudomonadaceae Genus : Pseudomonas Species : Pseudomonas aeruginosa

Gambar 2.2 Pseudomonas aeruginosa dilihat dengan pewarnaan Gram (Todar, 2008)

2.2.2 Eksoenzim S Pseudomonas aeruginosa menghasilkan dua ADP-ribosil transferase yaitu eksotoksin A dan eksoanzim S yang berbeda dalam spesifitas substratnya. Struktur domain eksoenzim S hampir seluruhnya heliks, satu-satunya bagian yang tidak heliks adalah dua rantai kecil (Evita, 2006).

2.2.2.1 Pemurnian Eksoenzim S Eksoenzim S dimurnikan dari kultur supernatant P. aeruginosa DG1. Prosedur pemurnian eksoenzim S terdiri dari empat tahap utama yaitu presipitasi ammonium sulfat, kromatografi pertukaran anion dengan DEAE Sephacel, presipitasi aseton pada konsentrasi NaCl 1 M, dan kromatografi filtrasi gel G-100 (Woods, 1986). Kultur supernatant P. aeruginosa DG1 digunakan sebagai sumber eksoenzim S. Organisme ini ditumbuhkan selama 36 jam pada suhu 32 C di medium S. Medium S mengandung komponen (per L air yang didistilasi): NH4Cl 1 gr, Na2HPO4 3 gr, MgSo4 0,1 gr, EDTA 1,7 gr, sodium suksinat 27 gr. Setelah disterilisasi dengan autoklaf, medium dibiarkan dingin. Lalu ditambahkan monosodium glutamate dan

gliserol (disterilisasi, konsentrasi masing-masing 100 mM dan 1%). Medium S diinokulasi dengan sel dari kultur starter P. aeruginosa DG1 (18 jam, 32 C, A550 dari 2,5). Selama inkubasi, kultur diputar dengan kecepatan 200 rpm untuk maksimal aerasi. Pada akhir periode inkubasi (A550 dari 1,8), kultur disentrifuge pada 10.000 x g selama 20 menit untuk menghilangkan sel (Scott, 1993). Sodium ammonium sulfat ditambahkan perlahan pada 5 liter kultur supernatant sampai kelarutan 60%. Setelah inkubasi semalam pada 4C, supernatant disentrifuge pada 15.000 x selama 30 menit pada suhu 4C untuk mendapat protein terpresipitasinya. Presipitasi tersebut dilarutkan pada 100 ml buffer Tris hidroklorida 0,05 M (pH 8.0) yang mengandung 0,01 M NaCl (buffer Tris) dan didialisa semalam pada suhu 4. Materi terdialisa (150 ml, 0,94 mg protein per ml) ditempatkan pada tabung DEAE-Sephacel yang diseimbangkan dalam buffer Tris. Tabung itu dicampur dengan gradient linear dari 0,01 hingga 1,01 M NaCl dalam buffer Tris (volum total adalah 500 ml). Kecepatan aliran dikontrol oleh pompa peristaltik pada 40 ml/jam, dan 8 ml fraksi didapatkan. Fraksi yang mengandung protein dideteksi dengan mengukur A280. Fraksi tersebut dicampur pada 0,4 sampai 0,5 M NaCl, NaCl ditambahkan pada material dengan perkiraan konsentrasi akhir 1 M, dan materi ini didinginkan pada suhu 0 C dalam garam es (Woods, 1986). Aseton (30 ml) yang sebelumnya didinginkan pada -20 C ditambahkan perlahan dan dimonitor temperaturnya secara kontinyu yang tidak boleh berubah temperaturnya lebih dari 2 C. Saat konsentrasi aseton mencapai 33%, temperatur boleh sampai 0 C dan diekuilibrasi selama 15 menit. Materi yang terpresipitasi aseton disentrifuge (20 menit, 5.000 x g, 0 C). presipitatnya dilarutkan dalam 4 ml buffer Tris dan didialisa semalam pada suhu 4 C. Materi terdialisa (5,5 ml, 0,4 mg protein per ml) dituang pada tabung filtrasi gel G-100 yang diekuilibrasi dalam buffer Tris. Kecepatan alirannya diatur pada 15 ml/jam, dan 8 ml fraksi didapatkan. Fraksi yang mengandung protein dideteksi dengan mengukur A280 (Woods, 1986).

BAB III KERANGKA PIKIR 3.1 Kerangka Pikir Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) Pseudomonas aeruginosa

Sel-sel limfosit ganas

Eksoenzim S

Fas reseptor

Apoptosis

Keterangan : Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) merupakan penyakit malignan sumsum tulang dengan proliferasi dini sel prekursor limfoid yang menggantikan sel hematopoietik dari sumsum tulang. Sel malignan ALL merupakan sel prekursor limfoid (limfoblas) yang terhenti di tahap awal perkembangan. Sel-sel malignan tersebut mempunyai Fas reseptor pada permukaannya dimana bila reseptor tersebut ditempati oleh eksoenzm S dari P. aeruginosa, maka jalur apoptosis akan teraktivasi. Hal ini bias digunakan sebagai salah satu pendekatan terapi ALL.

1. http://emedicine.medscape.com/article/207631-overview Acute Lymphoblastic Leukemia, Karen Seiter. 2009. 22-3-2009 2. http://www.cancer.gov/cancertopics/types/leukemia Acute Lymphoblastic Leukemia in Children National Cancer Institute. 2009. 22-3 3. Functional Expression of Fas (CD95) in Acute Myeloid the

Context of CD34 and CD38 Expression: Possible Correlation With Leukemia Cells in Sensitivity to Chemotherapy
Narikazu Iijima, Koichi Miyamura, Toshihide Itou, Mitsune Tanimoto, Ryou Sobue and Hidehiko Saito From www.bloodjournal.org. 1997. 22-3

4. CD95 (APO-1/Fas) Mutations in Childhood T-Lineage Acute Lymphoblastic Leukemia


Debatin Christian Beltinger, Elke Kurz, Thomas Bhler, Martin Schrappe, Wolf-Dieter Ludwig and Klaus-Michael. From www.bloodjournal.org. 1998. 22-3

5. http://www.healthsystem.virginia.edu/internet/hematology/hessidb/l eukemias.cfm

University of Virginia. 2008. Leukimias

Você também pode gostar