Você está na página 1de 21

I.

NYERI

DEFINISI Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut. (International Association for the Study of Pain [IASP] Task force, 10994, p.210-211).

PATOFISIOLOGI Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri. Mekanisme Nyeri Nyeri timbul setelah menjalani proses transduksi, transmisi, modulasi dan presepsi. 1. Transduksi Adalah proses rangsangan nyeri (Noksius) yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik yang mengakibatkan depolarisasi membran reseptor nyeri yang kemudian menjadi impuls saraf. 2. Transmisi Nyeri terjadi melalui serabut saraf aferen (serabut nociceptor), yang terdiri dari dua macam: 1. Serabut A- (A- fiber), peka thd nyeri tajam, panas 2. Serabut C (C fiber) , peka thd nyeri tumpul dan lama contoh : nyeri cedera, nyeri inflamasi Mediator inflamasi dapat meningkatkan sensitivitas nociceptor turun nyeri ambang rasa nyeri first pain second pain

Contoh: prostaglandin, leukotrien, bradikinin pada nyeri inflamasi substansi P, CGRP (calcitonin gene-related peptide) pada nyeri neurogenik

3. Modulasi Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer, medulla spinalis atau supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat atau member fasilitasi. Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. 4. Persepsi Adalah pengalaman subjektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf. Nyeri yang sangat dipengaruhi oleh faktor subyektif, walaupun mekanismenya belum jelas. Kapasitas jaringan untuk menimbulkan nyeri apabila jaringan tersebut mendapat rangsangan yang mengganggu bergantung pada keberadaan nosiseptor. Nosiseptor adalah saraf aferen primer untuk menerima dan menyalurkan rangsangan nyeri. Ujung-ujung saraf bebas nosiseptor berfungsi sebagai reseptor yang peka terhadap rangsangan mekanis, suhu, listrik atau kimiawi yang menimbulkan nyeri. Distribusinya tersebar di seluruh tubuh dengan jumlah terbesar berada di kulit.

Reseptor nyeri dan stimulasinya Kapasitas jaringan untuk menimbulkan nyeri apabila jaringan tersebut mendapat rangsangan yang mengganggu bergantung pada keberadaan nosiseptor. Nosiseptor adalah saraf aferen primer untuk menerima dan menyalurkan rangsangan nyeri. Ujung-ujung saraf bebas

nosiseptor berfungsi sebagai reseptor yang peka terhadap rangsangan mekanis, suhu, listrik, atau kimiawi yang menimbulkan nyeri. Saraf perifer terdiri dari akson tiga tipe neuron yang berlainan: neuro aferen atau sensorik primer, neuron motorik, dan neuron pascaganglion simpatis. Serat pascaganglion simpatis dan motorik adalah serat eferen (membawa impuls dari medulla spinalis ke jaringan dan organ efektor). Badan sel dari neuron aferen primer terletak di akar dorsal (posterior) nervus spinalis. Setelah keluar dari badan selnya di ganglion akar dorsal (GAD), akson saraf aferen primer terbagi menjadi dua prosesus: satu masuk ke kornu dorsalis medulla spinalis, dan yang lain mempersarafi jaringan. Serat-serat aferen primer diklasifikasikan berdasarkan ukuran, derajat mielinisasi, dan kecepatan hantaran. Serat aferen A-alfa (A- ) dan A-beta (A- ) berukuran paling besar dan bermielin serta memiliki kecepatan hantaran tertinggi. Serat-serat ini berespons
2

terhadap sentuhan, tekanan, dan sensasi kinestetik. Namun, serat-serat ini tidak berespons terhadap rangsangan yang mengganggu sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai nosiseptor. Sebaliknya, serat aferen primer A-delta yang bergaris tengah kecil dan sedikit bermielin serta serat aferen primer C yang tidak bermielin berespons secara maksimal hanya apabila lapangan reseptif mereka mendapat rangsangan nyeri yang mengganggu sehingga diklasifikasikan sebagai nosiseptor. Aferen primer C dan A-delta dapat dibedakan oleh dua tipe nyeri yang ditimbulkan, yang disebut nyeri lambat dan nyeri cepat. Sinyal nyeri cepat disalurkan ke medulla spinalis oleh serat A-delta dan dirasakan dalam waktu 0,1 detik. Nyeri cepat biasanya memiliki lokalisasi yang jelas dengan kualitas menusuk, tajam, atau elektris. Nyeri cepat timbul sebagai respons terhadap rangsangan mekanis (misalnya, sayatan, tusukan) atau suhu di permukaan kulit tetapi tidak dirasakan di jaringan tubuh sebelah dalam. Nyeri lambat disalurkan oleh serat aferen C dan dirasakan 1 detik setelah rangsangan yang mengganggu. Nyeri lambat memiliki lokalisasi yang kurang jelas dengan dengan kualitas seperti terbakar, berdenyut, atau pegal. Nyeri lambat dapat dipicu oleh rangsangan mekanis, suhu, atau kumiawi di kulit atau sebagian besar jaringan atau organ dalam dan biasanya disertai kerusakan jaringan. Karena system persarafan nyeri yang ganda ini, maka cedera jaringan sering menimbulkan dua sensasi nyeri yang tersendiri: nyeri tajam yang lebih awal (disalurkan oleh serat A-delta) diikuti oleh nyeri tumpul, seperti terbakar, yang sedikir banyak berkepanjangan (disalurkan oleh serat nyeri C).

Zat-zat penghasil nyeri Pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zatzat kimia bersifat algesik yang berkumpul di sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi tersebut diantaranya: Bradiknin, histamine, katekolamin, sitokinin, serotonin, proton, leukotrien, prostaglandin, substansi P dan 5-hidoksi triptamin. Nyeri ini dapat berlangsung bejam-jam sampai berhari-hari

Respon sistemik terhadap nyeri Nyeri akut berhubungan dengan respon neuro-endokrin sesuai derajat nyerinya. Nyeri akan menyebabkan peningkatan hormone katabolic (katekolamin, kortisol, glucagon, rennin,
3

aldosteron, angiotensisn, hormone antidiuretik) dan penurunan hormone anabolic (insulin , testosteron). Manifestasi nyeri dapat berupa hipertensi, takikardi, hiperventilasi (kebutuhan O2 dan produksi CO2 meningkat), tonus sfingter saluan cerna dan saluran air kemih meningkat. Klasifikasi nyeri
1. Berdasarkan durasi, nyeri dapat dibagi menjadi : a. Nyeri akut yaitu nyeri yang mereda setelah intervensi atau penyembuhan.

y
y

Nyeri somatik superficial adalah nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superficial kulit dan jaringan subkutis. Nyeri somatik dalam adalah nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri.

Nyeri viscera adalah nyeri yang berasal dari organ-organ tubuh.

b. Nyeri kronik
adalah nyeri yang masih berlanjut walaupun pasien diberi pengobatan atau penyakit tampak sembuh dan nyeri tidak memiliki makna biologik.

2. Berdasarkan penyebabnya, nyeri dapat dibagi menjadi : a. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi yaitu nyeri yang timbul akibat adanya rangsangan terhadap nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu ujung saraf bebas yang berakhir pada kulit untuk mendeteksi suatu nyeri kulit. Nosiseptor juga terdapat pada tendon dan sendi, untuk mendeteksi nyeri somatik dan pada organ tubuh untuk mendeteksi nyeri visceral. Reseptor nyeri ini sangat banyak pada kulit, sehingga suatu stimulus yang menyebabkan nyeri sangat mudah dideteksi dan dilokalisasi tempat rangsangan tersebut terjadi pada kulit. Input noksius ditransmisikan ke korda spinalis dari berbagai ujung saraf bebas pada kulit, otot, sendi, dura, dan viscera.

Proses inflamasi dalah proses unik baik secara biokimia atau selular yang disebabkan yang disebabkan oleh kerusakan jaringan atau adanya benda asing. Proses inflamasi tidak hanya berusaha menghilangkan jaringan yang rusak, tetapi berusaha pula untuk menyembuhkannya. (3,5)
4

Tanda-tanda utama inflamasi ialah: 1. Rubor (kemerahan jaringan) 2. Kalor (kehangatan jaringan) 3. Tumor (pembengkakakn jaringan) 4. Dolor (Nyeri pada jaringan) 5. Fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan)

b. Nyeri neuropatik yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada system saraf. Nyeri biasanya bertahan

lebih lama dan merupakan proses input sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer atau sistem saraf pusat. Nyeri neuropatik berasal dari saraf perifer di sepanjang perjalanannya atau dari sistem saraf pusat karena gangguan fungsi, tanpa melibatkan eksitasi nosiseptor. Pasien mungkin akan mengalami : rasa terbakar, tingling, shock like, shooting, hyperalgesia atau allodynia. Biasanya lebih sulit diobati
c. Nyeri Alih

Adalah nyeri yang berasal dari salah satu daerah tubuh tapi dirasakan terletak di tempat lain. Nyeri visera sering dialihkan ke dermatom yang dipersarafi oleh oleh segmen medula spinalis yang sama dengan viskus yang nyeri tersebut.

Pembagian Dermatom Tubuh C2 - posterior half of the skull cap C3 - area correlating to a high turtle neck shirt C4 - area correlating to a low-collar shirt C6 - (radial nerve) 1st digit (thumb) C7 - (median nerve) 2nd and 3rd digit C8 - (ulnar nerve) 4th and 5th digit, also the funny bone T4 - nipples. T5 - Inframammary fold. T6/T7 - xiphoid process. T10 - umbilicus (important for early appendicitis pain) T12 - pubic bone area. L1 - inguinal ligament L4 - includes the knee caps S2/S3 - genitalia

d. Nyeri psikologik bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. 3. Berdasarkan kualitasnya nyeri dibagi menjadi menjadi

a. Nyeri cepat (fast pain) Nyeri ini singkat dan tempatnya jelas sesuai dengan rangsang yang diberikan misalnya nyeri tusuk, nyeri pembedahan. Nyeri ini dihantar oleh serabut sraf kecil bermielin jenis A-delta dengan kecepatan konduksi 12-30 meter/ detik. b. Nyeri lambat (slow pain) Nyeri ini sulit dilokalisir dan tak ada hubungan dengan rangsang misalnya rasa terbakar, rasa berdenyut atau rasa ngilu , linu. Nyeri ini dihantar oleh serabut saraf primitive tak bermielin tipe C dengan kecepatan konduksi 0,5-2 meter/ detik.

Skala nyeri Kualitas nyeri dapat dinilai secara sederhana meminta pasien menjelaskan nyeri dengan kata-kata mereka sendiri (misalnya tumpul, berdenyut, dll), tingkah laku pasien, Secara sederhana nyeri setelah pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan pada yang bersangkutan dan biasanya dikatagorikan sebagai: tidak nyeri (none), nyeri ringan (mild, slight), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe) dan sangat nyeri (very severe, intolerable). Skala nyeri juga dapat dinilai dengan alat bantu, yang paling sering digunakan untuk menilai intensitas atau keparahan pasien adalah skala verbal dasar (VRS, Verbal rating scales), skala analog visual (VAS, visual analogue scales).

Secara sederhana nyeri pasca bedah pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan pada yang bersangkutan dan biasanya dikategorikan sebagai: 1. Tidak nyeri (none) 2. Nyeri ringan (mild, slight) 3. Nyeri sedang (moderate) 4. Nyeri berat (severe) 5. Sangat nyeri (very severe, intorable)

II.

PENATALAKSANAAN NYERI

Tujuan penatalaksanaan nyeri 1. Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri 2. Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang persisten 3. Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri 4. Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri 5. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari

Prinsip penatalaksanaan nyeri Pengobatan nyeri harus dimulai dengan analgesik yang paling ringan sampai ke yang paling kuat, Tahapannya: y y y y Tahap I : analgesik non-opiat : AINS Tahap II: analgesik AINS + ajuvan (antidepresan) Tahap III :analgesik opiat lemah + AINS + ajuvan Tahap IV :analgesik opiat kuat + AINS + ajuvan

Contoh ajuvan : antidepresan, antikonvulsan, agonis 2, dll.

Nyeri nosiseptif Pada nyeri nosiseptif timbul akibat stimulasi reseptor nyeri yang berasal dari organ visceral atau somatik. Stimulus nyeri berkaitan dengan inflamasi jaringan, deformasi mekanik, injuri yang sedang berlangsung atau destruksi. Oleh karena itu penting untuk mencari dan mengobati jaringan yang rusak atau yang mengalami inflamasi sebagai penyebab nyeri. Sebagai contoh, pasien datang dengan nyeri nosiseptif akibat polymyalgia rheumatic maka diberikan
10

kortikosteroid sistemik. Akan tetapi, sementara mencari penyebab nyeri, tidak ada pendapat yang melarang pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri. Nyeri nosisepsi ini sendiri dapat berupa akut maupun kronik. Beberapa literatur mengemukakan bahwa nyeri nosisepsi yang akut itu berupa kerusakan soft tissue, atau inflamasi. Hal ini lebih mudah ditangani, yaitu dapat dengan menghilangkan penyebab nyeri itu sendiri misalnya seperti yang dikemukakan diatas, yaitu dengan pemberian opioid misalnya morfin, sedangkan yang non-opioid dapat berupa aspirin yang mekanisme kerjanya menginhibisi sintesis prostaglandin dan AINS, parasetamol. Selain itu dapat juga diberikan analgesia regional baik secara sederhana yaitu dengan blok saraf dan anestesi lokal, maupun dengan teknologi tinggi berupa epidural infussion dan anastetik opioid lokal.

Nyeri akut Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Istilah pukul dulu, urusan belakang tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip tatalaksana nyeri akut. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Nyeri kronik Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan nyeri. Nyeri Neuropati Hampir sebagian besar nyeri neuropatik tidak berespon terhadap OAINS dan analgesik opioid Terapi utamanya : Tricyclic antidepressants (TCA's), anticonvulsants dan systemic lokal anestesi.

11

TERAPI FARMAKOLOGIS Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS) Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen(Tylenol) dan OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan hingga sedang, Golongan ini selain bersifat analgesia juga sebagai anti inflamasi dan antipiretik serta anti pembekuan darah. Penyakit meradang yang kronik seperti arthritis, dan nyeri akibat-kanker yang ringan. OAINS menghasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme nosiseptor aferen primer dengan menghambat sintesis prostaglandin.Golongan analgetik nonopioid ini digunakan sebagai tambahan untuk menghindari efek samping opioid berupa depresi napas. Efek samping yang sering adalah iritasi GI/ulkus peptikum dan menghambat agregasi platelet. Inhibitor COX-2 spesifik (seperti celecoxib dan lumiracoxib) mengurangi resiko efek samping tersebut. Inhibitor COX-2 bersifat selektif karena hanya menghambat jalur COX-2. Tidak terpengaruhnya jalur COX-1 ini melindungi produk-produk prostaglandin yang baik yang diperlukan untuk fungsi fisiologis seperti melindungi mukosa lambung dan filtrasi glomerulus di ginjal. Contoh dari OAINS adalah :

1. Asetosal (asam asetilsalisilat, Aspirin) Obat ini memiliki aktivitas analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi dan juga memiliki efek antiplatelet sehingga dapat mencegah pembekuan darah. Sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan gangguan pembekuan darah (misalnya hemofili), sirosis hati, trombositopenia, atau pada pasca operasi.Asetosal bersifat asam, dapat menyebabkan iritasi mukosa lambung. Sebaiknya jangan diminum ketika lambung kosong dan tidak direkomendasikan bagi pasien yang memiliki riwayat gangguan lambung. Dosis asetosal untuk dewasa ialah 325 mg-650 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 1520 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak melebihi 3,6 g per hari. Penggunaan obat ini dapat menyebabkan Reyes syndrome (suatu gangguan serius pada sistem hepatik dan susunan saraf pusat), sebaiknya tidak digunakan pada anak-anak di bawah 12 tahun. Beberapa referensi menunjukkan bahwa 20% pasien asma memiliki sensitivitas/alergi terhadap aspirin. Sebaiknya obat ini tidak digunakan pada pasien dengan
12

riwayat alergi (rinitis, urtikaria, asma, anafilaksis, dll). Aspirin sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil karena dapat memperpanjang waktu kelahiran dan meningkatkan resiko pendarahan pasca kelahiran (post-partum). 2. Acetaminophen Acetaminophen hampir sama efektifnya dengan aspirin dalam sifat analgetik-anti piretik, namun acetaminophen kurang memiliki efek anti inflamasi. Acetaminophen juga dapat dikombinasikan dengan opioid analgesics. Dosis oral 500-1000 mg/ 4-6 jam. Dosis maksimal dari acetaminophen untuk penggunaan jangka pendek adalah 4.000 mg per hari. Dosis maksimal harus diperhatikan dalam penggunaan obat ini untuk menghindari efek sampingnya yaitu hepatotoksik.Efek samping terhadap gangguan lambung dan pembekuan darah minimal. 3. Asam Mefenamat Obat ini memiliki khasiat analgetik, antipiretik dan anti-inflamasi yang cukup, tapi tidak lebih kuat daripada asetosal. Asam mefenamat bersifat asam sehingga dapat menyebabkan gangguan lambung. Obat ini sebaiknya jangan diminum pada saat perut kosong, atau pada pasien dengan riwayat gangguan saluran cerna/lambung. Efek sampingnya adalah diare, trombositopenia, anemia hemolitik, dan ruam kulit. Penggunaan obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan pada anak-anak dan wanita hamil serta tidak digunakan dalam jangka waktu lebih dari seminggu, dan pada pemakaian lama perlu dilakukan pemeriksaan darah.

4. COX-2 inhibitors Dalam perbandingannya dengan OAINS konvensional, muncul suatu hipotesis yang disebut sebagai hipotesis COX-2 (the COX-2 hypothesis). Hipotesis ini mengatakan bahwa pada dosis efektif yang sama, coxib akan menyebabkan efek samping gastrointestinal berat yang lebih sedikit dibandingkan dengan OAINS nonselektif konvensional. Hipotesis ini didasarkan pada asumsi bahwa: a) penghambatan terhadap COX-2 hanya sedikit dan seperlunya untuk efek analgesik/antiinflamasinya, dan b) penghambatan terhadap COX-1 sebagian besar akan menimbulkan terjadinya toksisitas gastrointestinal yang serius. Sampai saat ini masih banyak pertanyaan tentang pasien manakah yang diperbolehkan mendapat penghambat Cox-2 selektif sebagai pilihan pertama dibanding dengan OAINS non- selektif.
13

Konsensus yang ada menyatakan bahwa penghambat Cox-2 selektif dapat diberikan pada pasien dengan risiko tinggi terjadi komplikasi gastrointestinal tetapi tidak pada pasien dengan risiko rendah. Coxibs adalah salah satu contoh COX-2 inhibitor dan merupakan terapi yang efektifdalam manajemen nyeri nosiseptif. Coxibs dapat digunakan sebagai monoterapi pada nyeri akut dan juga dapat dikombinasikan dengan analgesic opioid pada nyeri kronik. Penggunaan rofecoxib memperkecil resiko terjadinya komplikasi pada lambung. Efek samping dari obat ini adalah dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi, CHF, dan gagal ginjal. 5. Ketorolak Ketorolak menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat. Seperti OAINS lain tidak dianjurkan digunakan wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita yang sedang menyusui, usia lanjut, anak usia kurang dari 4 tahun, dan gangguan perdarahan. Diberikan secara oral, atau intramuskular atau intravena. Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang tiap 4-6 jam. Untuk pasien normal dosis maksimal 90 mg/ hari, untuk pasien dengan berat badan kurang dari 50kg, manula, atau gangguan ginjal maksimal 60mg/hari. Sifat analgetiknya setara dengan opioid yaitu 30mg ketorolak= 12 mg morfin=100 mg petidin. Dapat digunakan bersamaan dengan opioid.

Efek samping golongan OAINS: 1. Gangguan saluran cerna Nyeri lambung, mual muntah, konstipasi, dispepsia, perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa lambung. 2. HIpersensitivitas kulit Pruritus, erupsi, urtikaria 3. Gangguan fungsi ginjal 4. Gangguan fungsi hepar 5. Gangguan sistem darah Trombositopenia, leukimia, anemia aplastik. 6. Peningkatan tonus otot bronkus
14

7. Keamanannya belum terbukti pada wanita hamil, wanita menyusui, anak kecil dan manula.

Analgesik Opioid Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Analgesik opioid efektif dalam penanganan nyeri nosiseptif maupun neuropatik. Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain. Opioid digolongkan menjadi: 1. Agonis Mengaktifkan reseptor Contoh: Morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin. 2. Antagonis Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor Contoh: Nalokson, naltrekson 3. Agonis-antagonis Pentasosin, nalbufin,butarfanol, buprenorfin

Dalam klinik opioid digolongkan menjadi golongan opioid lemah (misalnya kodein) dan kuat (morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain, opioid golongan natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil).

Reseptor opioid terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi retikular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa. Reseptor opiat ada 5 yaitu
15

Reseptor

(mu) :

1, Berperan dalam Analgesia dan sedasi. 2, Analgesia spinal, depresi napas ,Euforia, ketergantungan fisik, kekakuan otot.

y y y y

Reseptor (delta) : Berperan dalam analgesia spinal, epileptogen. Reseptor Reseptor (kappa) : Berperan dalam analgesia spinal, miosis, sedasi (sigma): Disforia, halusinasi, stimulasi jantung.

Reseptor (epsilon): Respon hormonal

Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid di substansia grisea yaitu di periaquaduktus dan periventrikular. Sedangkan pada sistem spinal di sbstansia gelatinosa korda spinalis. Morfin (agonis) terutama bekerja di reseptor (mu) dan (kappa).

Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada reseptor . Reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama dan , namun belum diketahui

pada tingkat spinal. Morfin juga bekerja melalui reseptor

besarnya peran kerja morfin melalui kedua reseptor ini dalam menimbulkan analgesia. Opiod menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Ketiga jenis reseptor ini didapatkan di kordu dorsalis medulla spinalis. Reseptor didapatkan baik pada saraf yang mentransmisi nyeri di medulla spinalis maupun pada afferent primer yang merelai nyeri. Agonis opioid melalui ketiga reseptor ini pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmitter dan selanjutnya menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medulla spinalis. Dengan demikian, opioid memiliki efek analgetik yang kuat melalui pengaruh pada medulla spinalis. Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip, termasuk depresi pernapasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan ketagihan (adiksi). Contoh analgesik opioid adalah : 1. Morfin Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lainnya dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).

16

Terhadap system saraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Yang digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi, termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual-muntah, hiperaktif reflex spinal, konvulsi dan sekresi hormone antidiuretik (ADH). Terhadap sistem jantung-sirkulasi

dosis besar merangsang vagus dan berakibat bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Morfin menyebabkan hipotensi ortostatik. Terhadap sistem respirasi dapat menyebabkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu di kontra-indikasikan untuk pasien dengan asma dan bronchitis kronis. Terhadap sistem saluran cerna morfin menyebabkan konstipasi. Kejang sfingter Oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga tidak dianjurkan digunakan pada gangguan empedu. Kolik empedu menyerupai serangan jantung, untuk membedakannya diberikan antagonis opioid. Terhadap sistem ekskresi ginjal morfin menyebabkan kejang sfingter buli-buli yang berakibat retensio urin. Morfin digunakan sebagai standar analgesik opiat lain. Umumnya diberikan secara s.c., i.m, iv. Dosis oral 2 x dosis injeksi. Morfin digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesic non-opioid. Efek samping dari morfin adalah depresi respirasi, mual-muntah, konstipasi, dll. Absorpsi dosis paruh waktu kira-kira 30 menit setelah suntikan subkutan dan 8 menit setelah intramuskular. Dosis anjuran untuk menhilangkan nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kgBB subkutan atau intramuskular dan dapat diulangi setiap 4 jam. Untuk mengurangi nyeri dewasa pasca bedah atau nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0,050,2 mg intratekal. Dan dapat diulang antara 6-12 jam.

2.

Meperidin (petidin) Meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria, depresi napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin serupa dengan efek analgetik morfin. Efek analgetik meperidin timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkana analgesia dan diindikasikan atas dasar masa kerjanya lebih
17

pendek daripada morfin. Meperidin diberikan peroral atau IM dengan dosis 50-100 mg. Efek sampingnya adalah pusing, berkeringat, mulut kering, euphoria, palpitasi, dll. 3. Fentanil Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100x morfin. Lebih larut lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Pada iv ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dan sisa metabolismenya dikeluarkan melalui urin. Efek depresi napasnya lebh lama dibandingkan efek analgesianya. Dosis 1-3ug/kgbb analgesianya kira-kira hanya berlangsung 30 menit , karena itu hanya digunakan untuk anestesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 ug /kgBB digunakan untuk induksi anestesi dan pmeiharaan anestesi dangan kombinasi benzodiazepin dan nestetik inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Efek yang tidak disukai adalah kekakuan otot punggung yang dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah penigkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol. 4. Sufentanil Sifat sulfentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3 mg/kgBB.

5.

Alfentanil Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual muntahnya sangat besar. Mula kerjanya cepat. Dosis analgesinya 10-20ug/kgBB.

6.

Tramadol Tramadol (tramal) adalah analgesia sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan kelemahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol diberikan secara oral, i.m atau i.v. dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari.

ANTAGONIS OPIOID
18

1. Nalokson Nalokson ialah opioid murni opioid yang bekerja pada reseptor mu, elta, dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapat morfin akan terlihat laju napas meningkat, kantuk menghilang, pupil mata dilatasi, tekanan darah kalau sebelumnya rendah akan meningkat. Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir pembedahan dengan dosis dicicil 1-2ug/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5menit sampai ventilasi dianggap baik. Dosis lebih dari 0,2mg jarang digunakan. Dosis intramuskular 2x dosis intravena. Pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan per infus dosis 3-10ug/kgBB Untuk depresi napas neonatus yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson 10ug/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10 ml, sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg.

2. Naltrekson Naltrekson merupakan antagonis opioid kerja panjang yan biasanya diberikan per oral, pada pasien dengan ketergantungan opioid . Waktu paruh plasma 8-12 jam. Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus , mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan. Tanpa menghilangkan efek analgesianya.

3. Metadon Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi oleh morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah pemberian oral. Metadon digunakan sebagai pengganti morfin untuk mencegah dan mengatasi gejala putus obat yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan muntah.

19

Terapi adjuvats 1. Anti kejang Anti kejang seperti karbamazepin atau fenitoin terbukti efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. 2. Antidepressan Trisiklik Seperti amitriptilin atau imipramin adalah analgetik yang efektif untuk nyeri neuropati. 3. Diazepam Efektif untuk nyeri akibat kejang otot.

Pendekatan Nonfarmakologik Metode non farmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok : terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupungtur,, aplikasi panas atau dingin, olahraga). Sedangkan, startegi kognitif-prilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, dan member pasien perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hypnosis, dan biofeedback.(9)

Metoda Penghilang Nyeri Biasanya digunakan analgetik golongan opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti inflammatory drugs) untuk nyeri sedang atau ringan. Metoda menghlangkan nyeri dengan cara sistemis (oral, rectal, trans dermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau per infus). Cara yang sering digunakan dan paling digemari adalah intramuskular opioid. Metode regional misalnya dengan epidural opioid (untuk dewasa morfin 1-6 mg, petidin 2060 mg, fentanil 25-100 ug) atau intra spinal opioid (untuk dewasa morfin0,1-0,3 mg, petidin 1030 mg, fentanil 5-25 ug). Kadang-kadang digunakan metoda infiltrasipada luka operasi sebelum pembedahan selesai misalnya pada sirkumsisi atau pada luka apendektomi.

20

DAFTAR PUSTAKA

y y y y

Hartwig MS, Wilson LM. Nyeri. In : Price SA, Wilson LM, eds. Patofisiologi : Konsep Klinis Prosesproses Penyakit. 6th ed. Vol 2. Jakarta: EGC; 2006. p. 1063 1103. Latief AL, Suryadi KA, Dachlan MR : Petunjuk praktis Anestesiologi. 2nd ed. Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi intensif FKUI; 2010. Champe PC, Myeck MJ, Harvey RA: Farmakologi Ulasan Bergambar. 2nd ed. Jakarta: Widya Medika; 2001 Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain. [serial on line]. December 2007 [cited 2010 November 15] : Volume 20 Number 4. Available from :

URL:http://www.dexamedica.com/images

21

Você também pode gostar