Você está na página 1de 7

Upacara/Upakara dalam Agama Hindu

Oleh : Ni Made Wiratini

SEMUA ajaran yang menjiwai kehidupan beragama Hindu dinafasi oleh semangat ajaran Weda. Agar penerapan dharma sebagai kebenaran itu sukses, harus diterapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan. Ada lima pertimbangan yaitu : Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksa merupakan tujuan pasti atau cita-cita seseorang; Sakti merupakan kemampuan seseorang atau masyarakat; Desa yaitu disesuaikan dengan keadaan masyarakat dengan menerapkan nilainilai Weda; Kala yaitu berkaitan dengan waktu saat membuat dan melaksanakan upacara harus mencari waktu baik (hala-hayu dewasa) dan waktu saat nilai-nilai weda di terapkan; serta Tattwa merupakan kebenaran weda sebagai prinsif dasar yang tidak boleh dilanggar yang merupakan jiwa dari semua kreasi dan tradisi terealisasi dalam kehidupan sehari-hari. Upakara atau banten yang kita buat harus mempunyai tujuan yang pasti kemudian disesuaikan dengan kemampuan yang bersangkutan atau masyarakat dan keadaan wilayah yang bersangkutan dengan tidak menyimpang dari ajaran weda; banten juga disesuaikan dengan waktu yang tepat sehingga tercapai tujuan yang diharapkan. Yang tak kalah pentingnya lagi adalah Tattwa (kebenaran). Semua banten yang kita buat, banten apa pun itu namanya, hendaknya disesuaikan dengan ucap sastra atau kitab suci untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Upacara agama Hindu sebagai suatu wujud acara yang merupakan salah satu unsur dari Tri Kerangka Agama Hindu yang bertujuan untuk mentradisikan ajaran Weda. Dengan Tattwa sebagai intinya atau jiwanya dan susila sebagai landasan moral dalam pelaksanaannya atau penggarapannya yang ketiganya ini dibaratkan sebagai sebutir telur. Dengan upacara sebagai kulit luarnya, etika sebagai putihnya dan Tattwa sebagai kuningnya. Bila ketiga unsur ini berfungsi dengan baik, maka telur akan menetas dengan sempurna. Demikian pula halnya dengan kerangka agama Hindu ini, bila ketiga unsurnya berfungsi dengan baik, sudah pasti kebenaran agama akan terwujud. Jika kita melihat arti dari upacara itu sendiri, maka upacara yang merupakan salah satu pelaksanaan dari yadnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan. Sementara upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan tangan. Upacara yang kita laksanakan sebagai tradisi ini melahirkan budaya simbol (Nyasa) yang kaya akan makna filosofis. Sebelum kita mengerjakan banten, kita harus mengetahui pengertian dari banten itu sendiri. Dalam Lontar Yadnya Prakerti Banten memiliki tiga arti sebagai bahasa simbol ritual yang sacral: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara, Pinaka Anda Bhuvana. Yaitu 1. Banten itu merupakan perwujudan dari keinginan atau pikiran menusia. Banten diibaratkan sebagai manusia yang terdiri dari kepala, badan, kaki, ada jiwa, pikiran dan jasmani. 2. Banten merupakan simbul-simbul dari sinar suci Tuhan dalam manifestasi-Nya. 3. Banten dapat melambangkan dunia beserta isinya. Jadi Banten merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Banten tidak

akan mempunyai pahala apa-apa bila dalam pengerjaannya tidak dilandasi dengan ketulus ikhlasan, pikiran dipenuhi kebencian; tidak tahu kemana tujuannya dan apa fungsi banten itu, lebih-lebih lagi tidak sesuai dengan petunjuk kitab suci agama/Veda. Didalam banten selalu ada unsur Rwa Bineda yaitu unsur Purusa dan Pradhana sebagai unsur utama kehidupan. Banten berfungsi sebagai : 1. Banten sebagai persembahan dan tanda terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. 2. Bantuan sebagai alat penyucian. 3. Sebagai alat konsentrasi pikiran untuk memuja Tuhan.** < SEMUA ajaran yang menjiwai kehidupan beragama Hindu dinafasi oleh semangat ajaran Weda. Agar penerapan dharma sebagai kebenaran itu sukses, harus diterapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan. Ada lima pertimbangan yaitu : Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksa merupakan tujuan pasti atau cita-cita seseorang; Sakti merupakan kemampuan seseorang atau masyarakat; Desa yaitu disesuaikan dengan keadaan masyarakat dengan menerapkan nilainilai Weda; Kala yaitu berkaitan dengan waktu saat membuat dan melaksanakan upacara harus mencari waktu baik (hala-hayu dewasa) dan waktu saat nilai-nilai weda di terapkan; serta Tattwa merupakan kebenaran weda sebagai prinsif dasar yang tidak boleh dilanggar yang merupakan jiwa dari semua kreasi dan tradisi terealisasi dalam kehidupan sehari-hari. Upakara atau banten yang kita buat harus mempunyai tujuan yang pasti kemudian disesuaikan dengan kemampuan yang bersangkutan atau masyarakat dan keadaan wilayah yang bersangkutan dengan tidak menyimpang dari ajaran weda; banten juga disesuaikan dengan waktu yang tepat sehingga tercapai tujuan yang diharapkan. Yang tak kalah pentingnya lagi adalah Tattwa (kebenaran). Semua banten yang kita buat, banten apa pun itu namanya, hendaknya disesuaikan dengan ucap sastra atau kitab suci untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Upacara agama Hindu sebagai suatu wujud acara yang merupakan salah satu unsur dari Tri Kerangka Agama Hindu yang bertujuan untuk mentradisikan ajaran Weda. Dengan Tattwa sebagai intinya atau jiwanya dan susila sebagai landasan moral dalam pelaksanaannya atau penggarapannya yang ketiganya ini dibaratkan sebagai sebutir telur. Dengan upacara sebagai kulit luarnya, etika sebagai putihnya dan Tattwa sebagai kuningnya. Bila ketiga unsur ini berfungsi dengan baik, maka telur akan menetas dengan sempurna. Demikian pula halnya dengan kerangka agama Hindu ini, bila ketiga unsurnya berfungsi dengan baik, sudah pasti kebenaran agama akan terwujud. Jika kita melihat arti dari upacara itu sendiri, maka upacara yang merupakan salah satu pelaksanaan dari yadnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan. Sementara upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan tangan. Upacara yang kita laksanakan sebagai tradisi ini melahirkan budaya simbol (Nyasa) yang kaya akan makna filosofis. Sebelum kita mengerjakan banten, kita harus mengetahui pengertian dari banten itu sendiri. Dalam Lontar Yadnya Prakerti Banten memiliki tiga arti sebagai bahasa simbol ritual yang

sacral: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara, Pinaka Anda Bhuvana. Yaitu 1. Banten itu merupakan perwujudan dari keinginan atau pikiran menusia. Banten diibaratkan sebagai manusia yang terdiri dari kepala, badan, kaki, ada jiwa, pikiran dan jasmani. 2. Banten merupakan simbul-simbul dari sinar suci Tuhan dalam manifestasi-Nya. 3. Banten dapat melambangkan dunia beserta isinya. Jadi Banten merupakan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Banten tidak akan mempunyai pahala apa-apa bila dalam pengerjaannya tidak dilandasi dengan ketulus ikhlasan, pikiran dipenuhi kebencian; tidak tahu kemana tujuannya dan apa fungsi banten itu, lebih-lebih lagi tidak sesuai dengan petunjuk kitab suci agama/Veda. Didalam banten selalu ada unsur Rwa Bineda yaitu unsur Purusa dan Pradhana sebagai unsur utama kehidupan. Banten berfungsi sebagai : 1. Banten sebagai persembahan dan tanda terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. 2. Bantuan sebagai alat penyucian. 3. Sebagai alat konsentrasi pikiran untuk memuja Tuhan.**

Masyarakat India kebanyakannya beragama Hindu. Bagi masyarakat India keluarga merupakan unit asas dan terpenting. ( Azhar Hj. Md Aros dan Azharuddin Mohd Dali 10

2000 : 164). Masyrakat India juga mengamalkan sistem keluarga bersama (joint family). Apa yang penting dalam masyarkat India ialah konsep terse but yang membentuk keperibadian dan jati diri masyrakat India agar bertindak mengikut lunas-lunas yang dibenarkan oleh ajaran agama mereka. Keluarga bersama dibentuk oleh keanggotaan semua anggota lelaki yang seketurunan, isteri serta anak-anak yang belum berkahwin. Sekiranya anak perempuan berkahwin mereka akan menjadi anggota keluarga suaminya. Tujuan berkeluarga adalah untuk mendapatkan zuriat sebagai penyambung keturunan. ( Azhar Hj. Md Aros dan Azharuddin Mohd Dali 2000: 164). Apa yang dititikberatkan oleh masyarakat India ialah perpaduan di antara ahli keluarga dipelihara dengan nilai kasih sayang dan memberi perhatian kepada semua golongan. Kepercayaan serta budaya keluarga dipelihara dan diperturunkan kepada generasi muda. Sistem keluarga bersama juga mengalami kemorosotan kerana tidak dapat bertahan dengan cabaran-cabaran semasa dan arus permodenan terutama pengaruh daripada Barat menerusi Media massa dan ICT. Sistem keluarga dipelihara oleh dua aspek utama iaitu ashrama dharma iaitu tahap yang harus dilalui oleh manusia dan purusartha iatu empat objektif mulia yang mesti ada bagi setiap insan. Di si;ni saya memperjelaskan tentang empat objektif mulia dalam membentuk jatidiri masyarakat India: ( G. Sivapalan dan M. Rajanthheran dalam Tamadun Islam dan Tamadun Asia UM : 2002: 255-256). 11

1.

Aramldharma iaitu diperolehi melalui pendidikan yang bersifat kerohanian yang mementingkan

moral dan etika ianya merupakan objektif yang utama dalam kehidupan ini.
11.

Porullartha iaitu kekayaan. Individu yang berkemahiran hendaklah bekerja dan mencari dan

mengumpul kekayaan melalui cara yang halal. iii. Inbamlkama iaitu orang yang mengumpulkan kekayaan secara halal hendaklah menikmati kekayaan tersebut dan berlandaskan moral dan etika. Tujuan mencari rezeki ialah untuk memberi makan dan pakai ahli keluarga.
IV.

Vidulmoksha iaitu pencapaian kebebasan kerohanian di mana golongan tua yang menunggu saat

kematian dapat mengatasi nafsu dan keinginan terutama perkara-perkara duniawi. Mereka melakukan keIja amal disamping menyebarkan ajaran -ajaran agama. ( Esa Khalid dan Mohd Azhar Abd Hamid 2004 ; 359-360). Secara ringkasnya, agama Hindu mata menitkberatkan kehidupan yang lebih baik berbanding kehidupan sebelumnya. Setiap individu perlu melakukan segala kebaikan dan tidak melakukan kerosakan terhadapa makhluk yang lain sama ada manusia atau haiwan. Sekiranya mereka mempunyai nilai-nilai murni dan mengamalkannya maka mereka akan dilahirkan semula dengan mempunyai daIjat yang tinggi pada kelahiran akan datang sehingga ia mencapai Mokhsa iaitu bebas daripada pusingan kelahiran. Sekiranya sebaliknya mereka akan dilahirkan dengan daIj at yang rendah. Proses ini berterusan sehingga individu dapat membebaskan rohnya daripada kelahiran semula dengan melakukan kebaikan. ( Esa Khalid dan Mohd Azhar Abd Hamid 2004 ; 360). 12

Kepercayaan inilah yang membentuk keperibadian masyarakat India dari segi etika dan moral yang mantap agar kehidupan mereka menjurus ke arah yang lebih baik. Ianya dapat menghindar masyarakat tersebut dari me1akukan perkara-perkara yang menyalahi norma-norma dan garis panduan dalam kepercayaan mereka. Penghayatan nilai-nilai murni bangsa Malaysia Kerajaan Malaysia arnat menitikberat persoalan akhlak dan nilai-nilai murni dalam masyarakat yang berbilang bangsa ianya juga terkandung dalarn Wawasan 2020 dimana tumpuannya ke arah melahirkan satu negara bangsa Malaysia yang maju progresif, saintifik dan hidup bersatu padu. Tiga etnik terbesar iaitu Melayu, Cina dan India yang mana mengarnalkan kebudayaan, adat resarn, agarna dan bahasa masing-masing. Masyarakat Malaysia juga mempunyai budaya yang membolehkan mereka berinteraksi diantara satu sarna lain. Kebudayaan masyarakat Malaysia walaupun berbeza mempunyai asas yang sarna iaitu membentuk keperibadian dan jati diri individu ke arah yang lebih baik. Inilah yang membolehkan masyarakat negara kita dapat berinteraksi di antara satu sarna dalarn melaksanakan satu matlamat yang sarna iaitu membentuk masyarkat Malaysia yang bepegang teguh dengan ajaran agarna masing-masing dan mementingkan

AGAMA HINDU
Dharma ( tanggungjawab ) Ahimsa ( kasih sayang ) Dhruthi ( keberanian dan ketetapan ) Kahamaa ( timbang rasa, baik hati ) Damo ( mengawal fikiran ) Stheyam ( tidak tamak ) Vidyaa ( ilmu & pandangan rohani )

Você também pode gostar