Você está na página 1de 9

1

1
AGAMA DAN KEKERASAN SUCI

SyaIiq A. Mughni


Kekerasan adalah Ienomena yang telah ada sejak awal sejarah umat manusia.
Konon, Nabi Adam mempunyai dua orang putera, Qabil dan Habil, yang terlibat dalam
kekerasan. Dalam persaingan untuk memperebutkan saudara perempuannya untuk
dipersunting, Qabil ternyata memenangkan persaingan itu.
1
Karena dendam dan iri hati,
Habil kemudian membunuh Qabil. Drama persaingan antara dua anak Nabi Adam itu
dikisahkan dalam al-Qur`an. Bahkan sebelum manusia diciptakan di muka bumi ini, al-
Qur`an sendiri mengisahkan dialog antara Tuhan dan Malaikat. Ketika Allah
memberitahu bahwa ia akan menciptakan manusia (khalifah) di atas bumi, malaikat
menentang rencana itu dengan alasan bahwa manusia akan membuat kerusakan di muka
bumi (man vufsid fiha) dan melakukan tindak kekerasan sesamanya (vasfik al-dima).
2

Tetapi kehendak Allah untuk menciptakan manusia tersebut tetap dilaksanakan, dan
kemudian apa yang diperkirakan oleh Malaikat itu benar-benar terjadi bahkan pada
generasi kedua, putera Adab, setelah manusia pertama, Adam. Namun perlu disadari
bahwa sekalipun kekerasan itu merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia, al-
Qur`an tetap menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah kejahatan yang harus dicegah.
3

Dalam sebuah catatan disebutkan bahwa selama kurang lebih 5.600 tahun sejak manusia
merekam sejarahnya, lebih dari 14.600 perang telah terjadi. Angka tersebut bukanlah
sesuatu yang bisa dipercaya begitu saja, tetapi itu sekedar menunjukkan bahwa kekerasan
bukan suatu hal yang sangat aneh, seperti halnya bentuk-bentuk kejahatan lainnya.
Sampai detik ini kekerasan tetap menjadi bahan berita sehari-hari di media massa,
sehingga dapat disimpulkan secara mudah bahwa kekerasan merupakan Iaset integral dari
masyarakat umat manusia.
4


1
Al-Qur`an V: 27-31.
2
Al-Qur`an II: 30.
3
al-Qur`an V: 32.
4
K. Deux, F. C. Dane, & L. Wrightsman, Social Psvchologv in the 90s (PaciIic Grove:
Brooks/Cole Publishing Co., 1990), hal. 102.


2
2
Kekerasan (violence) telah menjadi bahan kajian baik oleh ilmuwan sosial,
psikolog, ahli hukum dan agamawan dalam perspektiI masing-masing. Barangkali
relevan untuk melihat salah satu dari sekian banyak teori yang berkembang. Sebagian
sosiolog, misalnya Robert Merton, memandang kekerasan sebagai prilaku menyimpang.
Ia menyatakan bahwa penyimpangan terjadi ketika orang tidak punya pilihan cara yang
sah untuk mendapatkan sesuatu. Pada saat hampir semua orang dalam suatu masyarakat
diajarkan untuk mencapai tujuan yang tidak mungkin dicapai oleh sebagian di antara
mereka melalui cara-cara yang sah, maka mereka akan melakukan penyimpangan,
misalnya tindak kekerasan. Asumsi yang diambil dari teori Merton ini ialah bahwa
penyimpangan akan lebih banyak terdapat dalam kelas sosial-ekonomi yang rendah
dibanding dengan yang tinggi, karena keterbatasan akses kelas bawah cenderung tidak
memiliki cara yang sah untuk bisa berhasil mencapai apa yang diinginkan. Dengan kata
lain, mereka akan terdorong untuk menggunakan cara/alat yang tidak sah, misalnya
kekerasan, untuk mencapai tujuan yang secara budaya menjadi tuntutan. Memang banyak
kritik terhadap teori ini, sebagaimana biasa dalam dunia ilmu sosial, dan kemudian
muncul teori alternatiI yang memberikan perspektiI yang berbeda. Namun teori ini tetap
berguna untuk menjelaskan berbagai Ienomena yang menyebabkan orang memilih
kekerasan untuk mencapai suatu tujuan.
5

Kajian yang lain melihat kekerasan dari sudut pandang yang berbeda. Psikologi,
misalnya, membahas motivasi yang berada di belakang suatu tindak kekerasan. Sebagai
contoh, Eric Fromm menemukan lima macam motivasi yang melatarbelakangi tindak
kekerasan, yaitu plavful violence (kekerasan permainan), seperti pertandingan tinju dan
adu ayam; reactive violence (kekerasan reaktiI), seperti orang membunuh pencuri;
revengeful violence (kekerasan balas dendam), seperti carok pada masyarakat Madura
atau seorang anggota perguruan silat yang menuntut bela atas terbunuhnya seorang guru
di tangan guru dari perguruan lain, shattering of faith (hilangnya kepercayaan), seperti
orang menjadi pembunuh karena tidak percaya lagi terhadap masa depannya atau
kekecewaan terhadap seorang pemimpin yang semula sangat dikagumi; dan

5
Stuart H. Traub & Craig B. Little, Theories of Deviance (Itasca, Illinois: Peacock Publishers,


3
3
compensatorv violence (kekerasan kompensasi), seperti orang yang bersikap kasar
terhadap isterinya untuk mengimbangi kelemahannya.
6

Teori-teori tersebut tentu sangat berguna untuk menjelaskan mengapa dan dalam
situasi bagaimana orang melakukan kekerasan. Sebagai tambahan, kita perlu melihat
berbagai macam kondisi yang mengantarkan terjadinya kekerasan massal. Dalam hal ini,
ada kondisi primer yang berkaitan secara langsung dengan peristiwa kekerasan, dan ada
kondisi sekunder, yang tidak secara langsung berkaitan dengan peristiwa itu tetapi
memberikan 'rumput kering di lapangan sehingga terjadi kebakaran. Jadi, kondisi
primer itu ialah kondisi sosial-budaya-politik-ekonomi yang membuat suatu masyarakat
rawan terhadap meluasnya skala dan akibat kerusuhan atau kekerasan massal yang
mungkin terjadi, misalnya terdesaknya akses kelompok tertentu ke kekuasaan atau
sumber daya; perasaan bahwa mereka terdesak lewat proses yang dipandang tidak adil;
perasaan bahwa kelompok lain telah menguasai akses ke kekuasaan atau sumber daya;
perbedaan suku, agama atau ras; dan etnosentrisme serta eksklusiIisme. Sedang kondisi
sekunder ialah kondisi yang memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi terciptanya
kondisi primer, misalnya tidak terpenuhinya rasa keadilan, insensitivitas pemegang
otoritas, otoritas yang tidak bisa bersikap adil, kesadaran persatuan yang lemah, dan
pengetahuan budaya lokal yang rendah.
7
Tentu saja kondisi-kondisi tersebut di atas tidak
serta-merata berlaku untuk semua peristiwa kekerasan. Setiap peristiwa berkaitan dengan
kondisi primer dan sekunder yang spesiIik.
Jika dikaitkan dengan agama, maka motivasi-motivasi dan kondisi-kondisi yang
menyebabkan lahirnya kekerasan bisa bersinggungan erat dengan agama dalam
pengertian ideologi, tradisi, pemahaman, semangat dan lain-lain. Dalam kerangka ini ada
baiknya kita lihat apa yang dikemukakan oleh G. Bailie. Ia menyatakan bahwa kekerasan
(violence) dan yang suci (the sacred) bisa ada pada saat yang sama. Ia melihat bahwa

Inc., 1985), hal. xiii.
6
Dikutib oleh Drajat Setio Soemitro, 'Sacred Violence: Kekerasan di Indonesia dalam
Pendekatan Psikodinamik, Jurnal Psikologi Sosial, No. IV/Th. VI (Januari 1998) hal. 53-54.
7
Lihat Heddy Shri Ahimsa-Putra, Pluralitas dan Tindak Kekerasan Massal: Paradigma Sosial-
Budaya, makalah disampaikan dalam seminar tentang Pluralitas dan Kekerasan Massal, Fakultas
Sastera, Universitas Airlangga, Surabaya, 28 Juni 2001.


4
4
agama secara implisit bisa mendukung suatu bentuk kekerasan dengan suatu monopoli
moral. Kekerasan ini disebut sebagai sacred violence (kekerasan suci) atau veiled
violence (kekerasan bertabir), yakni kekerasan yang memperoleh pembenaran agama dan
sejarah. Dari sudut pandang kelompok yang melakukan, kekerasan itu adalah absah
secara agama, moral dan sejarah karena sasaran kekerasan adalah orang-orang yang salah
dan menjadi bagian dari kesalahan dalam sejarah masa lalu. Berbeda dengan kekerasan
pada umumnya, kekerasan jenis ini memiliki aura kehormatan atau kemuliaan serta
memiliki monopoli moral dan religius. Ada tugas-tugas suci yang diyakini dalam tindak
kekerasan.
8

Indonesia adalah negara yang berpendiuduk mayoritas Muslim dan memiliki
tradisi Islam yang cukup lama, dan karena itu adalah wajar bila agama dipandang
memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa dilihat
dalam dua tingkatan. Pertama, teks-teks suci punya tempat penting sebagai rujukan dalam
mengatur kehidupan individu maupun masyarakat. Ia dibaca dan diajarakan di mana-
mana. Orang melihat teks suci sebagai sesuatu yang harus dihormati. Kerusuhan sering
terjadi akibat adanya tuduhan pelecehan terhadap kitab suci. Kedua, tokoh-tokoh
tradisional agama, (ulama` dan kyahi) memiliki keudukan yang sangat penting. Mereka
merupakan personiIikasi dari kesucian agama, dan karena itu mereka dipandang suci
pula, seperti halnya dalam konsep wali dalam dunia suIisme. Di samping itu, mereka
dipandang memiliki otoritas keagamaan. Wejangan mereka dipatuhi dan Iatwa mereka
diikuti, dan ini diyakini sebagai bagian dari kepatuhan terhadap agama yang akan
menjamin keselamatan dunia dan akhirat. Mereka juga diyakini memiliki kekuatan
supranatural yang memungkinkannya berkomunikasi dengan jin, arwah orang yang sudah
meninggal dan benda-benda bertuah.
Melalui ikatan seperti itu, tokoh agama mempunyai posisi yang penting di dalam
proses pembentukan masyarakat tetapi dengan tingkatan yang berbeda-beda ssuai dengan
tingkat perkembangan masing-masing komunitas. Dengan mempertimbangkan basis

8
G. Bailie. Jiolence Unveiled. Humanitv at the Cross Road (New York: The Cross Road
Publishing, 1995), hal. 27; lihat juga Dradjat Setio Soemitro, 'Sacred Violence: Kekerasan di
Indonesia dalam Pendekatan Psikodinamik, hal. 52-53.


5
5
budaya Jawa, pengaruh Islam dan modernitas, ada dua 'agama Jawa, yaitu abangan dan
santri. Yang terakhir ini memiliki dua varian, yakni tradisionalis dan modernis. Sekalipun
'agama-agama itu mengalami dinamika yang tidak berhenti, tetapi dalam konteks peran
tokoh agama, masing-masing komunitas agama itu masih memiliki cirinya yang khas.
Peran tokoh agama paling tipis di kalangan abangan, paling tebal di kalangan santri
tradisionalis, sedang di tengah-tengah itu adalah santri modernis. Kondisi ini paralel
dengan tebal-tipisnya pengaruh Javanisme, Islam dan modernitas.
9

Jika dihubungkan dengan kekerasan massal, ada sebuah asumsi yang menyatakan
bahwa kekerasan massal agama pada umumnya dilakukan oleh masyarakat yang secara
kultural tidak mengalami sentuhan yang intens dengan modernitas, misalnya demokrasi,
pluralisme dan humanitas, dan mereka yang melakukan kekerasan massal dengan simbol-
simbol agama dan moral (the sacred violence) adalah mereka yang memiliki tradisi Islam
cukup kuat. Demikian juga hubungan antara kultus dan kekerasan menjadi sangat kuat di
kalangan kelompok anti-modernitas. Kelompok cult (kultus), seperti the Assasins (Bhs.
Inggris) atau Hasysyasyin (Bhs. Arab) dalam sejarah Islam dan Jim Jones dalam sejarah
Nasrani menjadi contoh hubungan antara kultus dan kekerasan.
Kekerasan massal bukanlah hal yang asing dalam sejarah Islam, seperti juga
dalam agama-agama lain. Pada masa generasi pertama Islam ada peristiwa yang dikenal
dengan al-fitbah al-kubra, yaitu peperangan saudara yang mengantarkan berakhirnya
masa KhulaIa` Rasyidun. Peristiwa itu merupakan hal yang paling awal di mana
kekerasan terjadi sesama pemeluk Islam. Yang paling menarik dari peristiwa itu ialah
digunakannya agama sebagai pembenaran bagi tindakan-tindakan kekerasan. Kelompok
Ali bin Abi Thalib menggunakan alasan bahwa kelompok Mu`awiyah adalah
pemberontak terhadap pemerintah yang sah. Kelompok Mu`awiyah menyatakan bahwa
Ali salah karena tidak menghukum orang-orang yang membunuh Utsman bin AIIan.
Demikian seterusnya, dan kemudian muncul kelompok yang memisahkan diri dari
kelompok Ali; mereka menyatakan bahwa Ali salah karena menerima arbitrase
(tahkim), padahal sudah jelas siapa yang benar dan siapa yang salah. Kelompok ini

9
Lihat Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masfid (Bandung: Mizan, 2001), hal. 33-39.


6
6
disebut Khawarij. Masing-masing menggunakan dalil-dalil al-Qur`an untuk
membenarkan sikap dan tindakan mereka. Setelah itu, kekerasan demi kekerasan telah
menjadi bagian sejarah umat Islam.
Yang paling menonjol di antara kelompok-kelompok itu, dan kemudian menjadi
paradigma kekerasan agama, ialah Khawarij. Mereka telah membangun ideologi bahwa
kaum Muslimin yang tidak mengikuti hukum-hukum Allah telah menjadi kaIir,
10

sehingga mereka berhak menjadi sasaran kekerasan. Mereka telah menjadi kelompok
puritan, dan secara tegas mendeIinisikan bahwa siapa pun yang tidak seIaham dengan
mereka dipandang telah keluar dari Islam. Ideologi seperti ini paralel dengan beberapa
gerakan Iundamentalis di negara-negara Islam, khususnya Timur Tengah kontemporer.
Atas dasar sejarah ideologi ini, maka kelompok itu disebut 'neo-Khawarij. Ciri utama
kelompok ini ialah rigiditas dalam mengaplikasikan norma-norma agama, dan mengambil
garis yang tegas antara siapa Muslim dan siapa kaIir. Mereka yang dipandang kaIir tidak
berhak atas jaminan keselamatan.
11

Dalam sebuah penelitiannya tentang Gerakan TakIir wa al-Hijrah di Mesir, Saad
Eddin Ibrahim menyebutkan bahwa ideologi mereka adalah sebagai berikut:
'Manusia diciptakan dengan suatu tujuan, yaitu melaksanakan kehendak Allah
dengan menjalankan hidup yang benar dan mengikuti jalan yang lurus. . Untuk
menjadi seorang Muslim yang baik ia harus benar-benar melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangannya. Menciptakan dan mempertahankan tatanan sosial
seperti yang diajarkan oleh al-Qur`an. Seluruh kerusakan terjadi akibat pemerintah
sekarang tidak mengikuti al-Quran, korup dan fahili.
12


Ideologi semacam ini kemudian menjadi pembenaran terhadap tindakan
kekerasan, misalnya pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok itu, Jama`at al-TakIir
wa al-Hijrah, atas orang-orang penting di Mesir, seperti Menteri WaqaI, yang sekalipun

10
Wa man lam vahkum bima an:ala Allah fa ulaika hum al-kafirun; al-Qur`an V: 32.
11
Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad pernah mengatakan, 'Qatilu al-nas hatta vasvhadu an
la ilaha illa Allah (al-Hadits).
12
Sad Eddin Ibrahim, 'Anatomy oI Egypt`s Militant Islamic Groups, ' International Journal of
Middle East Studies, 12 (1980), hal. 430-431.


7
7
Muslim tetapi dipandang bertanggung jawab atas tatanan masyarakat yang korup dan
fahili.
13

Gerakan-gerakan Iundamentalis seperti itu mempunyai pengaruh di Indonesia.
Seperti telah disebutkan di muka, kekerasan menjadi alat gerakan kelompok Muslim yang
mendapatkan pengaruh Islam cukup kuat dengan modernitas lemah. Pengaruh Islam ini
dibawa oleh mereka yang memiliki pengalaman intens dengan gerakan Iundamentalis di
Timur Tengah atau Asia Selatan yang mengecam dengan keras budaya Barat modern.
Pada tahun 70an, kita mengenal gerakan yang dipimpin oleh Imran yang memiliki
ideologi dan model gerakan yang mirip dengan Jama`at al-TakIir wa al-Hijrah. Mereka
menyerang kantor kepolisian dan merampas senjata, dan membajak pesawat terbang
untuk memenuhi tuntutan pembebasan teman-teman mereka yang ditahan. Belum ada
studi yang mendalam tentang gerakan ini, tetapi yang jelas mereka menggunakan simbol-
simbol agama untuk membenarkan gerakan-gerakan mereka. Ciri sacred violence
terdapat pada suatu kenyataan bahwa kekerasan itu dilakukan bukan sebagai pertahanan
diri (defense), pembalasan (revenge) atau reaksi (reaction), tetapi justeru dilakukan
dengan perasaan sukarela, terhormat, dan memenuhi janji-janji agama.
Sacred violence juga terjadi dalam peristiwa pada sekitar tahun 2000-2001 di
Ambon dan Maluku, yang telah memakan korban jiwa dan harta benda yang sangat
besar. Apapun motiI dan pemicu di balik kekerasan itu, yang muncul ialah isu agama.
Dari selebaran-selebaran dan statemen di media yang dibuat oleh kedua kelompok yang
sedang terlibat dalam konIlik, yakni Muslim dan Nasrani, telah jelas bahwa mereka
menggunakan justiIikasi moral dan agama untuk tindakan mereka. Pihak Muslim
menyatakan bahwa skenario besar Kristenisasi telah menjadi tujuan yang mendorong
orang-orang Kristen membantai orang-orang Islam dan merusak harta benda mereka.
Demikian juga, isu Islamisasi bagi orang-orang Kristem. Ciri sacred violence terdapat

13
Saad Eddin Ibrahim, 'Anatomy oI Egypt`s Militant Islamic Groups, hal. 430-431.


8
8
pada kenyataan digunakannya simbol-simbol agama dan alasan historis yang berpangkal
pada Perang Salib yang terjadi kurang lebih 10 abad yang lalu.
14

Peristiwa kekerasan yang baru saja terjadi adalah penyerangan terhadap pengikut
Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, yang mengakibatkan tiga orang terbunuh. Peristiwa itu
kemudian diikuti dengan terjadinya kerusuhan di Magelang, Jawa Tengah, yakni
perusakan Iasilitas publik dan gereja. Setelah itu, terjadi penyerangan terhadap Pesantren
YAPI di Bangil, Jawa Timur. Di balik peristiwa-peristiwa-peristiwa kekerasan itu
mungkin terdapat motiI-motiI non-agama, seperti skenario politik, tetapi tabir yang
digunakan adalah symbol-simbol agama.
Sacred Jiolence juga disebut dengan Jeiled Jiolence (kekerasan bertabir). Istilah
terakhir ini menujukkan agama sebagai tabir yang menutup apa yang ada dibalik itu.
Faktor yang sesungguhnya tersembunyi di balik itu bisa jadi tetap problematik. Tetapi di
sana tetap ada masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang menjadi
kondisi bagi lahirnya kekerasan itu.
Pada peristiwa di negara kita yang menjadi contoh kekerasan agama di atas, ada
beberapa kondisi yang melahirkan kekerasan massal. Yang pertama ialah kondisi politik.
Peristiwa Imran terjadi pada masa 'antagonistik,
15
yaitu ketika rejim Orde Baru
mengambil sikap represiI terhadap umat Islam karena memandang kekuatan Islam
sebagai ancaman bagi stabilitas nasional dan hambatan bagi proses modernisasi;.
Peristiwa Maluku terjadi pada masa euIoria yang mengikuti jatuhnya Presiden Soeharto.
Ada perubahan paradigma hubungan pusat-daerah, hubungan agama, suku dan ras,
tuntutan-tuntuitan baru, deIinisi peran TNI/POLRI dan lain-lain. Peristiwa yang terakahir
itu terjadi pada saat tokoh-tokoh lintas agama sedang berperang melawan kebohongan
Pemerintah Indonesia.
Yang kedua ialah kondisi ekonomi. Peristiwa Imran terjadi pada masa ketika
muncul isu kesenjangan antara pribumi dan non-pribumi, korupsi yang semakin

14
Khusus posisi umat Islam dalam peristiwa Ambon dan Maluku dapat dibaca dalam Rustam
Kastor, Konspirasi Politik RMS dan Kristen Menghancurkan Ummat Islam di Ambon-Maluku
(Jogjakarta: Wihdah Press, 2000).


9
9
transparan. Peristiwa Maluku terjadi ketika penduduk pribumi tersentak dengan
kenyataan perubahan ekonomi yang berkaitan erat dengan perubahan demograIi.
Yang ketiga ialah kondisi sosial-budaya. Pada Peristiwa Imran, ada pengaruh
Barat yang semakin kuat yang mengakibatnya hancurnya moral, dan kondisi ini sangat
kontras dengan cita-cita masyarakat Islam yang pristine dan puritan. Pada peristiwa
Maluku terlihat rendahnya kesadaran pluralitas budaya dan runtuhnya ikatan-ikatan
tradisonal yang digantikan dengan ikatan-ikatan baru yang belum viable. Pada peristiwa
kekerasan di Cekeusik, Magelang dan Bangil, terlihat perkembangan pengaruh gerakan
Islam transnasional yang cenderung ke arah Iundamentalisme literalis.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sacred violence menjadi sesuatu
yang sangat mudah muncul karena basis keagamaan yang plural. Sebagaimana kekerasan
pada umumnya ia tidak muncul dalam ruangan yang steril. Ia muncul dalam ruangan
yang memiliki kondisi-kondisi yang memungkinkan kekerasan massal itu terjadi. Tetapi
perlu disadari bahwa dalam setiap kekerasan massal ada beberapa lapisan partisipan,
yang masing-masing memiliki alasannya sendiri. Sangat mungkin bahwa alasan lapisan
atas untuk melakukan kekerasan bersiIat sangat mundane (duniawi), seperti kekuasaan
dan materi, tetapi alasan lapisan bawah bersiIat agama. Tetapi semuanya bersiIat sacred
(suci) atau veild (terbungkus) karena simbol-simbol agama yang digunakan.


-----o0o-----


15
Periode Antagonistik terjadi pada tahun 1966-1981; lihat Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara
dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 240-261.

Você também pode gostar