Você está na página 1de 17

MencariFormatOtonomiDesa diTengahKeragaman1

Otonomi merupakan sebuah isu paling utama dalam wacana, kebijakan dan praktik pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan desa. Kalangan asosiasi desa hingga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) beberapa tahun menuntut otonomi desa yang lebih besar, termasuk di dalamnya adalah tuntutan pemulihan hakhak asalusul (indigenous right) masyarakat adat. AMAN misalnya menyerukan bahwamasyarakatadatharusberdaulatsecarapolitik,berdayasecaraekonomidan bermatabatsecarabudaya.Padasaatyangsamakalanganpemimpindesadantokoh masyarakat di Luar Jawa selalumengkritikpenyeragaman bentuk desa model Jawa, serayamenuntutpengaturandesayanglebihberagam.Kalanganasosiasidesaterus menerusmenuntutpembentukandesaotonomyangmempunyaikedudukansecara jelas, kewenangan lebih besar dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBN lebih besar, karenaselamainidesahanyaditempatkansebagaiobyekpolitik,pemerintahandan pembangunan. Tetapi sejauh ini Republik Indonesia belum mempunyai undangundang yang mengatur desa yang mengakomodasi tuntutan dari bawah itu, serta bersifat legitimate dan kokoh.Selama lebih dari60 tahun,Republikinimengalami kesulitan yang luar biasa dalam membentuk otonomi desa di tengah keragaman, dan telah berkalikalimengalamibongkarpasangundangundang,mulaidariUUNo.22/1948 hingga UU No. 32/2004. UU No. 5/1979 termasuk undangundang yang bertahan lama,tetapiUUitusangattidaklegitimatedimatadaerahdandesa,terutamadiLuar Jawa.
1BahanbacaanuntukKonsultasiPublikRUUDesa,kerjasamaantaraIREYogyakarta, DitjenPMDDepdagridanDRSPUSAID. Eko, dosen Ilmu Pemerintahan, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD Yogyakarta, Peneliti IRE Yogyakarta, Ketua Badan Pengarah Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), dan Anggota Tim Pakar Revisi UU No. 32/2004 Departemen Dalam Negeri. Alamat kontak: sutoro@ireyogya.org dan HP: 081.125.6669. AA GN Ari Dwipayana, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, dosen Pascasarjana Program Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, dan Peneliti IRE Yogyakarta. Alamat kontak: aridwipa@ugm.ac.id dan aagndwipayana@yahoo.comHP:081.128.2413. 1
2Sutoro

SutoroEkodanAAGNAriDwipayana2

Karena itu, ini saatsaat yang penting untuk membicarakan kembali otonomi desa dan melahirkan Undangundang Desa yang kokoh dan mempunyai legitimasi, sekaligus mendorong reformasi desa menuju otonomi desa. Kami sudah cukup panjangterlibatdalamberbagaidiskusidiForumPengembanganPembaharuanDesa (FPPD) hingga di dalam pagar Departemen Dalam Negeri, yang berupaya kembali secara serius menemukan kembali format otonomi desa yang tepat di tengah keragaman lokal di Indonesia. Dalam semesta pembicaraan tentang otonomi desa, kedudukandesatampaknyamerupakanisuyangpalingkrusialdansangatsulituntuk dirumuskan.Sejumlahpakarsenior(mulaidariProf.SeloSoemardjan,Prof.Mochtar Naim, Prof. Benjamin Hoessin, Prof. E. Koeswara, hingga Prof. Sadu Wasistiono) menunjukkan bahwa kedudukan desa tidak jelas dan ambivalen. Pada tahun 1992, Prof. Selo Soemardjan mengatakan bahwa sikap pemerintah terhadap otonomi dan kedudukan tidak jelas. Pada bulan Juni 2004, Direktur Pemerintahan Desa dan Kelurahan Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri, Persadaan Girsang, bahkan juga menegaskan secara berkelakar: Kedudukan desa sudahjelas.Kejelasannyaterletakpadaketidakjelasannya. Dalam bulan Januari 2008, di Mamuju Sulawesi Barat, Menteri Dalam Negeri Mardiyantomelemparwacanayangsetujudenganpenempatkandesasebagaidaerah otonomi tingkat III setelah provinsi dan kabupaten/kota. "Saya setuju dengan pendapattersebutdansudahsaatnyaperangkatpemerintahandesaperludiperkuat. SelamamasapemerintahanIndonesiabelumbanyakperaturanperundangundangan yang mengatur desa," katanya menanggapi pernyataan Asisten I Tata Praja Pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) pada acara dialog dengan pejabat Pemprov/Pemkab,camatdankepaladesadanlurahseSulbardiMamuju(Antara,15 Januari2008).WacanaMendagriinisebenarnyahendakmenempatkandesasebagai unit pemerintahan lokal yang otonom (desa otonom) sehingga akan menjawab ketidakjelasankedudukandesaselamaini.Tetapi,sekalilagi,ungkapanMendagriitu baru sebatasa wacana, yang masih membutuhkan pengujian, perdebatan dan pergulatanlebihlanjut. Karena itu kedudukan desa menjadi pintu masuk pertama dan utama dalam membicarakan masalah desa. Bagaimanapun kedudukan desa akan sangat menentukan kewenangan desa, hubungan desa dengan supra desa, susunan pemerintahan desa, maupun sumbersumber keuangan desa. Kejelasan kedudukan desa juga menjadi bagian dan mendukung upaya reformasi aset dan akses desa terhadap sumberdaya ekonomipolitik yang selama ini menjadi persoalan sangat serius. Ada beberapa pertanyaan yang selalu muncul. Dimana letak desa dalam struktur ketatanegaraan NKRI? Apakah ia berada dalam subsistem pemerintahan kabupaten/kota atau ia seperti daerah yang berada dalam subsistem NKRI? Bagaimanabentuk(format)desa?Apakahdesasebagaiunitpemerintahanlokalyang otonom(desaotonom)atausebagaikesatuanmasyarakatyangmempunyaiotonomi
2

asli?Dengankalimatlain,perdebatanyangpalingmenonjoladalah,manayanglebih tepat:desaotonomatauotonomidesa? CaraPandangKedudukanDesa SejauhiniadatigaperspektifuntukmenempatkankedudukandesadiIndonesiadan di banyak negara, sebagaimana terlihat dalam tabel 1. Pilihan kedudukan desa sebaiknya konsisten pada satu kedudukan agar lebih jelas dan tidak menimbulkan tarikmenarik kekuasaan dan tanggungjawab. Filipina misalnya, menempatkan desa (barangay) sebagai desa otonom (local self government). Negaranegara Eropa menempatkan commune atau Inggris Raya menempatkan parish sebagai organisasi komunitas lokal atau self governing community. Dalam tabel itu terlihat ada tiga bentuk kedudukan desa: desa adat atau desa sebagai kesatuan masyarakat (self governing community), desa otonom (local self government) dan desa administratif (local state government). Dalam konteks Indonesia, perdebatan yang menonjol sebenarnya antara pandangan desa adat atau otonomi asli dengan desa otonom ataudaerahotonomtingkatIII.Bentukdesaadministratifmerupakantambahanyang mulaidiperkenalkansejakOrdeBaruhinggasekarang. Tabel 2 juga menunjukkan kelebihan dan kekurangan antara otonomi asli desa dengan desa otonom. Kalau ditimbangtimbang kedudukan desa otonom merupakan pilihan yang lebih tepat untuk memperkuat desa, tetapi pilihan akan kedudukaninimengandungtantanganyangbesar. PengalamanSebelumnya PembicaraantentangkedudukandaerahdandesaselalumengacupadaPasal18UUD 1945.PadababIVPasal18UUD1945yangmengaturmasalahPemerintahanDaerah, disebutkan: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undangundang, dengan memandang dan mengingatidasarpermusyawaratandalamsistempemerintahannegara,danhakhak asalusuldalamdaerahdaerahyangbersifatistimewa. Dalambagianpenjelasandinyatakan: DalamterritoirIndonesiaterdapatlebihkurang250Zelfbesturendelandschappendan Volksgemeenschappen,sepertidesadiJawadanBali,negeridiMinangkabau,dusundan margadiPalembangdansebagainya.Daerahdaerahitumempunyaisusunanasli,dan olehkarenanyadapatdianggapsebagaidaerahyangbersifatistimewa.
3

Tabel1 Perspektifkedudukandesa
Bentuk Desaadat(Self governing community) Desaadatatau sekadarorganisasi komunitasyang mempunyai pemerintahansendiri. Punyaotonomiasli Sebagaiorganisasi komunitasyanglepas (diluar)struktur birokrasinegara Rekognisi(pengakuan danpenghormatan) DesaadatdiBali Desaotonom(Localself government) Desa otonom,atausering disebutdengandaerah otonomtingkatIII. Desaadministratif (Localstate government) Desa administratif, atau semacam unit birokrasi sebagai kepanjangan tangan negara di tingkat lokal. Sebagai satuan kerja perangkat pemerintahdaerah. Delegasi atau tugas pembantuan Kelurahan Pemerintah Baru Orde

Status

Azas Contoh Pendukung

Desain institusional

Sebagaiunitpemerintahan lokalotonomyangberada dalamsubsistem pemerintahanNKRI. Desentralisasi (penyerahan) Desaswaprajaatau desapraja M.RyasRasyid M.Hatta, RobertLawang Soetardjo Kartohadikoesoemo SeloSoemardjan, MochtarNaim, SaduWasistiono KhasanEffendy(IPDN) IbnuTricahyoUnibraw R.YandoZakaria(NGO) Desamempunyai Statusdesaseperti kewenanganasal daerahotonom. usul Pemerintahmemberikan desentralisasi Desamengelola urusanurusan (penyerahan)urusan masyarakatyang urusanmenjadi berskalalokal. kewenangandesa. Mempunyaisusunan Mempunyaiinstitusi asli. politikdemokrasi modern(elektoraldan Mempunyaiinstitusi perwakilan) demokrasi komunitarian Pemerintahwajib (musyawarah). mengalokasikan(alokasi) anggaranuntuk Pemerintah membiayaipelaksanaan memberikan kewenangan/urusan. bantuankeuangan 4

Desa menjalankan tugastugas administratif dan pelayanan yang ditugaskan pemerintah. Tidak mempunyai institusi demokrasi dan tidak ada otonomi. Menerima dana belanja aparatur daripemerintah.

Tabel2 Kelebihandankekurangan
Keunggulan OtonomiAsliDesa Sesuaidengankontekssejarah desayangmempunyaiasalusul jauhsebelumlahirNKRI. Relevandengankonsep pengakuandanpenghormatan yangtertuangdalamkonstitusi Relevandengankeragamandesa desadiIndonesia.

Kelemahan (termasuk tantangan,risiko danketerbatasan)

Mengalamikerumitan/kesulitan dalammerumuskandisain kelembagaanpengakuan(apa yangdiakui,siapayangmengakui, danbagaimanamengakui). Rumit/sulitdalammerumuskan formatkeragamanlokal. Lokalcenderungprasmanan dalammengaturdanmengurus desa. Pemerintahsulitmenentukan standarnasionaldalam pengaturandanpelayananpublik padamasyarakatdesa. Bahkansulitmembangun kesatuandalamkeragaman.Yang menonjoladalahkeragaman dalamkesatuan. Desaterusterjebakdalam tradisionalismeromantismedan sulitberkembangsecaradinamis.

DesaOtonom Kedudukan dan formatnya lebih mudah, simpel dan konkruen dengan pemerintahandaerah. Memperjelas pembagian urusan dari pemerintah kepadadesa. Memungkinkan terjadinya penyebaran sumberdaya pada rakyat di level grass roots (desa). Mengakhiri dualisme dan benturan antara modernisme vs tradisionalisme atau antara desa dinas/administratif dan desaadat. Desa menjadi lebih modern dandinamis. Konstitusi tidak secara eksplisit memberi desentralisasikepadadesa. Menambahbebandancakupan desentralisasiotonomidaerah. Cenderung tunggal (jika tidak bisadikatakanseragam). Membutuhkan proses transisi dan adaptasi yang lebih panjang(10tahun). Membutuhkan proses menyakinkan yang lebih panjang kepada masyarakat adat. Risikonya, pemerintah harus mengalokasikan dana yang lebih besar kepada desa. Biasanya ini dianggap sebagai bebanyangberat.

Selanjutnyadinyatakanjuga: NegaraRepublikIndonesiamenghormatikedudukandaerahdaerahistimewatersebut dansegalaperaturannegarayangmengenaidaerahdaerahituakanmengingatihak hakasalusuldaerahtersebut. Penjelasanpasal18UUD1945menyebutkanbahwaZelfbesturendeberjumlahsekitar 250yangtersebardiseluruhIndonesia. ZelfbesturendeLandschappenadalahdaerah swapraja, yaitu wilayah yang dikuasai oleh raja yang mengakui kekuasaan dan kedaulatan Pemerintah jajahan Belanda melalui perjanjian politik. Secara teoretis, Zelfbesturende Landschappen itu disebut dengan daerah otonom (local self government) yang dibentuk dengan azas desentralisasi, sedangkan Volksgemeenschappenbisadisebutdengankesatuanmasyarakathukumadatatauself governing community yang eksis karena azas pengakuan (rekognisi). Penjelasan itu tampaknya mengisyaratkan bahwa desadesa (atau nama lainnya) yang berjumlah 250 itu ada yang berstatus daerah otonom (local self government) ada pula yang berstatus self governing community. Tetapi identfikasi yang jelas belum pernah dilakukansehinggamengalamikesulitandalampengaturandesa. Untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945, Badan pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No. 2. yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan desa dan kekuasaan komite nasionaldaerah,sebagaibadanlegislatifyangdipimpinolehseorangKepalaDaerah. Menurut Prof. Koentjoro Perbopranoto, undangundang ini dapat dianggap sebagai peraturan desentralisasi yang pertama di Republik Indonesia. Di dalamnya terlihat bahwa letak otonomi terbawah bukanlah kecamatan melainkan desa, sebagai kesatuanmasyarakatyangberhakmengaturrumahtanggapemerintahannyasendiri. NamundesentralisasiituhanyasempatdilakukansampaipadadaerahtingkatII. Karena isinya terlalu sederhana, Undangundang No. 1/1945 ini dianggap kurang memuaskan. Maka dirasa perlu membuat undangundang baru yang lebih sesuai denganpasal18UUD1945.PadasaatitupemerintahmenunjukR.P.Surososebagai ketua panitia. Setelah melalui berbagai perundingan, RUU ini akhirnya disetujui BP KNIP,yangpadatanggal10Juli1948lahirUUNo.22/1948TentangPemerintahan Daerah.Bab2pasal3angka1UUNo.22/1948menegaskanbahwadaerahyangdapat mengatur rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi istimewa. Daerahdaerah ini dibagi atas tiga tingkatan, yaitu Propinsi Kabupaten/kota besar, desa/kota kecil. Sebuah skema tentang pembagian daerahdaerah dalam 3 tingkatan itu menjadi lampiran undang undang. Daerah istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asalusul yang di zamansebelunRImempunyaipemerintahanyangbersifatistimewa.UUNo.22/1948 menegaskanpulabahwabentukdansusunansertawewenangdantugaspemerintah
6

desa sebagai suatu daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus pemerintahannyasendiri. UU No. 22/1948 secara tegas dan jelas menempatkan desa sebagai daerah otonom tingkatIIIataudaerahotonomyangterbawah.BerikutinipenjelasanIIIbutirke18: Menurut Undangundang pokok ini, maka daerah otonom yang terbawah adalahdesa,negeri,marga,kotakecildansebagainya.Iniberartidesaditaruh kedalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik diluarnya sebagaiwaktuyanglampau.Pada jamanitutentunyapemerintahanpenjajah mengerti bahwa desa itu sendi negara, mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segalagalanya diperkuat dan didinamiseer, supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan. Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap statis (tetap keadaannya). Pemberian hak otonomi menurut ini. Gemeenteordonanntie adalah tidak berarti apaapa, karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apaapa, oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh ordonanntie itu diikat pada adatadat, yang sebetulnya di desa itu sudah tidak hidup lagi. Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau sebaliknya, adat yang hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa, hanya karena kepentingan penjajah menghendaki itu. Desa tetap tinggal terbekalang, negara tidak berdaya, adalah sesuai dengan tujuan politik penjajah. Tetapi Pemerintahan Republik kita mempunyai tujuan sebaliknya. Untuk memenuhi pasal 33 UUD, negara dengan rakyat Indonesia harus makmur. Untuk mendapatkan kemakmuran itu harus dimulai dari bawah, dari desa. Oleh karena itu, desa harus dibikin di dalam keadaan senantiasa bergerak maju(dinamis).Makauntukkepentinganitupemerintahandesadimasukkan di dalam lingkungan pemerintahan yang diatur dengan sempurna (modern), malah tidak sebegitu saja, tetapi juga akan diusulkan supaya bimbingan terhadap daerahdaerah yang mendapat pemerintahan menurut Undang undangpokokinilebihdiutamakandiadakandidesa. Tetapi UU No. 22/1948, terutama dalam hal desa, tidak berjalan karena munculnya KonstitusiRISdanUndangundangDasarSementara1950.DibawahUUDS1950itu lahirlah UU No. 1/1957. UU yang lahir di era demokrasi parlementerliberal ini memandangdesasecaraberbedadenganpandanganUUNo.22/1948.MeskipunUU No. 1/1957 membagi daerah menjadi tiga tingkatan, tetapi tidak cukup jelas menyebut desa sebagai daerah otonom tingkat III. Bahkan penjelasan politik UU ini tentangdesaberbedasecarakontrasdenganpandanganUUNo.22/1948:
7

Dengan demikian nyatalah bahwa bagi tempattempat yang serupa ini sulit kitauntukmenciptakansatukesatuanotonomidalampengertiantingkatyang ketiga (III), sehingga kemungkinannya atau hanya memberikan otonomi itu secaratindakanbarukepadakabupatendibawahPropinsi,ataumenciptakan dengan cara bikinbikinanwilayah administratief dalam kabupaten itu untuk kemudian dijadikan kesatuan yang berotonomi. Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikinbikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuankesatuan masyarakat hukum yang ada. Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita berikan otonomiituhendaklahsebanyakmungkinmerupakansuatumasyarakatyang sungguhmempunyaifaktorfaktorpengikutkesatuannya. Sebab itulah maka hendaknya di mana menurut keadaan masyarakat belum dapat diadakan tiga (3) tingkat, untuk sementara waktu dibentuk 2 tingkat dahulu. Berhubung dengan halhal adanya atau tidak adanya kesatuan kesatuan masyarakat hukumadat sebagai dasar bekerja untuk menyusun tingkatotonomiitu,hendaklahpulakitainsyafibahwaurusanotonomitidak "congruent"denganurusanhukumadat,sehinggamanakalasesuatukesatuan masyarakat hukumadat dijadikan menjadi satu daerah otonomi atau dimasukkan ke dalam suatu daerah otonomi, maka hal itu tidaklah berarti, bahwatugastugaskepalakepalaadatdengansendirinyatelahterhapus.Yang mungkin terhapus hanya segisegi hukumadat yang bercorak ketata negaraan, manakala hanya satu kesatuan masyarakat hukumadat itu dijadikan daerah otonomi, sekedar corak yang dimaksud bersepadanan dengankekuasaanketatanegaraanyangtersimpuldalampengertianotonomi itu. UUinipenuhkeraguanmemandangdanmenempatkanposisidesa.TohUUitutidak berjalanjugakarenaduatahunberikutnya,1959,adaDekritPresidenuntukkembali pada UUD 1945. Produk Undangundang dibawah UUDS dibubarkan. Untuk menyesuaikannya dengan prinsipprinsip demokrasi terpimpin dan kegotong royongan,makapadatanggal9September1959PresidenmengeluarkanPenpresNo. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah. Dari Pidato Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah ketika menjelaskan isi Penpres No. 6/1959, dapat ditarik kesimpulan pokok bahwa, dengan pemberlakuan Penpres No. 6/1959 terjadi pemusatankekuasaankedalamsatugarisbirokrasiyangbersifatsentralistis. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara juga terbentuk atas Penpres No. 12/1959,yangantaralainmenetapkanKetetapanMPRSNo.III/MPRS/1960tentang GarisGaris Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 1969, yang dalam beberapa bagiannya memuat ketentuanketentuan tentang Pemerintah Daerah. Masingmasing adalah: (a) Paragraf 392 mengenai pembagian
8

Daerahdanjumlahtingkatan;(b)Paragraf393mengenaidesentralisasi;(c)Paragraf 395mengenaipemerintahandaerah;(d)Paragraf396mengenaipemerintahandesa. Dalam setiap paragraf antara lain termuat amanat agar dilakukan pembentukan daerah Tingkat II sebagaimana dalam UU No. 1/1957; dan menyusun Rancangan UndangUndangPokokPokokPemerintahanDesa,yangdinyatakanberhakmengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala peraturan dari masakolonialdannasionalyangdianggapbelumsempurna,yangmengaturtentang kedudukan desa dalam rangka ketatanegaraan: bentuk dan susunan pemerintahan desa; tugas dan kewajiban, hak dan kewenangan pemerintah desa; keuangan pemerintah desa: serta kemungkinankemungkinan badanbadan kesatuan pemerintahan desa yang sekarang ini menjadi satu pemerintahan yang otonom (YandoZakaria,2000). Karena tuntutan itu pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi danOtonomiDaerahyangdiketuaiolehR.P.Soeroso,atasdasarkeputusanpresiden No.514tahun1960.Tugastugasyangharusdiselesaikanolehpanitiaadalah: 1. Menyusun Rencana Undangundang Organik tentang Pemerintahan Daerah Otonom sesuai dengan citacita Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup segala pokokpokok (unsur unsur) Progresif dari UU No. 22/1948,UU No.1/1957, Perpres No.6/1959 (disempurnakan), Perpres No.5/1960 (disempurnakan),dan Perpres No.2/1961. 2. Menyusun Rencana Undangundang tentang pokokpokok Pemerintahan desa,yangberhakmengaturdanmengurusrumahtangganyasendiri,sebagai pengganti segala peraturan perundangan dari masa kolonial mengenai pemerintahan desa sehingga dewasa ini masih berlaku; rencana akan mengaturhalhalpokoktentang: a. Kedudukandesadalamrangkaketatanegaraan b. Bentukdansusunanpemerintahandesa c. Tugaskewajiban,hakdankewenanganpemerintahandesa d. Keuanganpemerintahandesa e. Pengawasanpemerintahandesa f. Kemungkinanpembangunanbadanbadankesatuanppemerintahdesa yangadasekaranginimenjadisatupemerintahandesayangotonom g. Danlainlain. 3. Mengajukanusulusulpenjelasanmengenai: a. Penyerahanurusanurusanpemerintahanpusatyangmenurutsifatnya dan sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan daerah dapat diserahkan kepada daerah, yang dahulu menurut penjelasan UU No. 1/1957 diharapkan akan dijadikan tugas suatu Dewan Otonomi dan Desentralisasi.
9

SetelahbekerjaselamaduatahunPanitiaSurosoberhasilmenyelesaikan2rancangan undangundang: RUU tentang Pokokpokok pemerintahan daerah dan rancangan undangundangtentangdesapraja.Menteridalamnegeridanotonomidaerah,Ipik Gandamana, pada tahun 1963, menyampaikan kedua RUU itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Sebelumnya pada bulan Januari 1963 kedua rancangan itu dibuat dalam sebuah konferensi yang diikuti oleh seluruh gubernur. PembahasankeduaRUUdiDPRGRcukuplamadanalot.Setelahmengalamiberbagai penyesuaian sesuai aspirasi dari banyak pihak, pada tanggal 1 September 1965, DPRGR menetapkannya sebagai undangundang. Masingmasing menjadi UU No. 18/1965 Tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965 TentangDesaPraja. Menurutpasal1UUNo.19/1965,yangdimaksuddengandesaprajaadalahkesatuan masyarakat hukum yang tertentu batasbatas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta bendanya sendiri. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa kesatuankesatuan yang tercakup dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, NagaridiMinangkabau,DusundanmargadiPalembangdansebagainya,yangbukan bekas swapraja adalah desapraja menurut undangundang ini. Dengan demikian, persekutuanpersekutuan masyarakat hukum yang berada dalam (bekas) daerah swaprajatidakberhakatasstatussebagaidesapraja. Dengan memggunakan nama desapraja, UU No.19 /1965 memberikan istilah baru dengan satu nama seragam untuk menyebut keseluruhan kesatuan masyarakat hukum yang termasuk dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, padahal kesatuan masyarakat hukum di berbagai wilayah Indonesia mempunyai nama asli yang beragam. UU No.19/1965 juga memberikan dasar dan isi desapraja secara hukum yang berarti kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batasbatas daerahnya dan berhakmengurusrumahtangganyasendiri,memilihpenguasanya,danmemilikiharta bendasendiri. Dalampenjelasanumumtentangdesaprajaituterdapatketeranganyangmenyatakan bahwa UU No. 19/1965 tidak membentuk baru desapraja, melainkan mengakui kesatuankesatuan masyarakat hukum yang telah ada di seluruh Indonesia dengan berbagaimacamnamamenjadidesapraja.Kesatuankesatuanmasyarakathukumlain yang tidak bersifat teritorial dan belum mengenal otonomi seperti yang terdapat di berbagai wilayah daerah administratif tidak dijadikan desa praja, melainkan dapat
10

b. Tuntutantuntutantentangpembagiandaerah(pemecahan,pemisahan, penghapusan dan pembentukan baru), perluasan batasbatas wilayah kotapraja,pemindahanibukotadaerah. c. Penertiban organisasiorganisasi masyarakat rukun kampung dan rukuntetangga.

langsungdijadikansebagaiunitadministratifdaridaerahtingkatIII.Penjelasanjuga menyatakan bahwa desapraja bukan merupakan satu tujuan tersendiri, melainkan hanyasebagaibentukperalihanuntukmempercepatterwujudnyadaerahtingkatIII dalamrangkaUUNo.18/1965tentangPokokpokokPemerintahandaerah.Suatusaat bilatibawaktunyasemuadesaprajaharusditingkatkanmenjadi DaerahTingkatIII dengan atau tanpa penggabungan lebih dahulu mengingat besar kecilnya desapraja yangbersangkutan. Dengan keluarnya UU No.19/1965 warisan kolonial yang sekian lama berlaku di negara RI, seperti IGO dan IGOB serta semua peraturanperaturan pelaksanaannya tidakberlakulagi.Tetapi,UUNo.19/1965tidaksempatpuladilaksanakandibanyak daerah. Pelaksanaannya ditunda, tepatnya dibekukan, atas dasar pemberlakuan UU No.6 /1969, yaitu undangundang dan peraturan pemerintah Pengganti Undang undang 1965, meski dinyatakan juga bahwa pelaksanaanya efektif setelah adanya undangundang baru yang menggantikannya. Namun, anehnya, UU No.19/1965 sendiri sebenarnya sudah terlebih dahulu ditangguhkan melalui intruksi Menteri Dalam Negeri No.29/1966. Karena itu, sejak UU No.18/1965 dan UU No.19/1965 berlaku, praktis apa yang dimaksudkan dengan daerah tingkat III dan desapraja itu tidakterwujud.Secarainformal pemerintahandesakembalidiaturberdasarkanIGO danIGOB. Di masa Orde Baru, UU No. 5/1979 merupakan instrumen kontrol negara kepada masyarakatlokal,dengancaramenciptakankeseragamandesadiseluruhIndonesia, sekaligushendakmenciptakanmodernisasidesa.Perspektifdesaadministratif(the local state government) sangat menonjol dalam UU No. 1979, sebagaimana terlihat dalamdefinisinya: Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yangmempunyaiorganisasipemerintahanterendahlangsungdibawahCamat danberhakmenyelenggarakanrumahtangganyasendiridalamikatanNegara KesatuanRepublikIndonesia Sudah banyak pengalaman pahit dan kritik yang ditujukan kepada UU No. 5/1979. Orang Jawa merasakn bahwa UU No. 5/1979 menempatkan desa sebagai obyek pemerintah, bahkan sebagai gedidal (pekerja kasar yang tidak dihargai secara manusiawi) yang dikendalikan oleh Camat. Orang Luar Jawa merasakan UU No. 5/1979 sebagai bentuk Jawanisasi, yang menyeragamkan satuansatuan masyarkat adat seperti model desa di Jawa, sekaligus menghancurkan nilai dan adatistiadat lokal. UUNo.22/1999danUUNo.32/2004sangatpekaterhadappersoalanpenyeragaman itu, dan karenanya memasukkan dimensi keragaman dalam pengaturan desa,
11

termasukmemberikankeragamandalampenggunaannomenklaturdankewenangan asalusul.Tetapisayangnyaposisidesaditempatkandalamsubsistempemerintahan kabupaten/kota.Dalampasal200ayat(1),misalnya,disebutkansamadenganUUNo. 32/2004:Dalampemerintahandaerahkabupaten/kota dibentukpemerintahandesa yang melaksanakan kewenangan berdasarkan otonomi asli yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat desa yang bersangkutan. Klausul ini menegaskan pemberian cek kosong kepada bupati/walikota untuk mengatur atau membuat keputusanpolitiktentangdesa,termasukmenyerahkankewenangan/urusankepada desa. Skemadesadalamdaerahatauotonomidalamotonomiitumengandungbeberapa masalahyangberlapis: 1. Skemaitutidakmengikutiazasyangjelas,kecualihanyamenggunakanalasan praktismudah. Hukum tatanegara dan teori desentralisasi tidak membenarkan adanya penyerahan kewenangan dari daerah otonom ke unit yanglebihrendahsepertidesa. 2. Meski UUD hanya melakukan desentralisasi teritorial ke provinsi dan kabupaten/kota, atau tidak sampai ke desa, tetapi pada saat yang sama, konstitusitidakmemberiamanatkepadaUUuntukmenempatkandesadalam daerah.Yangditegaskandalamkonstitusiadalahpengakuannegaraterhadap kesatuanmasyarakathukumadat(desaataunamalain)yangmasihada. 3. Skemadesadalamdaerahmenganggapbahwadesahanyamenjadimasalah kecildankarenaitudiserahkan kepadadaerah.Desahanyamenjadisisanya sisapenyelenggaraanpemerintahandaerah. 4. Secara empirik otonomi desa dalam otonomi daerah itu tidak berjalan. Secara hukum desa menjadi insider kabupaten/kota, tetapi secara politik empirik desa sebenarnya dianggap outsider oleh pejabat daerah. UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 beserta aturan pelaksanaannya tidak berjalan secara optimal karena sebagian besar pemerintah kabupaten/kota enggan berbagi sumberdaya kepada kepada desa. Bahkan kebanyakan bupati melakukanpolitisiterhadapdesauntukkepentinganjangkapendek.Masalah masalah yang terkait desa tidak bisa selesai di level kabupaten tetapi selalu dibawa naik ke pusat, termasuk melempar aksi kolektif orang desa dari kabupatenkeprovinsidandariprovinsikepusat. KesulitanPilihan Selama ini pemilihan secara tegas dan konsisten pada salah satu kedudukan desa mengalami kesulitan yang serius. Mengapa? Pertama, ada kesulitan menafsirkan makna Pasal 18 UUD 1945. Apalagi substansi Pasal 18 versi asli mengalami perubahan dalam UUD 1945 Amandemen Kedua. UUD amandemen menghilangkan istilah desa. Pasal 18 ayat 1 menegasakan: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagiatasdaerahdaerahprovinsidandaerahprovinsiitudibagiataskabupatendan
12

kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undangundang. Juga pasal 18B ayat 2 menegaskan: Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang. Dalam konteks ini sering muncul pertanyaan apakah desa satu satunyakesatuanmasyarakathukumadat? Sejauhiniadabeberapatafsiryangmuncul: 1. Tafsir desa otonom atau daerah otonom tingkat III: Desa merupakan bentuk daerah kecil yang mempunyai susunan asli dan bersifat istimewa. Karena itu negara sebaiknya melakukan desentralisasi teritorial, yang membagi wilayah NKRI menjadi provinsi, kabupaten/kota dan desa. Desa sebagai daerah kecil menjadidesaotonom(localselfgovernment)ataudaerahotonomtingkatIII,yang mengharuskan negara memberikan desentralisasi kepada desa. Penganut perspektif desa otonom (local self government), UU No. 22/1948 dan UU No. 19/1965termasukyangmengikutitafsirini. 2. Tafsirotonomiasli:BatangtubuhPasal18UUD1945samasekalitidakmengenal desa, juga tidak secara eksplisit membagi wilayah NKRI menjadi provinsi, kabupaten/kotadandesa.KonstitusihanyamembagiNKRImenjadidaerahbesar (provinsi)dandaerahkecil(kabupaten/kota).Menuruttafsirini,desa(ataunama lainnyayangberjumlah250)merupakankesatuanmasyarakathukumadat,yang harusdiakui(rekognisi)olehnegara.Dengandemikian,negaratidakmemberikan desentralisasipadadesauntukmembentukdesasebagaiunitpemerintahanlokal yang otonom. Posisi desa yang tepat menurut tafsir ini sebagai organisasi masyarakatadatataudesaadat(selfgoverningcommunity)yangmempunyaidan mengelolahakasalusul.Konsepotonomiasliberpijakpadatafsirini. 3. Tafsirpragmatis:TafsiryangberdasarpadaPasal18UUD1945amandenkedua. Hampirsamadengantafsirkedua,tafsirinimengatakanbahwaNKRIhanyadibagi menjadi wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Desentralisasi hanya berhenti padakabupaten/kota,tidaksampaikedesa.Tetapitafsiriniberbedadengantafsir kedua karena tidak menempatkan kedudukan desa sebagai desa adat (self governingcommunity),melainkanmenempatkandesasebagaiunitpemerintahan dibawahdandidalamsubsistempemerintahkabupaten.UUNo.22/1999danUU No. 32/2004, dengan alasan praktis (meninjam istilah Prof. Sadu Wasistiono), mengikuti tafsir ini. Padahal UUD 1945 tidak secara eksplisit mengamanatkan penempatankedudukandesadalamsubsistempemerintahkabupaten/kota. Kedua,masingmasingtipekedudukanmempunyaikelebihandankelemahan,seperti terlihatdalamtabel2.Keduanyatampakmenempatiposisiyang binerdanberbeda secarakontras.Kelemahandalamdesarekognisi(adat)justrubisamenjadikelebihan dalamdesaotonom,sebaliknyakelemahandesaotonommenjadikelebihandesaadat. Tetapikalauditimbangtimbangposisidesaotonomjelaslebihungguldaripadadesa
13

rekognisi (adat), yakni akan membuat desa lebih kuat, maju, modern dan dinamis. Pertanyaannya,apakahkitamempunyaivisipolitikuntukmembawadesadesalebih kuat, maju, modern dan dinamis, atau sebaliknya akan menempatkan desa pada posisiyangstatusquo? Ketiga,secarahistoris,semuadesadiIndonesiaberbentukselfgoverningcommunity. Konstitusi UUD 1945 secara implisit juga menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat atau disebut dengan self governing community tersebut. TetapisecaralambatlaunsejakkolonialdanpuncaknyapadamasaOrdeBaru,negara memaksakanbentukthelocalstategovernmentpadadesa,yangmenempatkandesa sebagaikepanjangantangannegara.DimasaOrdeBaru,desadibuatsecaraseragam sebagai desa administratif, sehingga spirit dan bentuk self governing community mengalami kerusakan. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 mulai memasukkan dimensi local self government secara inkremental, tetapi belum sempurna. Saat ini posisi desa dibuat default, yang mengandung campuran antara self governing community(sebagaimanaditegaskandalamkewenanganasalusul,mempunyaitanah bengkokatauulayat,danperangkatdesayangdikelolasecaratradisional), local self government (desa berwenang menyusun organisasi desa dan perencanaan desa, mengelolakewenanganberskalalokal,memperolehADD,adapilkadeslangsung,ada BPD, dll) yang belum sempurna, dan juga ada local state government (ada begitu banyak tugas pembantuan atau permintaan tolong kepada desa). Tetapi posisi dan institusiyangintitidakditonjolkan. Keempat,karenapengaruhadat,kondisigeografisdankemajuanpembangunanyang berbeda,kondisidesadesadiIndonesiasangatberagam.Bentukdesaotonomtentu sangatcocokditerapkandiJawa,sebagianSumatera,sebagianKalimantan,sebagian Sulawesi. Sebaliknya format desa adat (rekognisi) tidak tepat diterapkan di Jawa karena di Jawa pengaruh adat semakin hilang. Tetapi format desa otonom itu akan sangatsulitbekerjadidaerahdaerahyangpengaruhadatnyaterhadappemerintahan masih kuat seperti di Bali, Kalimantan Barat, Aceh, Maluku, NTT. Sumatera Barat merupakan kekecualian, sebab provinsi ini sejak 2000/2001 telah membentuk kembali(recreating)nagariyangmerupakanintegrasiantaradesanegaradanadat. Kelima, ukuran (size) geografis dan demografis Desa menjadi isu penting dalam otonomidesa,terutamasebagaibasiskekuatansumberdayalokaldanmempengaruhi skala ekonomi. Berdasarkan kalkulasi nominal, desa umumnya mempunyai keterbatasan luas wilayah, jumlah penduduk, potensi desa, dan lainlain. Sebagai ilustrasi Provinsi NAD mempunyai jumlah penduduk sebesar 3.899.290 jiwa, yang mendiami wilayah seluas 56.500,51 Km2 dan Desa sejumlah 5.853 dan kelurahan 112. Tetapi Sumatera Utara, dengan penduduk sebesar 12.333.974 dan wilayah seluas 72.427,81 (lebih besar dari NAD), mempunyai Desa/kelurahan lebih sedikit dari NAD, yakni 4.924 dan 547 kelurahan. Sumatera Barat yang mempunyai penduduk lebih besar dari NAD (yakni sebesar 4.549.383 jiwa pada tahun 2007),
14

tetapi hanya mempunyai Desa (Nagari) sebanyak 634 ditambah 256 kelurahan. JumlahDesayangrelatifkeciljugaterjadidiBangkaBelitung(266Desa),Kepulauan Riau(144Desa),DaerahIstimewaYogyakarta(391Desa),Bali(602Desa),NTB(711 Desa), Sulawesi Tenggara (364), dan Gorontalo (312 Desa). Jawa Tengah (seluas 32.799,71Km2danberpenduduk32.952.040jiwa)danJawaTimur(seluas46.689,64 dan berpenduduk 37.076.283 jiwa) memegang rekor kepemilikan Desa, yakni masingmasing7.817Desadan744kelurahanserta7.682Desadan785kelurahan. Jawa Tengah yang memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk lebih kecil daripada JawaTimurdanJawaTimur,tetapimempunyaijumlahDesaterbanyakdiIndonesia. Kalau dihitung secara ratarata setiap Desa/kelurahan di Jawa Tengah mempunyai wilayah seluas 3,83 Km2 dan berpenduduk ratarata 3.849 jiwa. Sementara tetangganya,DIY,mempunyaikomposisiyanglebihmenarikdaripadaJawaTengah, yakni ratarata Desa/kelurahan mempunyai wilayah seluas 7,15 Km2 dan dihuni pendudukolehsekitar7.488jiwa. MemangsejauhinibelumadaukuranyangidealuntukukuranwilayahsebuahDesa sebagai kekuatan penopang bagi otonomi Desa, karena potret yang kontras antara NAD dan Sumatera Barat di satu sisi serta Jawa Tengah dan DIY di sisi lain bisa menjadi bahan kajian berikutnya. Tetapi beberapa orang, termasuk Soetardjo Kartohadikoesoemo(1953,1984),SeloSoemardjan(1992),Nasikun(2004)maupun Sadu Wasistiono (2007) masih meragukan apakah mungkin kecilnya ukuran Desa menjadi basis yang kuat bagi otonomi Desa. Karena itu mereka mengusulkan perlunya penggabungan DesaDesa yang kecil seperti pernah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada masa Sultan HB IX. Jika kita tengok ke belakang, UU No. 22/1948 juga merekomendasikan sebuah manajemen transisi dalam bentuk pembinaan dan penggabungan desa sebelum konsep desa sebagai daerah otonom tingkat III diterapkan. Sadu Wasistiono (2007) juga merekomendasikan bahwa penerapan desa otonom membutuhkan transisi setidaknya 10 tahun untuk mempersiapkanpenggabungandesadankapasitasdesasecaramenyeluruh.Kondisi geografis,demografismaupunspasialdesaitutentumerupakanmasalahyangharus diperhatikandalammendisaindesaotonom. Selainukurandiatas,adajugamasalahlainyangmunculparaleldenganukurandesa, yaknipemekarandanpenggabungandesa.DesadesadiJawaTengahumumnyatidak mau digabung. Di Luar Jawa terjadi kecenderungan pemekaran Desa, apalagi di daerah transmigrasi yang selalu menambah jumlah desa. Jumlah desa di Indonesia daritahunketahunsemakinbertambahbanyakkarenapemekarandesa.Padatahun 1969/70, tercatat sejumlah 44.478 desa kemudian bertambah menjadi 45.587 Desa padatahun1973/74,bertambahlagisekitar15ribuDesa/kelurahanmenjadi60.645 pada tahun 1978/79. Pada tahun 1983/84, ketika terjadi penataan Desa baru berdasarkan UU No. 5/1979, jumlah Desa/kelurahan bertambah menjadi 66.437. Sekarang,2007,jumlahDesa/kelurahanmencapai69.926,meskipunSumateraBarat sejak2000/2001melakukanpenciutanDesasekitar5000an.
15

Hal ini menunjukkan bahwa laju pemekaran Desa jauh meningalkan laju penghapusan atau penggabungan Desa. Beberapa studi menunjukkan bahwa bertambah jumlah desa ini lebih didasarkan pada motif: perebutan sumber daya; politikpembentukkandanpemekarankecamatandankabupatenbaru;politiketnik identitas; primordialisme; memperbesar akses sumberdaya dari pemerintah dan sebagainya. Di Sumatera Barat, misalnya, terjadi pembengkakan jumlah Desa dari 500an menjadi 5000an pada tahun 1980an karena dimaksudkan sebagai siasat lokal untuk memperbanyak perolehan Bantuan Desa. Tetapi yang menarik, setelah kembali ke Nagari, Sumatera Barat melakukan penggabungan desa kembali sesuai dengansatuanteritorialsemula,yaknidari5000anmenjadisekitar600annagari. DesaOtonom Karenakondisiempirikdanberbagaikelebihankelemahanitu,makaagaksulituntuk memilih satu kedudukan secara tunggal dan tegas. Banyak pihak yang mengemukakanpemikiranuntukmenggabungkanantaradesaadat,desaotonomdan desa administratif tetapi institusi intinya adalah desa otonom. Prof. Mochtar Naim termasuk pengusung ide ini, tentu belajar dari pengalaman Sumatera Barat. Dalam kesempatan diskusi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 89 Desember 2007, dia menyampaikanpendapatnya: Keragaman sangat penting, tetapi jika keragaman diutamakan akan menambah kerumitan. Kita tidak perlu membuat dikotomi antara desa adat dan desa dinas. Kita butuh satu definisi desa secara nasional yang mampu mencakup semuanya, termasuk mengakomodasi keragaman lokal. Saya mengusulkan agar dibentuk desa otonom yang tetap memperhatikan dan mengakomodasi adat dan budaya setempat, seperti pengalaman di Sumatera Barat. Saya setuju dengan pendapat itu, sehingga saya memberi nama desa otonom++ atau desa otonom dengan syarat. Usulan saya adalah membentuk integratedvillage,yangmenggabungkandesaadministratifdanadatkedalamwadah baru yang bernama desa otonom. Desa otonom menjadi posisi dan institusi utama (inti), yang di dalamnya menggabungkan antara unsurunsur modern dan unsur unsur tradisional (susunan asli, kearifan lokal, adat, budaya lokal, dan lainlain). Adapundisainkelembagaannyaadalahsebagaiberikut: Secaraprinsipilintegrasidesadanadat(integratedvillage)adalahbentukdesa otonom(localselfgovernment),dengantetapmengakomodasispiritdanpola selfgoverningcommunity. Dalam integrated village, terjadi peleburan antara desa adat dan desa dinas menjadisebuahinstitusiyangbatasbataswilayahyangjelas.
16

Skemasepertiiturelatifbisaditerapkandihampirsemuadaerah,denganpolaadat masuk desa atau sebaliknya desa masuk adat. Bali mungkin merupakan kekecualian, dimana integrasi akan sulit dilakukan, karena desa adat akan tetap berdiri sendiri yang lepas dari struktur negara. Karena itu pengaturan tetap hanya diberikan kepada desa dinas yang dikembangkan menjadi desa otonom, sementara desaadatmasihtetaphidupdandiakuisebagaibentukselfgoverningcommunity.

Nomenklatur desa disesuaikan dengan nomenklatur lokal, seperti nagari, pakraman,lembang,negeridanlainlain. Struktur pemerintahan integrated village mengakomodasi strukturadat yang ada. Struktur ini bukan dalam posisi dan pengertian sebagai lembaga kemasyarakatan, tetapi sebagai struktur resmi pemerintahan desa. Sebagai contohdinagariSumateraBaratterdapatwalinagarisebagaikepalaeksekutif, BadanPerwakilanNagarisebagailembagalegislatifsepertiBadanPerwakilan Desa, Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai institusi asli yang menjalankan fungsiperadilanadatdanwadahpermusyawaratanbesarparapenghuluadat, serta Majelis Adat, Syarak dan Ulama sebagai lembaga pertimbangan bagi lembagalainyangterkaitdenganadatdanagama. Integrated village tidak mengenal dualisme kepemimpinan, melainkan dipimpin olehseorangpimpinaneksekutifsepertikepaladesa.

17

Você também pode gostar