Você está na página 1de 7

I. CUSTOMER RULE * Tak Cukup Hanya Kepuasan Pelanggan Apakah customer satisfaction??

Menurut Fredrich Reicheld, dalam The Quest For Royalty, survey tentang kepuasan konsumen mempunyai 2 masalah utama. Pertama, Skor kepuasan konsumen hanyalah sarana dan cenderung tidak berarti sejauh kepuasan yang ditunjukkan melalui skor tersebut mampu diterjemahkan ke dalam penjualan maupun profit. Kedua, Survey kepuasan konsumen seringkali dilakukan secara kurang hati-hati sehingga memberikan hasil yang keliru. Lebih jauh Riecheld mengatakan bahwa pengukuran kepuasan konsumen tidak memberikan hasil yang dapat diandalkan untuk mengukur value yang disampaikan oleh suatu perusahaan, apalagi kalau pengukuran ini dipakai untuk memprediksi perilaku konsumen di waktu mendatang. Satu hal bahwa pengukuran kepuasan konsumen tidak dapat dipakai sebagai predictor yang dapat diandalkan untuk repeat purchase apalagi loyalitas konsumen. Konsumen yang antusias memperlihatkan komitmen ini bersifat emosional, jangka panjang dan action motivating. Dalam penelitian ini terlihat juga bahwa konsumen yang antusias mempunyai kecenderungan relasi yang kuat dengan penjual dan mereka bisa memaafkan bila ada hal-hal yang dirasakan kurang. Ada 4 profil konsumen yang bisa dianalisis dari hubungan antara kepuasan dan antusiasme: Pertama, Antusiasme Rendah tapi Kepuasannya Tinggi (potential turncoasts), Kedua, Antusiasme Tinggi tapi Kepuasannya Rendah (sentimental shoopers), Ketiga , Antusiasme Rendah tapi Kepuasannya Tinggi (silent shoopers) , Keempat,, Antusiasme Tinggi dan Kepuasan Tinggi (star consumers).

Insight yang bisa ditarik dari hasil penelitian ini adalah bagaimana menciptakan konsumen yang sangat antuisias terhadap produk maupun pelayanan yang ditawarkan. Konsuen yang antuisias selalu menginginkan produk atau service yang dapat menciptakan excitement, fantasi dan komitmen yang tinggi terhadap suatu merek Tantangan bagi perusahaan adalah bagaimana menciptakan enthusiasticexternal costumers karyawan yang antusias adalah brand ambassadoryang ampuh untuk menciptakan impresi positif dan ikatan emosiaonal bagi konsumen eksternal. * Pahami Benak Konsumen Ada enam kesalahan yang seringkali dibuat seorang pemasar dalam menafsirkan perilaku konsumen. Pertama, Pemasar sering beranggapan bahwa konsumen berpikir secara rasional dan linier. Dalam kenyataanya emosi malah sangat erat bertalian dengan proses penalaran konsumen . Kebanyakan pemasarcenderung mengabaikan unsure emosi ini dan kalaupun membicarakannya masih sebatas pada hal-hal yang umum. Pemetaan emosi ke dalam konteks jarang dicoba. Misalnya, perasaan senang atau gembira yang dinyatakan oleh konsumen sebaiknya ditelusuri dengan lebih dalam melalui costumer insight untuk menemukan sejumlah unsure yang terpresentasi lewat emosi tersebut. Kedua, Pemasar sering beranggapan bahwa konsumen mampu menjelaakan pikiran dan perilakunya, kenyataanya malah 95 persen dari apa yang dipikirkan konsumen ada dalam alam bawah sadar. Ketiga, Pemasar cenderung berpikir bahwa otak konsumen ibaratnya kamera yang dapat memotret segala hal dan mampu menyimpan begitu banyak ingatan. Mereka berasumsi bahwa otak kita seperti halnya fotografi, sangatlah akurat menangkap apa saja yang terlihat oleh konsumen.

Keempat, Banyak pemasar yang meyakini bahwa pikiran konsumen terbentuk melalui kata-kata. Oleh karena itu, mereka mengandaiakan dapatmemahami pikiran konsumen hanya melalui interpretasi kata-kata yang diucapkan dalam suatu percakapan atau tulisan dalam kuesioner. Kelima, Keyakinan pemasar bahwa konsumen hanya berpikir dengan kata-kata, membuata pemasar berasumsi ia leluasa memasukkan pesan apa saja yang diinginkan baik itu merek maupun positioning. Keenam, Banyak pemasar yang beranggapan bahwa pengalaman konsumen seakan-akan terisolasi dan lepas dari konteks. Kenyataannya, konsumen tidaklah hidup dalam silo atau sekat seperti hanya yang ada di organisasi atau perusahaan bahkan pikiran, tubuh dan dunia luar saling membentuk dan terjalin dalam suatu alur yang dinamis. * Cerdas Memilih Konsumen Yang Menguntungkan Banyak manajer yang menemui kesulitan untuk mengukur peningkatan skala kepuasan konsumen dari 4,5 menjadi 5 terkait dengan seberapa banyak anggaran pemasaran yang diperlukan dalam nilai rupiahnya. Hal yang sama terjadi juga dengan sjumlah pengukuran yang biasa dipakai untukmengukur brand awareness maupun image. Memang ada sejumlah perusahaan yang sengan cerdik memanfaatkan situasi krisis justru untuk menuai pasar yang ditinggalkan pemain lain dan mulai secara bertahap melakukan sejumlah pengukuran dengan menggunakan hard metric dengan mengaitkan setiap aktivitas dengan ROI. Tetapi hal ini benar-benar masih merupakan barang mewah. Strategi apa pun yang bakal dilakukan oleh setiap perusahaan dalam memberikan respons terhadap situasi eksternal tergantung pada sejauh mana perusahaan melihat realita yang ada. Tetapi sudah saatnya setiap perusahaan entah itu dimasa sulit maupun booming mulai kritis melihat bahwa tidak semua konsumennya/ pelangganya memberikan manfaat yang sama pada perusahaan.

Secara insting sebenarnya para praktisi mengakui akan fakta ini dan banyak perusahaan mempunyai record yang mengklasifikasi para pelanggannya ke dalam beberapa strata. Namun barangkali yang masih luput dari perhatiannya adalah kalaupun data itu ada, apakah data itu digunakan menjadi informasi bahkan knowledge bagi perusahaan dalam mengembangangkan strategi pemasarnnya? Sudah saatnya perusahaan mulai memanfaatkan database yang begitu berlimpah yang ada dalam perusahaan membuat setiap aktivitas pemasarannya memiliki implikasi yang signifikan. Namun ironis bahwa ternyata banyak perusahaan yang sama sekali tidak memanfaatkan database yang ada sebagai engine of growth perusahaannya. Salah satu yang belum banyak dieksploitasi adalah pengukuran customer lifetime value (CLV). Untuk mengimpimentasikannya ke dalam kerangka operasional CLV dalam perusahaan, sejumlah langkah strategis perlu dilakukan oleh perusahaan .pertama, setiap unit bisnis yang ada dikaitkan dengan konsumen atau pelanggan dan bukan produk . Kedua, mengukur kinerja (return) bukan investasi masa lalu dan ketiga, kultur perusahaan harus diubah supaya system yang baru ini bisa operasional. * Cegah Konsumen Anda Pindah Ke Pesaing Fenomena churn, yakni berpindahnya pelanggan ke produk pesaing memang perlu disikapi dengan hati-hati karena dengan semakin sengitnya persaingan, perusahaan sebaiknya lebih focus pada retensi konsumen ketimbang mengakuisisi konsumen yang sama sekali baru. Selain biaya untuk akuisisi jauh lebih besar ketimbang retensi, tidak ada jaminan konsumen yang baru direkrut tadi akan bertahan lama. Ada 3 elemen yang melandasi suatu interaksi bisnis. Pertama, costumer experience yaitu seberapa jauh konsumen mengalami sebuah pengalaman yang sesungguhnya dalam berrinteraksi dengan service provider. Kedua, Persepsi konsumen, yakni sejauh mana konsumen bisa mengklaim dan mempersepsikan value yang dialami dalam proses interaksi tersebut. Ketiga, perilaku konsumen, yakni yang terjadi setelah konsumen mengalami sebuah pengalaman berinteraksi apakah dia akan tetap setia atau malah berpindah ke perusahaan lain.

Ada empat pinsip yang bisa digunakan oleh manajer guna meranang program pengurangan churn. Prinsip pertama, suatu prakarsa untuk melakukan program retensi konsumen haruslah difokuskan pada pengurangan akar penyebab churn. Bukan bersifat reaktif dengan mengambil langkah pada saat-saat terakhir bilamana konsumen akan hengkang. Prinsip Kedua, sekalipun survey kepuasan konsumen telah didesain sedemikian rupa. Prinsip ketiga, perusahaan harus mengidentifikasi dan menilai prioritas dari program retensi konsumen dengan memahami kaitan langsung antara pengalaman konsumen dan perilaku konsumen. Prinsip keempat, suatu pemahaman yang baik terhadap factor yang menjadi pemicu churn akan bermanfaat bila diikuti dengan suatu rencana aksi. Banyak perusahaan yang seringkali mempunyai rencana baik tetapi sangat miskin dalam implementasinya. * Lima Langkah Memenangi Konsumen Lama Banyak perusahaan beranggapan hilangnya pelanggan dengan mudah dapat diatasi dengan melakukan akuisisi atau rekrutmen konsumen baru. Asa semacam kecenderungan kita selalu berpikir bahwa pelanggan yang setia akan dengan mudah digantikan dengan konsumen baru. Kehilangan pelanggan yang tidak puas akan mengekspresikan perasaan kecewa pada dua sampai dua puluh orang lain. Realitanya, pelanggan yang kecewa akan berperan layaknya virus di pasar dan berpotensi mengontaminasi sebanyak mungkin calon konsumen maupun konsumen yang ada saat ini. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara first lifetime value (LTV) dan SLTV karena sejumlah alas an antara lain pelanggan yang kembali biasanya sudah akrab dengan produk atau jasa yang ditawarkan, service provider telah mempunyai data tentang preferensi dari pelanggan tadi dan biasanya suatu pengakuan yang bersifat personal terutama terhadap pelanggan yang kembali lagi seringkali akan mendorong dan bahkan meningkatkan pembeliannya.

II. DREAMKETING * Pemasaran ada Konsumen Pemimpi Selling dreams sudah menjadi paradigma baru pemasaran, cara pandang baru dari konsumen untuk mempersepsikan dan menafsirkan suatu objek . Rolf Jensen dari Copenhagen Institute for Future Studies menyebutkan masyarakat dewasa ini dengan instilah dream society, sosok pasar dimana orang tidak lagi membeli produk itu. Produk dipersepsikan sebagai inspirasi yang dapat merealisasikan mimpi konsumen. Dalam dream society, sekadar memuaskan kebutuhan konsumen tidaklah cukup. Sekarang ini konsumen ingin mengikuti kata hatinya untuk meraih mimpinya. Mimpi bagi Gian Luigi Buitoni, akan membuat seseorang menemukan kembali bergai dimensi yang lain dari dirinya, menciptakan suatu mood dimana segala sesuatunya menjadi mungkin. Salam era konsumtifisme saat ini, yang oleh para penggagas postmodernisme disebut sebagai logika kapitalisme, keputusan konsumen bukan lagi didasarkan pada pemilihan atas barang melainkan pada pemilihan atas hubungan yakni relasi-relasi social yang melekat pada barang yang hendak dipilih. Seorang dreamketer yang kreatif harus menjadi story teller, mampu menafsirkan berbagai motif pembelian konsumen agar dapat membangun suatu mimpi yang meyakinkan dan dapat memprovokasi emosi konsumen yang terdalam. Setiap industri biasanya berbeda dalam hal nature of behaviornya. Oleh karena itu memang dibutuhkan seorang dream creator yang dapat menginterpretasikan spirit dari suatu masa sehingga bisa memahami mimpi apa lagi in. *Manfaatkan Gaya Hidup Hedonis Konsumen Profesor Morris Holbrook dari Columbia Business School yang dikenal sebagai pelopor dari pendekatan hedonis dalam pemasaran yang memfokuskan pada feeling dan pengalaman dari konsumen. Dia mengatakan untuk bisa memahami perilaku konsumen tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan paradigma decision-oriented approach yang selama ini lazim digunakan oleh pemasar. Dalam paradigma ini, konsumen seakan hanya dilihat sebagai pengolah informasi dan menghasilkannya dalam bentuk keputusan pembelian. Model perilaku konsumen seperti ini memperlakukan konsumen sebagai makhluk rasional sama halnya dengan apa yang secara sistematis mempertimbangkan pro

dan kontra dari sejumlah pilihan mereka yang ada dalam setiap keputusan yang dibuat. Dalam membuat keputusan biasanya seseorang tidak semata berpikir secara rasional karena ada banyak hal masuk ke dalam alam bawah sadar seperi fantasi ataupun mimpi dan angan-angan tertentu. Bagi professor Holbrook, unsur seperti feeling dan fun juga sangat dominant dalam perilaku konsumen. Perasaan konsumen biasanya sangat relevan dengan pengalaman mengonsumsi suatu produk, hal ini biasanya diabaikan dalam paradigma decision-oriented approach. Para peneliti biasanya mengukur kepuasan konsumen sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelian. Kalau konsumen puas, biasanya akan mendorong suatu pembelian yang berulang dan menimbulkan loyalitas. Sekalipun hal ini penting, tetapi sebenarnya masih ada banyak hal yang relevan dengan sejumlah nilai dari pengalaman konsumen sewaktu menggunakan suatu produk. Ada banyak nilai yang terkandung dalam pengertian kepuasan, misalnya nilai hiburan, estetika, permainan yang terkandung dalam unsur fun yang dialami oleh konsumen sewaktu mengonsumsi suatu produk. * Menjual Mimpi, Siapa Takut..? Mimpi seringkali diibaratkan sebagai bunga tidur, bahkan tidak jarang terjadi terdapat begitu banyak mitos maupun kepercayaan di masyarakat yang berkaitan dengan impi. Setiap orang selalu berharap bisa memperoleh mimpi-mimpi yang Indah agar bisa membebaskannya dari rasa frustasi dan berbagai himpitan dalam kehidupan nyata. Gian mengatakan, mimpi ternyata memiliki citra yang sangat baik untuk menjelaskan factor apa yang menjadi penggerak dari imajinasi dan berbagai hasrat terdalam yang ada dalam diri setiap orang. Lebih jauh menurut Gian Luigi menginterpretasi mimpi bukanlah suatu ilmu yang eksak karena mimpi mempunyai banyak makna, symbol dan tema. Mimpi tidak dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai suatu kebutuhan (needs) seperti yang biasanya diartikan dalam pemasaran konvensional. Mimpi dalam pengertian yang umum diterjemahkan ke dalam pengertian bisnis.

Você também pode gostar