Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDEKATAN KURIKULUM GENDER DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Suraidah Hading Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Fakultas Teknik Unuversitas Negeri Makassar ABSTRAK Pendekatan kurikulum gender multikultural dalam proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi kurikulum, syllabus, program KTSP, media seperti buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender multikultural. Kesetaraan gender dalam proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi kurikulum, syllabus, program KTSP, media seperti buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender. Menanamkan kesadaran gender melalui pendidikan multikultural diharapkan dapat membentuk manusia yang mampu menjunjung tingi demokrasi, menegakkan keadilan, menghapuskan deskriminasi, menegakkan hak dasar kemanusiaan, nilai keagamaan, multikultural dan keberagaman bangsa Indonesia. Proses peningkatan kualitas pendidikan multikultural tidak membuahkan hasil yang subtantif apabila partisipasi laki-laki dan perempuan tidak menjadi perhatian sejak dini. Upaya harus dilakukan secara sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan meliputi berbagai aspek. Oleh karena itulah Aktivis Kemitraan Pendidikan Dasar Indonesia Australia atau Indonesia Australia Partnership In Basic Education (IAPBE) berupaya merangkum dan menerbitkan materi pelatihan pendidikan responsif gender. Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah Menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Key Words: Kurikulum, Gender, Pendidikan Multikultural PENDAHULUAN perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Pendekatan kurikulum Gender merupakan kajian tentang tingkah laku
Gender dalam Pendidikan Multikultural
Kesetaraan
keterlibatan
Pendekatan Kurikulum
terciptanya
kesetaraan
gender
dalam
pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender. Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program.Pembangunan Nasional-
kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi kurikulum, syllabus, program KTSP, media seperti buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan gender bagi dalam terciptanya pendidikan
kesetaraan
PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG)
melalui proses pembelajaran yang peka gender. Kesetaraan gender dalam proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi kurikulum, syllabus, program KTSP,
dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender (Ani Soetjipto, 2004). Pendidikan multikultur adalah
bagian dari pendidikan nilai yang memiliki kompleksitas tinggi sehingga juga
media seperti buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi
Untuk menunjang argumen ini, tulisan ini akan disusun berdasarkan struktur berikut.
Pertama,
tulisan
ini
mengetengahkan
informasi singkat dengan fokus pada upaya perubahan pendidikan membahas multikulturalisme yang ini. terjadi di lembaga ia akan konsep singkat,
masyarakat, pengetahuan dan kemampuan manusia, juga sebagai alat untuk mengkaji dan menyampaikan ide-ide dan nilai baru. Dengan demikian, lembaga pendidikan merupakan sarana formal untuk sosialisasi sekaligus transfer nilai-nilai dan normanorma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan orma tersebut ditransfer secara lugas maupun secara tersembunyi, baik melalui buku-buku teks yang digunakan maupun
bagi pendidikan multikultural. Tulisan ini diharapkan akan mampu menggambarkan bagaimana cultural pluralism yang ada di bumi Nusantara ini. PEMBAHASAN Pendidikan merupakan aktivitas
pada suasana dan proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam lembaga pendidikan, sebagai tempat mentransfer pengetahuan kepada masyarakat,
yang khas bagi manusia dalam suatu komunitas masyarakat dengan tujuan untuk memanusiakan manusia,1 dan merupakan instrumen yang penting bagi
mewujudkan keadilan gender merupakan hal yang niscaya. Untuk mengarah pada terwujudnya keadilan gender yang
pemberdayaan masyarakat, terutama bagi masyarakat Pendidikan terwujudnya yang juga termarjinalkan.2 merupakan gender kunci dalam
dimaksud maka perlu; (1) memberlakukan keadilan gender dalam pendidikan dan menghilangkan pembedaan pada peserta
Pendekatan Kurikulum
keadilan
85
didik, (2) mengupayakan keadilan gender di kalangan staf dan pimpinan, dan (3) meredam sebab-sebab terjadinya kekerasan dan diskriminasi yang yang melalui diajarkan, dilakukan, materi proses dan
seminar ilmiah. Pendidikan yang sensitifgender pun telah sebegitu kuat merasuki akal pikiran kaum terpelajar dikampuskampus sehingga pusat-pusat studi yang didedikasikan untuk mengarus-utamakan (mainstreaming) gender agar persoalan pembedaan dan diskriminasi berbasis jenis kelamin tersebut menjadi pusat perhatian para pengambil kebijakan telah banyak berdiri di kampus-kampus seperti Pusat Studi Gender (PSG) di STAIN Purwokerto atau Pusat Studi Wanita (PSW) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. PENDIDIKAN MULTIKULRURALISME Agus Moh. Najib, dkk. (2010).
pengetahuan pembelajaran
menentang segala ide dan pemikiran yang mengandung stereotipe negatif. Dari tiga hal di atas, maka hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan adalah bagaimana menyusun kurikulum yang dapat menciptakan relasi gender yang dinamis. Tulisan ini bermaksud untuk memaparkan tentang urgensi kurikulum yang berperspektif gender dalam
pendidikan sebagai upaya sosialisasi dan menjelaskan implementasi pengarusutamaan gender di sekaligus gaya hidup, multikulturalisme bidang pendidikan. menjadi gagasan yang cukup kontekstual Sensitivitas gender telah sekian dengan realitas masyarakat kontemporer lama menjadi tema hangat yang banyak saat dikemukakan dan didiskusikan di banyak kesetaraan, artikel ataupun dalam dalam berbagai berbagai jurnal ilmiah pengakuan terhadap perbedaan adalah makalah di keadilan dan keterbukaan, ini. Prinsip mendasar tentang sebuah cara pandang
prinsip nilai yang dibutuhkabn manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah bagian integral dalam pelbagai system budaya dalam masyarakat yang salah satunya dalam pendidikan, berwawasan dengan yaitu pendidikan yang
mendasar bagi semua peserta didik. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme, dan segala bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan menerima serta
mengafirmasi pluralitas (etnis, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender dan lain
sebagainya) yang terefleksikan diantara peserta didik, komunitas mereka dan guruguru. Menurutnya pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum, dan strategi pengajaran termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan diantara para guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana belajar mengajar. Karena jenis pendidikan ini merupakan pendidikan paedagois kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan pendidikan dalam
multikultural.
Pendidikan dalam
wawasan
multikultural
rumusan James A. Bank dalam Agus Moh. Najib, dkk. (2010) menjelaskan konsep idea tau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk social, gaya hidup, pribadi, pengalaman kesempatan dari individu,
identitas
kesempatan
pendidikan
masyarakat,
multikultural
kelompok maupun
Negara. Sementara,
mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial. Selanjutnya, Agus Moh. Najib, dkk. (2010) mengartikan multikulturalisme sebagai, Pertama, pengetahuan tentang
Pendekatan Kurikulum 87
menurut Sonia Nieto yang dikutip oleh Agus Moh. Najib, dkk. (2010) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural adalah proses pendidikan yang komprehensif dan
Gender dalam Pendidikan Multikultural
komunitas
utamanya
Negara-negara
manusia akan terikat dengan struktur dan system budayanya sendiri di mana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak bias bersikap kritis terhadap system budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayang dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya itu. Kedua, perbedaan budaya merupakan represntasi dari system nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan suatu entitas yang relative sekaligus budaya Sehingga, partial lain tidak dan untuk satu
berkembang perlu mempelajari sebabsebab dari hegemoni barat dalam bidangbidang tersebut dan mengambil langkahlangkah seperlunya untuk mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dengan dunia barat. Kedua, esensialisasi budaya, dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnocentrisme. Multikulturalisme dapat
melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam era globalisasi. Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi dapat membrangus intitas dan kepribadian suatu budaya. Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruasn dan
memerlukan memahaminya.
budaya pun yang berhak memaksakan budayanya kepada system budaya lain. Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internal merupakan entitas yang plural yang merefleksikan tradisi Hal interaksi, dan ini, untaian tidak dan antar cara berarti identitas
diskursus tentang multikulturalisme, maka Bikhu Parekh dalam Agus Moh. Najib, dkk. (2010) mengaris bawahi tiga asumsi mendasar yang harus diperhatikan dalam kajian ini yaitu, pertama, pada dasarnya
koherensi
budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus MULTIKULTURALISME, PENDIDIKAN MULTIKULTURAL, DAN WHOLE-SCHOOL APPROACH Konsep tentang multikulturalisme adalah ide yang dikontestasi dan
berproses dan terbuka. Oleh karena itu Bikhu Parekh dalam Agus Moh. Najib, dkk. (2010) mengemukakan a culture relations to itself shapes and is turn shaped by its relation others and their internal and external. prasangka Keempat, (preyudice
berkembang tentang bagaimana melihat realitas keragaman masyarakat (Kymlicka, 1995; Siegel, 2007, dalam (Raihani: 2010). Sebagai satu konsep yang muncul sebagai respons atas kegagalan teori-teori asimilasi beberapa dekade sebelumnya, multi
pengurangan
reduction) yang lahir dari interaksi antar keragaman dalam kultur pendidikan.
Kelima, paedagogik kesetaraan manusia (equity pardagogy) yang member ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam. kebudayaan Keenam, sekolah
kulturalisme tidaklah sebuah konsep yang baru. Diskusi dan debat seputar konsep itu sudah lama bergulir dan sampai sekarang terus menghangat. Dunia global yang ditandai dengan semakin intensnya proses migrasi kebudayaan dan yang pertemuan-pertemuan berbeda konsep semakin multi
permberdayaan
(empowering shool culture). Hal yang keenam ini adalah menjadi yaitu tujuan agar
pendidikan
multikultural
mensignifikasikan
kulturalisme. Kerekatan sosial melalui pemahaman, penghargaan, dan pengakuan atas dasar keadilan sosial dan harga diri manusia adalah idealisme yang ingin
Pendekatan Kurikulum 89
dicapai dengan multikulturalisme (Parekh, 2006) dalam (Raihani: 2010). Karena multikulturalisme berkaitan terhadap dengan realitas dalam penerapannya negara utamanya
secara maksimal. Setiap siswa penting dan harus diperhatikan secara adil karena masing-masing mempunyai potensi yang unik untuk dikembangkan terlepas dari latar belakang ras, etnis, dan budayanya. Definisi ini juga mengindikasikan bahwa pendidikan multkultural bukanlah tentang satu program saja, akan tetapi adalah usaha yang simultan sosial untuk mempromosikan justice) dan
kebijakan perbedaan
kaum minoritas (Kymlicka, 1995), maka bermunculanlah teori-teori politik seputar konsep multikulturalisme. partikular ini Terdapat dalam yang
keadilan
(social
sejarah,
kesempatan yang sama (equal opportunity) bagi setiap anak. Definisi ini mengisyaratkan pendekatan terhadap holistik atau
komposisi etnisitas dan budaya serta ideologi dari masing-masing negara. Pendidikan multikultural adalah
menyeluruh
pendidikan
an inclusive concept used to describe a wide variety of school practices, programs and materials designed to help children from diverse groups to experience
multikultural, dan juga sejalan dengan konsep komprehensif yang ditawarkan oleh Bennet (1990; 2001)dalam (Raihani: 2010). Konsep pendidikan multikultural Bennet meliputi gerakan menuju
educational quality (Banks, 1986, p.222) dalam (Raihani: 2010). Definisi ini
pencapaian pemberian kesempatan yang sama bagi setiap siswa, kurikulum yang dapat mengembangkan pemahaman
memfasilitasi siswa untuk menjadi orang yang secara budaya kompeten, dan
tata interaksi antar manusia (Parekh, 2006)dalam (Raihani: 2010). Pertemuan Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 Nov 2010 388 budaya yang berbeda bisa saja menciptakan friksifriksi yang sebenarnya tidak perlu hanya
(Bennet, 1990, pp.11-12) dalam (Raihani: 2010). Pendidikan multikultural difokuskan pada proses siswa pengembangan memahami,
karena tidak adanya pemahaman yang benar, tidak terukurnya keyakinan dan nilai, dan sikap-sikap diskrimintaif
kemampuan
untuk
mengakui, menghormati, dan hidup dan berfungsi secara nyaman dan efektif dalam realitas perbedaan (Gollnick & Chinn, 1986) dalam (Raihani: 2010). Ini penting apalagi dalam masyarakat yang kompleks di mana bahkan batas-batas geografis negara sudah tidak signifikan lagi. Budaya adalah beragam, dan setiap orang
tualisasikan atas dasar empat prinsip utama yang pada gilirannya akan mampu
membekali siswa untuk hidup dan berguna di masyarakat yang majemuk. Keempat prinsip ini adalah pluralisme kultural, keadilan sosial, nihilisasi rasisme, sexisme, dan bentuk-bentuk lain dari prejudis dan diskriminasi, serta inkorporasi budaya dan visi untuk keadilan dan pencapaian
memegang
budayanya
masing-masing.
Memang betul bahwa ada nilai-nilai universal yang dimiliki oleh manusia, namun partikularitas karena keragaman etnis, geografis, dan latar belakang agama juga secara signifikan berpengaruh dalam
pendidikan bagi setiap anak (Bennet, 2001, p.173) dalam (Raihani: 2010).
Dalam pengembangan pendidikan multikultural, para sarjana seperti Banks (1997) and Bennet (1990) dalam (Raihani: 2010) melihat pentingnya pendekatan yang melibatkan variabel-variabel utama
bekerja secara simultan untuk menuju satu titik di mana setiap siswa berkembang sesuai dengan potensinya dan menghargai keragaman budaya yang kompleks
(Raihani: 2010) PEMBERDAYAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Secara definitif multikultural
sekolah. Variabel-variabel ini mencakup etos dan budaya sekolah, kurikulum dan pembelajaran, prosedur dan sistim
evaluasi, kebijakan bahasa, dan pendekatan terhadap keragaman budaya. Dalam hal ini, Lynch (1986) menekankan pada pentingnya upaya sekolah memberikan kesempatan kalangan kepada siswa-siswa untuk dari
menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, dan kelas. Sikap yang ditimbulkan adalah memandang keunikan manusia tanpa membedakan ras, budaya, kelamin, kondisi jasmaniyah dan status ekonomi seseorang. Pendidikan multikultural di definisikan juga sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan
minoritas
memelihara
identitas-identitas unik mereka tapi pada saat yang sama mampu bersosialisasi dengan yang lain. Di samping variabelvariabel penting di atas, kepemimpinan, visi sekolah, dan organisasi dan aktifitas kesiswaan merupakan variabel yang tidak bisa dilupakan untuk mencapai tujuantujuan pendidikan multikultural.
program komunitas
pendidikan
bangsa
agar dapat
Menurut hirarki peran atau pertisipasi politik melalui pendidikan politik kepada naggota dan masyarakat. Perempuan yang hanya menghasilkan partisipasi mem-
multikultural dalam
berpartisipasi
mewujudkan
berikan suara pada waktu pemilu atau Pilkada, misalnya adalah bentuk peran politik pada tingkat yang paling rendah. Padahal pendidikan politik suatu sisi dapat juga dikatakan sebagai sosialisasi politik, hasil sosiaslisaisi politik ini adalah adanya rangsangan politik yang kemudian akan memunculkan partisipasi politik itu
perempuan juga terbilang penting, melihat potensi pembangunan secara struktural bertitik tolak dari pemberdayaan
insidentil di meja diskusi dan dialog politik semata. Tujuan pendidikan secara umum terkadang pada kenyataanya hanya sekedar memberi kesadaran bagi perempuan
pemberdayaan
sebagai simpatisan pemilih. Data ini bisa kita lihat dari keterwakilan perempuan di pusat kekuasaan dan pengambilan
kiranya usaha yang bisa dilakukan menurut (Abdul Hakim Muhammad: 2010) dalam menumbuhkan kepekaan perempuan di bidang politik antara lain: Pertama,
keputusan di Indonesia belum menunjukan keterbukaan politik bagi perempuan. Data tahun 2010 menunjukkan keterwakilan perempuan di MPR 8.06 % , DPR 8.08 %, MA 14.89 %, BPK 0 % dan DPA 4,44 %.
Gender dalam Pendidikan Multikultural
mengadakan pelatihan terkait penumbuhan simpati kaum perempuan dalam bidang poltik. Kedua, mengorganisasikan berbagai pertemuan yang nyaman bagi perempuan
Pendekatan Kurikulum 93
nuansa nilai
perempuan yang dapat hadir. Ketiga, menyediakan kesempatan bagi pertemuan khusus bagi perempuan agar mereka dapat membicarakan berbagai isu yang penting bagi mereka dengan tanpa kehadiran lakilaki. Keempat, memasukkan kegiatan khusus dalam sosialisasi dan perencanaan yang membantu baik perempuan maupun laki-
Dengan nilai
menetapkan demokrasi
terhadap
kerakyatan dan dtopang dengan daya cipta loyalitas atas isu kesetaraan gender,
berdemokrasi ala lingkungan setempat. IMPLIKASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH Strategi pendidikan multikultural
laki
dalam
menganalisis peran
dan selanjutnya perlu dijabarkan dalam gender. implikasi di sekolah. Fahmi Resqa (2009)
mensyaratkan dalam
kehadiran Menyarikan pendapat beberapa ahli dan pertemuanrealita empirik, strategi dapat disusun tujuh dengan implikasi pendidikan
pertemuan.Keenam, perempuan di dalam komite-komite atau sebagai fasilitator. pendekatan multikultural. Tujuh implikasi Melalui berbagai kuota dan target, hal ini itu bisa membantu menetrelisasikan dan Pertama, mempermudah kaum perempuan untuk keberagamaan inklusif di lingkungan menghadiri pertemuan dan berpartsisipasi sekolah. Guru sebagai orang dewasa dan dalam berbagai aktifitas. Pentas global kebijakan sekolah harus menerima bahwa dengan mudahnya akses informasi dan
94 Pendekatan Kurikulum Gender dalam Pendidikan Multikultural
dapat
dijelaskan
sebagai
berikut;
membangun
paradigma
ada
agama
lain
selain
agama
yang
dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain dirinya yang juga memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya beragam agama, sekolah harus melayani kegiatan rohani semua siswanya secara baik.
apapun singgungan tentang agama akan membekas dalam benak siswa yang akan dibawanya sampai dewasa. Kedua, menghargai keragaman bahasa di sekolah: dalam suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di sekolah, namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Sekolah perlu memiliki peraturan penghargaan yang terhadap
Hilangkan kesan mayoritas minoritas siswa menurut keagamaan agamanya. atau Setiap kegiatan di
kegiatan
apapun
sekolah biasakan ada pembauran untuk bertoleransi dan membantu antarsiswa yang beragama berbeda. Hal ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau menerima siswa yang
eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun, karena di luar sekolah itu siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama. Sebagai bahan renungan, seorang guru harus peka dan bijaksana menjelaskan sejarah Perang Salib, bom Bali, konflik
Gender dalam Pendidikan Multikultural
mengakomodasi
perbedaan bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh
atau
membaca
Pendekatan Kurikulum
ungkapan
bahasa
yang
berbeda harus
dari
proporsional
antara
laki-laki
dan
Semua
bersikap terhadap
perempuan. Tak ada yang lebih dominan atau sebaliknya minoritas antara gender laki-laki dan perempuan. Dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kodrati,
akomodatif
perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan yang ada seharusnya menyadarkan kita bahwa kita sangat kaya budaya, mempunyai teman-teman menyenangkan, yang serta unik dapat dan bertukar
proporsional karena setiap siswa laki-laki dan perempuan memiliki potensi masingmasing. Perempuan jadi pemimpin, lakilaki mengurusi konsumsi, atau yang lain saat ini bukan sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan potensinya dengan baik tanpa bayang-bayang persaingan
pengetahuan berbahasa agar kita semakin kaya wawasan. Ketiga, membangun sikap sensitif gender di sekolah: dasar perempuan, cerewet dan bisanya menangis!.
Mentang-mentang cowok, jangan sok kuasa ngatur-ngatur di kelas ya!. Syarat pengurus ekstrakurikuler adalah ketua harus cowok, sekretarisnya cewek, seksi perlengkapan cowok, seksi konsumsi
gender. Siapa yang berpotensi biarlah dia yang berprestasi. Berilah reward pada pada siapapun dengan gender apapun yang mampu berprestasi, sebaliknya beri
cewek, .. Contoh ungkapan-ungkapan itu harus dihapus dari benak dan kebiasaan guru, siswa, dan warga sekolah yang lain. Pembagian tugas, penyebutan contohcontoh nama tokoh, dan sebagainya harus
punishment yang tegas mendidik terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang
menyinggung perbedaan gender. Keempat, membangun pemahaman kritis dan empati terhadap
ketidakadilan serta perbedaan social: pelayanan peraturan pendidikan sekolah dan tidak penegakan boleh
Atau bila ada musibah di antara warga sekolah atau daerah lain siswa diajak berdoa dan memberikan sumbangan.
mempertimbangkan status sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status sosial dalam kelompok dan kelas untuk
Sekecil apapun doa, ucapan simpati, jabat tangan, pelukan, atau bantuan material akan sangat bermakna bagi pembentukan karakter siswa juga siapapun yang menjadi obyek empati. Kelima, membangun sikap antideskriminasi etnis: sekolah bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana berbagai etnis menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis mayoritas terhadap etnis
berinteraksi normal di sekolah. Meskipun begitu, guru dan siswa harus tetap
memahami perbedaan sosial yang ada di antara teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling
lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis yang semula mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif terhadap etnis yang berbeda. Sebagai misal ungkapan seperti ini, Dasar Batak, ngeyel dan galak, Heh si Aceh ya, slamat ya terhindar dari Tsunami, Halo Papua Kritam (kriting dan hitam), Ssst, jangan dekat dengan orang Dayak, nanti dimakan
Pendekatan Kurikulum 97
Sikap empati dan saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya.
Gender dalam Pendidikan Multikultural
lho. Tanamkan dan biasakan pergaulan yang positif. Pahamkan bahwa inilah Indonesia yang hebat, warganya beraneka ragam suku atau etnis, bahasa, tradisi namun bisa bersatu karena sama-sama berbahasa Indonesia dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Bila bertemu saling bertegur sapa, Halo Tigor, senang
mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal masuk dan pengamatan proses guru dan siswa dapat saling memahami kelebihan Karena dan kelemahan sudah
masing-masing.
siswa
menjadi bagian warga sekolah, maka jangan sampai sikap, ucapan, dan perilaku yang meremehkan atau mentertawakan kelemahan yang sudah dipahami. Hal itu sangat berdampak negatif, baik bagi siswa yang unggul maupun siswa yang lemah. Yang unggul akan merasa jumawa dengan keunggulannya sehingga bisa membuatnya lalai dan tidak berprestasi optimal. Bagi siswa yang lemah akan menjadi tidak termotivasi belajar dan merasa terkucilkan. Sebaiknya dibiasakan pembauran siswa unggul dan lemah dalam kelompok atau kelas agar terjadi pembimbingan sebaya, yang unggul semakin kuat pemahamannya tentang suatu materi dan merasa
bertemu denganmu, kapan ya saya bisa berkunjung ke Danau Toba yang indah, Wah, pemain bola dari Papua hebat-hebat ya, ada Eduard Ivakdalam, Emanuel Wanggai, Elly Eboy, dan lainnya. Suatu saat kamu bisa seperti mereka. Ciptakan kultur dan kehidupan sekolah yang
Bhinneka Tunggal Ika dengan interaksi dan komunikasi yang positif. Keenam, menghargai perbedaan kemampuan: siswanya sekolah tidak sama semua atau
berkemampuan
standar. Dalam psikologi sosial dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik dan mental yang membuat
bermanfaat dengan ilmunya, serta yang kurang memperoleh guru sebaya yang lebih komunikatif dan merasa diterima oleh teman-temannya. Ketujuh, menghargai perbedaan umur: setiap individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan
siswa berusia lebih muda tapi pintar, tuyul untuk adik kelas yang berkepala gundul, dan sebagainya). Seharusnya yang lebih tua memberi tauladan, memberi motivasi, memberi kepercayaan,
demokratis, membimbing, mengasuh, dan melindungi yang lebih muda. Yang muda menghormati, sopan santun, menauladani kebaikan, dan membantu yang lebih tua. Menyikapi kondisi sekolah sebagai dunia kebijakan multikultural, dan warga pengambil sekolah harus
kejiwaannya sesuai pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini, terutama tentang karakteristik psikologis dan tingkat kemampuan misal sesuai umurnya. berbahasa, Sebagai analisis
kemampuan
masalah, berkarya siswa SMP kelas VII akan berbeda dengan kelas IX, apalagi dibandingkan dengan siswa SMA,
mengubah paradigma dan sistem sekolah menjadi paradigma dan sistem sekolah yang multikultural. Secara serentak atau bertahap harus disusun kembali sistem, peraturan, kurikulum, perangkat-perangkat pembelajaran, dan lingkungan fisik atau sarana prasarana sekolah yang berbasis multikultural warga terpenting berdasarkan kesepakatan yang kontinyu
mahasiswa atau gurunya. Selain itu jangan sampai ada deskriminasi, sikap, ucapan, dan perilaku negatif diantara warga
sekolah dengan sebutan dominasi senior atas yunior, pelecehan berdasar perbedaan ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan yang tidak disukai (misal si Unyil untuk siswa bertubuh kecil, bayi ajaib untuk
Gender dalam Pendidikan Multikultural
sekolah. adalah
Selanjutnya secara
terutama warga baru, sosialisasi, tauladan guru dan kakak kelas, pembiasaan kultur sikap dan perilaku multikultural, serta pemberian reward dan punishment tentang pelaksanaan konsisten. Rohidi (2002) dan Tilaar (2002) dalam Fahmi Resqa (2009) menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan multikultural sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan karakter generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner. Implementasinya kultur sekolah dengan
positif, dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat penting sebagai motor pendidikan dengan pendekatan gender multikulural. KESIMPULAN Terwujudnya kurikulum kesetaran dan keadilan gender dalam pendidikan multikultural ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan lakilaki dalam melakukan proses pendidikan, dan dengan demikian setiap peserta didik memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pelayanan pendidikan multikultural serta mereka memperoleh manfaat yang setara dan adil dari proses pendidikan itu. Memiliki akses dan
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah. Pendekatan multikulturalisme erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan
partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil penggunaan keputusan dan hasil terhadap sumber cara daya
sehingga perlu wawasan dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan, maupun perilaku harian. Proses itu diharapkan mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi
keputusan atas penggunaan dan hasil Agus sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari penembangan pendidikan. Pendekatan kurikulum gender Ani Moh. Najib, dkk. 2010. Multikulturalisme dalam Pndidikan Islam, Studi tentang UIN Yogyakarta, IAIN Banjarmasin, dan STAIN Surakarta. Yoyakarta: UIN Sunankalijaga Soetjipto. 2004. Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: Universitas Indonesia http://www.duniaesai.com/gender/ge nder2.html, diakses tanggal 27 Agustus 2009
Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara Fahmi Resqa. 2009. Gus Dur Guru Bangsa yang Mendidik Demokrasi, Pluralisme dan Dehumanisme. Semarang: Majalah Merah Putih; Majalah Pendidikan. Khusnul Khotimah. 2009. Urgensi Kurikulum Gender dalam Pendidikan, Yogyakarta: Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Raihani. 2010. Islam Dan Kemajemukan Indonesia Studi Kasus Pesantren Dan Pendidikan Multikultural . Banjarmasin Annual Conference on Islamic Studies, 1 4 November 2010 (ACIS) Ke - 10
kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi kurikulum, syllabus, program KTSP, media seperti buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan gender bagi dalam terciptanya pendidikan
kesetaraan
melalui proses pembelajaran yang peka gender multikultural. DAFTAR PUSTAKA Abdul Hakim Muhammad, 2010. Pemberdayaan Gender Multikultural. Akses 15 Des 2010, abduhakimmuhs Weblog
Gender dalam Pendidikan Multikultural Pendekatan Kurikulum 101