Você está na página 1de 11

Semenjak arus besar modernisasi yang dilengkapi dengan paham sekularisme mengguncang kehidupan masyarakat, dengan sendirinya agama

mulai teralienasi dari ruang publik. Paham kebebasan yang dikawal anak zaman pencerahan, tidak hanya meminggirkan peran agama tetapi juga menjadikan agama sebagai objek utama gugatan rasio manusia. Di tengah masyarakat,otoritas penuh agama dalam mendakwakan moral, norma, dan aturan mulai terpinggirkan. Dalam arena politik agama yang sering kali menawarkan nilai-nilai kudus dan idealis dipandang tidak compatible dengan hukum politik riil yang berorientasi kekuasaan. Nilai kejujuran, pemaaf, dan penuh kasih sayang yang menjadi pesan agama dianggap cermin keluguan sikap politik. Sehingga pemisahan agama dan politik ini pun berakibat pada pemisahan antara moral dan politik.Perdebatan moral dan politik sudah menjadi wacana klasik yang masih menarik untuk diperbincangkan. Haruskah moralitas mengontrol politik atau justru moral harus tunduk kepada kepentingan politik? Kalau ditelusuri lebih jauh, secara teoretis simbol kemenangan politik riil atas moral sering kali merujuk pada seorang tokoh, patriotis Italia, Nicolo Machievelli yang mengabaikan peranan moral dalam politik. Machivelli mengatakan bahwa seorang politiks harus memberikan kesan di depan rakyat bahwa ia seorang yang lembut, pemurah, bahkan agamais. Namun ia pun dapat berbuat jahat dan mengabaikan rasa sayang dan moralitas jika diperlukan. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa politik amoral akan menjadi momok menakutkan dan ancaman buruk bagi masa depan demokrasi. Menyadari hal itu maka dibutuhkan suatu tatanan moral yang dapat membentengi politik bangsa. Agama merupakan salah satu landasan nilai-nilai dalam berprilaku, yang mengatur nilai-nilai moral politik masyarakat. Nilai-nilai agama oleh pengikutnya dianggap sebagai wujud dari hal yang transenden dan bersifat universal mempunyai daya ikat yang kuat dan mampu menundukkan ketaatan masyarakat. Tanpa maksud bernostalgia dengan zaman keemasan agama, tampaknya kita harus kembali mengajak agama untuk berperan lagi dalam menyikapi moralitas politik bangsa. Sering kali setiap tindakan politik negara harus dibayar dengan ongkos mahal dari ribuan korban jiwa manusia, karena nilai moral agama telah dikesampingkan dan tidak lagi menjadi ruh dalam pengambilan kebijakan negara. Namun pertanyaan, agama seperti apa yang bisa diajak kerja sama dalam menyelesaikan problem moral itu, bukankah lembar kelam sejarah agama terjadi karena perselingkuhannya dengan politik. Agama politik Setidaknya ada dua paradigma yang muncul ketika mengusulkan kembali peran agama dalam kancah politik. Pertama, paradigma agama politik. Setelah sekian lama agama berada di pinggir kehidupan manusia maka muncullah 'kebangkitan agama' yang dirumuskan dengan bangkitnya simbol, isu, dan jargon agama dalam ranah politik. Kegagalan dunia modern yang disanjung akan menyelesaikan problem kemanusiaan menjadi modal untuk mengusung kembali politik agama.Fenomena politisasi agama ini bisa berbentuk dua hal, pertama agama politik-instrumentalis yakni menjadikan agama hanya sebagai instrumen dalam rangka mencapai kekuasaan. Dalam paradigma ini agama dijadikan tameng bagikendaraan politik atau partai dalam rangka meraih target kekuasaan.Simbol-simbol agama dihidupkan kembali untuk menarik simpati massa yang mulai rindu dengan nuansa religius. Kedua Dari agama politik adalah agama yang bercorak simbolik-ideologis. Yakni gagasan untuk menyemarakkan kembali simbol-simbol agama pada puncak piramida kehidupan manusia. Agama dengan segala kelebihannya diusung kembali untuk disandingkan dengan negara. Partai dalam hal ini hanya dijadikan kendaraan untuk mengukuhkan agama sebagai ideologi.

Targetnya tidak hanya mencapai kekuasaan tetapi bagaimana agama dijadikan landasan simbolik negara. Dua model ini akan kembali menjerumuskan agama pada bui birokratisasi politik yang terbukti telah menenggelamkan peran profetik agama. Tentu model ini tidak bisa diharapkan untuk berperan sebagai benteng moral. Kedua, paradigma etik-transformatif. Agama etik-transformatif. Bisa paradiagma ini yang mampu mentransformasikan ajarannya secara radikal untuk menyesuaikan diri dengan problem kontemporer. setiap agama harus mampumentransformasikan nilai etik-moral yang dimilikinya ke dalam bilik sikap umatnya.Agama etik-transformatif ini akan menjadi jawaban dari kegersangan dunia politik kita yang tanpa nurani, merupakan suatu keniscayaan bahwa agama harus kembali dimainkan sebagai sumber nilai etik-moral kehidupan masyarakat. Dalam konteks politik, agama tidak harus dikukuhkan secara simbolik sebagai jargon dan ideologi politik. Akan tetapi bagaimana nilai-nilai etika agama dapat ditransformasikan sebagai benteng moralitas politik bangsa. Sehingga kebijakan dan tindakan politikus kita dapat dipertanggungjwabkan. Agama seharusnya mempunyai fungsi korektif pada praktik politik atau agama seharus mempunyai sikap yang jelas terhadap keberadaan dunia politik, tidak malah melihat politik sebagai barang yang tabuh untuk dibicarakan. Oleh karena agama seharus ditempatkan sebagai pengawal politik, tidak malah terjebak dalam politik praktis . Indonesia merupakan negara yang sangat majemuk yang terdiri dari beragan suku,budaya,ras dan juga terdapat beberapa agama yang diakui oleh undang-undang. Masyarakat Indonesia merupakan mayoritas agama Islam,kedua Kristen Protestan,ketiga Katholik, keempat Hindu dan kelima Budha. Sehingga tidak salah jika masyarakat Indonesia juga di sebut masyarakat religious yang seharus mengedepankan nilai-nilai agama dalam berprilaku. Akan tetapi hal ini dapat menjadi sangat berbahaya apa bilang agama menjadi senjata untuk mempertebal perbedaan itu dan tidak jarang agama menjadi sumber konflik dalam masyarakat.

Visi dan Misi Kristen mengenai Politik Proses demokrasi yang terus bergulir dari sentralisasi ke desantralisasi yang di tandai dengan pemberlakukaan tentang Undang-undang no 32 mengantikan UU no 22 /1999 te;ah mendorang berlangsungnya lokalisasi politik secara meluas dan menyebar di seluruh daerah yang tentunya memeberikan ruang yang baru terhadap dinamika politik aras lokal. Hal ini berdampak terjadinya desentralisasi oligarki politik tingkat lokal.Para elit politik cenderung menguasai arena percaturan politik lokal karena pengaruh mereka sangat kuat diberbagai tempat. Dengan berbagai strategi mereka mendominasai kekuasaan nyaris tanpa control dari masyarakat, masyarakat hanya kemudian menjadi penonton, hal ini semakin diperumit dengan menguatnya politik identitas, maraknya korupsi,kekerasan,nepotisme, serta kejahatan politik lainnya yang menciptakan arena politik yang semakin memprihatinkan. Sejak reformasi berguril,semakin memberikan ruang pada siapa saja untuk terlibat dalam dunia politik, tidak sedikit para tokoh-tokoh Kristen yang bermunculan untuk merebut kursi politik baik lagislatif maupun eksekutif yang kemudian menyebut dirinya sebagai wakil rakyat hampir semua warga gereja, tentu tindakan ini tidaklah terlalu baru, namun yang baru adalah munculnya para politisi Kristen setelah atau di sebabkan oleh jatuh masa orde baru menuju masa reformasi

yang memberikan pelaung bagi setia warga untuk terlibat dalam politik praktis, termasuk ada upaya mencoba mendirikan partai politik yang berlebelkan Kristen yang meskipun pada awalnya mereka menolak akan dunia politik praktis. Suatu hal menarik dari kondisi semacam itu adalah bahwa para politsi tersebut cenderung adalah pemain-pemain baru yang di rekruemen oleh partai politik baru sehingga mereka yang baru masuk dalam dunia politik tidak mempunyai pengalaman serta pemahaman politik yang baik. Sadar atau tidak sadar mereka kencederungan mereka hanya dieksploitasi oleh partai politik guna mendapatkan dukungan dari jemaat atau orang-orang Kristen lainnya. Dengan demikian hanya di jadikan kendaraan politik semata untuk memperoleh kekuasaan . Wacana politik seperti inilah yang menjadi marak di kalagan umat Kristen atau Gereja, hal ini harus di sikapi gereja secara proaktif tentunya dengan memberikan pedoman, acuan bagi warga negara yang ingin terlibat dalam politik praktis. Berbagai macam teori wacana sapaan pastoral dalam gereja tidaklah cukup memberikan pedoman pada masyarakat utamanya umat Kristen, dalam memerankan tanggung jawab sosialnya, Dalam Hal ini gereja sebagai mampu menaggapi momentup reformasi untuk menuju tatanan demokrasi yang mengutamakan masyarakat. Saat ini dunia politik sebagai suatu hal yang sangat megiurkan yang memperlihatkan kepada kita betapa kekausaan menjadi tawaran utama dan menjadikan pusat perhatian pada organisasi politik termaksud politik Kristen.Hal Ini tentunya berakibat terjadinya pertarungan kepentingan kelompok pribadi untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat sebagaimana sistem demokrasi yang berlangsung . Para Politisi saat ini tidak lagi melihat apakah jalur yang dia tempuh sehat atau tidak, sehingga saat ini para politisi termaksud politisi Kristen juga tidak mempedulikan lagi nilai-nilai etika politik akan tetapi yang sering kali menjadi hal yang paling utama adalah bagaimana tujuan kekuasaan dapat dipertahankan. Kata politik tidak lagi menjadi seni untuk menjaminkan diri untuk kebebasan setiap individu dan menwujudkan kesejahtraan dan keadilan . Pertayaan sekarang mengapa Tana Toraja belum juga lepas dari permasalahan yang di sebut di atas . Hal ini menandakan bahwa adanya peran politik kekuasaan yang masih mendominasi percitraan politik di Tana Toraja. Permasalahan yang muncul oleh akibat dari tumpul kepekaan hati nurani dan mati surihnya moral di karena Gereja sebagai salah satu pilar moral terkesan apatis terhadap permasalahan ini. Sikap yang tidak jelas ini membuat peranan Gereja dalam dunia politik semakin kurang terlihat. Seharus gereja menampakan peranan politiknya untuk menhadirkan kesejahtraan,kedamainaan serta keadilan dalam negara ini. Tidak hanya diam melihat keadaan semacam ini, paling tidak gereja harus mempunyai argument tersendiri tentang dunia politik . Misi dari berbagai Gereja di toraja pada dasarnya sama hanya ada perbedaan implementasi di ruang public.Misi Gereja adalah bagaimana gereja mampu menjadi menyampai kedamainaan atau sebagai agen syalom bagi umat manusia dalam dunia itu. Agen syalom merupakan tugas gereja yang seharusnya dijabarkan dalam berbagai bidang termaksud dunia politik saat. Sebagaimana hal sudah di lakukan oleh beberapa gereja di tana toraja. tetapi tidak semua mampu melihat dan menjabarkan misi ini ke dalam dunia politik.

Banyak dari gereja di Tana Toraja masih melihat dunia politik sebagai hal-hal yang sekuler dan harus dipisahkan dari dunia relegius yaitu gereja. Sehingga belum ada kesepekatan khusus dari dari masing-masing dominasi Gereja. Ini menandakan bahwa Gereja di Toraja masih kurung diri akan persoalan yang menyangkut tentang negara . Sadar atau tidak sadar Gereja sudah melupakan peranannya sebagai mitra pemerintah. Gereja hampir-hampir tidak mempunyai tempat dan peranan mengambil keputusan politisi memberi rekomendasi pemikiran terhadap pembagunan daerah, tentunnya segala yang dilakukan gereja tersebut harus di maknai sebagai sarana perwujudan misi bukan keterlibatan gereja dalam politik praktis. Politik Praktis bukanlah tujuan utama gereja sehingga gereja tidak seharusnya memfokuskan pada hal-hal politik praktis karena gereja hadir bukan untuk mencari kekuasaan akan tetapi gereja harus memperhatikan dunia sebagai milik Allah dan segala persoalan yang muncul didalamnya. Permasalahan yang terjadi saat ini, di mana gereja masih terisolasi oleh teologi Kristen yang hanya menjelaskan bagaimana tentang dosa dan kenselamatan dari dosa padahal persoalan manusia yang konkrik berasal dari gejala-gejala sosial yang muncul di tengah masyarakat, Oleh karena kehidupan sosial masyarakat kandang terpaksa berbuat dosa. Hal inilah yang seharusnaya menjadi perhatian bagi Gereja agar mampu melihat posisinya di masyarakat dan tentunya melihat misinya di tengah dunia. Boleh di katakana bahwa gereja-gereja saat ini termaksud gereja-gereja yang berada di daerah Tana Toraja Sulawesi selatan tidak jelas.Gereja tidak memiliki sedikit tenaga untuk berbuat memperbaiki sistem yang tidak perpihak lantaran gereja mengalami ketakutan,mengatakan yang benar,melawan korupsi,penyalagunaan jabatan, serta skandal politik lainnya yang tidak sesuai dengan aturan serta ketetuan tertentu yang berpihak pada masyarakat banyak. Gereja saat ini terjebak dalam sekularisme materialism, sehingga gereja hanya membangun gedung dan peralayan ibadah yang terbangun bukanlah pesekutuan antara manusia percaya yang bertobat melaikan gedung ibadah yang semakin tinggi dan ada hiasan salib yang begitu indah dan kokoh, akan tetapi semagat salib itu belum dimakanai dalam dunia politik. Kritik ini keras untuk pihak gereja sehingga gereja seharus mampu melihat politik dari segi berbeda karena mau tidak mau Gereja dan politik dalam artian negara tidak dapat terlepas sebagai satu kesatuan. Melihat perjalanan Gereja di Tana toraja sebagai daerah yang memiliki jumlah penduduk Kristen yang lebih banyak dari daerah kabupaten lainnya di Sulawesi selatan. Penduduk ini tentunya memberikan warna tersendiri bagi budaya serta kondisi politik bagi masyarakatnya. Sehingga penkajian ini akan menarik sekaitan dengan bagaimana daerah ini melakukan tindakan politik serta visi politik yang mereka bawah sebagaimana kita ketahui daerah ini memiliki jumlah penduduk yang mayoritas pendududuknya beragama Kristen. Gereja merupaka institusi yang memiliki dua bentuk baik sebagai orgaisasi atau persekutuan maupun gereja sebagai pribadi yang ada dalam diri manusia. Sehingga perlu untuk mengetahui sejarah gereja sebagai awal dari bertumbuh penyebarang agama serta pemikiran serta sikap mereka terhadap dunia politik . Agama masih menjadi kekuatan politik dimana terdapat partai-partai politik yang muncul berdasarkan agama tertentu. Hal ini menandakan bahwa agama masih punya pengaruh besar

terhadap dunia politik. Hal ini dapat terlihat bukan hanya dari partai politik akan tetapi hal ini juga dapat di lihat pada masyarakat tertentu seperti Tana Toraja di mana agama menjadi isu politik dalam pemilihan Presiden dan wakil Presiden,Gubernur dan wakilnya serta Kepala daerah. Agama dan politik merupakan dua hal yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahakan karena kedua hal ini sama-sama saling menbutuhkan dalam rangka menciptakan iklim politik yang jujur,adil dan aman sehingga politik yang terjadi adalah politik yang berjuang untuk kesejahtraan rakyat. Pandangan Gereja Toraja Gereja lahir dari pekabaran injil kepada masyarakat suku bangsa toraja. sebelum injil masuk ke daerah ini. Tana toraja tidak henti-hentinnya perangan antar desa, antar suku, dan antar tooktoko masyarakat yang juga mengejar kekuasaan pada saat ini, hal ini menartikan bahwa masyarakat Tana Toraja sejak dulu juga sudah mengenal politik dalam artian perebutan kekuasaan. Konsekuensi dari pada perang-perang suku dan antar desa ini beberapa di antara bangsawan-bangsawan muncul warlord (= topatalo = pemenang) yang memang perang. Pada tahun 1906 Belanda datang di Tana Toraja dan mereka menjumpai Toraja dalam keadaan terpecah belah masing-masing di bawah kekuasaan warlord. Ketika kondisi masyarakat Toraja sudah aman,maka Gereformerde Zendings Bond (GZB) yang merupakan badan dari Nederlandse Hervormde Kerk yang di dirikan pada tanggal 06 Februari 1901 di Ultrecht, Nerderland, datang ke Toraja. Maksud dari perkumpulan ini adalah untuk mengutus Zendeling-Zendeling yang akan membawakan sabda Tuhan kepada bangsabangsa yang belum mengenal Yesus Kristus, dengan nas pilihan Yohanes 10:16 Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawasan dengan satu gembala. GZB mempunyai latar belakang pietis, dalam arti sangat mementingkan kesalehan, kesucuian hidup orang Kristen sebagai protes atas dangkalnya kehidupan rohani kebanyakan anggota Gereja Hermformd pada waktu itu. Karena Gerreja Toraja lahir dan bertumbuh dengan latar belakang teologi dari GZB yang berlatar belakang pietis, konsekuensi dari itu dalam pertumbuhannya Gereja Toraja lebih mementingkan kehidupan rohani dari pada bagaimana hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan masalah-masalah kemasyarakatan, misalnya bidang politik yang di anggap tabu. Hal ini nyata dalam perjalanan Gereja Toraja yang dapat di temukan dalam notulen notulen Sidang Sinode Am yang akan dipaparkan penulis pada bagian berikutnya. Pekembangan Pembicaraan Politik Dalam Gereja Toraja Dalam bagian ini akan dibahas tenatang sejauh mana Gereja Toraja sebagai lembaga membicarakan masalah politik dalam lingkup Gereja Toraja, dalam hal ini pembicaraan dalam Sidang Sinode Am yang telah berlangsung sejak Geraja Toraja berdiri sendiri. Untuk mengetahui perkembangan pembicaraan politik dalam Gereja Toraja, penulis bertitik tolak dari notulen Sidang Sinode Am yang ada.

Dalam Sidang Sinode Am III Gereja Toraja tahun 1951 di makale dipersoalkan tentang kehadiran pemimpin PARKINDO dalam rapat Sinode. Supaya pemimpin PARKINDO dapat hadir dalam undangan, dalam rapat Sinode, supaya dapat mengikuti pembicaraan-pembicaraan dalam Gereja Toraja tidak mau mencapuri urusan politik. Dalam hal itu diperkuat lagi dengan ucapan Dr.Leimena Bergerejalah dahulu baru berpolitik. Dalam Sidang Sinode Am XI di sadan yang berlangsung dari tanggal 2 s.d 7 April 1967, masalah politik yang dibicarakan yaitu bagaimana sikap terhadap anggota Gereja Toraja yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 yang diprakarsai oleh PKI. Hal ini dikemukakan melalui usul: supaya Sinode memutuskan sikap /tindakan apa yang harus diambil tehadap pejabat-pejabat Gereja Toraja/ anggota jemaat yang : Terlibat langsung atau tidak langsung dalam G.30.S/PKI Anggota/simpatisan dari partai-partai yang terlarang/PKI dan organisasi seazasnya Anggota/simpatisan daripartai/organisasi seazasnya yang dibekukan. Usul di atas disikapi oleh Gereja Toraja denagn mengeluarkan Surat Pengembalaan yang menyatakan penyesalannya, mengakui kelalaian dan dosanya. Dalam surat penggembalaan yang di keluarkan antara lain dikatakan : Menyebarkan ideologi komunis pada masa yang lampau yang memuncak dalam peristiwa G.30.S/PKI dan masyarakat adalah akibat kelalaian kita juga dalam mewujudkan panggilan tugas kenabian kita ... Marilah kita mengaku di hadapan Tuhan segala dosa dan kelalaian kita di dalam menyatakan kebenaran bahwa Tuhan yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus adalah sumber segala sesuatu, sumber kebahagiaan, kesjahteraan dan pengharapan manusia. Karena itu mereka yang secara sadar, langsung ataupun tidak langsung telah melibatkan diri dan terlibat dalamG.30.S/PKI itu hendaklah menyadari bahwa penyembahan kepada ilah materi adalah pengkhianatan kepada keyakinan yang telah di materikan dengan baptisan dan Pengakuan Iman bahwa Yesus itu adalah Tuhan dan juruselamat serta pengharapan satu-satunya. Dengan suara penggembalaan di atas dapat dikatakan bahwa Gereja Toraja hanya mempersoalkan akibat dari peristiwa yang terjadi, tetapi tidak memikirkan apa yang akan ditimbulkan oleh organisasi PKI. Dalam Sidan Sinode Am tersebut dibentuklah komisi Gereja dan masyarakat yang bertugas mengadakan penelitian, mengelolah dan enamoung masalah-masalah kemasyarakatan yang ada hubungannya dengan Gereja. Terutama melalui komisi ini diharapkan gereja akan dapat melaksanakan tugasnya sebagai nabi, imam dan raja. Sementara perjalanan selanjutnya ternyata bahwa komisi ini masi perlu ditingkatkan dan siap siagakan agar anggota gereja tidak tergoda oleh penyesuaian diri dan kompromi dengan dunia ini, atau sikap berdiam diri terhadap dunia ini. Seruan-serua gereja melalui komisi ini kurang dihiraukan oleh pemerintah sehingga menyebabkan kebobrokan masyarakat termasuk anggota-anggota gereja, umpanya dalam soal-soal judi/lotto harian/sabung ayam yang tidak disetujui oleh gereja tetapi yang berlangsung terus terutama di Tanatoraja. Selain itu ketika terjadi perubahan politik di daerah-daerah misalnya penggantian pejabat, gereja mengadakan perkunjungan kepada pejabat-pejabat baru tersebut bahkan penggembalaan. Pada sidang sinode Am ke- XIII yang dilaksanakan pada tanggal 9 s.d. 16 April 1972 di Palopo dibicarakan tentang keterlibatan pendeta dalam politik dengan usul : Agar supaya pendeta dalam lingkungangereja Toraja tidak diperkenanakan menjadi wakil dari salah satu partai politik dalam badan legislatif atau eksekutif atau menjadi pemimpim/pengurus salah satu partai atau golongan politik. Dikecualikan bagi mereka yang diangkat oleh pemerintah

dan mewakili gereja atau sebagai alim ulama Kristen. Pada badan-badan legislatif atau eksekutif itupun setelah mendapat persetujuan sidang majelis yang bersangkutan. Usul diatas mendapat tanggapan dari peserta sidang baik yang setuju usul ini dibahas maupun yang tidak setuju dengan alasan bukan sidang sinode Am sebagai tempat untuk membahasnya. Bahkan ada yang mengusulkan agar pendeta tidak usah terju ke dunia polotik tetapi sebaliknya tanggapan lain agar pendeta yang masi aktif dalam jabatannya sebagai pendeta supaya tidak terlalu aktif dalam bidang politik. Tetapi bukan berarti bahwa ia menganggap politik sebagai hal yang kotor/terlarang. Karena politik merupakan hal yang penting dimana orang-orang Kristen terpanggil untuk mengambil bahagian dalam bidang ini. Berdasarkan pendapat-pendapat dari peserta sidang, maka keputusan yang disepakati ialah : Kedudukan pendeta-pendeta dalam bidang legislatif atau menjadi pemimpin salah satu partai politik atau golongan manapun supaya digumuli sungguh-sungguh oleh yang bersangkutan tanpa melupakan hubungan dalam mendapatkan persetujuan dalam majelis gereja atau badan-badan gereja dimana pendeta tersebut melayani dengan anjuran supaya mengingat tugas penggembalaannya. Melanjutkan lagi masalah ini kepada KUGT sinode Am gereja Toraja untuk digumuli lebih lanjut. Dari keputusan ini dapat dikatakan bahwa gereja Toraja belum memunyaai konsep yang jelas mengenai keterlibatan pendeta dalam politik. Pembicaraan yang serius mengenai politik yaitu melalui sebuah pertemuan khusus pemimpin gereja toraja dari tangga 19 22 Agustus 1998 di Tangmentoe yang diprakarsai oleh Badan Pekerja Sinode (BPS). Dalam pertemuan ini mereka mendiskusikan dan merumuskan pemahaman gereja Toraja mengenai gereja dan politik. Hasil dari konsultasi ini telah disahkan dalam sidang sinode Am ke XXI di Palopo yang berlangsung dari tanggal 9 18 Juli 2001, dengan nomor keputusan : 13/KEP/SSA -XXI/GT/VII/2001, pasal 18 yang berbunyi sebagai berikut : Dalam rangka meningkatkan peran serta pendeta dalam gereja dan masyarakat maka SSA XXI gereja Toraja mendukung hasil konsultasi tentang gereja dan politik yang diselenggarakan oleh badan pekerja sinode gereja toraja untuk dipedomani oleh jemaat-jemaat dalam gereja Toraja. Fungsionaris gereja Toraja yang dipenuhi waktu harus meninggalkan kedudukannya apabila menduduki jabatan ketua/sekertaris/bendahara (KSP) dalam organisasi politik atau anggota legislatif. Pengisian jabatan yang ditinggalkan, ditetapkan melalui rapat kerja gereja Toraja. SSA XXI gereja Toraja menegaskan bahwa yang dimaksud dengan fungsionaris gereja Toraja dalam ayat 2 diatas adalah para pejabat penuh waktu yang diangkat oleh persidangan gerejawi oleh BPS gereja Toraja pada tingkat unit kerjanya. Pendeta gereja Toraja yang memilih menjadi KSB atau anggota legislatif dalam suatu partai politik apabila ingin kembali melaksanakan tugas kependetaan sesuai dengan ketentuan dalam gereja Toraja, harus mengajukan permohonan kembali kepada BPS gereja Toraja untuk penempatan selanjutnya. Melalui keputusan ini jelas bahwa gereja Toraja sudah turut menggumuli tentang masalah politik dan bagaimana keterlibatab gereja dalam politik. Dengan demikian politik bukan masalah yang harus dijauhi melainkan sesuatu yang harus dikerjakan untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di dunia ini secara khusus di Indonesia. Setelah mencermati pembicaraan politik dalam gereja Toraja melalui notulen-notulen SSA di atas maka dapat diperoleh gambaran bagaimana sikap gereja terhadap politik selama ini.

Pada aras idealis, gereja dipanggil melalui warganya untuk menjalankan peran politiknya dengan memperjuangkan terjaminnya demokrasi, hak-hak asasi manusia (HAM), tegaknya kebenaran hukum, dan memperjuangkan nasib orang banyak, serta membela hak orang lemah, miskin dan tersisih. Namun demikian, pada aras realitas tidaklah selalu demikian. Hal ini antara lain dikarenakan gereja Toraja dalam masa lampau tidak memiliki wawasan teologis yang jelas menyangkut bidang politik, yang pada gilirannya ketidak jelasan visi dan misi dikalangan warga gereja yang terjun didunia politik. Hal ini disebabkan antaralain oleh faktor-faktor : Faktor warisan pemahaman teologis yang sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan pietisme yang memiliki dampak luas terhadap lemahnya kepedulian warga gereja Toraja terhadap tanggung jawab kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi yang demikan tidak memungkinkan tumbuhnya kesadaranwarga gereja untuk melihat bidang politik sebagai bidang pelayanan dan kesaksian iman Kristen. Faktor lain yang kemudian ikut berpengaruh adalah tersosialisasikannya di kalangan sebahagian besar warga gereja Toraja di jaman tertentu bahwa instrumen yang dianggap benar dan sah dalam menyalurkan aspirasi dan potensi politik warga gereja Toraja adalah melalui partai politik tertentu yang berlabel Kristen, anggapan mana tidak konsisten dengan pola berkumpul menyebar dari gereja untuk tetap menjadi garam dan terang dunia. Ada sebuah keyakinan bahwa politik itu kotor, jadi seolah-olah tidak boleh berbicara mengenai politik. Walaupun waktu zaman Pak Soeharto dulu pemimpin gereja sebagai besar dari pemimpin partai politik . Jadi waktu itu walaupun dari standing seolah-olah politik itu bukan dunia gereja. Tetapi dalam prakteknya di Indonesia sesuai dengan pergumulan bangsa negara waktu itu, Pemimpin gereja dan anggota gereja aktif sekali dalam partai politik khususnya Parkindo. Namun setelah itu agak berdiam diri tetapi anggapan bahwa politik itu bukan pelayanan gereja berjalan terus . Sampai tahun 1998, waktu perubahan dalam sejarah bangsa ini di tulis gerakan reformasi. Sampai pada gerekan reformasi yang di laksanakan oleh mahasiswa dan menumbangkan soeharto gereja toraja langsung mengadakan verifikasi khusus tentang gereja dan politik. Dan hasil verifikasi khusus itu diajukan ke sidang sinode Am di Palopo dan diputuskan bahwa gereja Toraja menerima hasil verifikasi itu dengan kesimpulan singkat bahwa gereja dan politik adalah dunia pelayanan gereja juga. Pernyataan di atas sedikit menjelas bahwa gereja di tana toraja sudah mulai terbuka dengan dunia politik bahwakan menjadikan dunia poliyik sebagai salah satu wilayah pelayanan. Dunai politik memang tidak lagi menjadi hal yang tabu dalam gereja meskipun masih ada sekelompok orang kriten yang sama sekali menolak konsep politik Karena masih beranggapan bahwa politik itu sebagai wahana sekuler yang tidak dapat di campur baurkan dengan relegiusitas. Pemahaman tentang konsep ini lebih dijabarkan pada keputusan di tahun 1998 yang berbunyi bahwa misi gereja dalam politik adalah Visi gereja dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara adalah menghadirkan tanda kerajaan Allah sehingga nama Tuhan tetap di kuduskan, KehendakNya(Keadilan,kebenaran,demokrasi, ,damai sejahtera, HAM, Partisipasi dalam pemeliharaan lingkungan hidup)di berakukan. Orientasi kepedulian dan pumpunan perhatian gereja haruslah terarah pada kepentingan rakyat banyak dan merasa terpanggil untuk bereda di pihak mereka yang tertindas,tercecer, terjepit,dsb atau dengan lkata lain gereja terpanggil untuk bereada di pihak saudara-saudara Kristus yang paling Hina.

Visi gereja tersebut di atas barulah bermakna bila di saksikan dalamberbagai cara dalam lapangan hidup yang dijabarkan sebagai berikut. 1. Gereja berada dalam dunia untuk bersekutu,bersaksi dan melayani namum tidak serupa dengan dunia ini ( Yoh 17,Roma12) 2. Pemahaman berada dalam dunia politik adalah berada di dalam masyarakat bangsa dan negara serta pergumulan dengan masyarkat bangsa internasional dan sebuah tanggu jawab memelihara kehidupan. 3. Gereja diutus berada dalam dunia yang majemuk . karena itu gereja harus menyadari dan mengakui kepelbagian tersebut sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diingkari bahkan perlu disyukuri. Dalam rangka itu menanggalkan dan meninggalkan paradigma lama yaitu pandangan yaitu aku-engkau ,dan mengenakkan dan mengembangkan paradigma baru yaitu paradigma baru yaitu Kita, dengan paradigma baru itu gereja harus mampu berkerja dengan pihak yang mengutamakan kepentingan bersama, memilihara kehidupan ini demi kepentingan bersama pula. Disinilah gereja dituntun untuk melaksanakan tugas kenabiannya secara positif,krisis,kreatif dan realistis dalam berbagai segi kehidupan, antara lain ideologi,politik ekonomi dan sosial budaya serta pertahanan keamanan. Sikap positif dimaksudkan tidak berprasangka buruk (apriori). Sikap kritis berarti segala sesuatu termaksud yang di nilai baik oleh masyarakat perlu diteropong dari segi Firman Tuhan. Sikap kreatif berarti berupaya secara optimal dan bersungguh-sunguh agar pertisipasi gereja benar-benar bermafaat untuk orang banyak dan tidak sekedar ikutikutan saja. Sikap realitas berarti sadar secara rasional memperhitungkan kenytaan yang ada sehingga tidak ada satu pihak, Gereja tida seharus utopian, tetapi di lain pihak gereja juga harus tidak pesimis dam kerdil menhadapi realita kehidupannya. 4. Hal-hal tersebut diatas perlu dikembangkan, karena kita mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah karunia Allah dan warga gereja adalah bagian intergral dari bangsa. Hal ini terlihat dalam PTPB. Butir 1 mengatakan Gereja-gereja di Indonesia percaya bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara adalah aspek dari pemeliharaan Allah terhadap ciptaan-Nya. Oleh sebab itu bangsa dan negara Indonesia.yang di proklamasikan tanggal 17 agustus 1945 dan meliputih seluruh wilayah kepulaun dari sabang sampai marauke adalah buah berkerjaan Allah dan oleh karena itu adalah karunia Allah, pengakuan itu mengarisbawahi bahwa tidak bisa tidak , kita harus bertangung jawab terhadapa jalan pemerintahan dan segala urusan kebijakan pemerintah . 5. Dalam hubungannya dengan uraian di atas, maka secara khusus mengenai Pancasila sebagai dasar negara dan idelogi negara Republik Indonesia, kita bersama-sama dengan komponen lain dari bangsa Indonesia yang bertanggung jawab mengamalkan dan mempertahankannya.oleh karena itu gereja terpanggil untuk menumbuh kembangkan kebersamaan dan persatuaan bangsa dengan pendekatan atau sikap ingklusif.itu berarti geraja tetap berupaya. Mencerminkan tanda-tanda zaman dengan sikap positif,realistic, sehingga bangsa ini erhindar dari upaya sakraliasme Pancasila di satu pihak dan Upaya mereduksi Pancasila di lain pihak . 6. Dalam hubungan dengan pemerintah maka gereja terpanggil untuk menyatakan sikap yang jelas yaitu mendukung yang memperlakukan kehendak TUhan 7. Dalam uraian di atas maka gereja toraja bertanggung jawab untuk memperlengkapi, membimbing dan mengarahankan wargannya agar berkaulitas dalam artian luas sehingga masih dapat berfungsi sebagai garam dan terang dunia, baik pada aras lokal regional,nasionala maupun internasional. Gereja terpanggil untuk membina wargannya

melihat bidang politik sebagai bidang misi Kristen sehingga warga gereja memiliki arah politik yang benar, baik dan tepat, sesuai dengan iman kristiani itu berarti pilihan arah politik warga gereja harus dipandang sebagai panggilann imaniah, Namun Misi ini tentu tidaklah mudah bagi gereja meskipun perenan moral Kristen sangat di titik beratkan pada Gereja sehingga berbagai upaya yang juga sudah dilakukan tetapi masih belum cukup untuk mengadakan suatu perubahan akan tetapi Gereja tidak membatasi masyarakat untuk memilih di mana mereka akan bergabung. Gereja hanya melakukan pembinaan iman secara politik sehingga gereja berharap akan kehidupan politik masyarakat akan lebih baik. Misi gereja dalam politik bukanlah secara praktisi bahwa gereja harus turun langsung untuk melakukan tindakan politik praktis. Permasalah ini sering kali menjadi mengundang berdebatan terseindiri buat orang Kristen sehingga ada proses pembelajaran yang juga lambat dibanding mereka yang berada di luar Kristen. Pada aras lokal gereja toraja teremban rasa tanggung jawab kulturar politisi yakti memiliki peran pandu di dalam memiliki kehidupan di tengah-tengah dialetika antara keristenan, ketorajaan dan komderanan. Peranan Gereja itu bersifat universal sehingga gereja merupakan sebagai alat pengontrol angotannya terlebih pada anggotan gereja aktif yang turun langsung dalam politik praktis . Misi ini adalah salah satu cara pelayanan umat Kristen di tana toraja sehingga misi merupakan tiang di mana peran aktif Gereja sebagai satu kesatuan Tubuh Allah sangat diperlukan. Maksud dari misi ini sebenarnya adalah Bagaimana mana gereja seharus mampu mensuarahkan bahwa negeri ini merupan negeri yang berasaskan Pancasila sehingga semua orang punya hak yang sama dan sehingga kalau ada aturan mengenai agama yang kemudian hal ini menciptakan rasa ketidakadilan bagi agama lain atau kelompok lain.misalnya tentang UU pernikahan yang sehurus tidak perlu untuk diperlakukan karena itu tidak berlaku untuk semua rakyat . Pernyataan ini masih menjelaskan bahwa gereja di Tana Toraja tidak tinggal diam dalam melihat permasalaha politik yang menyakut tentang rakyat banyak. Hal ini merupakan salah satu gerekan pelayanan yang di lakukan oleh gereja di toraja. Gerekan politik Kristen bukanlah untuk memenang oknum tertentu atau partai tertentu.akan tetapi politik orang Kristen di Indonesia terpanggil sebagai garam dan terang dunia yang melalui iman Kristianinya dapat melakukan transformasi politik secara positif, kritis, kreatif, dan realistis. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) ada dalam posisi ini. PGI dan gerejagereja arus utama, sebagaimana diperankan oleh World Council of Churches (WCC), dewan gereja-gereja di berbagai negara lain adalah menjadi kekuatan moral yang dapat melakukan transformasi dan perubahan sosial melalui kosep, pemikiran, gagasan dan berbagai gerakan. Politik Yesus tergolong kepada sikap ini. Gereja-gereja harus dapat menjadi pengkritik pemerintah apabila pemerintah tidak menjalankan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang adil. Gereja tidak dapat berdiam diri dalam dinamikan sosial-kemasyarakatan. Gereja harus ikut mengusahakan kesejahteraan kota (bangsa) karena kesejahteraan kota (bangsa) adalah kesejahteraannya juga (Yeremia 29:7).

Você também pode gostar