Você está na página 1de 12

Secara umum, pengaturan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini didasarkan pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK).

Dalam Pasal 162 ayat (3) UUK diatur mengenai syarat bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri adalah: a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; b. c. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Syarat pengunduran diri pekerja/buruh ini dapat kita temui juga dalam Pasal 26 ayat (2) Kepmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 78/2001 tentang Perubahan Kepmenaker No. 150/2000 tentang PHK, Pesangon, dan lainnya yang berbunyi: a. pekerja/buruh mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis dengan disertai alasannya selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; b. c. pekerja/buruh tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri; pekerja/buruh tidak terikat dalam Ikatan dinas.

Dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri (tanggal terakhir bekerja), pengusaha harus memberikan jawaban atas permohonan pengunduran diri tersebut. Dan dalam hal pengusaha tidak memberi jawaban dalam batas waktu 14 (empat belas) hari, maka pengusaha dianggap telah menyetujui pengunduran diri secara baik tersebut (lihat Pasal 26 ayat [3] dan [4] Kepmenakertrans 78/2001).

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat kita lihat bahwa hukum ketenagakerjaan Indonesia menetapkan permohonan pengunduran diri paling lambat/setidaknya harus sudah diajukan 30 (tiga puluh) hari atau sering dikenal dengan 1 (one) month notice sebelum tanggal pengunduran diri/tanggal terakhir bekerja. Sehingga, UUK maupun Kepmenakertrans tidak menetapkan batas maksimal permohonan pengunduran diri diajukan tapi justru menetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal pengunduran diri.

Ditegaskan pula oleh Guru Besar Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Aloysius Uwiyono bahwa bisa saja perusahaan menetapkan pengajuan permohonan pengunduran diri lebih dari 30 (tiga puluh) hari, tapi kurang tidak boleh. Karena sebenarnya hal ini sebagai persiapan untuk perusahaan mencari pengganti dari orang yang mengundurkan diri itu. Yogo Pamungkas, salah seorang pengajar Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Trisakti mengamini pendapat Uwiyono bahwa dari redaksional selambat-lambatnya berarti paling cepat/paling tidak dalam waktu 30 (tiga puluh) hari permohonan pengunduran diri harus sudah diajukan, lebih dari waktu itu boleh. Tujuan pengaturan ini, menurut Yogo, adalah supaya tidak mendadak bagi perusahaan dalam mencari pengganti. Namun, ketentuan itu hendaknya tidak dilakukan sepihak maupun lisan, tapi harus dicantumkan setidaknya dalam PP, PK atau PKB.

Jadi, dari penjelasan di atas, jika perusahaan Anda kemudian menetapkan dalam peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja (PK) atau dalam perjanjian kerja bersama (PKB) bahwa bagi setiap pekerja/buruh yang ingin mengundurkan diri harus mengajukan permohonan pengunduran diri 2 (dua) bulan sebelum tanggal pengunduran diri (two months notice), hal ini sah-sah saja dilakukan. Apalagi dalam praktiknya, bagi pekerja dengan posisi-posisi strategis (misal: manager), umumnya perusahaan mensyaratkan waktu yang cukup lama untuk karyawannya mengajukan permohonan pengunduran diri sebelum benar-benar mengundurkan diri.

Jadi, tidak benar jika UUK menetapkan pengajuan permohonan pengunduran diri maksimal 1 month notice atau 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal pengunduran diri. Perusahaan dapat saja menetapkan dalam PK, PP, atau PKB jangka waktu yang lebih lama dari ketentuan UUK dan Kepmenakertrans untuk permohonan pengunduran diri diajukan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Aloysius Uwiyono dan Yogo Pamungkas melalui sambungan telepon pada 5 Desember 2011.

Dasar hukum: 1. 2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Kepmen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 78/2001 tentang Perubahan Kepmenaker No. 150/2000 tentang PHK, Pesangon, dan lainnya Secara umum, pengaturan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini didasarkan pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Dalam Pasal 162 ayat (3) UUK diatur mengenai syarat bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri adalah: 1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; 2. 3. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Lebih jauh, simak Aturan Jangka Waktu Pemberitahuan Pengunduran Diri (One Month Notice).

Memang seharusnya pekerja yang hendak mengundurkan diri terlebih dahulu mengajukan surat permohonan pengunduran diri. Namun, jika seorang pekerja kemudian berhenti bekerja tanpa pemberitahuan dan telah tidak masuk bekerja selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat dikatakan pekerja itu mangkir dan dianggap mengundurkan diri sehingga putus hubungan kerjanya (lihat Pasal 168 ayat [1] UUK).

Dalam hal pekerja tersebut ternyata mengundurkan diri sebelum berakhirnya jangka waktu dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), maka berlakulah Pasal 62 UUK yang menentukan bahwa:

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, pekerja yang mengakhiri hubungan kerja sebelum batas waktu berakhirnya jangka waktu PKWT diwajibkan membayar ganti rugi kepada pengusaha sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya PKWT-nya.

Memang hal-hal seperti pekerja mengundurkan diri tanpa pemberitahuan dan mengundurkan diri sebelum jangka waktu PKWT berakhir tidak sedikit ditemui dalam praktik. Untuk itu, pada umumnya pihak perusahaan mengantisipasinya dengan memberikan ketentuan-ketentuan yang mencegah pekerja melakukan hal yang demikian baik melalui peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja (PK), maupun perjanjian kerja bersama (PKB), yakni dengan mengatur pengenaan ganti rugi tersebut.

Menyikapi pekerja yang demikian, pihak perusahaan ada baiknya memanggil pekerja yang bersangkutan secara patut dan tertulis untuk dilakukan perundingan dan atau untuk diminta mengundurkan diri sesuai prosedur yang berlaku. Selanjutnya, jika upaya kekeluargaan atau perundingan tidak membuahkan hasil, upaya lainnya dapat dilakukan sebagaimana dijelaskan dalam artikel Hubungan Industrial

Sebenarnya, memang ada beberapa pihak berbeda yang diberikan kewenangan secara hukum untuk meminta pemblokiran rekening baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata yang antara lain dapat kami jelaskan menurut beberapa dasar hukum sebagai berikut:

a. Pasal 29 ayat (4) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bunyi pasal: Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.

b. Pasal 71 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Bunyi pasal: Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan pemblokiran Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari: a) Setiap Orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik; b) tersangka; atau c) terdakwa.

Ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) butir a UU 8/2010 bahwa Pihak Pelapor diantaranya adalah meliputi bank.

c. Pasal 98 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Bunyi pasal: Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima.

Berdasarkan pengaturan tersebut, seorang kurator dalam kepailitan harus melakukan segala upaya untuk mengamankan harta pailit termasuk permohonan pemblokiran rekening kepada pengadilan. Misalnya karena khawatir debitor akan mengalihkan harta pailit dalam rekening bank. Simak juga Ahli Menilai Kewenangan Kurator Perlu Dibatasi.

d. Pasal 17 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000. Bunyi pasal: "Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.

Sehingga, dari ketentuan di atas, selain pejabat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, ternyata pejabat pajak juga dapat langsung melakukan pemblokiran terhadap rekening seorang nasabah bank. Lebih jauh simak artikel Fiscus Bisa Blokir Rekening Wajib Pajak.

Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa memang ada lebih dari satu lembaga yang berwenang meminta bank melakukan pemblokiran rekening. Hal inilah yang menyebabkan kemungkinan terjadinya permintaan pemblokiran rekening oleh lebih dari satu lembaga secara bersamaan.

Bank Indonesia sendiri dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank (PBI 2/19/2000) menyebutkan bahwa: Pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama seorang Nasabah Penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh polisi, jaksa, atau hakim, dapat dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa memerlukan izin dari Pimpinan Bank Indonesia.

Berdasarkan pengaturan tersebut tampak bahwa terkait dengan perkara pidana pihak bank atas permintaan polisi, jaksa atau hakim dapat memblokir rekening seorang tersangka atau terdakwa tanpa perlu mendapat izin dari Pimpinan Bank Indonesia.

Menurut hemat kami permintaan pemblokiran rekening oleh bank atas permintaan beberapa lembaga berwenang pada saat bersamaan dimungkinkan terjadi karena mereka memang memiliki kewenangan untuk itu.

Akan tetapi, jika kita bicara mengenai eksekusi terhadap rekening tersebut, sesuai Pasal 1137 KUHPerdata, hak didahulukan adalah milik negara, kantor lelang dan badan umum lain yang diadakan oleh penguasa. Dengan pemahaman bahwa dalam perkara pidana aset/rekening tersebut bisa saja kemudian diputus menjadi milik negara. Artinya, bila pengadilan menyatakan rekening tersebut disita menjadi milik negara, maka hak negaralah yang didahulukan.

Oleh karena itu, permintaan pemblokiran rekening terkait eksekusi perkara perdata tidak bisa serta merta dilakukan sebelum putusan pidana mencabut penetapan pemblokiran rekening tersebut Sita marital atau sita harta bersama, menurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan (hlm. 369), memiliki tujuan utama untuk membekukan harta bersama suami-istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara atau pembagian harta bersama berlangsung. Pembekuan harta bersama di bawah penyitaan, berfungsi untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab dari tergugat.

Sita marital bagi perceraian suami-istri yang beragama Islam/muslim diatur Pasal 78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama) Jo. Pasal 95 dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Cara pelaksanaan sita marital dapat kita simpulkan dari pengaturan Pasal 78 huruf c UU Peradilan Agama Jo. Pasal 95 dan Pasal 136 ayat (2) KHI, yang secara lengkap mengatur sebagai berikut:

Pasal 78 huruf c UU Peradilan Agama

selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan pengugat, pengadilan dapat: menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Pasal 95 KHI

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2), huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 serta pasal 136 ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya. (2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Pasal 136 ayat (2) KHI

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atau permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat : a. b. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barangbarang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang

menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Pasal 95 KHI memungkinkan untuk dilakukan sita marital oleh seorang suami/istri dalam suatu perkawinan tanpa melakukan gugatan perceraian. Sedangkan, Pasal 136 ayat (2) KHI mengatur sita marital yang dilakukan selama berlangsungnya sidang perceraian. Jadi, berdasarkan Pasal 95 KHI dan Pasal 136 ayat (2) KHI, pelaksanaan sita marital hanya dapat dilakukan oleh seorang suami/istri yang masih terikat dalam ikatan perkawinan dengan cara mengajukan permohonan sita marital kepada Pengadilan Agama.

Di sisi lain, terdapat kemungkinan pengadilan mengabulkan gugatan perceraian tanpa memutuskan sesuatu mengenai pembagian harta bersama,. Dalam hal seperti ini, menurut Yahya Harahap (hlm. 373), bila mantan suami-istri tersebut ingin membagi harta bersama, hanya dapat dilakukan melalui gugatan perdata tentang pembagian harta bersama.

Jadi, sita marital tidak dapat digunakan untuk membagi harta bersama jika pengadilan telah mengabulkan gugatan perceraian pasangan suami-istri. Dalam kondisi demikian, pembagian harta bersama hanya dapat dilakukan melalui gugatan perdata.

Kami tidak dapat menilai apakah pelaksanaan sita marital sudah berjalan sesuai peraturan perundang-undangan. Namun, dari penelusuran kami, pada praktiknya permohonan sita marital masih diperdebatkan apakah dapat dilakukan dengan secara mandiri atau permohonan sita marital ini harus dilakukan secara bersamaan dengan gugatan cerai. Hal ini kami simpulkan antara lain dari Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 549/Pdt/G/2007/PA.JP.

Pada perkara tersebut, pemohonan sita marital diajukan tanpa disertai gugatan perceraian. Lalu, dihadirkan beberapa ahli untuk memberikan keterangan. Di antaranya adalah Yahya Harahap yang menyatakan bahwa bahwa seorang istri dapat mengajukan permohonan sita atas harta bersama tanpa adanya sengketa/perkara perceraian. Keterangan Yahya Harahap ini bertolak belakang dengan keterangan Ahli yang diajukan oleh Termohon, Bernadette M. Waluyo.

Bernadette M. Waluyo berpendapat bahwa permohonan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) terhadap harta bersama tidak dapat diajukan berdiri sendiri, terlepas dari permohonan atau gugatan lain, sebab Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) itu sifatnya Assesoir.

Selain itu Bernadette M. Waluyo juga berpendapat, kalimat tanpa adanya permohonan gugatan cerai .. dalam pasal 95 Kompilasi Hukum Islam itu tidak berarti terpisah dari gugatan cerai Jadi, menurutnya, sita marital tidak dapat dilakukan tanpa ada suatu gugatan cerai, baik cerai thalak atau cerai gugat.

Pada perkara tersebut pengadilan akhirnya mengabulkan permohonan sita marital yang diajukan tanpa disertai gugatan perceraian. Pengadilan menguatkan keterangan ahli Yahya Harahap dan menyatakan tidak sependapat dengan keterangan ahli Bernadette M. Waluyo.
abel 1: Umur Anak/belum dewasa

Dasar Hukum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 330

Pasal

Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Anak didik pemasyarakatan adalah: Pasal 1 angka 8 Pasal 1 angka 26 Pasal 47

a.

Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

b.

Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c.

Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh

penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun. UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Warga Negara Indonesia adalah: ag ... Pasal 4 Pasal 1 ayat (4) Pasal 1 ayat (1) Pasal 1 angka 5 Pasal 1

anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal 1 angka 5

Tabel 2: Umur Dewasa

Dasar Hukum Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat [1]

Pasal

Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah

melangsungkan perkawinan. SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977 a. dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut Pemilu; Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam:

b.

dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang baru;

c.

dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.

Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun. Ketidakseragaman ini juga kita temui dalam berbagai putusan hakim yang contohnya kami kutip dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan NLRP berikut ini:

Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg tanggal 24 Juli 1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No. 41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975 (hal. 143), dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 21 tahun. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang belum berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau belum dewasa sehingga ayahnya berkewajiban untuk menafkahinya sampai anak tersebut berumur 21 tahun, suatu kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan karenanya telah mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum.

Dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan Putusan MA RI No.477/K/ Sip./1976 tanggal 2 November 1976, majelis hakim membatalkan putusan pengadilan tinggi dan mengadili sendiri, di mana dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 18 tahun. Majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 Tahun. Dengan demikian, dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi cakap untuk berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun

1974 mengatur bahwa seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah yang belum berumur 18 tahun.

Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1 15/Pdt.P/2009/PN. Jaktim Tanggal 17 Maret 2009 (hal. 145). Hakim menggunakan pertimbangan bahwa batasan umur dewasa seseorang untuk cakap bertindak secara hukum mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan mendasarkan pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menunjukkan bahwa hakim berpendapat batasan umur yang digunakan sebagai parameter untuk menentukan kecakapan untuk berbuat dalam hukum adalah telah berumur 18 tahun.

Você também pode gostar