Você está na página 1de 9

Bentuk Keberatan BPSK dan KPPU Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) BPSK adalah Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen yang berkedudukan di Daerah Tingkat II yang dibentuk untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. BPSK merupakan badan yang dibentuk untuk menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka (11) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tujuan BPSK dibentuk adalah agar pihak konsumen maupun pelaku usaha memperoleh hak yang sama antara lain : 1. Konsumen mendapatkan ganti rugi bila barang/jasa yang dibeli tidak sesuai perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 2. Hak konsumen untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 3. Pelaku usaha mendapat jaminan perlindungan hukum dari perilaku/niat tidak baik dari konsumen dan hak untuk mendapatkan rehabilitas nama baik bila ternyata sengketa yang diajukan konsumen tidak benar. Mengenai tugas dan wewenang dari BPSK, diatur dalam ketentuan pasal 52 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang meliputi : a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran dalam ketentuan undangundang perlindungan konsumen; e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan konsumen; f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan konsumen; i. Meminta bantuan penyidik umum untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. Memutuskan dan/atau menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap undangundang perlindungan konsumen; m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undangundang perlindungan konsumen. Mengenai penyelesaian sengketa di BPSK, Undang-undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa sebaiknya sengketa diselesaikan secara berjenjang melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Diupayakan penyelesaiannya melalui proses mediasi: y panel arbitrator yang ditunjuk sebagai mediator; y apabila disepakati penyelesaian maka solusi yang disepakati para pihak dijadikan kompromis, dan kompromis dapat efektif menjadi award (putusan arbitrase) yang final dan binding, apabila para pihak meminta. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang fleksibel dan tidak mengikat serta melibatkan pihak netral, yaitu mediator, yang memudahkan negosiasi antara para pihak/membantu mereka dalam mencapai kompromi/kesepakatan. Penyelesaian sengketa melalui mediasi harus didahului dengan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui mediasi. Tujuan dari proses mediasi adalah membantu orang dalam mencapai penyelesaian sukarela terhadap suatu sengketa atau konflik. Jasa yang diberikan oleh mediator adalah menawarkan dasar-dasar penyelesaian sengketa tapi tidak memberikan putusan atau pendapat terhadap sengketa yang sedang berlangsung.

Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakikatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi, sehingga hasil penyelesaian dalam bentuk kompromi terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak, dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final dan tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk memenuhi secara sukarela. 2. Jika mediasi gagal, penyelesaian ditingkatkan menjadi konsiliasi. y Apabila dengan cara mediasi sengketa gagal diselesaikan, maka atas kesepakatan bersama, pihak yang semula menjadi mediator, akan bertindak sebagai konsiliator yang mengusahakan solusi yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa; y Apabila para pihak berhasil mencapai kesepakatan atas solusi yang dibuat oleh konsiliator, maka kedudukan berubah menjadi arbitrator, sehingga solusi yang dihasilkan meningkat menjadi award, yang bersifat final dan binding bagi para pihak. y Award tersebut memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana layaknya putusan arbitrase. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun demikian, pendapat konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Ketidakterikatan para pihak terhadap pendapat yang diajukan oleh konsiliator mengenai sengketa yang dihadapi para pihak tersebut menyebabkan penyelesaiannya sangat tergantung pada kesukarelaan para pihak. 3. Jika konsiliasi gagal, penyelesaian ditingkatkan menjadi arbitrase. y Apabila konsiliasi tidak menghasilkan solusi, maka proses konsiliasi dihentikan, akan tetapi berbarengan dengan itu penyelesaian sengketa dilanjutkan dengan proses pemeriksaan arbitrase dan konsiliator langsung bertindak sebagi arbitrator. y Penyelesaian sengketa menghasilkan putusan arbitrase yang bersifat final dan binding kepada para pihak. Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui peradilan arbitrase ini dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, jika para pihak tersebut telah mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian yang menjadi pokok sengketa atau mengadakan perjanjian arbitrase setelah timbulnya sengketa di antara mereka.

Kelebihan sengketa melalui arbitrase ini karena putusannya final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase ini memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan. Walaupun arbitrase ini memiliki kelebihan, namun ada pula kelemahannya, yaitu : a. Biaya mahal, karena walaupun secara teori biayanya lebih murah daripada penyelesaian melalui proses litigasi, namun berdasarkan pengalaman dan pengamatan, biaya yang harus dikeluarkan hampir sama dengan biaya litigasi, karena terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, bahkan kadang-kadang jauh lebih besar daripada biaya litigasi. Komponen biaya tersebut terdiri atas biaya administrasi, honor arbiter, biaya transportasi dan akomodasi arbiter, serta biaya saksi dan ahli. b. Penyelesaian yang lambat, karena walaupun banyak sengketa yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu 60-90 hari, namun banyak juga penyelesaian yang memakan waktu panjang, apalagi jika terjadi perbedaan pendapat tentang penunjukan arbitrase atau hukum yang hendak diterapkan, maka penyelesaiannya akan bertambah rumit dan panjang. Apabila para pihak telah menyepakati penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, maka lembaga Peradilan Umum sudah tidak berkompeten untuk mengadili perkara tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, waktu penyelesaian untuk masingmasing tahap jangka waktunya telah dibatasi yaitu maksimum 100 hari untuk semua tahap sampai mencapai putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Sesuai dengan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, putusan majelis BPSK bersifat final dan binding (mengikat) yang artinya bahwa dalam BPSK tidak ada upaya banding dan kasasi. BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat 21 hari kerja setelah gugatan diterima. Walaupun sudah tampak adanya usaha mempercepat penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yang putusannya dinyatakan final dan mengikat, namun Undang-undang Perlindungan Konsumen masih membuka kemungkinan pihak yang keberatan atas putusan tersebut untuk mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri, hanya saja pihak yang tidak puas atas putusan Pengadilan Negeri tersebut tidak dapat lagi mengajukan upaya hukum banding melainkan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Atas Putusan BPSK Syarat Pengajuan Keberatan Atas Putusan BPSK: 1. Keberatan diajukan dalam bentuk gugatan (bukan voluntair) sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006. 2. Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat betas) hari kerja sejak Pelaku Usaha atau konsumen menerima pemberitahuan putusan BPSK. 3. Keberatan diajukan dalam rangkap 6 untuk dikirim oleh Panitera kepada pihak yang berkepentingan termasuk BPSK. 4. Keberatan diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum Pelaku Usaha atau Konsumen sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata. 5. BPSK bukan merupakan pihak. Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 hari kerja terhitung sejak pelaku usaha atau konsumen menerima pemberitahuan putusan BPSK. Keberatan terhadap putusan arbitrase BPSK dapat diajukan apabila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu: 1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu. 2. Setelah putusan Arbitrase BPSK diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan pihak lawan. 3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk majelis Hakim yang mempunyai pengetahuan cukup di bidang perlindungan konsumen. Dalam hal keberatan diajukan atas dasar sebagaimana dimaksud dalam butir 2 di atas, Majelis Hakim dapat mengeluarkan pembatalan putusan BPSK. Dalam hal keberatan diajukan atas dasar alasan lain di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 3 di atas, Majelis Hakim dapat mengadili sendiri sengketa konsumen yang bersangkutan. Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan BPSK dan berkas perkara. Dalam hal mengadili sendiri, Majelis Hakim wajib memperhatikan ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No.8 Tahun 1999. Majelis Hakim harus memberikan putusan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak sidang pertama.

Upaya hukum terhadap putusan keberatan atas putusan BPSK adalah kasasi. Menurut ketentuan pasal 58 UU No.8 tahun 1999, paling lambat 14 hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 hari sejak menerima permohonan kasasi.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan kebijakan persaingan (competition policy), didikuti dengan berdirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) guna memastikan dan melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan dalam Undang-undang Antimonopoli tersebut. Menurut Ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-undang No.5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah Komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Tugas dari KPPU diatur dalam Pasal 35 Undang-undang No.5 Tahun 1999 yang meliputi: a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24. c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28. Sedangkan wewenang KPPU diatur dalam Pasal 36 yang meliputi: a. Menerima laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

c. Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya. d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan tentang ada tidaknya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undangundang ini. f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini. g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi. h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitan dengan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. i. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan. j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. k. Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara prosedural telah mengatur mengenai tata cara penanganan perkara di KPPU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 yang kemudian diimplementasikan lebih lanjut dengan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU.

Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Atas Putusan KPPU Dasar Hukum Pengajuan Upaya Hukum Sesuai dengan ketentuan Undang-undang No.5 Tahun 1999, maka terhadap putusan KPPu, pihak terlapor dapat mengajukan keberatan. Yang dimaksud dengan keberatan menurut Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia No.3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU adalah upaya hukum bagi pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU. Ketentuan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut dan dalam Pasal 45 ayat (1), Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha dalam waktu 14 hari sejak diterimanya keberatan tersebut. Dari ketentuan ini, Pengadilan Negeri berwenang memeriksa keberatan pelaku usaha, dalam arti untuk me-review proses pemeriksaan dan kesimpulan komisi, memeriksa dasar kesimpulan komisi, atau menguatkan putusan komisi. Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut, yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 45 ayat (2).

Tata Cara Pengajuan Keberatan Atas Putusan KPPU Tata cara pengajuan keberatan atas putusan KPPU diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (8) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.3 Tahun 2005 yang pada prinsipnya mengenai: a. Jangka waktu pengajuan keberatan atas putusan KPPU ke Pengadilan Negeri sesuai dengan prosedur perkara perdata dengan melampirkan salinan putusan KPPU b. Pengadilan Negeri yang berwenang atau mempunyai kompetensi untuk memeriksa keberatan atas putusan KPPU c. Wewenang Mahkamah Agung untuk menunjuk Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa keberatan atas putusan KPPU tersebut. Mengenai tata cara pemeriksaan perkara keberatan yang diajukan, Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2005 mengaturnya dalam Pasal 5 ayat (1) sampai dengan ayat (6). Majelis Hakim yang memeriksa perkara keberatan tersebut sedapat mungkin terdiri dari hakimhakim yang berkompeten di bidang hukum persaingan usaha yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan segera setelah menerima pengajuan keberatan. Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan KPPU dan berkas perkara wajib diserahkannya kepada Pengadilan Negeri dan pemeriksaan tersebut dilakukan tanpa proses mediasi.

Putusan harus diberikan dalam waktu 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut oleh Majelis Hakim. Mengenai pelaksanaan putusan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2005 yang menentukan bahwa permohonan penetapan eksekusi atas putusan yang diperiksa melalui prosedur keberatan, diajukan oleh KPPU kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara keberatan yang bersangkutan. Apabila ada keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri atas perkara keberatan putusan KPPU tersebut, dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 14 hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 ayat (3) Undang-undang No.5 Tahun 1999. Tata cara pengajuan permohonan kasasi tersebut sesuai dengan tata cara permohonan kasasi yang diatur dalam hukum acara perdata dan dalam ayat (4) dinyatakan bahwa Mahkamah Agung harus memberikan putusannya dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diterima.

Sumber: Miru, Ahmadi., dan Sutarman Yodo. 2007. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hermansyah, S.H., M.Hum. 2008. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group. pn-tangerang.info/content/view/166/84/ bpsk-jakarta.blogspot.com www.pemantauperadilan .com Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK Peraturan Mahkamah Agung RI No.3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha no.1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Você também pode gostar