Você está na página 1de 16

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

: FILSAFAT PENDIDIKAN : PROF. DR. HAEDAR AKIB, M.Si

PERGAULAN DAN KEWIBAWAAN PENDIDIKAN

YATI HARDIYANTI

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam berbagai pustaka, karakter manusia dibagi atas banyak jenis (ada yang empat, ada yang sepuluh, ada yang seratus, dan lain-lain), sebagaimana kecerdasan manusia (ada yang membagi dengan satu, dua, empat, delapan, dan lain-lain). Hal itu bisa dimaklumi, karena (selalu) di antara dua perbedaan yang nyata, terdapat sekian banyak perbedaan yang dapat mendekati keduanya. Karenanya, di antara dua karakter manusia, yaitu baik dan buruk, terdapat banyak karakter lain yang mendekati keduanya. Di antara sekian banyak jenis karakter manusia, ada banyak pula yang mempengaruhi terbentuknya karakter seseorang yang dapat dibagi menjadi dua hal utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi antara lain, kondisi fisik, tingkat pendidikan, tingkat pergaulan, dan tingkat keimanan. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi, antara lain, lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan, lingkungan kerja, dan sosok panutan. Tuhan sendiri telah memperingatkan sifat-sifat dasar yang buruk yang dimiliki manusia, antara lain: zalim dan tidak pandai bersyukur, ingkar akan kebesaran Tuhan, sombong dan sewenang-wenang, condong mengikuti hawa nafsunya, boros dan berlebih-lebihan, aniaya diri, tergesa-gesa, dan taklid buta (berbuat sesuatu tanpa pengetahuan). Memang, sifat atau karakter manusia bisa ditinjau dari banyak segi. Di internet, banyak sekali literatur yang meninjau sifat manusia dari berbagai segi, misalkan dari tanggal lahir, dari shio, dari golongan darah, dari cara berbicara, dari nama, bahkan dari cara dia mengupil atau (maaf), dari kentutnya. Berbicara tentang sifat-sifat manusia, ini tidak terlepas dari manusia sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Dimana di dalamnya terdapat pergaulan dan interaksi serta komunikasi dalam kehidupan setiap manusia. Dalam pergaulan manusia terdapat kewibawaan, ketakutan dan kewibawaan dalam pendidikan. Pendidikan bukan sekedar mengajarkan atau mentransfer pengetahuan, atau semata mengembangkan aspek intelektual, melainkan juga untuk mengembangkan karakter, moral, nilai-nilai dan budaya serta didik. Dengan kata lain, pendidikan adalah membangun budaya,
2

membangun peradaban, membangun masa depan bangsa. Karena itu, untuk meningkatkan harkat dan martabat sebuah bangsa pada era global ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan meningkatkan kualitas pendidikan maka akan tercipta kesatuan utuh dalam rencana dan gerak langkah pembangunan bangsa di masa depan. Sebab, kualitas pendidikan sangat menentukan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Kualitas pendidikan mesti bersandar pada segenap aspek yang terdapat dalam diri manusia atau warga negara. Dan yang penting disadari ialah bahwa pendidikan merupakan sebuah proses, sesuatu yang terus diperjuangkan perbaikan dan kemajuannya. Meminjam ungkapan Mendiknas, pendidikan Indonesia adalah sebuah proses pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Berbicara tentang pendidikan, kita tidak bisa lepas daripada tenaga pendidik itu sendiri. Agar bisa menjadi tenaga pendidik yang baik dan profesional. Di samping mempunyai atau memiliki ilmu dan seni dalam mendidik, seorang pendidik itu harus memiliki wibawa (gezag). Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pergaulan dan wibawa (gezag) di dalam pendidikan.

B. Rumusan Masalah Dalam makalah ini dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas lebih jauh, antara lain: 1. Apa-apa saja sifat-sifat manusia dan pergaulan manusia sebagai makhluk sosial? 2. Bagaimana kewibawaan (Gezag) dalam pendidikan ?

C. Tujuan Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui sifat-sifat manusia dan pergaulan manusia sebagai makhluk sosial 2. Untuk mengetahui bagaimana kewibawaan (Gezag) dalam pendidikan

D. Manfaat Makalah ini ditulis dengan tujuan agar dapat memberikan gambaran umum kepada masyarakat luas pada umumnya dan masayarakat dalam lingkungan pendidikan pada khususnya tentang pergaulan dan pendidikan sehingga pendidikan dapat terlaksana dengan baik dan tepat sasaran. Selain itu juga diharapkan dapat menambah kepustakaan tentang pendidikan.

BAB II PEMBAHASAN A. Sifat-Sifat Manusia Syekh Al Kholil ibn Ahmad membagi karakter manusia menjadi empat macam. Pertama, rojulun yadri wa yadri annahu yadri fabidzalika alimun tattabiuhu, yaitu manusia yang mengerti dan dirinya mengerti kalau ia mengerti. Ia adalah manusia yang memiliki ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ciri manusia seperti ini adalah selalu bekerja dengan landasan istiqomah dan ikhlas. Kedua, rojulun yadri wa la yadri annahu yadri, fabidzalika naimun fa aiqidzuhu, manusia yang mengerti namun tidak mengerti kalau dirinya mengerti, seperti orang yang sedang tidur. Manusia yang berkarakter seperti ini adalah manusia yang tidak konsisten dengan apa yang diucapkan atau yang dipahaminya. Kata-katanya (yang baik) tidak sama dengan perilakunya (yang buruk). Umar ibn al Khottob pernah berkata aqwa ma akhofu inda hadzihi ummati minal dajjal al munafiq al alim yang artinya: yang paling saya takuti pada ummat ini daripada dajjal adalah orang munafik yang pintar atau alim, atau secara mudah dapat dikatakan sebagai orang yang berbuat jahat dengan memelintir dalil agama. Karakter ketiga adalah rojulun la yadri wa yadri annahu la yadri, fa bidzalika mustarsyidun fa arsyiduhu. Manusia yang tidak mengerti namun ia tahu kalau dirinya tidak mengerti. Manusia model ini relatif baik, karena orang-orang yang selalu ingin belajar untuk lebih mengerti adalah manusia yang memiliki sifat selalu ingin memperbaiki diri. Inilah orang-orang yang cerdas-al kayyis- yaitu orang-orang yang tidak melakukan sesuatu perbuatan kecuali telah jelas halal atau haramnya. Manusia model ini adalah manusia yang selalu terikat dengan syara. Apa yang dimakan, dipakai dan yang dijkerjakan selalu terukur dan berlandaskan pada hukum Tuhan. Karakter keempat, adalah rojulun la yadri wa la yadri annahu la yadri, fabidzalika jahilun fatrukuhu, manusia yang tidak mengerti kalau dirinya tidak mengerti, inilah manusia bodoh. Karena orang-orang seperti ini biasanya tidak mau belajar dan tidak mau peduli dengan hukumhukum. Mereka termasuk manusia-manusia yang selalu mengedepankan syahwat (nafsu) dunia semata.
5

Sedangkan menurut Florence Littauer, empat sifat manusia adalah kolerik, sanguinis, melankolik, dan plegmatis. Manusia yang memiliki sifat kolerik adalah manusia yang memiliki motivasi diri yang kuat, kreatif, pekerja keras, dan semua yang dilakukannya dilandasi oleh keyakinan dirinya yang kuat. Ia akan bertekad menyelesaikan pekerjaannya dengan caranya sendiri (my way), namun ia tidak ingin diatur orang lain. Sedangkan sifat sanguinis adalah orang yang ingin batinnya selalu bahagia sampai-sampai segala tugas yang harus dikerjakannya, akan dikerjakan jika ia bisa bahagia dengan pekerjaan itu (fun away). Jangan coba-coba memberinya pekerjaan yang dia tidak sukai, karena ia sulit sekali menerima tantangan baru, dan biasa kerja tanpa rencana dan tanpa target penyelesaian. Ia biasa ingin tampil lebih menonjol dari yang lainnya, baik dari suaranya, pakaiannya, atau apapun yang bisa menarik perhatian orang lain. Adapun sifat melankolik adalah orang suka kerja dengan teratur, rapi, tekun, serius, dan sistematis dengan prinsip kerja best way. Sayangnya, orang seperti ini menginginkan anak buahnya juga memiliki sifat yang sama, dan ia akan mudah tersinggung bila ada orang lain yang menyalahi prinsip hidupnya ini. Sedangkan sifat plegmatis adalah orang yang memiliki sifat yang murah senyum, tulus, dan nyaris tidak pernah marah. Orang seperti ini tidak suka menonjolkan diri, dan tidak ambisius. Orang ini bersifat terbuka atas saran maupun kritik orang lain, meskipun kadang saran dan kritik itu tidak serta-merta dijalankannya. Prinsip kerja orang seperti ini adalah mendapatkan cara mudah (easy way) untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sifat seseorang tidaklah bersifat mutlak, paten, atau pasti. Banyak kondisi yang dapat mempengaruhi sifat dasar manusia, seperti tekanan mental atau batin (misalkan karena dikejar deadline, musibah keluarga, dan sebagainya), kondisi sosial-ekonomi (seperti kemapanan, penerimaan dari lingkungan, dan sebagainya), dan yang tak kalah pentingnya adalah hubungan dengan Tuhannya (habluminallah), semakin dekat hubungan seseorang dengan Tuhannya, maka orang itu pasti selalu ingin berbuat yang terbaik, selalu berusaha menjadi orang yang (memiliki sifat) yang terbaik, dan memiliki satu keinginan utama, yaitu Tuhan selalu tersenyum untuknya. Sifat-sifat manusia juga selain sebagai makhluk yang berdiri sendiri juga sebagai makhluk yang bergantung pada Tuhan. Manusia tidak hanya sebagai makhluk badani tetapi juga makhluk rohani serta manusia bukan hanya makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Dari sifat-sifat manusia di atas, tidak terlepas dari pergaulan manusia sebagai makhluk sosial. Jika dipandang
6

dari segi umurnya, pergaulan dapat di bedakan menjadi tiga macam, yaitu; antara orang tua dengan orang tua, antara orang tua dengan anak, serta antara anak dengan anak. Dalam setiap pergaulan itu disengaja maupun tiddak disengaja terjadilah pengaruh mempengaruhi antara orang tua yang satu mempengaruhi orang tua yang lain, orang tua mempengaruhi anak tetapi sebaliknya juga anak mempengaruhi orang tua serta anak mempengaruhi anak yang lain.

B. Kewibawaan (Gezag) dalam Pendidikan

1. Pengertian Kewibawaan (Gezag) Gezag berasal dari kata zeggen yang berarti berkata. Siapa yang perkataannya mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain, berarti mempunyai kewibawaan atau gezag terhadap orang itu. Gezag atau kewibawaan itu ada pada orang dewasa, terutama pada orang tua. Dapat kita katakan bahwa kewibawaan yang ada pada orang tua (ayah dan ibu) itu adalah asli. Orang tua dengan langsung mendapat tugas dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya. Orang tua atau keluarga mendapat hak untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak yang tidak dapat dicabut, karena terikat oleh kewajiban. Hak dan kewajiban yang ada pada orang tua itu keduanya tidak dapat dipisahpisahkan. Untuk jelasnya dapat penulis kemukakan contoh dibawah ini. Pada suatu sekolah ada seorang guru yang bernama Bapak Budi yang sangat disegani oleh murid-muridnya. Mereka (murid-murid) sangat takut dan patuh kepadanya. Setiap harinya, sebelum Pak Budi masuk ke dalam kelas, murid-murid sudah duduk dengan tenang dan tertib menantikan Pak Budi itu mengajar. Semua perintah dan larangannya serta nasihatnya yang diberikan kepada murid-muridnya, diturut dan dipatuhi oleh anak-anaknya. Anak-anak hormat kepadanya. Sebaliknya dengan Bapak Salim yang ada di sekolah itu. Ia kurang disegani anak-anak muridnya. Setiap pak Salim mengajar, anak-anak ada saja yang selalu membuat ribut dalam kelas, sehingga kelas menjadi ribut. Peringatan-peringatan dan nasihat-nasihat yang diberikannya tidak atau kurang dihiraukannya oleh murid-muridnya. Anak-anak tidak merasa segan atau patuh kepadanya. Perintah-perintah atau tugas-tugas yang diberikannya, sering kalau tidak dikerjakan oleh murid-muridnya. Karena itu pak Salim seringkali marah dan menghukum anak dalam kelas.
7

Tetapi anak itu bukan semakin patuh atau menurut kepadanya, bahkan sebaliknya. Anak-anak mau mengerjakan apa yang diperintahkannya karena mereka takut; jadi bukan karena insaf atau percaya kepadanya. Dari contoh di atas dapat kita mengatakan, bahwa Bapak Budi lebih berwibawa, lebih mempunyai kewibawaan atau gezag daripada Bapak Salim. Anak-anak lebih patuh dan lebih segan terhadap Bapak Budi. Segala sesuatu yang diperintahkan atau dinasihatkan ataupun diperingatkan oleh Bapak Budi, lebih meresap dan lebih mudah serta dengan senang menjalankan daripada Bapak Salim. Atau dengan kata lain: pengaruh yang ditimbulkan oleh Bapak Budi lebih dipatuhi oleh anak-anak.

2. Kewibawaan dan Ketakutan a. Kepatuhan yang dihasilkan oleh rasa takut adalah kepatuhan yang terpaksa, suatu kepatuhan yang tidak secara suka rela. Ini adalah kepatuhan palsu. b. Kepatuhan yang dihasilkan oleh kewibawaan, adalah kepatuhan yang suka rela tanpa rasa terpaksa. Ini adalah kepatuhan sejati. Bahasa Jawa: Nungkul Karonoraris 3. Kewibawaan Orang Tua dan Kewibawaan Guru a. Orang tua (ayah dan ibu) adalah pendidik yang terutama dan yang sudah semestinya. Merekalah pendidik asli, yang menerima tugasnya dari kodrat, dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya. Karena itu sudah semestinya mereka mempunyai kewibawaan terhadap anak-anaknya. Adapun kewibawaan orang tua itu terdiri dari 2 sifat : 1) Kewibawaan Pendidikan Ini berarti bahwa dengan kewibawaannya itu orang tua bertujuan memelihara keselamatan anak-anaknya, agar mereka dapat hidup terus, dan selanjutnya berkembang jasmani dan rohaninya menjadi manusia dewasa. Adapun nasihat-nasihat yang dimintanya atau diterimanya dari orang tua meskipun orang yang meminta atau menerima nasihat itu sudah dewasa, dan banyak juga yang dituruti. Tetapi hal itu hendaknya timbul dari hati yang tulus ikhlas, tidak karena keharusan.

2) Kewibawaan Keluarga Orang tua merupakan kepala dari suatu keluarga. Tiap-tiap keluarga merupakan masyarakat kecil, yang sudah tentu dalam masyarakat itu harus ada peraturanperaturan yang harus dipatuhi dan dijalankan. Tiap-tiap anggota keluarga harus patuh kepada peraturan-peraturan yang berlaku dalam keluarga itu. Dengan demikian orang tua sebagai kepala keluarga dan dalam hubungan kekeluargaannya mempunyai wibawa terhadap anggota-anggota keluarganya. Kewibawaan keluarga itu bertujuan untuk pemeliharaan dan keselamatan keluarga. Tiap anggota keluarga harus tunduk kepada kewibawaan keluarga, selama ia menjadi anggota keluarga itu. Soal sudah dewasa atau belum, itu bukan soal yang penting lagi. b. Kewibawaan guru atau pendidik (yang bukan orang tua) menerima jabatannya sebagai pendidik bukan dari kodrat (dari Tuhan), melainkan ia menerima jabatan itu dari pemerintah. Ia ditunjuk, ditetapkan, dan diberi kekuasaan sebagai pendidik oleh negara atau masyarakat. Maka dari itu kewibawaan yang ada padanya pun berlainan dengan kewibawaan orang tua. c. Kewibawaan guru atau pendidik juga ada 2 sifat : 1) Kewibawaan Pendidikan Sama halnya dengan kewibawaan pendidikan yang ada pada orang tua, guru atau pendidik karena jabatan berkenaan dengan jabatannya sebagai pendidik, telah diserahi sebagian dari tugas orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Selain itu, guru atau pendidik karena jabatan menerima kewibawaannya sebagian lagi dari pemerintah yang mengangkat mereka. Kewibawaan pendidikan yang ada pada guru ini terbatas oleh banyaknya anak-anak yang diserahkan kepadanya, dan setiap tahun berganti murid. 2) Kewibawaan Memerintah Selain memiliki kewibawaan pendidikan, guru atau pendidik karena jabatannya juga mempunyai kewibawaan memerintah. Mereka telah diberi kekuasaan oleh pemerintah atau instansi yang mengangkat mereka. Kekuasaan tersebut meliputi pimpinan kelas;
9

di sanalah anak-anak telah diserahkan kepadanya. Bagi kepala sekolah kewibawaan ini lebih luas, meliputi pimpinan sekolahnya.

3. Fungsi Kewibawaan dalam Pendidikan Pendidikan itu terdapat dalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak-anak. Sebab pergaulan antara orang dewasa sesamanya, orang menerima dan bertanggung jawab sendiri terhadap pengaruh-pengaruh pergaulan itu.

Demikian pula pergaulan antara anak-anak dengan anak-anak biarpun sering kali seorang anak menguasai dan dituruti oleh anak-anak lainnya tetapi kekuasaan atau gezag yang terdapat pada anak itu tidak bersifat gezag pendidikan, karena kekuasaan itu tidak tertuju kepada tujuan pendidikan. Dalam pergaulan baru terdapat pendidikan jika di dalamnya telah terdapat kepatuhan dari si anak, yaitu bersikap menuruti atau mengikuti wibawa yang ada pada orang lain; mau menjalankan suruhannya dengan sadar. Tetapi tidak semua pergaulan antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan pendidikan; ada pula pergaulan semacam itu yang mempunyai pengaruh-pengaruh jahat atau pergaulan yang netral saja. Satu-satunya pengaruh yang dapat dinamakan pendidikan ialah pengaruh yang menuju ke kedewasaan si anak: untuk menolong si anak menjadi orang yang kelak dapat atau sanggup memenuhi tugas hidupnya dengan berdiri sendiri. Tidak setiap macam tunduk menurut terhadap orang lain (seperti menurut perintah-perintah anak lain) dapat dikatakan tunduk terhadap wibawa pendidikan. Bagaimana sikap anak terhadap kewibawaan pendidik? Dalam hal ini Langeveld menjelaskan dengan dua buah kata: a) Sikap menurut atau mengikut (volagen), yaitu mengakui kekuasaan orang lain yang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau menuruti yang sebenarnya. b) Sikap tunduk atau patuh (), yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui hak pada orang lain untuk memerintah dirinya, dan dirinya merasa sendiri terikat akan memenuhi perintah itu.

Dalam hal yang terakhir inilah tampak fungsi wibawa pendidikan, yaitu membawa si anak ke arah pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan mau menjalankannya.
10

4. Kewibawaan dalam Masyarakat dan Kewibawaan dalam Pendidikan Agar lebih jelas mengenai apa yang dimaksud dengan kewibawaan pendidikan dan bagaimana melaksanakan kewibawaan itu didalam praktek mendidik anak-anak, perlu kiranya penulis adakan perbandingan antara kewibawaan yang berlaku di dalam masyarakat dengan kewibawaan yang berlaku bagi pendidikan. a. Kewibawaan dalam Masyarakat 1) Dalam masyarakat harus ada wibawa, supaya dapat tercapai maksud masyarakat itu, yaitu: kesejahteraan umum. Di dalam negara (yang berdasar demokrasi) ada 3 badan yang memegang kewibawaan, yaitu badan kekuasaan legisltif, eksekutif dan yudisial. Anggota-anggota masyarakat adalah orang-orang yang telah dewasa, yang berarti bahwa mereka sudah seharusnya mempunyai cukup kesadaran akan keharusan dan faedahnya kewajiban-kewajiban itu mengurangi kebebasan mereka. Jadi mempunyai pengertian tentang norma-norma atau ukuran hidup. 2) Masyarakat menurut atau patuh kepada pendukung-pendukung kekuasaan pemerintah itu bukan karena sempurnanya kepribadiannya, tetapi hanya karena orang-orang itu telah mendapat pengangkatannya untuk menjalankan kewajiban-kewajibannya. Kita menurut kepada seorang bupati; dan sebagai bupati ia berhak mengeluarkan peraturan-peratutan dan melaksanakannya, dengan sendirinya dalam batas-batas kekuasaannya saja. 3) Sebaliknya, pemerintah meminta kita semua mentaati segala peraturannya. Bagaimana kebatinan kita (masing-masing orang) yang sebenarnya setuju atau tidak, mengeritik atau tidak pemerintah tidak mengindahkannya, asal kita taat kepada apa yang diperintahkannya. Jadi kekuasaan pemerintah hanya mengenai perbuatan-perbuatan kita yang lahir; selama perbuatan-perbuatan kita yang lahir ini sesuai dengan peraturan-peraturan, kita adalah warga negara yang baik, dan kita telah memenuhi kewajiban kita. 4) Kewibawaan dan pelaksanaan kewibawaan dalam masyarakat tidak menjadi berkurang, melainkan tetap stabil, karena tujuannya ialah hendak mengatur perputaran masyarakat yang baik. Selama kita hidup dalam masyarakat, kita tetap taat
11

di bawah kewibawaannya dan negara tetap akan melaksanakan kewibawaannya di atas kita.

b. Kewibawaan dalam Pendidikan 1) Pelaksanaan kewibawaan dalam pendidikan itu harus bersandarkan perwujudan norma-norma dalam diri si pendidik sendir. Justru karena wibawa itu mempunyai tujuan untuk membawa si anak ke tingkat kedewasaannya, yaitu mengenal dan hidup yang sesuai dengan norma-norma, maka menjadi syaratlah bahwa si pendidik memberi contoh dengan jalan menyesuaikan dirinya dengan norma-norma itu sendiri. Tidak ada seorang pun yang lebih banyak kewibawaannya daripada mereka yang mewujudkan kewibawaan itu dalam dirinya sendiri. 2) Dalam pendidikan, pertama-tama yang kita tuju ialah bahwa si anak dengan sepenuh kepercayaannya menyerahkan dirinya kepada pendidiknya (orang tuanya), dan dengan demikian mencapai peryesuaian batin. Bila tidak, kita tidak akan dapat mencapai tingkatan di atas dresur, yang berarti si anak hanya mengerjakan apa yang diperintahkan saja, dan kita tidak dapat mencapai: si anak itu mengenal nilai-nilai, dan dengan keyakinan hidup menyesuaikan diri dengan nilai-nilai itu. 3) Wibawa dan pelaksanaan wibawa dalam masyarakat tetap, akan tetapi dalam pendidikan akan selalu menjadi berkurang, dan akhirnya selesai bila telah tercapai tingkat kedewasaan. Ini tidak berarti bahwa si anak (yang telah dewasa itu) tidak lagiperlu mengakui adanya kewibawaan; sebaliknya dengan kesukarelaan dan keikhlasan sendirilah si anak mengakui adanya wibawa negara, Tuhan, dan berusaha hidup sesuai dengan kewibawaan itu. Itulah arti kedewasaan yang tepat. 5. Kewibawaan dan Identifikasi Di atas telah dikatakan bahwa tujuan dari wibawa dalam pendidikan itu ialah, dengan wibawa itu di pendidik hendak berusaha membawa anak itu ke arah kedewasaannya. Ini berarti, secara berangsur-angsur anak dapat mengenal nilai-nilai hidup atau norma-norma

12

(seperti norma-norma kesusilaan, keindahan, ketuhanan dan sebagainya) dan menyesuaikan diri dengan norma-norma itu dalam hidupnya. Syarat mutlak dalam pendidikan ialah adanya kewibawaan pada si pendidik. Tanpa kewibawaan itu, pendidikan tidak akan berhasil baik. Dalam setiap macam kewibawaan terdapatlah suatu identifikasi sebagai dasar. Artinya, dalam melakukan kewibawaan itu si pendidik mempersatukan dirinya dengan didik, juga yang dididik mempersatukan dirinya terhadap pendidiknya. Jadi dalam hal ini identifikasi mengandung dua arti :

a. Si pendidik mengindentifikasi dirinya dengan kepentingan dan kebahagiaan si anak. Ia berbuat untuk anak karena anak belum dapat berbuat sendiri; ia memilih untuknya; jadi untuk anaknya itulah ia mengambil tanggung jawab, yang semestinya menjadi tanggung jawab anak itu sendiri. Jadi si pendidik seakan-akan mewakili kata hati didiknya untuk sementara. Si pendidik memilih, mempertimbangkan, dan memutuskan untuk anak didiknya. Hal sedemikian dapat dipertanggung jawabkan dan memang perlu, selama si anak itu sendiri belum dapat memilih, mempertimbangkan dan mengambil keputusan untuk dirinya. Tetapi lambat-laun camput tangan orang tua atau pendidik itu harus makin berkurang. Itulah syarat untuk membuat si anak berdiri sendiri. b. Si anak mengidentifikasi dirinya terhadap pendidiknya. Identifikasi anak sebagai makhluk yang sedang tumbuh, tentu saja berlain-lainan menurut perkembangan umurnya, menurut pengalamannya. Pada anak dua kemungkinan cara mengidentifikasi itu : 1) Ia menurut dengan sempurna, tidak menentang; perintah dan larangan dilakukan secara pasif saja. Bahanyanya ialah, di dlam diri anak itu tidak tumbuh kesadaran akan norma-norma sehingga karena itu ia tidak akan mungkin sampai pada tingkatan penentuan sendiri (mandiri). 2) Karena ikatan dengan sang pemegang-wibawa (pendidik) terlalu kuat-erat sehingga merintangi perkembangan Aku anak itu. Tetapi ikatan yang sangat erat itu dapat juga menimbulkan usaha yang sangat aktif untuk mencapai persamaan dengan pendidiknya: berbuat seperti apa yang diharapkan dari pendidiknya atau si anak ingin menjadi sang pemegang-wibawa itu. Di sini pun masih ada pula bahayanya, yaitu menututnya itu tidak
13

seperti yang kita kehendaki, yakni memperoleh norma-norma bagi diri pribadinya.

Anak yang menurut dapat memberikan gambaran seakan-akan kita mencapai hasil baik dalam pendidikan kita. Tetapi kita harus ingat, bahwa si anak harus kita didik tidak saja dengan hak, melainkan dengan kwajiban membawa dirinya ke suatu tingkatan untuk makin dapat berdiri sendiri. Jadi hal itu berarti, identifikasi si anak terhadap orang tua atau pendidiknya lambatlaun harus dilepaskan dari sifat perseorangan, dan harus ditujukan kepada norma-normanya. Artinya: si anak harus menunjukkan sifat menurut bukan karena diri si pendidik itu, melainkan karena norma-norma dan nilai-niali dalam pribadi pendidiknya itu; si anak harus ditujukan kepada norma-norma itu

14

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan antara lain : 1. Sifat-sifat manusia sebagai makhluk individu, sosial, makhluk yang tidak berdiri sendiri tetapi juga bergantung pada Tuhan, badani n rohani serta pergaulan antara orang tua dengan orang tua, antara orang tua dengan anak serta antara anak dengan anak. 2. a.Wibawa adalah gezag, yang terdapat pada seseorang, wibawa itu tidak di miliki oleh semua orang tetapi hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Wibawa atau gezag bisa saja ada pada seseorang mungkin melalui tutur katanya, perbuatannya tingkah laku dan ilmu pengetahuannya. b.Orang tua adalah pendidik yang utama mereka adalah pendidikan asli, yang menerima tugas dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mendidik anak-anaknya oleh karena itu orang tua harus mempunyai wibawa terhadap seluruh keluarganya. c.Fungsi kewibawaan dalam pendidikan ialah membuat si anak mendapat nilai-nilai dan norma-norma hidup. d.Indentifikasi pada diri pribadi pendidiknya, dengan demikian kemudian ternyata nilai-nilai dan norma-normanya, kelak dia lebih melepaskan diri dari di sipendidiknya dan lebih lagi mewujudkan dirinya kepada nilai-nilai dan norma itu. B. Saran Dengan mengetahui pergaulan da kewibawaan pendidikan diharapkan seorang calon guru dapat memberikan pengajaran yang sesuai dengan landasan dan arah, sehingga tujuan untuk menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik dapat dilakukan dengan tepat dan benar dalam pelaksanaan pendidikan

15

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007. Sifat-Sifat Manusia: http://ugm-club.blogspot.com/2007/07/ manusia.html ,diakses pada tanggal 22 April 2011 hari Jumat pukul 11.00 Wita. karakter-

Anonim, 2010. Kewibawaan dalam Pendidikan: http.www.Mujahiddesa blogspot. com. ,diakses pada tanggal 25 April 2011 hari Senin pukul 09.00 Wita.

16

Você também pode gostar