Você está na página 1de 10

SEJARAH PERKEMBANGAN ESTETIKA

Secara umum perkembangan pemikiran estetika terbagi dalam lima periode yang terdiri dari : (1)periode klasik, (2)periode kritik, (3)periode positivisme atau ilmiah, (4)periode modernisme, (5)periode postmodernisme. Tugas anda adalah mengirimkan salah satu gagasan para tokoh filsafat estetika dari kelima periode perkembangan pemikiran estetika. 1. Periode klasik, Para pemikir periode ini adalah Socrates, Plato, dan Aristoteles. Gagasan yang dapat anda kembangkan di antaranya: apriori, mimesis, khatarsis, alur dramatik Aristoteles. 2. Periode Kritik, Para pemikir periode ini adalah Baumgarten, Imanuel Kant, Friedrick Heger, Arthur Schopenhuer. Gagasan yang dapat anda kembangkan di antaranya: Relativisme, Subjektivisme, 3. Periode Positivisme, Para pemikir periode ini adalah Gustav Theodor Fechner, Friedrich Nietzsche, Leo Tolstoy, dan George Santayana. Gagasan yang dapat anda kembangkan: Estetika eksperimental, Estetika Induktif, Apollonian dan Dionysian, 4. Periode Modernisme, Para pemikir periode ini adalah Beneditto Crose, Susanne K Langer, dan Robin Collingwood. Gagasan yang dapat anda kembangkan di antaranya: oposisi binner, 5. Periode Postmodernisme, Para pemikir periode ini adalah Charles Sanders Pierce, Roman Jacobson, Jan Mukarovsky, Hans Robert Jauss, Lotman, Roland Barthes, Umberto Eco, Michel Foucault, Julia Cristiva, Jacques Derrida. Gagasan yang dapat anda kembangkan di antaranya: Teori ekspresi dan Intuisi, animal symbolicum, semiotika, petanda & penanda, ikon-indeks-simbol, meaning & significance, litterariness, horizon harapan, dekonstruksi.

TEORI ESTETIKA Teori Estetika pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu : 1. Teori Estetik Formil

Banyak berhubungan dengan seni klasik dan pemikiran-pemikiran klasik. Teori ini menyatakan bahwa keindahan luar bangunan menyangkut persoalan bentuk dan warna. Teori beranggapan bahwa keindahan merupakan hasil formil dari ketinggian, lebar, ukuran (dimensi) dan warna. Rasa indah merupakan emosi langsung yang diakibatkan oleh bentuk tanpa memandang konsep-konsep lain. Teori ini menuntut konsep ideal yang absolut yang dituju oleh bentuk-bentuk indah, mengarah pada mistik. 1. Teori Estetik Ekspresionis

Teori menyebutkan bahwa keindahan tidak selalu terjelma dari bentuknya tetapi dari maksud dan tujuan atau ekspresinya. Teori ini beranggapan bahwa keindahan karya seni terutama tergantung pada apa yang diekspresikannya. Dalam arsitektur keindahan dihasilkan oleh ekspresi yang paling sempurna antara kekuatan gaya tarik dan kekuatan bahan (material). Kini anggapan dasar utama keindahan arsitektur adalah ekspresi fungsi atau kegunaan suatu bangunan. 1. Teori Estetik Psikologis

Menurut Teori ini keindahan mempunyai 3 aspek : Keindahan dalam arsitektur merupakan irama yang sederhana dan mudah. Dalam arsitektur pengamat

merasa dirinya mengerjakan apa yang dilakukan bangunan dengan cara sederhana, mudah dan luwes. Keindahan merupakan akibat dari emosi yang hanya dapat diperlihatkan dengan prosedur Psikoanalistik.

Karya seni mendapat kekuatan keindahannya dari reaksi yang berbeda secara keseluruhan.

Keindahan merupakan akibat rasa kepuasan si pengamat sendiri terhadap obyek yang dilihatnya.

Ketiga teori ini merupakan manifestasi untuk menerangkan keindahan dari macam-macam sudut pandang : secara mistik, emosional atau ilmiah intelektual. Teori yang kemudian muncul, seperti dikutip Maryono (1982-81) antara lain adalah teori keindahan Obyektif dan Subyektif. Teori Obyektif berpendapat bahwa keindahan adalah sifat (kualitas) yang melekat pada obyek. Teori Subyektif mengemukakan bahwa keindahan hanyalah tanggapan perasaan pengamat dan tergantung pada persepsi pengamat. Teori keindahan secara umum menurut dasar pemikiran Timur, seperti diuraikan Sachari (1988 : 29-33), antara lain didasarkan pada hubungan alam dengan semesta (Taoisme), manusia dengan masyarakat (Konfusianisme), hubungan manusia dengan yang mutlak (Budhisme). Keseimbangan alam merupakan ukuran keindahan menurut pemikiran Timur.

PENGERTIAN DAN ASAL ILMU ESTETIKA


Estetika adalah disiplin yang baru di Indonesia. Hingga kini masih sedikit tulisan-tulisan yang berkaitan dengan bidang ini. Beberapa buku tentang Estetika yang bersifat pengantar memang bermunculan pada tahun-tahun belakangan ini, tapi isinya terlalu umum bagi mereka yang memiliki minat kuat menerapkan estetika dalam penelitian seni. Istilah estetika itu kita adaptasi dari kata `aesthetics bahasa Inggris. Kata aesthetic, asalnya dari bahasa Yunani, aesthetikos berarti `sesuatu yang dapat diserap indera, atau berkaitan dengan persepsi penginderaan, pemahaman, dan perasaan, lawan katanya yang lebih populer dalam penggunaan di dunia kedokteran adalah anaesthetic , anestetik atau patirasa. Jadi, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya

Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. Aristoteles lahir tahun 384 S.M. di Stagyra di daerah Thrakia, Yunani Utara. Delapan belas tahun kemudian ia masuk Akademia di Athena dan sampai 347 S.M. menjadi murid Plato. Pada 342 S.M. ia diangkat menjadi pendidik Iskandar Agung muda di kerajaan Raja Philippus dari Makedonia. Tahun 335 ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang namanya Lykaion, nama salah satu gelar dewa Apolo. Karena caranya mengajar dan caranya bertukar pikiran dengan kelompok-kelompok kecil, berlangsung sambil berjalan-jalan, maka sekolahnya dijuluki juga peripatetik, yang sebenarnya adalah pusat penelitian ilmiah. Tahun 332, setelah kematian Iskandar Agung, ia harus melarikan diri dari Athena karena ia, seperti Sokrates 80 tahun sebelumnya, dituduh menyebarkan ateisme. Ia meninggal tahun 322 S.M. Meskipun 20 tahun menjadi murid Plato, Aristoteles menolak ajaran Plato tentang idea. Menurutnya, tidak ada idea-idea abadi. Apa yang dipahami Plato sebagai idea sesungguhnya adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas inderawi sendiri. Dari realitas inderawi konkret, akal budi manusia mengabstraksikan paham-paham abstrak yang bersifat umum. Begitu, misalnya, akal budi mengabstraksikan paham

orang atau manusia dari orang-orang konkret-nyata yang kita lihat, yang masingmasing berbeda satu sama lain. Akal budi mampu untuk melihat bahwa si Azis, si Tuti, Profesor Aleksander, dan Ibu Meli sama-sama manusia, manusia dalam arti yang sepenuhnya, sepenuhnya manusia. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea-idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan kemampuan itu tidak perlu menerima alam idea-idea abadi. Aristtoteles menjelaskannya dengan kemampuan akal budi manusia untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat bentukbentuk universal dari realitas empiris individual. Pendekatan Aristoteles adalah empiris. Ia bertolak dari realitas nyata inderawi. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan mendukung pengembangan ilmu-ilmu spesial. Begitu pula, Aristoteles menolak paham Plato tentang idea Yang Ilahi, dan bahwa hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan dengan idea yang ilahi itu. Menurut Aristoteles, paham Yang Ilahi itu sedikitpun tidak membantu seorang tukang untuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja dengan baik, atau seorang negarawan untuk mengetahui bagaimana ia harus memimpin negaranya. Jadi, tidak ada gunanya. Apa yang membuat kehidupan menusia menjadi bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia sendiri, harus mulai dengan suatu pengamatan. Pengaruh Filsafat keindahan dan Estetika Aristoteles Seni menurut Aristoteles merupakan kegiatan meniru atau tiruan dari dunia, alam, benda dan manusia (konsep Mimesis dan Imitasi). Bagi Aristoteles Mimesis bersifat positif, karena dalam mimesis terdapat ide (from). Mimesis berarti representasi (representing). Selain itu juga Mimesis mimesis berarti membuat kemiripan (likeness, semblance). Mimesis merupakan penciptaan hal baru, bukan meniru yang sudah ada. hanya karya seni yang bersifat mimesis. Kegiatan menyangkut seni pada poiesis (making), membuat yang indah = poetike techne. Aristoteles mengatakan bahwa ada dua bentuk seni, yaitu: 1. Seni Visual yaitu meniru benda nyata melalui warna dan bentuk 2. seni Drama TRAGEDI yaitu meniru kehidupan, perbuatan dan perilaku manusia Dalam melakukan imitasi biasanya akan melibatkan Media (bisa berupa irama, bahasa/ percakapan, dan musik), lalu juga obyek (setiap karya selalu melbatkan obyek yang bisa berupa karakter/ peran, sifat dan sebagainya). Unsur lainnya adalah mode. Karya seni menurut Aristoteles dapat dalam bentuk Tragedi, Komedi dan juga Epic (Syair tentang Kepahlawanan). Aristoteles berpendapat bahwa manusia mempunyai daya abstraksi yang mampu mengabstraksi benda-benda fisik maupun mengabstraksi dirinya sendiri. Oleh dari pendapatnya itu maka ia setuju dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa karya seni merupakan tiruan dari benda maupun peristiwa yang terjadi di dunia nyata. Namun ia menoplak pendapat plato mengenai karya seni sebagai tiruan kedua, karena ia menolak dunia ide hasil pemikiran Plato. Baginya, dunia ini hanya satu yaitu dunia nyata ini (realisme).

PENGERTIAN ESTETIKA

Istilah estetika berasal dari bahasa latin aestheticus atau bahasa Yunani aestheticos yang bersumber dari kata aithe yang berarti merasa. Estetika dapat didefinisikan sebagai susunan bagian dari sesuatu yang mengandung pola. Pola mana mempersatukan bagian-bagian tersebut yang mengandung keselarasan dari unsurunsurnya, sehingga menimbulkan keindahan. (Effendy, 1993) Terdapat beragam ajaran klasik mengenai estetika yang perlu dimuatkan sebagai landasan penelitian ini, namun sebisa mungkin tidak terlalu menyimpang jauh dari tujuan komunikasi dan metode analisis, sebagai berikut. Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua. Yang satu tentang dunia idea, sedangkan yang lain nampaknya lebih membatasi diri pada dunia yang nyata. Pandangan kedua menyatakan bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sesderhana, yang dimaksud sederhana adalah bentuk dan ukuran yang tidak diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebih sederhana lagi. Oleh karena itu, keindahan semacam itu bersifat terpilah-pilah. Keindahan semacam itu hanya dapat ditunjukkan, misalnya warna merah. Kendati begitu, yang majemuk juga dapat dialami sebagai sesuatu yang indah, jika tersusun secara harmonis berdasarkan sesuatu yang betulbetul sederhana. Pandangan yang kedua ini punya keistimewaan karena tidak melepaskan diri dari pengalaman inderawi yang merupakan unsur konstitutif dari pengalaman estetis dan keindahan dalam pengertian sehari-hari. Pandangan lainnya yang mendekati pandangan kedua dari Plato tersebut adalah dari Aristoteles yang menyebutkan bahwa keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini, menurut Aristoteles, berlaku untuk bendabenda alam ataupun untuk karya seni buatan manusia. Karya seni yang dibicarakan Aristoteles terutama karya sastra dan drama. Ia membicarakan karya drama terutama dalam bentuk tragedi seperti dipentaskan dalam peran-peran diiringi dengan musik dan tarian, titik pangkal pandangan Aristoteles ialah bahwa karya seni harus dinilai sebagai suatu tiruan dunia alamiah dan dunia manusia. Aristoteles tidak menyetujui penilaian negatif Plato atas karya

seni, atas dasar penolakannya terhadap teori idea. Dengan karya tiruan, Aristoteles tidak memaksudkan sekedar tiruan belaka. Karya seni diharapkan menjadi lambang atau simbol, yang maknanya harus dapat ditemukan dan dikenali oleh si penggemar karya seni itu, berdasarkan pengalaman sendiri, entah ia dalam posisi sebagai pembaca, pemain atau pun penonton pandangan paling pokok dari ajaran Aristoteles, yaitu Katarsis. Artinya pemurnian, yang menurutnya adalah tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi. Segala peristiwa, pertemuan, wawancara, permenungan, keberhasilan, kegagalan dan kekecewaan harus disusun dan dipentaskan sedemikian rupa sehingga pada suatu saat secara serempak semuanya tampak logis namun seolah tak terduga. Kupasan yang agak mendekati estetika perenungan adalah yang datang dari Plotinos, Plotinos mendekatkan pengalaman estetis dengan pengalaman religius, bahkan puncak perkembangan estetis itu sendiri adalah pengalaman religius yang disebut pengalaman mistik. Sesuai dengan titik awal filsafat Plotinos (emanasi) semua hal dari Yang Esa dan kembalinya semua itu kepada Yang Esa lagi, titik akhir pun bukan karunia khusus (rahmat), namun hanya penyelesaian dari yang awal itu. Meskipun begitu, tidak banyak insan mengalami titik akhir tersebut karena ia terhambat oleh hyle (materi) yang kurang mengendalikan diri dalam askesis (latihan). Secara lebih jauh penelitian dengan analisis semiotika ini mendekati segala pemahaman tentang estetika yang menitik beratkan pada keselarasan, keseimbangan, keteraturan dan lainya yang menjadi ciri-ciri khas keindahan. Pendapat Agustinus menyebutkan bahwa kesatuanlah yang menjadi sumber atau dasar keindahan. Yang lebih khasnya lagi ialah bahwa menurut ia pengamatan mengenai keindahan mengandaikan dan memuat suatu penilaian. Artinya apabila kita menilai suatu obyek itu indah, kita mengamatinya sebagai sesuatu yang sesuai dengan apa yang seharusnya ada didalamnya, yakni keteraturannya. Pengertian berikutnya yang lebih membukakan jalan bagi perkembangan modern, adalah beberapa rumusan keindahan yang datang dari Thomas Aquinas. Seperti keindahan berkaitan dengan pengetahuan; kita menyebut sesuatau indah jika sesuati itu menyenangkan

mata sang pengamat, dan mencoloknya peranan subyek. Kemudian keindahan harus mencakup tiga kualitas; integritas atau kelengkapan.., proporsisi atau keselarasan yang benar dan cemerlang. Dan yang terakhir keindahan itu terjadi jika pengarahan si subyek muncul lewat kontemplasi atau pengetahuan inderawi. Secara umum gagasan Thomas merupakan rangkuman segala unsur filsafat keindahan sebelumnya. Dengan mengajukan peranan dan rasa si subyek dalam proses terjadinya keindahan, peranan subyek sebenarnya sudah diangkat juga dalam teori Aristoteles tentang drama. Mereka menggarisbawahi betapa pentingnya pengetahuan dan pengalaman empirisapoisteriori yang terjadi dalam diri manusia, yang merupakan titik awal dari kebesaran suatu karya seni. Secara umum dapat dikatakan bahwa selama abad ke 20 ini para filsuf barat yang membicarakan bidang estetika, cukup memperhatikan apa yang disebut pengalaman estetis, baik dalam diri si seniman pencipta karya seni maupun dalam diri para penggemar seni. Terdapat penekanan dalam kesatuan antara karya seni yang bersangkutan dengan para pelaku (pencipta dan penggemar ataupun pencipta ulang, seperti dalam musik, drama, tarian, malah sastra) : kedua belah pihak merupakan suatu bagian integral dari karya seni yang ditinjau dari sudut filsafat, sosiologi, psikologi dan sekarang komunikasi.

SOCRATES Socrates lahir di Athena pada tahun 470 sebelum Masehi dan meninggal pada tahun 399 SM. Bapaknya tukang pembuat patung, ibunya bidan. Pada permulaannya Socrates mau menuruti jejak bapaknya, sebagai tukang pembuat patung. Namun, ia berganti haluan: dari membentuk batu jadi patung ia membentuk watak manusia. Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan sufisme di Athena. Socrates bergaul dengan semua orang, tua dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filosof dengan coraknya sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Menurut kata teman-temannya: Socrates demikian adil, sehingga ia tak pernah berlaku zalim. Ia begitu pandai menguasai dirinya, sehingga ia tak pernah memuaskan hawa nafsu dengan merugikan kepentingan umum. Ia demikian cerdiknya, sehingga ia tak pernah khilaf dalam menimbang buruk baik. Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malah tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. Oleh karena Socrates tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali mengetahui dengan kesahihan ajarannya. Ajarannya itu hanya dikenal dari catatan-catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Catatan Xenephon kurang kebenarannya, karena ia sendiri bukan seorang filosof. Untuk

mengetahui ajaran Socrates, orang banyak bersandar kepada Plato. Dalam uraian-uraian Plato, yang kebanyakan berbentuk dialog, hampir selalu Socrates yang dikemukakannya. Ia memikir, tetapi keluar seolah-olah Socrates yang berkata. Tujuan filosofi Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Socrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap dan harus dicari. Dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Sebab itu metodenya disebut maieutik, menguraikan, seolah-olah menyerupai pekerjaan ibunya sebagai dukun beranak. Socrates mencari pengertian, yaitu bentuk yang tetap daripada sesuatunya. Sebab itu ia selalu bertanya: apa itu? Apa yang dikatakan berani, apa yang disebut indah, apa yang bernama adil? Pertanyaan tentang apa itu harus lebih dahulu daripada apa sebab . Ini biasa bagi manusia dalam hidup sehari-hari. Anak kecil pun mulai bertanya dengan apa itu . Oleh karena jawab tentang apa itu harus dicari dengan tanya jawab yang mungkin meningkat dan mendalam, maka Socrates diakui pula sejak keterangan Aristoteles sebagai pembangun dialektik pengetahuan. Tanya jawab, yang dilakukan secara meningkat dan mendalam, melahirkan pikiran yang kritis. Dalam berjuang mencari kebenaran yang umum lakunya, yaitu mencari pengetahuan yang sebenarbenarnya, terletak seluruh filosofinya. Oleh karena Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan definisi. Kedua-duanya itu bersangkut-paut. Induksi menjadi dasar definisi. Induksi yang menjadi metode Socrates ialah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi. Seperti disebut di atas, dari lawannya bersoal jawab, yang masing-masing terkenal sebagai ahli dalam haknya sendiri-sendiri, dikehendakinya definisi tentang berani indah dan lain sebagainya. Pengertian yang diperoleh itu diujikan kepada beberapa keadaan atau kejadian yang nyata. Apabila dalam pasangan itu pengertian tidak mencukupi, maka dari ujian itu pengertian dicari perbaikan definisi. Definisi yang tercapai dengan cara begitu diuji pula sekali lagi untuk mencapai perbaikan yang lebih sempurna. Demikianlah seterusnya. Begitulah cara Socrates mencapai pengertian. Dengan melalui induksi sampai kepada definisi. Definisi yaitu pembentukan pengertian yang umum lakunya. Induksi dan definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian. Budi ialah tahu, kata Socrates. Inilah inti sari daripada etiknya. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Paham etiknya itu kelanjutan dari metodenya. Induksi dan definisi menuju kepada pengetahuan yang berdasarkan pengertian. Dari mengetahui beserta keinsafan moral, mesti menimbulkan budi. Apabila budi adalah tahu, maka tak ada orang yang sengaja, atas maunya sendiri, berbuat jahat. Kedua-duanya, budi dan tahu, bersangkut-paut. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan timbangan yang benar, maka jahat hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang kesasar adalah kurban daripada kekhilafananya sendiri. Kesasar bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada orang yang khilaf atas maunya sendiri. Oleh karena budi adalah tahu, maka siapa yang tahu akan kebaikan dengan sendirinya terpaksa berbuat baik. Untuk itu perlulah orang pandai menguasai diri dalam segala keadaan. Dalam suka maupun duka. Dan apa yang pada hakekatnya baik, adalah juga baik bagi kita sendiri. Jadinya, menuju kebaikan adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai kesenangan hidup . Kesenangan hidup tidak pernah dipersoalkan oleh Socrates, sehingga murid-muridnya kemudian memberikan pendapat mereka sendiri-sendiri tentang kesenangan hidup. PLATO Plato lahir pada tahun 428/7 sebelum masehi dari keluarga terkemuka di Athena, ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama Periktione. Ketika bapaknya meninggal ibunya menikah lagi dengan adik ayahnya Plato yang bernama Pyrilampes yang tidak lain adalah seorang politikus, dan Plato banyak terpengaruh dengan kehadiran pamannya ini. Karena sejak kehadiran pamannya ini ia banyak

bergaul dengan para politikus Athena. Selain para politikus ia juga banyak dipengaruhi oleh Kratylos, seorang filusuf yang meneruskan ajaran Herakleitos yang mempunyai pendapat bahwa dunia ini terus berubah. Dari pergaulan dengan para politikus, Plato akhirnya menelurkan sebuah pemikiran bahwa pemimpin suatu negara haruslah seorang filusuf, hal ini dilontarkan karena kekecewaannnya atas kepemimpinan para politikus yang ada pada saat itu, terutama yang berkaitan dengan kematian gurunya, yaitu Socrates, di persidangan yang berakhir pada kematian gurunya tersebut. Pada perkembangan selanjutnya Plato mendirikan Akademia sebagai pusat penyelidikan ilmiah dan di sekolah ini ia berusaha merealisasikan cita-citanya yaitu menjadikan filsuf-filsuf yang siap menjadi pemimpin negara, dan akademia inilah awal dari munculnya universitas-universitas saat ini karena lebih menekankan pada kajian ilmiah bukan sekedar reotrika. Ia terus mengepalai dan mengajar di akademia ini hingga akhir hayatnya. Dalam menelurkan karya-karya fisafatnya Plato menggunakan metode dialog, karena ia percaya filsafat akan lebih baik dan teruji jika dilakukan melalui dialog dan banyak dari karya-karyanya disampaikan secara lisan di akademia-nya. Di satu sisi ia masih mempercayai beberap mitos yang digunakan olehnya untuk mengemukakan dugaan-dugaan mengenai hal-hal duniawi. Ia banyak dipengaruhi oleh gurunya, Socrates dalam pemikirannya. Idea merupakan inti dasar dari seluruh filasaft yang diajarkan oleh Plato. Ia beranggapan bahwa idea merupakan suatu yang objektif, adanya idea terlepas dari subjek yang berfikir. Idea tidak diciptakan oleh pemikiran individu, tetapi sebaliknya pemikiran itu tergantung dari idea-idea. Ia memberikan beberapa contoh seperti segitiga yang digambarkan di papan tulis dalam berbagai bentuk itu merupakan gambaran yang merupakan tiruan tak sempurna dari idea tentang segitiga. Maksudnya adalah berbagai macam segitiga itu mempunyai satu idea tentang segitiga yang mewakili semua segitiga yang ada. Dalam menerangkan idea ini Plato menerangkan dengan teori dua dunianya, yaitu dunia yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan pancaindera, sifat dari dunia ini tidak tetap terus berubah, dan tidak ada suatu kesempurnaan. Dunia lainnya adalah dunia idea, dan dunia idea ini semua serba tetap, sifatnya abadi dan tentunya serba sempurna. Idea mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Hubungan antara idea dan realitas jasmani bersifat demikian rupa sehingga benda-benda jasmani tidak bisa berada tanpa pendasaran oleh ideaidea itu. Hubungan antara idea dan realitas jasmani ini melalui 3 cara, pertama, idea hadir dalam benda-benda konkrit. Kedua, benda konkrit mengambil bagian dalam idea, disini Plato memperkenalkan partisipasi dalam filsafat. Ketiga, Idea merupakan model atau contoh bagi bendabenda konkrit. Benda-benda konkrit itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut. Plato menganggap bahwa jiwa merupakan pusat atau intisari kepribadian manusia, dan pandangannya ini dipengaruhi oleh Socrates, Orfisme dan mazhab Pythagorean. Salah satu argumen yang penting ialah kesamaan yang terdapat antara jiwa dan idea-idea, dengan itu ia menuruti prinsipprinsip yang mempunyai peranan besar dalam filsafat. Jiwa memang mengenal idea-idea, maka atas dasar prinsip tadi disimpulkan bahwa jiwapun mempunyai sifat-sifat yang sama dengan idea-idea, jadi sifatnya abadi dan tidak berubah. Plato mengatakan bahwa dengan kita mengenal sesuatu benda atau apa yang ada di dunia ini sebenarnya hanyalah proses pengingatan sebab menurutnya setiap manusia sudah mempunyai pengetahuan yang dibawanya pada waktu berada di dunia idea, dan ketika manusia masuk ke dalam dunia realitas jasmani pengetahuan yang sudah ada itu hanya tinggal diingatkan saja, maka Plato menganggap juga seorang guru adalah mengingatkan muridnya tentang pengetahuan yang sebetulnya sudah lama mereka miliki. Ajaran Plato tentang etika kurang lebih mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan hidup yang baik, dan hidup yang baik ini dapat dicapai dalam polis. Ia tetap memihak pada cita-cita Yunani Kuno yaitu hidup sebagai manusia serentak juga berarti hidup dalam polis, ia menolak bahwa negara hanya berdasarkan nomos/adat kebiasaan saja dan bukan physis/kodrat. Plato tidak pernah ragu dalam keyakinannya bahwa manusia menurut kodratnya merupakan mahluk sosial, dengan demikian manusia menurut kodratnya hidup dalam polis atau negara. Menurut Plato negara terbentuk atas dasar kepentingan yang bersifat ekonomis atau saling membutuhkan antara warganya maka terjadilah suatu spesialisasi bidang pekerjaan, sebab tidak semua orang bisa mengerjakaan semua pekerjaan dalam satu waktu. Polis atau negara ini dimungkinkan adanya perkembangan wilayah karena adanya pertambahan penduduk dan kebutuhanpun bertambah sehingga memungkinkan adanya perang dalam perluasan ini.

Dalam menghadapi hal ini maka di setiap negara harus memiliki penjaga-penjaga yang harus dididik khusus. Mereka harus mempelajari, senam yang lebih umum dan keras dan sebaiknya dilakukan paa usia 18 20 tahun. Dari sini diseleksi lagi untuk dijadikan calon pemimpin politik, dan untuk membentuk pemimpin in mereka harus belajar filsafat hingga usia 30 tahun, tujuan belajar filsafat ini untuk melatih mereka dalam mencari kebenaran. Dari sini diseleksi lagi dan mereka yang lulus seleksi akan mempelajari filsafat dan dialektika secara lebih intensif selama 5 tahun. Dan jika dalam pendidikan ini berhasil maka selama 15 tahun ia menduduki beberapa jabatan negara yang tujuannya agar mereka tahu pekerjaan-pekerjaan negara. Dan pada usia 50 tahun baru mereka siap menjadi seorang pemimpin. Ada tiga golongan dalam negara yang baik, yaitu pertama, Golongan Penjaga yang tidak lain adalah para filusuf yang sudah mengetahui yang baik dan kepemimpinan dipercayakan pada mereka. Kedua, Pembantu atau Prajurit. Dan ketiga, Golongan pekerja atau petani yang menanggung kehidupan ekonomi bagi seluruh polis. Plato tidak begitu mementingkan adanya undang-undang dasar yang bersifat umum, sebab menurutnya keadaan itu terus berubah-ubah dan peraturan itu sulit disama-ratakan itu semua tergantung masyarakat yang ada di polis tersebut. Adapun negara yang diusulkan oleh Plato berbentuk demokrasi dengan monarkhi, karena jika hanya monarkhi maka akan terlalu banyak kelaliman, dan jika terlalu demokrasi maka akan terlalu banyak kebebasan, sehingga perlu diadakan penggabungan, dan negara ini berdasarkan pada pertanian bukan perdagangan. Hal ini dimaksudkan menghindari nasib yang terjadi di Athena. ARISTOTELES Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia Tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles bergabung menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia. Saat Alexander berkuasa di tahun 336 SM, ia kembali ke Athena. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum, yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM. Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran dan ilmu alam. Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan pada alam. Plato menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, sedangkan Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Selanjutnya ia menyatakan bahwa bentuk materi yang sempurna, murni atau bentuk akhir, adalah apa yang dinyatakannya sebagai theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan. Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking). Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarkhi. Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti fisika, astronomi, biologi, psikologi, metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi. Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal yang masuk akal (common-sense explanation), banyak teori-teorinya yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal ini terjadi karena teori-teori tersebut karena dianggap masuk akal dan sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya, meskipun kemudian ternyata bahwa teori-teori tersebut salah total karena didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru. Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi

Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas pada abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (1135 1204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126 1198). Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri. Daftar Pustaka Beoang, Konrad Kebung, Plato: Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar, cet.4, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999. Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, cet. 14, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1997 Ferguson, Wallace K., and Geoffrey Bruun. A Survey of European Civilization (4th Ed), pg. 39. Houghton Mifflin Company/Boston, 1969, USA. Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, cet. 15, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998 Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, cet. 3, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986. Yenne, Bill. 100 Pria Pengukir Sejarah Dunia. Alih bahasa: Didik Djunaedi. PT. Pustaka Delapratasa, Jakarta 2002.

Você também pode gostar