Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".QS.
- Al-Anfal ayat 17 :
Artinya: ......dan bukan kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar.
- QS. al-Hadid ayat 22:
Tiada suatu nubaba neb yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
- QS. Al-Insan 30 :
Artinya: Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
2. Adapun dalil-dalil aqliy yang dijadikan landasan bagi kaum Jabariyah antara lain sebagai
berikut:
- Makhluk tidak boleh mempunyai sifat sama dengan sifat Tuhan, dan kalau itu terjadi,
berarti menyamakan Tuhan dengan makhluknya. Mereka menolak keadaan Allah Maha
Hidup dan Maha Mengetahui, namun ia mengakui keadaan Allah Yang Maha Kuasa.
Allahlah yang berbuat dan menciptakan, oleh karena itu, makhluk tidak mempunyai
kekuasaan.
- Manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit juapun, manusia tidak dapat dikatakan
mempunyai kemampuan (Istitha`ah). Perbuatan yang tampaknya lahir dari manusia
bukan dari perbuatan manusia karena manusia tidak mempunyai kekuasaan, tidak
mempunyai keinginan dan tidak mempunyai pilihan antara memperbuat atau tidak
memperbuat. Semua perbuatan yang terjadi pada makhluk adalah perbuatan Allah dan
perbuatan itu disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi. Sama seperti
kata pohon berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam dan
biji-bijian tumbuh dan sebagainya.
1. Dalil-dalil naqliy yang menjadi dasar aliran Qadariyah
- QS Ar- Ra`du ayat 11 :
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri..
QS An Nisa` ayat 110 :
Artinya:...... Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, Kemudian
ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
2. dalil-dalil aqliy yang dijadikan sebagai landasan kaum Qadariyah adalah:
- Jika perbuatan manusia diciptakan atau dijadikan oleh Allah swt mengapa menusia
diberi pahala jika berbuat baik dan disiksa jika berbuat maksiyat dan dosa, bukankah
yang membuat atau menciptakan perbuatan itu adalah Allah swt sendiri.Jika demikian
halnya berarti Allah swt tidak bersikap adil terhadap manusia, sedang manusia itu
sendiri adalah adalah ciptaan-Nya.
- Melihat bahwa terdapat ayat ayat al-Quran dan dalil-dalil aqli menjadi landasan kedua
golongan tersebut, tidak mengherankan, sekalipun penganjur paham Jabariyah dan
Qadariyah telah lama meninggal, akan tetapi masih terdapat di kalangan kaum
muslimin. Dalam sejarah teologi Islam selanjutnya, paham Qadariyah dianut oleh kaum
Muktazilah sedangkan paham Jabariyah moderat masih terdapat dalam aliran
Asyariyah.
Surga Makalah
*Dikutip dari berbagai sumber
Tulisan dengan kategori yang sama :
- Qadariyah; Warisan Nasrani?
- Sebab Munculnya Aliran al-Maturidi
- Ketuhanan dan Filsafat Jiwa al-Kindi
- Maqam Ittihad Abu Yazid al-Bustami
- Memahami Konsep Wajib al-Wujud (1)
- Asal Mula Lahirnya Muktazilah
- Pendapat Aliran-aliran Teologi
- Material Makalah; Mengenal Syiah Ismailiyah
- Aliran Teologi tentang Iman dan Kufur
- Mengenal Teologi; Suatu Pengantar
Anda barusan melihat/membaca posting dengan ju
BAGIAN KEEMPAT
Penutup
Di Saat Pengetahuan Allah Berbalik Menjadi Ketidaktahuan
Pada akhir pembahasan ini, tidak ada salahnya kita menunjuk kepada kemusykilan-kemusykilan
kaum Jabariyah yang paling terkenal, untuk kita analisis bersama agar jawaban atasnya menjadi
jelas. Kaum Jabariyah menyebutkan berbagai dalil dan bukti secara aqli (rasional) maupun naqli
(nukilan dari Al-Quran, hadis dan sebagainya), untuk menguatkan anggapan mereka. Mereka
berpegang pada beberapa ayat tentang qadha dan qadar dalam Al-Quran dan kadang-kadang
beberapa hadis dinukilkan dari Rasul yang mulia saw. ataupun dari para Imam di bidang ini.
Cukup banyak dalil aqli dikemukakan oleh kaum Jabariyah untuk menguatkan anggapan mereka
ini.[1] Syubhah (keraguan argumentatif) paling terkenal dari paham Jabariyah ialah yang
berkaitan dengan qadha dan qadar dalam pengertian konsep Ilahi atau ilmu Allah. Yaitu bahwa
Allah SWT adalah 'Alim (Zat Yang Maha Mengetahui) tentang segala yang telah dan akan
terjadi secara azali (sejak permulaan zaman); tak sesuatu pun tersembunyi bagi Allah dan Ilmu-
Nya yang azali. Dari segi lainnya pula, ilmu Allah tidak mengalami perubahan ataupun
pertentangan dengan yang telah terjadi. Karena itu, suatu kejadian tidak mungkin berubah bentuk
menjadi sesuatu lainnya, sebab perubahan seperti itu bertentangan dengan kesempurnaan dan
kelengkapan Zat Wajibul Wujud (yakni Allah SWT). Tidak mungkin pula pengetahuan-Nya,
sejak azali, bertentangan dengan apa yang terjadi, sebab yang demikian itu berarti bahwa
pengetahuan-Nya itu bukan pengetahuan, melainkan ketidaktahuan (kebodohan). Ini pun
berlawanan dengan kesempurnaan dan kelengkapan Wujud yang mutlak.
Berdasarkan kedua muqaddimah (premise) ini:
a. bahwa Allah Maha mengetahui segalanya;
b. bahwa ilmu Allah tidak dapat tersentuh perubahan dan tantangan.
Maka tidak diragukan lagi kita beroleh natijah (konklusi) bahwa semua peristiwa dan kejadian di
alam ini harus berlangsung dengan cara yang bersesuaian dengan ilmu (pengetahuan) Allah,
secara terpaksa dan deterministis.
Khususnya bila kita tambahkan lagi bahwa ilmu Ilahi adalah ilmu yang aktif dan positif, yakni
pengetahuan yang merupakan sumber dari segala yang diketahui; bukannya pengetahuan yang
reaktif dan pasif, yakni pengetahuan yang memperoleh esensinya dari esensi sesuatu lainnya
yang diketahui sebelumnya, seperti pengetahuan manusia akan kejadian-kejadian alamiah.
Berdasarkan itu, seandainya seseorang tertentu; menurut ilmu yang azali, akan melakukan
pelanggaran maksiat tertentu pada jam tertentu, maka pelanggaran itu pasti terjadi secara
deterministis dan terpaksa dan dengan cara seperti yang telah ditentukan itu. Tak ada
kemungkinan bagi si pelaku tersebut untuk mengubahnya ke dalam bentuk yang lain, bahkan tak
ada kekuatan apa pun dalam bentuk yang lain, bahkan tak ada kekuatan apapun dalam wujud ini
yang mampu mengubahnya. Atau, jika tidak demikian, maka pengetahuan Allah akan beralih
menjadi ketidaktahuan (kebodohan)!!
Umar Khayyam berkata dalam syairnya:
Sungguh nikmat mereguk minuman khamr,
bagi mereka yang terbiasa meminumnya.
Allah telah mengetahui perbuatan ini.
Jika Anda kini menolaknya, hai kawan,
Pengetahuan-Nya itu beralih menjadi ketidaktahuan.
Jawaban atas syubhah (keraguan argumentatif) ini sungguh mudah bagi yang telah menguasai
pengertian yang benar tentang qadha dan qadar. Sebab, syubhah itu muncul hanya setelah
diadakannya pertimbangan terpisah antara pengetahuan Allah di satu pihak, dan sistem sebab-
akibat di pihak lainnya. Dalam arti bahwa ilmu (pengetahuan) Ilahi, di masa azali, diperkirakan
telah berkaitan secara kebetulan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa dan ciptaan-ciptaan. Nah,
agar pengetahuan ini benar-benar menjadi pengetahuan, dan agar tidak terjadi sesuatu yang lain
daripadanya, haruslah pengetahuan Ilahi ini memaksakan kekuasaannya atas sistem alami, dan
menundukannya di bawah pengawasan amat ketat, sehingga ia bersesuaian dengan konsep dan
perencanaan yang telah mendahuluinya itu.
Dengan kata lain, diperkirakanlah bahwa pengetahuan Ilahi, dengan mengabaikan sistem sebab-
akibat, telah berkaitan dengan terjadinya peristiwa-peristiwa maupun dengan tidak terjadinya;
dan bahwa sudah seharusnya menjadikan pengetahuan ini dengan cara apa pun, bersesuaian
antara 'yang diketahui' dan 'yang terjadi'. Untuk itu, haruslah diadakan pengaturan sistem sebab-
akibat di alam ini, sehingga pada beberapa konteks kejadian, sistem ini harus dicegah dari
aktifitasnya yang menurut wataknya dapat memberikan pengaruh. Atau harus dilakukan
pembatalan aktifitas kehendak dan ikhtiar siapa saja yang ingin menggunakan keduanya. Agar
dengan demikian, segala sesuatu yang telah ada dalam pengetahuan Allah yang azali, menjadi
sesuai dengan apa yang terjadi dan tidak berlawanan dengannya. Untuk itu, haruslah terjadi
pencabutan ikhtiar, kebebasan, kemampuan dan kemauan diri manusia, agar semua perbuatannya
berada di bawah kekuasaan Ilahi dan agar pengetahuan Allah tidak berubah atau beralih menjadi
ketidaktahuan.
Konsep mengenai pengetahuan Ilahi seperti ini, adalah puncak kejahilan dan ketidaktahuan!
Mungkinkah pengetahuan Allah berkaitan, secara kebetulan, dengan terjadi atau tidak terjadinya
peristiwa-peristiwa. Lagi pula, supaya pengetahuan itu bersesuaian dengan kenyataan yang
terjadi, maka ia (yakni pengetahuan Ilahi), harus bertindak mencampuri urusan sistem sebab-
akibat yang teratur rapi dan pasti, lalu melakukan perubahan-perubahan padanya serta
menghapus beberapa khasiat (karakteristik) berbagai tabiat, atau mencabut ikhtiar dan kebebasan
si pelaku yang seharusnya memiliki ikhtiar itu?! [2]
Pada hakikatnya, pengetahuan Ilahi yang azali tidak terpisah dari sistem sebab-akibat yang
berlaku atas alam semesta ini. Pengetahuan Ilahi adalah pengetahuan akan sistem tersebut. Dan
yang termasuk kepentingan dan keharusan pengetahuan Ilahi adalah seluruh alam ini beserta
sistem-sistem tersebut. Pengetahuan Ilahi tidaklah berkaitan dengan terjadi atau tidak terjadinya
suatu peristiwa secara langsung dan tanpa lantaran. Melainkan, ia berkaitan dengan suatu
peristiwa, hanya melalui sebab dan pelaku khususnya. Keterikatannya dengan itu Tidaklah
bersifat mutlak, tanpa berkaitan dengan sebab-sebabnya.
Sebab-sebab dan lantaran-lantaran itupun berbeda-beda, di antaranya ada yang kausalitas dan
aktifitasnya bersifat alamiah. Ada yang bersifat emosional, ada yang bersifat majbur (terpaksa)
dan ada pula yang bersifat berikhtiar (bebas memilih).
Yang diharuskan oleh pengetahuan Ilahi adalah timbulnya pengaruh aktifator yang bersifat alami
dari aktifator yang alami itu sendiri, timbulnya pengaruh aktifator emosional dari aktifator yang
emosional, timbulnya pengaruh aktifator majbur dari yang majbur, dan timbulnya pengaruh
aktifator berikhtiar dari yang berikhtiar. Jadi, tidak ada kepentingan dan keharusan pengetahuan
Ilahi pada timbulnya pengaruh aktifator yang sama sekali bebas dai aktifator tersebut, secara
paksa dan deterministis.
Dengan kata lain, ilmu (pengetahuan) Ilahi yang azali adalah pengetahuan sepenuhnya akan
sistem tersebut, yakni timbulnya akibat-akibat dari sebab-sebabnya yang khusus. Sehubungan
dengan itu, dan mengingat adanya perbedaan jenis berbagai sebab itu dalam sistem alam rill atau
alam eksternal, yakni yang bersifat alamiah, emosional, berikhtiar ataupun majbur, maka sistem
yang berkaitan dengan ilmu Ilahi pun memiliki asas yang sama, dalam arti keharusan adanya
setiap aktifator tertentu dalam alam ilmu Ilahi, seperti adanya masing-masing aktifator dalam
alam riil. Sebaliknya, mengingat adanya aktifator tersebut di alam ilmu Ilahi, seharusnyalah ia
juga ada di alam riil. Ilmu Ilahi yang berkaitan dengan timbulnya pengaruh dari suatu aktifator
adalah dalam arti bahwa ia berkaitan dengan timbulnya pengaruh aktifator yang bebas dari suatu
aktifator yang bebas, serta pengaruh aktifator yang majbur dari suatu aktifator yang majbur.
Adapun yang merupakan kepentingan dan keharusan ilmu Ilahi ialah timbulnya tindakan
aktifator yang bebas dari suatu aktifator yang bebas serta tindakan aktifator yang majbur dari
aktifator yang majbur; dan bukannya memaksa aktifator yang bebas menjadi majbur dan yang
majbur menjadi bebas.
Manusia dalam sistem alam semesta, seperti yang telah kami uraikan sebelum ini, dari sejak
semula telah memiliki sejenis kebebasan dan ikhtiar serta kemampuan tertentu dalam
aktifitasnya. Kemampuan-kemampuan seperti itu tidak terdapat pada maujud-maujud lainnya,
termasuk binatang. Dan mengingat bahwa eksistensi sistem alam riil bersumber pada sistem ilmu
Ilahi, dan bahwa sumber alam ciptaan adalah alam Rabbani (Ketuhanan), maka pengetahuan
azali yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia berarti bahwa Ia mengetahui, sejak
mula pertama, tentang siapa-siapa yang akan taat, dengan ikhtiar dan kebebasannya, dan siapa-
siapa yang bermaksiat, dengan kebebasannya pula. Jadi, yang merupakan keharusan dan
konsekuensi ilmu tersebut ialah adanya ketaatan dari orang yang taat, dengan kemauannya
sendiri; ataupun maksiat dari si pelaku maksiat, dengan kemauannya sendiri pula. Inilah makna
ucapan sebagian orang bahwa "manusia adalah makhluk yang mukhtar dan ijbar", yakni
memiliki kebebasan secara terpaksa. Maka ia tak mungkin kecuali menjadi mukhtar (bebas).
Ilmu Ilahi yang azali tidak sedikit pun ikut campur dalam mencabut kebebasan dan ikhtiar dari
siapa pun yang dalam sistem Ilmu Ilahi dan sistem riil telah ditetapkan menjadi mukhtar
(memiliki ikhtiar). Ilmu Ilahi itu juga tidak sedikit pun berkepentingan dalam pencabutan ikhtiar
dan kebebasan manusia dengan cara memaksanya agar berbuat ketaatan ataupun kemaksiatan.
Berdasarkan ini, maka benarlah kedua muqaddimah (premise) yang telah disebutkan sebelum ini,
tiada keraguan lagi padanya. Demikian pula halnya dengan pokok masalah yang kami
tambahkan, yaitu bahwa ilmu Allah adalah aktifdan positif bukannya reaktif dan pasif. Akan
tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa manusia bersifat majbur dan tidak memiliki ikhtiar, dan
bahwa disaat melakukan kemaksiatan, ia berada di bawah paksaan untuk bermaksiat, dari sesuatu
kekuatan yang lebih tinggi daripadanya. Yang benar ialah bahwa maujud, yang telah dicipta
dalam tatanan alam semesta sebagai sesuatu yang memiliki kebebasan, ia pulalah yang dalam
tatanan ilmu Ilahi bersifat bebas dan berikhtiar. Jika ia melakukan sesuatu secara deterministis,
hal ini justru berarti bahwa pengetahuan Allah telah beralih menjadi ketidaktahuan. Karena itu,
kita harus mengajukan pertanyaan kepada si penyair, yang berkata: "....Allah telah mengetahui
ini...," apa sebenarnya yang diketahui oleh Allah sejak azali? Apakah perbuatan minum khamr
yang bersifat sukarela dan sesuai dengan kecenderungan kemauan serta pilihan pribadi tanpa
paksaan, ataukah yang bersifat paksaan oleh suatu kekuatan yang berada di luar keberadaan
manusia?
Sesungguhnya yang telah diketahui oleh Allah SWT sejak azali, bukannya adanya perbuatan
minum khamr yang dipaksakan, ataupun sebarang minum khamr, melainkan perbuatan minum
secara sukarela (ikhtiari). Oleh sebab pengetahuan Allah seperti itulah, maka seandainya orang
tersebut dipaksa, dijadikan majbur untuk tidak minum, atau sebaliknya, dipaksa untuk minum,
hal ini tentunya mengalihkan dan mengubah pengetahuan Allah menjadi ketidaktahuan.
Kesimpulan yang bisa ditarik berdasarkan hal tersebut adalah, bahwa pengetahuan Allah yang
azali tentang perbuatan-perbuatan segala sesuatu yang ada di alam ini, dan yang memiliki
kemauan dan ikhtiar, sama sekali bukanlah jabr (determinisme), melainkan justru berlawanan
dengan jabr. Sebab, konsekuensi ilmi Ilahi ialah tetapnya sesuatu yang mukhtar (yang memiliki
kebebasan memilih) menjadi mukhtar, secara tetap dan pasti.
Karena itu, dapatlah dibenarkan ucapan si penyair:
Menjadikan dosa sebagai sesuatu
yang disebabkan oleh pengetahuan Ilahi.
Menurut anggapan orang berakal
adalah sama dengan ketidaktahuan.
Semua ini perlu disertai catatan seandainya bidang pembahasan kita sekarang ini adalah
pengetahuan Ilahi yang azali dan terdahulu, seperti yang disebutkan dalam Al-Quran al-Karim
dengan nama Al-Kitab, al-Lauh al-Mahfuzh, Qalam dan lain sebagainya; dan seandainya yang
menjadi kemusykilan adalah ilmu ini pula.
Namun seandainya kita tidak menganggap semua maujud serta sistem sebab-akibat di alam ini
seluruhnya sebagai suatu obyek yang diketahui oleh Allah SWT dengan ilmu-Nya yang azali
pun, pada hakikatnya, sistem yang telah diketahui oleh Allah ini adalah bagian dari ilmu Allah
juga.
Alam semesta ini, sengan segala sistemnya adalah ilmu Allah, Sang Pencipta Agung, dan juga
merupakan suatu obyek yang diketahui-Nya. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa Zat-Nya
meliputi zat-zat segala sesuatu, sejak azali sampai abadi, dan bahwa zat segala sesuatu selalu
hadir di hadapan-Nya. Tak mungkin ada suatu maujud, di antara maujud-maujud di seluruh alam
semesta ini, yang tersembunyi daripada-Nya. Sungguh, Ia berada di setiap tempat dan meliputi
segala sesuatunya (imanen).
Kemanapun kamu berpaling, di sana wajah Allah. (QS 2 :115)
Kami, Allah lebih dekat kepadanya dari urat lehernya. (QS 50 : 16)
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia tahu segala sesuatu.
(QS 57 : 3)
Atas dasar ini, alam beserta segala segala karakteristik dan tatananya, termasuk dalam peringkat
ilmu pengetahuan Allah SWT. Pada peringkat pengetahuan ini, pengetahuan dan segala obyek
yang diketahui adalah satu, tak terbilang, sehingga tidaklah perlu adanya hipotesis tentang ada
atau tidaknya keserasian antara pengetahuan yang diketahui, ataupun timbulnya pernyataan:
"Jika terjadi yang 'ini', maka pengetahuan Allah adalah benar-benar pengetahuan, tapi jika terjadi
yang 'itu', maka hal tersebut menunjukkan ketidaktahuan-Nya...."[]
[1] Kesemuanya telah kami sebutkan dan kami sanggah dalam berbagai catatan pinggir buku Ushulul
Falsafah, jilid 3.
[2] Karena itulah, kami meragukan bahwa syair yang telah kami nukilkan sebelum ini benar-benar
merupakan ucapan Umar Khayyam yang, paling sedikit, adalah seorang "setengah filosof". Mungkin saja itu
adalah syair yang dinisbahkan kepadanya setelah ia tiada. Atau, mungkin saja itu benar-benar merupakan
ucapannya, hanya saja waktu itu ia tidak bermaksud berbicara dengan sungguh-sungguh dan secara
filosofis, melainkan ia hanya ingin memberikan bentuk syair pada salah satu khayalannya. Memang
seringkali kita jumpai banyak peneliti dan pemikir, pada saat memasuki dunia syair, meninggalkan pikiran-
pikiran ilmiah dan filosofis, lalu menciptakan selubung-selubung syair yang indah untuk khayalan-khayalan
lembut mereka. Dengan kata Lain, mereka berbicara sebagai sastrawan dan bukannya sebagai ilmuwan.
Demikian itu yang sering kita lihat pada berbagai syair yang dinisbahkan kepada Umar Khayyam.
Kemasyhuran amat luas yang diraih oleh Khayyam adalah berkat penggambaran-penggambaran seperti itu,
yang tertuang dalam susunan kata-kata yang indah.
ilmu kalam
Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam merupakan ilmu yang membicarakan tentang wujud Allah, sifat-sifat allah yang mesti ada
padanya, sifat-sifat yang tidak ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya serta
membicarakan tentang rosul-rosul Allah, untuk menetapkan kerosulan nya, mengetahui sifat-sifat yang
mesti ada padanya, dan sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu kalam ialah ilmu yang berisi beberapa alasan untuk mempertahankan
keimanan dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang yang
menyeleweng dari kepercayaan aliran salaf dan ahli sunah. Ada beberapa pandangan bahwa ilmu ini di
sebut sebagai ilmu kalam, yaitu antara lain:
A. Pokok persoalan yang menjadi pembicaraan ialah firman Allah dan non azalinya Quran (khaliq al-
quran)
B. Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran para mutakalimin, dalam hal ini nampak jelas dalam
pembicaraan-pembicaraan para mutakalimin, mereka terkadang tidak langsung kembali kepada dalil
naql (quran hadis), kecuali sesudah menetapkan kebenaran pokok persoalan tersebut.
C. Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat, maka
pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu kalam untuk membedakan dengan logika dalam
filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Latar belakang berdirinya Ilmu Kalam
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW. Maupun
pada masa sahabat-sahabatnya. Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-ilmu
keislaman yang lain satu persatu muncul dan setelah orang banyak membicarakan tentang kepercayaan
alam gaib (metafisika). Kita tidak akan dapat memahami persoalan persoalan ilmu kalam sebaik-baiknya
kalau kita tidak mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian-kejadian politis dan
historis yang menyertai p-ertumbuhannya. Faktor-faktor itu sebenarnya banyak, akan tetapi dapat
digolongkan kepada dua bagian, yaitu faktor-faktor yang datang dari dalam islam dan kaum muslimin
sendiri dan faktor-faktor yang datang dari luar mereka, karena adanya kebudayaan lain dari agama-
agama yang bukan islam.
2. Aliran-Aliran Kalam
A. Asal-usul munculnya aliran-aliran kalam
Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Umat islam sudah mulai menghadapi perpecahan. Tetapi
perpecahan itu mulai reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Setelah beberapa lamanya
Abu Bakar memegang kekhalifahan, mulai timbul kembali perpecahan yang di hembuskan oleh orang-
orang murtad dari islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya menjadi nabi, seperti
Musailamatul Kadzab, Thulaihah, Sajah dan Al-Aswad Al-Ansy. Di samping itu ada pula golongan-
golongan yang tidak membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal tadinya mereka semua membayar
zakat pada nabi. Akan tetapi persilahan itu segera dapat diatasi dan dipersatukan kembali, karena
kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar.
Selanjutnya perjalanan kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Ustman tidak begitu menghadapi persoalan,
tetapi setelah islam meluas kemana-mana, tiba-tiba di akhir Khalifah Ustman, terjadi suatu persoalan
yang ditimbulkan oleh tindakan Ustman yang kurang mendapat simpati dari sebagian pengikutnya.
Tindakan Ustman yang kurang sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu mengakibatkan difitnah dan
terbunuhnya Sayyidina Ustman. Setelah itu maka Ali terpilih menjadi Khalifah, tetapi tidak memperoleh
suara yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan itu. Semenjak itulah,
berpangkalnya perpecahan umat islam, hingga menjadi beberapa golongan.di antaranya sebagai
berikut:
1. Golongan yang setuju atas pemangkatan Ali.
2. Golongan yang mula-mula patuh dan setuju, tetapi kemudian setelah terjadi perpecahan, menjadi
golongan yang netral. Mereka berpendirian tidak mau mengikuti Ali, tidak pula memerangi Ali. Karena
mereka meyakini bahwa keberpihakkan kepada salah satu dari dua golongan tersebut tidak berakibat
baik.
3. Golongan yang terang-terangan menentang ali, yaitu Tholhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam, Aisyah
binti Abu Bakar. Semua nya bersatu, dan sepakat menjadikan Aisyah sebagai pemimpin untuk
menumpas Ali. Mereka menyusun tentara, lalu menduduki Basrah. Pegawai-pegawai Ali di basrah di
bunuh, perbendaharaan di rampas. Sebab itu Ali pun dengan membawa pasukan yang dipimpinnya
sendiri menuju basrah, dan akhirnya terjadi pertempuran hebat. Tholhah dan Zubair terbunuh, Aisyah
tertangkap dan dipulangkan ke Madinah. Dan tentara lainnya banyak yang melarikan diri dan bergabung
dengan tentara Muawwiyah di Syam, yang sama-sama menentang Ali. Terjadinya pertempuran-
pertempuran antara Muawwiyah dan Ali, hingga pertempuran Shifin, yaitu perang terakhir antara Ali
dan Muawwiyah.
4. Perpecahan yang memisahkan diri dari tentara Ali. Golongan ini dinamakan Khawarij. Mereka tidak
setuju dengan gencatan senjata antara Ali dan Muawwiyah.
Demikianlah beberapa golongan politik yang muncul dimasa Khalifah Ali. Kemudian sesudah Ali, timbul
lah beberapa kelompok atau aliran ilmu kalam (aliran tentang aqidah) yang di akibatkan oleh timbulnya
golongan-golongan politik tersebut di atas yaitu golongan Syiah, Qodariah, Jabariah, Murjiah,
Karamiyah, Khawarij, Mutazilah, dan Ahli Sunah Wal Jamaah.
B. Aliran-aliran ilmu kalam
1. Aliran Mutazilah
a. Pokok-pokok ajaran Mutazilah.
1. Tauhid (keesaan Allah SWT)
2. Keadilan Allah SWT.
3. Janji dan ancaman
4. Posisi diantara dua posisi (al-manzilatu baina manzilatain)
5. Amar maruf nahyi munkar
b. Tokoh_tokoh Aliran Mutazilah
1. Washil bin atha (80-131 H/ 699-748 M)
2. Al-allaf (135-236 H/ 753-850 M)
3. An-Nazzam (wafat 231 H/845 M)
4. Al-JubbaI (wafat 303 H/915 M)
5. Bisyr bin al-Mutamar (wafat 226 H/ 840 M)
2. Aliran asyariyah (ahli sunah wal jamaah)
Imam Asyari (260-324 H), menurut Abu Bakar Ismail Al-Qairawani, adalah seorang penganut Muktazilah
selama 40 tahun. Kemudian ia menyatakan diri keluar dari Muktazilah. Setelah itu, ia mengembangkan
ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan-gagasan Muktazilah. Ajarannya kemudian di kenal
sebagai aliran Ahl al-Sunnah Wa al-jamaah.
Ajaran pokok aliran tersebut adalah kemaha kuasaan Tuhan yang keadilannya telah tercakup dalam
kekuasaannya. Suatu gagasan yang mirip dengan gagasan jabariah.
Adapun pendapat Imam Asyari yaitu bercirikan pengambilan jalan tengah antara pendapat pihak-pihak
yang berlawanan pada masanya, seperti pendapatnya dalam soal sifat tuhan terletak antara aliran
Mutazilah yang tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqo dan wahdaniyah dan aliran Hasywiyah
dan Mujassimah yang mempersamakan sifat-sifat makhluk.
Al-asyari mengakui sifat-sifat Allah tersebut sesuai dengan zat Allah sendiri dan sama sekali tidak
menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, allah mendengar tetapi tidak seperti manusia mendengar. Allah
dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.
3. Aliran Maturidiyyah
Dalam perkembangan ajaran ahli sunnah wal jamah, ajaran tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan
gagasan imam Al-Asyari. Para pelanjutnya, antara lain Imam Abu Mansyur al-Maturidi mendirikan aliran
Maturidiyah yang ajaranya, menurut Harun Nasution lebih dekat dengan Mutazilah.
Dalam bidang fiqh, Al-Maturidi mengikuti mazhab Hanafi, dan ia sendiri banyak mendalami soal-soal
Theologi Islam dan menganut Aliran Fuqoha dan Muhaddisin, seperti yang dilakukan Al-Asyari. Sungguh
pun demikian pendapat-pendapatnya tidak terikat dengan aliran tersebut
Meskipun metode yang dipakai oleh Al-maturidi berbeda dengan Al-Asyari, namun hasil pemikirannya
banyak yang sama. Menurut ulama-ulama Hanafiyah, hasil pemikiran Al-Maturidi dalam bidang aqidah
sama dengan pendapat-pendapatnya imam Abu Hanifah
Meskipun pendapat-pendapat Al-asyari dan Al-maturidi sering berdekatan, karena persamaan lawan
yang dihadapinya, namun perbedaan-perbedaannya masih selalu ada, adapun perbedaan yang tegas
antara Al-asyari dan Al-Maturidi antara lain:
1. Menurut aliran asyariah, mengetahui akan adanya Allah merupakan kewajiban Syara, sedangkan
menurut Maturidiyyah merupakan kewajiban akal.
2. Menurut golongan Asyariyah, sesuatu perbuatan tidak mempunyai sifat baik dan buruk. Baik dan
buruk tidak lain karena di perintahkan atau dilarang syara. Menurut Maturidiyah, pada tiap-tiap
perbuatan itu sendiri ada sifat baik dan buruk. Dengan demikian aliran Maturidiyah lebih mendekati
aliran Mutazilah
4. Aliran Syiah
Syiah ialah golongan umat islam yang terlalu mengagungkan keturunan Nabi, mereka meyakini bahwa
hanya keturunan Nabi yang lebih berhak untuk menjadi khalifah sepeninggal nabi. Syiah maknanya ialah
sahabat atau pengikut.
Syiah berkeyakinan bahwa yang dijadikan imam sesudah wafatnya nabi ialah Ali. Ali adalah guru yang
ulung. Alilah yang mewarisi segala pengetahuan yang ada pada nabi, Ali adalah manusia yang
mempunyai ciri-ciri istimewa, Ali dianggap mashum dari kesalahan.oleh karena itu, menurut mereka
menaati dan mempercayai Ali termasuk rukun iman juga.
Sesudah Ali kekhalifahan itu turun-temurun kepada anak cucunya dan ini seolah merupakan ketetapan
Allah, tetapi dalam menentukan keturunan itu timbul pula perbedaan pendapat. Ali mempunyai anak,
Hasan dan Husein. Hasan dan Husein memiliki keturunan beberapa orang pula, akhirnya timbul
pertikaian, kepada siapa jatuh kekhalifahan itu. Akibatnya lahir lah beberapa golongan seperti Az-
Zaidiyah, Al-Imamiyah (Al-istna Asyriyah), Al-Ismailliyah.
Aliran Syiah memiliki pandangan sebagai berikut:
1. Tauhid. Golongan Syiah percaya sepenuhnya kepada Allah, bahwa Allah itu Maha Esa.
2. Keadilan. Golongan syiah percaya bahwa allah itu maha adil, konsep keadilan golongan syiah sama
dengan ajaran mutazilah.
3. Kenabian. Keyakinan syiah terhadap kenabian tidak berbeda dengan pemikiran muslim lainnya antara
lain:
a. Jumlah nabi dan Rosul yang di utus Allah berjumlah 124 ribu
b. Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad SAW.
c. Nabi Muhammad adalah nabi yang mashum atau suci dari aib apapun.
d. Istri-istri nabi tergolong orang yang suci dan terhindar dari keburukan.
e. Al-Quran merupakan mukjizat nabi yang kekal.
5. Aliran Khawarij
Khawarij ini timbul setelah perang Shifin antara Ali dan Muawiyah. Peperangan itu di akhiri dengan
gencatan senjata, untukmengadakan perundingan antara kedua belah pihak. Golongan Khawarij adalah
pengikut Ali, yang tidak setuju dengan adanya gencatan senjata dan perudingan itu.
Seorang yang bernama Abu Muslim Al- Khurasani, dapat mempengaruhi golongan ini untuk
menggulingkan pemerintahan Muawiyah di Parsi. Setelah Khawrij ini berkembang selama dua abad,
datang pulalah saat runtuhnya, yang akhirnya lenyap sampai sekarang. Pada masa jayanya, dalam aliran
ini timbul beberapa perpecahan. Tetapi dalam beberapa pandangan pokoknya, tetap pada pendirian
yang sama, yaitu:
a. Ali, ustman dan orang-orang yang turut dalam perang jamal, dan orang-orang yang setuju adanya
perundingan antara Ali dan Muawiyyah, semua di hukumkan oarang-orang kafir.
b. Setiap umat Muhammad yang terus-menerus membuat dosa besar,hingga matinya belum tobat,
orang itu dihukumkan kafir dan akan kekal di neraka.
c. Boleh keluar dan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila ternyata kepala negara itu
seorang yang zalim dan khianat.
Beberapa golongan khawarij antara lain:
a. Golongan Azariqoh
Menurut mereka, bahwa orang yang tidak sefaham dengan mereka tergolong orang yang musyrik,
Azariqoh tidak akan mengembalikan benda-benda amanah golongan-golongan lain. Negara ataupun
daerah yang diduduki oleh lain dari Azariqoh, dihukumkan negara kafir atau daerah kafir.
b. Golongan Ibadhiyah
Golongan ini berpendapat, bahwa haram memakan makanan Ahli kitab. Hal ini bertentangan dengan
golongan islam lainnya yang membolehkan memakan makanan ahli kitab. Mereka mewajibkan
mengqodho puasa, kepada orang yang bermimpi dalam keadaan berpuasa saat tidur siang pada bulan
Romadhon.
Adapun golongan khawarij yang dianggap keluar islam adalah sebagai berikut:
a. Golongan Yazidiyah
Golongan ini menyatakan, bahwa seseorang laki-laki boleh mengawini cucu perempuannya, baik dari
anaknya yang laki-laki maupun dari anak yang perempuan. Alasannya, bahwa al-quran tidak
menyebutkan mereka seorang yang di nikahi.
b. Golongan Maymuniah
Ada yang meriwayatkan bahwa golongan ini mengingkari adanya surat Yusuf dalam Al-Quran.
c. Golongan Syabibiyah
Golongan ini membolehkan wanita menjadi kepala negara atau imam,asal saja bekerja untuk
kepentingan rakyat dan tidak bekerja sama dengan golongan-golongan yang bukan Syabibiyah.
6. Aliran Murjiah
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijriyah. Dinamai Murjiah karena sesuai dengan
makna istilah tersebut yaitu menunda atau mengembalikan. Mereka berpendapat, bahwa orang-orang
mukmin yang berbuat dosa besar hingga matinya tidak juga tobat, orang itu belum dapat kita hukumi
sekarang, tersaerah atau di tunda serta di kembalikan saja urusannya kepada Allah kelak pada hari
kiamat. Jadi, pendapat ini adalah kebalikan dari faham Khawarij.
Ada dua pokok ajaran yang dianut oleh aliran ini, yaitu:
a. Pengakuan iman seseorang cukup di hati saja, tidak di tuntut membuktikan keimanannya dengan
perbuatan.
b. Selama meyakini dua kalimah syahadat, seorang muslim yang berbuat dosa besar tidak tergolong
kafir. Hukuman terhadap perbuatan ini ditangguhkan di akhirat dan hanya Allah yang berhak
menghukumnya.
7. Aliran Jabaryah
Golongan ini adalah gerakan yang menentang Qodariyah. Pendirinya yaitu Jaham bin Shafwan. Jaham,
selain penggerak Jabariyah juga seorang pemimpin gerakan yang mengatakan bahwa Allah tidak
mempunyai sifat. Menurut Jaham, Allah hanyalah mempunyai zat saja. Walaupun terdapat ayat yang
menyebutkan sifat-sifat Tuhan seperti sama,bashor,kalam dan sebagainya.
Terhadap Al-Quran, ia berpendapat bahwa Al-Quran itu adalah makhluk Allah yang dibuat (baru). Allah
tidak mungkin dapat terlihat oleh manusia, walaupun di akhirat kelak.
Tentang surga dan neraka, kelak sesudah manusia semuanya masuk kedalamnya dan sesudah
merasakan pembalasan bagaimana nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah
surga dan neraka itu.
Golongan ini mendapat tantangan yang hebat dari golongan-golongan dan ulama-ulama di luar
Jabariyah, yang menolak dan memberantas paham tersebut.
8. Aliran Qodariyah
Menurut mereka, usaha dan gerak perbuatan manusia di timbulkan sendiri, bukan dari Allah. Faham ini
mulanya di anjurkan oleh Mabad Al-Juhainy, Khilan Dimasyqi dan Al-Jadu bin Dirham. Ketiga tokoh ini
hidup pada zaman Daulah Umayah dan ketiganya mati terbunuh.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dilakukan di atas, kesalahan yang telah dilakukan oleh para mutakalimin
diantaranya adalah, pertama, dalam berargumentasi, metode ini bersandar kepada asas mantiq atau
logika bukan bersandar pada hal yang bersifat indrawi.Yang kedua adalah mereka membahas berbagai
perkara diluar dari fakta yang dapat diindra melampaui kepada batas perkara yang tidak dapat
diindra.Ketiga, mutakallimin telah memberikan kepada akal kebebasan untuk membahas segala sesuatu,
baik perkara yang dapat diindra maupun perkara yang tidak dapat diindra.Keempat, metode
mutakallimin telah menjadikan akal sebagai asasuntuk membahas persoalan apapun tentang keimanan,
mereka akhirnya menjadikan akal sebagai asas bagi al-Quran, dan bukan sebaliknya, menjadikan al-
Quran sebagai asas bagi akal. Terakhir, para mutakallimin menjadikan pertentangan para filsuf sebagai
asas dalam pertentangan mereka, mereka terjebak dengan menjadikan aqidah sebagai topik
pembahasan yang bersifat teori dan polemik dan tidak lagi menjadikannya sebagai sebagai topik dawah
dan landasan dalam memahami Islam dan mereka tidak berhenti pada batas-batas yang telah
ditetapkan.
Metode mereka ini bertentangan dengan metode al-Quran, karena al-Quran hanya membahas tentang
alam semesta, mengenai benda-benda yang ada, tentang bumi, matahari, bulan, bintang, binatang,
manusia, segala makhluk melata, unta, gunung dan lainnya yang termasuk perkara yang dapat
diindra.Dari situ mampu menjadikan seseorang sadar tentang adanya pencipta segala yang ada yang
diperoleh melalui pengindraannya terhadap segala sesuatu yang ada. Tatkala membahas sesuatu yang
ada dibalik alam semesta, maka al-Quran mensifatinya sebagai fakta dan menetapkannya sebagai suatu
fenomena seraya memerintahkan mengimaninya dengan perintah yang pasti.Dan al-Quran tidak
memerintahkan hamba untuk memikirkannya lebih jauh.Inilah metode yang difahami oleh para
sahabat.Wallahu alamu bishawab.