Você está na página 1de 5

SEJARAH PERTUMBUHAN EJAAN DI INDONESIA A.

Definisi dan Macam-macam Ejaan Ejaan adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana ucapan atau apa yang dilisankan oleh seseorang ditulis dengan perantara lambang-lambang atau gambargambar bunyi. Jadi,apa yang kita kenal sekarang sebagai huruf dan abjad adalah gambar-gambar yang menyatakan suatu bunyi. Dalam ilmu bahasa bunyi tersebut disebut bahasa atau fonem. Menurut kenyataan tidak semua bunyi dapat digambarkan dengan lambang bunyi, sedangkan lambang-lambang bunyi yang telah ada pun tidak dapat mewakili seluruh isi bunyi yang diwakili. Ejaan atau yang sering disebut tulisan itu hanyalah semata-mata merupakan alat untuk mempermudah hubungan antara pembicara dengan yang diajak bicara. Pernyataan gambar-gambar bunyi harus memperoleh persetujuan bersama terlebih dulu dengan masyarakat bahasanya, malahan mungkin pula negara tempat bahasa itu ikut campur tangan dengan mengeluarkan suatu keputusan untuk mengesahkan pemakaian lambang-lambang bunyi atau ejaan itu diseluruh negara. Demikian pula yang terjadi di negara Indonesia dalam memperoleh keseragaman penggunaan ejaan diseluruh negara. Ejaan yang dimaksud adalah ejaan dengan huruf Latin untuk menuliskan bahasa Indonesia. Ejaan yang pernah ada, ejaan yang digunakan pada waktu ini, dan ejaan yang pernah direncanakan di negara Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Ejaan Ophuysen (1901); 2. Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik (1947); 3. Ejaan Pembaharuan Bahasa Indonesia atau Ejaan Prijono-Katoppo (1956); 4. Ejaan Melindo (Melayu Indonesia) (1959); 5. Ejaan Baru Bahasa Indonesia atau Ejaan Bahasa Indonesia LBK (LBK= Lembaga Bahasa dan Kesusastraan) (1966);dan 6. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) (1972). Uraian Singkat 1. Ejaan Ophuysen Sebelum tahun 1901 bahasa Melayu masih ditulis dengan huruf Arab Melayu. Di samping itu, karena pengaruh bahasa Belanda yang ditulis dengan huruf Latin, maka pada beberapa daerah di Indonesia bahasa Melayu ada yang sudah ditulis denagan huruf Latin. Namun pemakaian huruf Latin ini mempunyai perbedaan antara daerah yang satu dengan yang lain sehingga tidak terdapat keseragaman dan kesatuan. Atas prakarsa pemerintah Hindia Belanda, maka pada tahun 1902 Charles Adrian van Ophuysen (1856-1971), seorang yang banyak pengetahuannya tentang bahasa Melayu, dengan tugas pemerintah berhasil menciptakan sebuah ejaan dalam huruf Latin untuk menuliskan bahasa Melayu. Hasil pemikirannya yang disahkan oleh pemerintah dimuat dalam karangannya Kitab Logat Melayu pada tahun 1901. Sejak tahun 1901 itulah baru timbul keseragaman ejaan untuk menuliskan bahasa Melayu.

2. Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik Setelah beberapa tahun Ejaan Ophuysen digunakan di Indonesia, maka barulah akhirnya terlihat adanya beberapa kekurangannnya. Kekurangan itu terutama terdapat dalam fonem-fonem yang merupakan fonem asing yang tidak dikenal dalam bahasa Melayu/bahasa Indonesia,umpama fonem: ain dan hamzah. Dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo yang berlangsung pada tanggal 25 sambai 28 Juni 1938 timbul gagasan untuk menyempurnakan dan mengadakan perbahan terhadap Ejaan Ophuysen. Dalam kongres tersebut diusulkan agar ejaan baru sebagai pengganti Ejaan Ophuysen hendaklah merupakan ejaan kombinasi yang diambil dan berasal dari berbagi bahasa daerah di Indonesia. Gagasan tersebut mengalami kegagalan. Baru pada tanggal 1 April 1947 (dengan surat keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan; dhi. Mr. Soewandi, tanggal 19 Maret 1947, no. 264/Bhg. A. Dan dengan surat keputusan perubahannyatanggal 15 April 1947, no.345/Bhg.A) ajaan baru dengan huruf Latin untuk bahasa Indonesia sebagai hasil pembaharuan Ejaan Ophuysen sudah harus dgunakan untuk surat-menyurat oleh semua bagian, jawatan, dan sebagainya yang masuk dalam lingkungan Kementerian Dalam diktum no.2 diputuskan pula bahwa ejaan baru sekolah pada permulaan tahun ajaran 1947/1948. Ejaan baru ini kemudian terkanal dengan judul Ejaan Republik (Indonesia) atau Ejaan Soewandi karena jabatan Menteri PKK pada waktu itu ada di tangan Mr. Soewandi. Ejaan baru itu sesungguhnya adalah Ejaan Ophuysen juga, sedang dalam Ejaan Soewandi nyatanya hanya disederhanakan dengan perubahan kecil yang dianggap akan berguna dalam pemakaian praktis. Jadi, dasar tolak Ejaan Republik ini adalah ejaan bahasa Belanda pula sebagai dasar tolak juga dalam Ejaan Ophuysen. 3. Ejaan Pembaharuan Bahasa Indonesia atau Ejaan Prijono-Katoppo Prasaran/prae-advies Prof.Dr.Prijono, Dasar-dasar Ejaan Bahasa Indonesia dengan Huruf Latin yang diucapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia (II) di Medan pada tahun 1954 diterima baik oleh kongres untuk mengadakan penyempurnaan ejaan bahasa Indonesia. Penyempurnaan ini dilakukan karena dalam Ejaan Republik terdapat beberapa unsur yang kurang dapat dipertanggungjawabkan menurut ilmu pengetahuan ejaan. Lain daripada itupun kurang pula dapat menggambarkan keadaan kodrati bahasa Indonesia sendiri. Dalam hasil kerja panitia ini telah memperoleh beberapa kemajuan dalam pembaharuan ejaan untuk bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Teori ejaan yang dikemukakan bertegak di atas satu fonem satu tanda. Mungkin karenabeberapa kesulitan, terutama dalam bidang biaya untuk merombak mesin tik yang telah ada di Indonesia, atau untuk membeli mesin tik baru,

serta kesulitan-kesuliatan yang lain, maka pemakaian hasil Ejaan Pembaharuan ini tidak sempat diresmikan. 4. Ejaan Melindo Dalam pertemuan yang diselenggarakan pada tanggal 4 Desember sampai 7 Desember 1959, maka keputusan bersama Panitia Pelaksanaan Kerja Sama bahasa Melayu-Bahasa Indonesia; jelasnya keputusan antara utusan pemerintah dengan Jawatan Kuasa Ejaan Rumi Bharu Persekutuan Tanah Melay, masing-masing diketuai oleh Prof.Dr. Slametmuljana dan Syed Masir bin Ismail, berhasil melahirkan pengumuman bersama Ejaan Bahasa Melayu Indonesia, disingkat Melindo. Dalam pengumuman bersama itu ditetapkan bahwa pemakaian Ejaan Melindo akan diresmikan di wilayah kedua pemerintah masing-masing selambat-lambatnya pada bulan Januari 1962. Tetapi perkembangan hubungan politik yang kurang baik antara kedua pemerintah itu yang membatalkan peresmian tersebut. Dasar pemikiran Ejaan Melindo sejajar dengan Ejaan Pembaharuan yaitu kedua-duanya bertegak di atas satu fonem satu tanda. Namun, Ejaan Melindo senasib dengan Ejaan Pembaharuan. Beberapa huruf dalam mesin tik harus mengalami perombakan pula yang tidak sedikit makan ongkos dan biaya. Lain daripada itu ada beberapa rumpang sela yang kurang dapat dipertanggungjawabkan menurut ilmu pengetahuan, walaupun sudah ada beberapa kemajuan yang terledepankan. 5. Ejaan Baru Bahasa Indonesia atau Ejaan Bahasa Indonesia LBK Pada tanggal 7 Mei 1966 Lembaga Bahasa dan Kesusastraan atau LBK membentuk sebuah panitia yang akan bergerak dalam penyusunan ejaan baru bahasa Indonesia. Ejaan baru tersebut akan diusahakan untuk lebih dapat memenuhi selera semua perkembangan sosial budaya masyarakat bahasa Indonesia. Usaha serta keinginan LBK menciptakan ejaan baru atau usaha untuk memperbaiki Ejaan Soewandi yang masih sedang digunakan di Indonesia berasas pada dasar pikiran: a. Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang ilmu bahasa, yang memberikan patokan baru bagi penyusunan ejaan yang baik yang dapat dipertanggungjawabkan; b. Ejaan Soewandi kurang dapat mencerminkan kodrat bahasa Indonesia; c. Peranan bahasa Indonesia yang akan mempunyai kedudukan penting di dunia, terutama di Asia Tenggara; d. Kondifikasi pemakaian huruf dan tanda baca di seluruh negara; e. Pentingnya pengajaran membaca dan menulis. Dasar perbandingan panitia adalah Ejaan Pembaharuan 1956ndan Ejaan Melindo 1959; jadi, bertegak pula pada sistem satu fonem satu tanda. Bagi Indonesia semula diharapkan agar mempergunakan Ejaan Baru Bahasa Indonesia sudah akan mulai berlaku dan diresmikan diseluruh wilayah negara Indonesia sebagai satu-satunya ejaan resmi. Nyatanya, masyarakat belum dapat dan belum mau menerima Ejaan Baru Bahasa Indonesia sebagai pengganti Ejaan

Republik. Perubahan ejaan belum dianggap begitu mendesak sehingga belum perlu digegas-gegaskan. B. Beberapa Buah Catatan tentang Ejaan Ophuysen dan Ejaan Soewandi 1. Ejaan Ophuysen a. Kebaikannya 1. Ejaan Ophuysen telah berhasil menghindarkan kesulitan penulisan bahasa Melayu dari huruf Arab-Melayu ke dalam huruf Latin. 2. Huruf Latin ikut serta memperpesat perkembangan bahasa Melayu keseluruh pelosok Nusantara terutama pada tahun-tahun 1990-an. 3. Banyak membantu pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan roda pemerintahan. 4. Membantu penyebaran bahasa-bahasa daerah dengan cara yang lebih luas dengan mencetak buku-buku pelajaran dan buku-buku lain dalam bahasabahasa daerah tersebut dengan huruf Latin. b. Kekurangannya 1. Ejaan Ophuysen terlalu bertegak di atas konsep ejaan bahasa Belanda sehingga kurang memperhatikan kodrat bahasa Melayu dan ilmu pengetahuan ejaan. 2. Memasukkan fonem asing yang bukan merupakan fonem bahasa Melayu seperti: ain, hamzah, z, f, ch, sj, oe, dl, ts sehingga seringkali timbul cara penulisan dan pembacaan yang salah. Contoh:

Hadir sering dibaca had-lir karena kadang-kadang ditulis hadlir () Hasil sering dibaca hat-sil karena kadang-kadang ditulis hatsil ()
3. Tanda trema atau umlaut dipakai untuk memisahkan suku akhir ) pada hal tanda baca tersebut seyogianya digunakan untuk membedakan bunyi. 2. Ejaan Soewandi a. Kebaikannya 1. Lambang oe diubah dengan u yang lebih sesuai dengan ilmu ejaan umum. 2. Menundukkan ucapan kata-kata asing pada kebiasaan ucapan dalam masyarakat-bahasa bahasa Indonesia. Misalnya: export = ekspor Fractie = fraksi 3. Kata-kata asing yang akan dibentuk menjadi kata kerja Indonesia harus dibentuk lebih dahulu menjadi kata benda. Kata-kata itu tiada lebur oleh awalan me- manakala kata-kata itu berawalan dengan fonem k- p- t- s , namun harus ditambah dengan fonem yang homorgan. 4. Kata-kat baru bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa asing tidak perlu disisipi dengan e-pepet kalau dalam bahasa aslinya memang tidak mempergunakan e-pepet. b. Kekurangannya 1. Tidak membedakan e-taling dengan e-pepet sehingga kadang-kadang sukar untuk mengucapkan kata-kata yang jarang dipergunakan sehari-hari.

2. Tidak membedakan k-velar/k-penuh dengan k-laringal atau k-tekak/k-hamzah padahal ada baiknya kalau k-hamzah diganti dengan fonem q sehingga lambang q ini ada fungsinya pula dalam bahasa Indonesia yang ditulis dengan huruf Latin. 3. Tanda trema dibuang begitu saja, padahal masih dapat dipakai untuk membedakan au dan ai sebagai diftong dengan a-u dan a-i yang masing-masing merupakan fonem akhir sebuah suku kata dan fonem permulaan suku kata yang mengikuti. 4. Tanda ulang angka dua diperbolehkan ditulis dalam kata ulang. Dalam hal ini tidak diingat bahwa ada kata yang berulang yang bukan kata ulang yang seyogianya tidak boleh ditulis dengan tanda ulang angka dua. 5. Konsonan rangkap tidak dilambangkan dengan suatu fonem yang lebih dapat dipertanggungjawabkan dalam ilmu ejaan umum seperti dalam rencana Ejaan Pembaharuan dan Melindo. C. Beberapa Buah Catatan tentang Ejaan Bahasa Iindonesia yang Disempurnakan (=EYD) 1. Kebaikannya a. Kalau dibandingkan dengan Ejaan Ophuysen dan Ejaan Soewandi, maka EYD jauh lebih memperoleh kemajuan yang dapat dipertanggungjawabkan pula dari sudut ilmu ejaan umum. b. Aturan-aturan penulisan kata serta huruf, pemakaian huruf, dan tanda baca jauh lebih tegas pula diatur dalam pedoman ejaannya sehingga kemudian akan benar-benar tercipta ketertiban dan keseragaman dalam penulisan bahasa Indonesia. c. Pikiran yang mengarah bahwa pemerintah Republik Indonesia akan banyak mengeluarkan biaya dengan adanya EYD ini, namun nyatanya tidak demikian. Keputusan Presiden No.57/1972 diterima oleh rakyat Indonesia tanpa kegoncangan apapun, walaupumn masyarakat harus belajar dan melatih lagi menulis dalam beberapawaktu lamanya dengan menyesuaikan diri pada pedoman ejaan yang ditetapkan. d. EYD t yang lebih dapat dibenarkan menurutilmu tata bahasa. 2. Kekurangannya a. Masih belum berhasil membedakan penulisan k-velar/k-penuh dengan khamzah. Akan lebih baik bila k-hamzahyang tertulis dengan fonem k diganti dengan fonem q sehingga fonem q yang diakui ada dalam abjad dapat diberi fungsi yang lebih wajar.

Você também pode gostar