Você está na página 1de 8

TRANSPLANTASI ORGAN DAN ASPEK MEDIKOLEGALNYA Djaja Surya Atmadja Departemen Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia Jl. Salemba 6, Jakarta 10430 tel. +21-3106976, fax 021-3154626 e-mail: atmadjkads@yahoo.com PENDAHULUAN Dalam dunia kedokteran timur maupun barat, pada umumnya diyakini bahwa setiap penyakit ada obatnya. Ada penyakit yang dapat diobati dengan hanya pemberian obat yang sederhana, tetapi ada juga yang memerlukan pengobatan yang relatif rumit, seperti transplantasi organ. Seorang yang menderita penyakit gagal ginjal terminal misalnya, hanya punya 3 alternatif pengobatan: yaitu menjalani hemodialisis (cuci darah) secara rutin, melakukan transplantasi ginjal atau meninggal. Untuk pasien ini transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan yang lebih baik dibandingkan melakukan hemodialisis terus menerus. Pada saat ini jumlah pasien gagal ginjal yang membutuhkan transplantasi ginjal di Indonesia mencapai 40.000 orang. Mereka yang menjalani perawatan medis sangat sedikit karena biaya perawatan yang mahal dan jangka panjang. Di Indonesia, transplantasi ginjal pertama kali dilakukan di RSCM pada tahun 1977. Sampai saat ini, hanya 500 pasien yang telah menjalani cangkok ginjal di Indonesia, dimana 200 diantaranya dilakukan di RS PGI Cikini. Donor ginjal di Indonesia semuanya adalah donor hidup dan jumlahnya amat sedikit dibandingkan kebutuhan. Sebagian besar pasien lain ternyata menjalani cangkok ginjal di China, karena jumlah donor yang banyak dan biayanya yang relatif murah. Dengan melakukan transplantasi ginjal, menurut data Transplant Centre Directory sedunia tahun 1992, lama perpanjangan hidup pasien yang menjalani transplantasi ginjal dapat mencapai 29,9 tahun. Sebagai suatu tindakan medis, transplantasi organ memiliki potensi untuk disalahgunakan dan menimbulkan sengketa, sehingga untuk pelaksanaannya dirasakan memerlukan pengaturan bukan hanya dari segi etika, tetapi juga hukum. Pada makalah ini akan dibahas tentang transplantasi, aspek etik dan medfikolegalnya. PENGATURAN HUKUM TRANSPLANTASI Di Indonesia pengaturan hukum transplantasi organ adalah dalam UU No 23/1992 tentang Kesehatan dan PP No. 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis, serta Transplantasi Alat dan Jaringan Tubuh Manusia. PP ini merupakan pelaksanaan dari UU No 9/1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, yang telah dicabut. Akan tetapi PP ini masih tetap berlaku karena berdasarkan pasal 87 UU No 23/1992 tentang Kesehatan, semua peraturan pelasksanaan dari UU No 9/1960 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan UU No. 23/1992.

SEJARAH TRANSPLANTASI ORGAN Sejarah transplantasi modern diawali oleh keberhasilan transplantasi kornea pada tahun 1905. Sejak saat itu berbagai organ mulai ditransplantasikan untuk menggantikan organ yang rusak, meliputi transplantasi kornea, ginjal, paru, jantung, liver, muka, tangan, dan bahkan penis. Tabel 1 dibawah ini menggambarkan perkembangan transplantasi organ dari waktu ke waktu. Tabel 1. Sejarah perkembangan transplantasi organ dari waktu ke waktu Organ Dokter Tahun Keterangan Kornea Eduard Zirm 1905 Memindahkan kornea pada korban kec kerja Paru-paru James Hardy 1960s Resipien: pasien Ca paru Ginjal - 1950 Resipien:Ruth Tucker, Chicago, survive 5 tahun Jantung Christian Barnard 1967 Resipien: Luois Washkansky. Donor jenazah kll Liver Thomas Strazl 1967 Survive 400 hari Tangan - 1998 Resipien: Clint Hallam, New Zealand Uterus 2000 Di Arab Saudi, Resipien: pasien HPP, survive 99 hr Muka 2005 Resipien: Isabelle Dinoire, Perancis korban penyerangan Labrador. Donor: bunuh diri (hanging) Penis 2005 Di China, Resipien: pria 44 tahun kehilangan sebagian penis. Donor: anak muda, 23 tahun, MBO TUJUAN TRANSPLANTASI Transplantasi organ merupakan suatu tindakan medis memindahkan sebagian tubuh atau organ yang sehat untuk menggantikan fungsi organ sejenis yang tidak dapat berfungsi lagi. Transplantasi dapat dilakukan pada diri orang yang sama (auto transplantasi), pada orang yang berbeda (homotransplantasi) ataupun antar spesies yang berbeda (xeno-transplantasi). Transplantasi organ biasanya dilakukan pada stadium terminal suatu penyakit, dimana organ yang ada tidak dapat lagi menanggung beban karena fungsinya yang nyaris hilang karena suatu penyakit. Pasal 33 UU No 23/1992 menyatakan bahwa transplantasi merupakan salah satu pengobatan yang dapat dilakukan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Secara legal transplantasi hanya boleh dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan tidak boleh dilakukan untuk tujuan komersial (pasal 33 ayat 2 UU 23/ 1992). Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa organ atau jaringan tubuh merupaka anugerah Tuhan YME sehingga dilarang untuk dijadikan obyek untuk mencari keuntungan atau komersial. TENAGA KESEHATAN YANG BERWENANG Di Indonesia transplantasi hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan, yang melakukannya atas dasar adanya persetujuan dari donor maupun ahli warisnya (pasal 34 ayat 1 UU No. 23/1992). Karena transplantasi organ

merupakan tindakan medis, maka yang berwenang melakukannya adalah dokter. Dalam UU ini sama sekali tidak dijelaskan kualifikasi dokter apa saja yang berwenang. Dengan demikian, penentuan siapa saja yang berwenang agaknya diserahkan kepada profesi medis sendiri untuk menentukannya. Secara logika, transplantasi organ dalam pelaksanaannya akan melibatkan banyak dokter dari berbagai bidang kedokteran seperti bedah, anestesi, penyakit dalam, dll sesuai dengan jenis transplantasi organ yang akan dilakukan. Dokter yang melakukan transplantasi adalah dokter yang bekerja di RS yang ditunjuk oleh Menkes (pasal 11 ayat 1 PP 18/1981). Untuk menghindari adanya konflik kepentingan, maka dokter yang melakukan transplantasi tidak boleh dokter yang mengobati pasien (pasal 11 ayat 2 PP 18/1981) SYARAT PELAKSANAAN TRANSPLANTASI Pada transplantasi organ yang melibatkan donor organ hidup, pengambilan organ dari donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan. Pengambilan organ baru dapat dilakukan jika donor telah diberitahu tentang resiko operasi, dan atas dasar pemahaman yang benar tadi donor dan ahli watis atau keluarganya secara sukarela menyatakan persetujuannya (pasal 32 ayat 2 UU No. 23/1992) Syarat dilaksanakannya transplantasi adalah: 1. Keamanan: tindakan operasi harus aman bagi donor maupun penerima organ. Secara umum keamanan tergantung dari keahlian tenaga kesehatan, kelengkapan sarana dan alat kesehatan 2. Voluntarisme: transplantasi dari donor hidup maupun mati hanya bisa dilakukan jika telah ada persetujuan dari donot dan ahli waris atau keluarganya (pasal 34 ayat 2 UU No. 23/1992). Sebelum meminta persetujuan dari donor dan ahli waris atau keluarganya, dokter wajib memberitahu resiko tindakan transplantasi tersebut kepada donor (pasal 15 PP 18/1981). TRANSPLANTASI DARI DONOR JENAZAH Dari segi etika, transplantasi dari donor jenazah tidak mempunyai masalah dari segi etika dan moral. Paus Pius XII pada tahun 1956 menyatakan : Seorang mungkin berkehendak untuk mendonorkan tubuhnnya dan memperuntukkannya bagi tujuantujuan yang berguna, yang secara moral tidak tercela, bahkan luhur, diantaranya adalah keinginan untuk menolong orang yang sakit dan menderita. Seseorang dapat membuat keputusan akan hal ini dengan hormat terhadap tubuhnya sendiri dan dengan sepenuhnya sadar akan penghormatan yang pantas untuk tubuhnya. Keputusan ini hendaknya tidak dikutuk, melainkan sungguh dibenarkan. Pada dasarnya berbagai organ tubuh dari seorang yang meninggal dunia dapat digunakan untuk menolong menyelamatkan atau memperbaiki hidup orang lainnya yang masih hidup. Dengan demikian transplantasi adalah baik secara moral dan bahkan patut dipuji. Donor wajib memberikan persetujuannya dengan bebas dan penuh kesadaran sebelum wafatnya atau keluarga terdekat wajib melakukannya pada saat kematiannya. Transplantasi organ tidak dapat diterima secara moral kalau pemberi atau yang bertanggungjawab untuk dia TIDAK memberikan persetujuan

dengan penuh kesadaran. Dalam hal pengambilan organ dari jenazah dikenal ada 2 sistem yang diberlakukan secara nasional 1. Sistem izin (toestemming system): sistem ini menyatakan bahwa transplantasi baru dapat dilakukan jika ada persetujuan dari donor sebelum pengambilan organ. Indonesia menganut sistem ini. 2. Sistem tidak berkeberatan (geen bezwaar system): dalam sistem ini transplantasi organ dapat dilakukan sejauh tidak ada penolakan dari pihak donor. Tidak adanya penolakan dari donor, dalam sistem ini, ditafsirkan sebagai donor tidak keberatan dilakukan pengambilan organ Pasal 14 PP No 18/1981 menyatakan bahwa pengambilan organ dari korban yang meninggal dunia dilakukan atas dasar persetujuan dari keluarga terdekat. Dalam keluarga terdekat tidak ada, maka keluarga jenazah harus diberitahu. Jika setelah lewat 2 x 24 jam keluarga tidak ditemukan, maka dapat dilakukan pengambilan organ tanpa izin keluarga. Pengaturan ini tidak bermanfaat banyak dalam praktek, karena setelah lewat waktu tersebut, organ sudah membusuk dan tidak dapat digunakan lagi, kecuali jika kesegaran jaringan dipertahankan dengan tetap mempertahankan sistem sirkulasi dan pernapasan dengan alat bantu penopang hidup. PENENTUAN SAAT KEMATIAN Pada transplantasi organ dari jenazah, penentuan saat kematian merupakan isyu yang sangat penting. Keberhasilan transplantasi jenis ini sangat tergantung pada kesegaran organ, artinya operasi harus dilakukan sesegera mungkin setelah donor meninggal. Namun demikian, donor tidak boleh dinyatakan meninggal secara dini atau kematiannya dipercepat agar organ tubuhnya dapat segera dipergunakan. Kriteria moral menuntut bahwa donor harus sudah meninggal dunia sebelum organorgan tubuhnya dipergunakan untuk transplantasi. Untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan, saat kematian hendaknya ditetapkan oleh dokter yang mendampingi donor pada saat kematiannya, atau jika tidak ada, dokter yang menyatakan kematiannya. Dokter tersebut tidak diperkenankan ikut ambil bagian dalam prosedur pengambilan atau transplantasi organ. Dalam kaitan dengan hal tersebut diatas, maka definisi mati menjadi penting. Pasal 1g PP 18/1981 menyatakan bahwa mati adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Secara medis definisi tersebut sudah lama ditinggalkan karena kematian yang dianut saat ini adalah mati batang otak. Mati batang otak merupakan kematian yang paling mudah dideteksi, karena untuk mendeteksinya tidak diperlukan peralatan yang canggih. Adanya kematian batang otak ditandai oleh adanya gangguan pada refleks pupil terhadap cahaya, refleks mata boneka, refleks kornea, EEG, TCD (untuk mengecek adanya aliran darah ke otak). Penentuan kematian harus dilakukan oleh dua orang dokter yang tidak ada sangkut pautnya dengan dokter yang akan melakukan transplantasi (pasal 12 PP No 18/1981) TRANSPLANTASI DARI DONOR HIDUP

Transplantasi organ dari donor hidup mendatangkan lebih banyak permasalahan dari segi etika dan moral. Keberhasilan transplantasi ginjal yang pertama kali pada tahun 1954 telah menimbulkan perdebatan sengit di kalangan para teolog. Debat tersebut berfokus pada prinsip totalitas, yang menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu seseorang diperkenankan mengorbankan salah satu bagian atau salah satu fungsi tubuhnya demi kepentingan seluruh tubuh. Sebagai contoh, seseorang diperkenankan mengangkat rahimnya yang terserang kanker demi memelihara kesehatan seluruh tubuhnya. Sebagian teolog berargumen, bahwa seseorang tidak dibenarkan mengangkat suatu organ tubuhnya yang sehat dan mendatangkan resiko masalah kesehatan di masa mendatang, dengan mendonorkan satu ginjalnya yang sehat untuk orang yang membutuhkan. Operasi ytang demikian menurut mereka mendatangkan pengudungan (amputasi) yang tidak perlu atas tubuh dan karenanya merupakan tindakan amoral. Di pihal ada lain ada teolog yang pro transplantasi. Mereka berpendapat bahwa orang sehat yang mendonorkan sebuah ginjalnya untuk orang lain yang membutuhkan, sebenarnya melakukan tindakan pengorbanan yang sejati demi menyelamatkan nyawa orang lain. Bagi mereka tindakan tersebut sesuai dengan ajaran yang menyatakan bahwa Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yoh 15: 12-13). Menurut meraka pengorbanan yang demikian, secara moral dapat diterima apabila resiko celaka pada donor, yang mungkin terjadi akibat operasi maupun akibat kehilangan organ tubuh, proporsional dengan manfaatnya bagi si penerima. Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa meskipun transplantasi organ tubuh dari donor hidup tidak melindungi keutuhan anatomis atau fisik (yakni adanya kehilangan suatu organ tubuh yang sehat), namun sungguh memenuhi totalitas fungsional (yakni terpeliharanya fungsi dan sistem tubuh sebagai suatu kesatuan). Dengan demikian, seorang yang mendonorkan satu ginjalnya yang sehat dan ia masih dapat memelihara kesehatannya dan fungsi tubuhnya dengan satu ginjal yang tersisa, maka tindakan donor yang demikian secara moral dapat diterima. Dengan alasan yang sama, maka seseorang tidak dapat mengorbankan satu matanya untuk diberikan kepada seorang buta, sebab tindakan tersebut mengganggu fungsi tubuhnya. Gereja Katolik sendiri setuju dengan pemahaman belas kasihan dengan penafsiran prinsip totalitas yang lebih diperluas. Paus Pius XII menggaris bawahi bahwa donor mempersembahkan korban diri demi kebaikan orang lain. Paus Paulus II menyatakan bahwa setiap transplantasi organ tubuh bersumber dari keputusan yang bernilai luhur, yakni keputusan untuk memberi satu bagian dari tubuhnyha sendiri tanpa imbalan demi kesehatan dan kebaikan orang lain. Disinilah tepatnya terletak keluhuran tindakan ini, suatu tindakan yang merupakan tindakan kasih sejati. Bukan sekedar memberikan sesuatu yang adalah milik kita, melainkan memberikan sesuatu yang adalah diri kita sendiri. (Amanat kepada partisipan Kongres Transplantasi Organ, 20 Juni 1991, No 3). Transplantasi organ dari donor hidup wajib memenuhi 4 persyaratan:

1. Resiko yang dihadapi oleh donor harus proporsional dengan manfaat yang didatangkan oleh tindakan tersebut atas diri penerima 2. Pengangkatan organ tubuh tidak boleh mengganggu secara serius kesehatan donor atau fungsi tubuhnya 3. Perkiraan penerimaan organ tersebut oleh penerima 4. Donor wajib memutuskan dengan penuh kesadaram dan bebas, dengan mengetahui resiko yang mungkin terjadi LARANGAN DAN SANKSI HUKUM Pelanggaran terbanyak atas aturan internasional adalah jual beli organ dalam rangka transplantasi organ. Jual beli organ terjadi akibat tidak seimbangnya kebutuhan (need) dan penawaran (demand) organ untuk keperluan transplantasi. Dalam kaitan dengan isyu ini, China dianggap sebagai negara pelanggar terbesar. Sejak beberapa dekade terakhir, transplantasi organ merupakan penyumbang devisa negara China yang amat besar. Besarnya suplay organ, yang kebanyakan diperoleh dari narapidana tereksekusi, menyebabkan banyak orang berbondong-bondong mencari organ di China. Pencarian organ yang bisa memakan waktu berbelas tahun di negara lain, dapat diperoleh di China hanya dalam waktu beberapa minggu. Banyaknya suplay, tingginya ketrampilan dokter dan harganya yang relatif terjangkau membuat China menjadi tujuan pertama pasien-pasien yang memerlukan donor organ. Ada kecurigaan, sejak tahun 2001 China telah melakukan pelanggaran Hak Azasi Manusia karena telah mengeksekusi secara sengaja para pengikut Falun Gong yang dipenjara, untuk diambil organ tubuhnya. Organ-organ ini lalu dijual kepada pasien yang membutuhkan dengan mengambil keuntungan besar (laporan David Kilgour dan David Matas, 2007). Dalam beberapa tahun terakhir transplantasi ginljal di China mencapay 41.500 kasus. Berkaitan dengan hal ini, maka pada Istambul Summit yang diadakan pada pertengahan tahun 2008, dan dihadiri oleh 150 orang perwakilan ilmiah dan dokter dari 78 negara, pegawai pemerintah, ilmuwan sosial dan pakar etika, semua menyatakan ikrar untuk menentang organ trafficking (penjualan organ manusia), komersialisasi transplantasi (pengobatan organ sebagai komoditas) dan transplant tourisme (turisme dalam rangka penyediaan organ untuk pasien dari negara lain) Dalam hukum di Indonesia, pada prinsipnya ada beberapa larangan: 1. Larangan komersialisasi organ atau jaringan tubuh: Pasal 16 PP 18/1981 menyatrakan bahwa donor dilarang menerima imbalan material dalam bentuk apapun. Pasal 80 ayat 3 UU No 23/1992 menyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau tranfusi darah dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak 300 juta rupiah. 2. Larangan pengiriman dan penerimaan organ jaringan dari dan keluar negeri (pasal 19 PP No. 18/1981) PENUTUP

Pada prinsipnya transplantasi organ merupakan suatu tindakan mulia, dimana seorang donor memberikan sebagian tubuh atau organ tubuhnya untuk menolong pasien yang mengalami kegagalan fungsi organ tertentu. Transplantasi organ dari donor hidup pada prinsipnya hanya boleh dilakukan jika ada informed consent dari donor, dengan memperhatikan resiko donor, efektifitas pendonoran organ, kemungkinan keberhasilan pada penerima dan tidak adanya unsur jual beli atau komersialisasi di dalamnya. Transplantasi dari donor jenazah dimungkinkan dilakukan di Indonesia dengan dasar prinsip Izin, artinya pengambilan organ dari tubuh jenazah hanya boleh dilakukan jika donor dan keluarganya memberikan persetujuan sebelumnya, setelah mendapatkan informasi yang cukup. Dalam hal keluarga tidak ada setelah pencarian 2 x 24 jam, maka korban dianggap tidak dikenal dan dokter diperkenankan mengambil organ jenazah untuk transplantasi organ. Pemanfaatan organ jenazah semacam ini hanya bisa dilakukan jika korban sudah dinyatakan mengalami mati batang otak, dan kesegaran organnya dijaga dengan mempertahankan sirkulasi dan pernapasannya pasca meninggal dengan bantuan alat penopang kehidupan. Sulitnya prosedur ini menyebabkan semua donor organ dari Indonesia adalah donor hidup. Meskipun secara legal Indonesia bersama negara lain menentang organ trafficking (penjualan organ manusia), komersialisasi transplantasi (pengobatan organ sebagai komoditas) dan transplant tourisme (turisme dalam rangka penyediaan organ untuk pasien dari negara lain), tetapi yang memiliki sanksi pidana hanyalah tindakan transplantasi organ yang dilakukan secara komersial. Di lapangan aturan ini juga sulit ditegakkan karena belum ada batasan yang tegas antara yang komersial dan tidak komersial. DAFTAR PUSTAKA 1. Undang-undang No. 23 tahun 1992 ttentang Kesehatan 2. Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 tentang Otopsi Anatomi, Otopsi Klinik dan Transplantasi Alat dan Jaringan Tubuh Manusia 3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis 4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 tahun 2008 tentang Rekam Medis 5. Herkutanto. Aspek medikolegal pengambilan jaringan kadaver. Simposium dan workshop tissue organ banking dan trauma. Jakarta, 19-20 Oktober 1995 6. Mungkinkah hidup hanya dengan satu ginjal. Diunduh dari www.sinarharapan.com tanggal 31/10/2006. 7. Lifestyle: transplant 101. Diunduh dari www.malaysiantoday.com.my tanggal 11/10/2007. 8. Organ Pillaging in China. Diunduh dari www.tw-scie.com tanggal 21/10/2008. 9. Saunders WP. Straight Answers: Organ Transplants and Cloning. Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas izin The Arlington Catholic Herald. tanggal 21/10/2008 10. Dahlan Siap Donorkan Semua Organ. Indo Pos, Senin, 20 Oktober 2008 11. Sistem Donasi Ginjal perlu dibangun. Kompas . Jumat 13 Oktober 2006

12. Tessy A. Transplantasi Ginjal di Indonesia Sekarang. J Mnedika Nusantara 2005:26 (3)

Você também pode gostar

  • Pengesahan Dan SK
    Pengesahan Dan SK
    Documento2 páginas
    Pengesahan Dan SK
    Ardhi
    Ainda não há avaliações
  • Besar Sampel
    Besar Sampel
    Documento1 página
    Besar Sampel
    Ardhi
    Ainda não há avaliações
  • Besar Sampel
    Besar Sampel
    Documento1 página
    Besar Sampel
    Ardhi
    Ainda não há avaliações
  • 73 262 1 PB
    73 262 1 PB
    Documento9 páginas
    73 262 1 PB
    sigitp20
    Ainda não há avaliações
  • Foolove
    Foolove
    Documento1 página
    Foolove
    Ardhi
    Ainda não há avaliações
  • Foolove
    Foolove
    Documento1 página
    Foolove
    Ardhi
    Ainda não há avaliações
  • Foolove
    Foolove
    Documento1 página
    Foolove
    Ardhi
    Ainda não há avaliações