Você está na página 1de 3

SARJANA (TIDAK) WAJIB PUNYA KARYA ILMIAH Oleh. M. Ali Mubarak, S.Sos.

I, SIP, MSI

Pada tahun 1980an Ezra Vogel, seorang intelektual Amerika lulusan Harvard University, menerbitkan sebuah buku dengan judul Japan as number one. Buku ini berisi pujian seorang Vogel terhadap Jepang atas keberhasilannya dalam bidang industri elektronik dan otomotif, bahkan mampu melampaui USA hanya dalam tempo kurang dari 25 tahun. Penting dicatat, ini bukan masalah kemajuan dan hasil yang didapat, tapi lebih kepada proses bagaimana mencapai keberhasilan tersebut. Vogel menyebutkan suatu terminologi sakti yang selama bertahun-tahun diterapkan sebagai suatu kebijakan internal di Jepang yaitu Information Minded & Well Information Society. Pada tahun 1976 pertumbuhan media cetak yang tersebar di Jepang tirasnya bahkan 2x jumlah penduduk Jepang dan terus bertambah. Bahkan lebih dari 30.000 buku baru diterbitkan dalam setiap tahun. Singkatnya, masyarakat Jepang sudah sejak lama lapar terhadap yang namanya informasi. Pengalaman masyarakat Jepang ini dapat kita jadikan pelajaran berharga. Tentu nilai positif yang harus diambil. Jika kebijakan internal di Jepang telah lama diterapkan, di negeri kita malah baru mulai dengan sebuah kebijakan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) beberapa waktu lalu yang mewajibkan setiap mahasiswa mempublish karya tulis pada jurnal ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan. Sejenak, mari kita rewind perjalanan pendidikan di negeri ini. Di prov. Jambi khususnya, berapa banyak kita temukan mahasiswa ataupun para sarjana yang memiliki karya tulis? apakah sistem dalam pendidikan tinggi kita selama ini menerapkan mekanisme reward and funishment pada setiap karya ilmiah? adakah sanksi tegas terhadap mahasiswa maupun sarjana yang kedapatan menjiplak? saya kira, pembaca semua bisa menjawab itu. Pengalaman penulis mengajar pada perguruan tinggi di Jambi 2 tahun terakhir mengungkapkan bahwa sense of writing itu masih sama seperti 14 tahun silam. Tahun di mana penulis juga pernah mengecap pendidikan tinggi di Prov. Jambi. Tahun di mana Hak Kekayaan Intelektual (HKI) belum begitu dikenal. Hasil karya milik orang lain masih gampang ditiru. Kegiatan mencontek (baca;plagiasi) masih marak terjadi. Bahkan untuk lulus perguruan tinggi, tinggal pesan, kemudian bayar dan jadilah sebuah karya ilmiah yang namanya skripsi alias skrip negosiasi. Sejauh pengamatan penulis, ternyata perilaku plagiasi tersebut bukannya hilang, tapi malah semakin subur. Meskipun pemerintah daerah telah mengapresiasi dengan bermacam beasiswa pada dunia pendidikan. Tapi, laku tidak wajar bagi seorang calon ilmuwan tersebut masih tetap saja ada. Apa yang salah? kenapa skrip negosiasi masih gampang dicari? bahkan bukan tidak mungkin ada script writer (baca;pembuat skripsi) dari kalangan internal suatu perguruan tinggi. Di mana esensi sebuah akademisi yang kita fahami selama ini? barangkali mereka juga dilahirkan dengan cara dan prilaku yang sama. Sehingga hal itu ditularkan kepada penerusnya. Jika sudah begini, apa kata dunia? Inilah ironi pendidikan di negeri ini. Seakan-akan plagiasi adalah perilaku permisif yang tidak pernah mendapat sanksi apa-apa. Padahal, regulasi perundangundangan mengenai HKI sudah semenjak 10 tahun silam diundangkan. Dalam Undang-undang ini, laku menjiplak, meniru, memalsukan, maupun menggunakan

hasil karya orang lain tanpa hak sudah tegas ada sanksi hukumnya, baik perdata maupun pidana. Faktanya, masih jauh panggang dari api. Jika diamati, masyarakat kita sudah amat familiar dengan plagiasi. Dalam aspek bisnis misalnya, sering kita temukan barang bajakan diperjualbelikan secara bebas di pasaran. Harga yang tawarkan pun jauh lebih murah ketimbangan produk asli. Seperti VCD/DVD, perangkat lunak komputer, tekstil, fashion, merek, dan sebagainya. Semuanya gampang dicari serta murah dibeli. Ternyata, disparitas harga dapat menjadi klaim pembenar atas perilaku ini. Perlu dicatat, melazimkan hal ini sama halnya dengan mengkampanyekan slogan Ayo beli produk bajakan! Sedangkan pada aspek karya tulis, sadarlah, melazimkan plagiasi sama halnya dengan memupuk kebodohan bagi generasi muda atau dengan slogan Pak Dosen, bimbinglah kami untuk mencotek!. Sampai di sini, maka amanah pendidikan pada perguruan tinggi sesungguhnya tidak tercapai! Bahkan melenceng!. Sarana publikasi ilmiah Media publikasi pada perguruan tinggi diantaranya jurnal ilmiah yang biasanya dikelola oleh program studi (prodi). Ada yang terbit triwulan, ada semesteran bahkan ada yang terbit sekali dalam setahun. Terkait dengan kebijakan Ditjen Dikti di atas, memang perlu kita aspresiasi sekaligus dikritisi. Betapa tidak, dalam sebuah jurnal ilmiah biasanya berisi antara 7-9 artikel. Jika jurnal terbit triwulan, maka jumlah artikel yang akan terpublish sebanyak 36 artikel dalam satu tahun. Selanjutnya, jika jumlah mahasiswa pada suatu perguruan tinggi yang akan lulus sebanyak 500 orang dengan masing-masing mahasiswa mempunyai kewajiban mempublikasikan karya tulis, maka berapa jurnal yang diperlukan? Belum lagi harus melalui proses editing yang memakan waktu tidak sedikit. Karena akan dilakukan proses pemilahan, mana artikel yang layak terbit dan yang tidak layak terbit. Tidak cukup sampai di situ, proses pencetakanpun akan membutuhkan waktu. Apalagi kalau dicetak diluar daerah. Sehingga berapa lama waktu yang diperlukan untuk mempublish suatu karya ilmiah. Untuk prov. Jambi sepengetahuan penulis sampai kini belum ada percetakan yang mampu mempublish suatu jurnal ilmiah dengan segala perizinannya. Seluruhnya masih dikirim ke pulau jawa. Nah, pernyataan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Jogjakarta seperti diberitakan pada koran harian lokal berikut ini dapat kita panuti, bahwa kebijakan tersebut harus ditinjau kembali. Karena akan menimbulkan masalah baru. Antara lain, mahasiswa tertunda kelulusannya hanya karena antri ataupun tidak kebagian jurnal ilmiah yang mewadahi artikel tersebut. Ilustrasi pengalaman Jepang sebelumnya lebih kepada aspek informasi dalam pengertian secara umum. Jika diterapkan pada jurnal ilmiah akan mengalami beberapa hambatan. Akan tetapi, penulis optimis, hal tersebut dapat dilakukan. Tentu dengan dukungan dari semua pihak terkait. Selama kita berfikir bisa, maka kita pasti bisa. Di atas semua itu, ada hal positif yang dapat kita ambil. Sudah saatnya sarjana pandai menulis utamanya karya tulis ilmiah. Jangan lagi mengambil jalan pintas. Budayakanlah malu untuk mencontek, malu untuk menjiplak karya milik orang lain, malu untuk memiliki gelar sarjana yang diambil dengan cara membeli, dan yang pasti, malu lah kepada Tuhan YME. Tanamkanlah pada diri kita untuk percaya pada diri sendiri, apapun dan bagaimanapun karya kita, itulah hasil olah karya kita sendiri dan yakinlah bahwa setiap karya itu memiliki nilai nya sendiri-sendiri. Akhirnya, semoga tulisan sederhana membangunkan kita semua dari tidur panjang yang selama ini menghantui kita.

M. Ali Mubarak, S.Sos.I, SIP, MSI Penulis adalah alumni S2 & Double Degree pada UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Saat ini bekerja sebagai salah satu staf pada Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Alamat : Jl. TP. Sriwijaya No. 46B RT. 03 (Cucian Motor Sakira) Kel. Rawasari Kotabaru Jambi. Email : muh_alimubarak@yahoo.com HP. 081994767877/085266507758

Você também pode gostar