Você está na página 1de 15

Cerebral Palsy CP

(kesimpulan) Cerebral palsy (CP) merupakan salah satu kecacatan pada anak yang sering ditemukan dalam masyarakat. Penderita CP sebagian besar mempunyai keterbatasan aktifitasnya seperti manusia normal lainnya dan memberikan dampak sosial bagi penderita dan keluarganya. Prevalensi CP bervariasi, kecenderungan peningkatan prevalensi pada dua dekade terakhir. Hal ini disebabkan kemajuan penanganan obstetri dan perinatal, sehingga terdapat jumlah bayi immatur, berat lahir rendah dan bayi prematur dengan komplikasi yang bertahan hidup. DEFINISI Cerebral palsy atau disingkat dengan CP adalah sekelompok gangguan gerak atau postur yang disebabkan oleh lesi yang tidak progresif yang menyerang otak yang sedang berkembang (immatur). Lesi yang terjadi sifatnya menetap selama hidup, tetapi perubahan gejala bisa terjadi sebagai akibat proses pertumbuhan dan maturasi otak. Kerusakan jaringan saraf yang tidak progresif pada saat prenatal dan sampai 2 tahun post natal termasuk dalam kelompok CP. Cerebral palsy bukanlah termasuk penyakit secara tersendiri, tetapi istilah yang diberikan untuk sekelompok gejala motorik yang bervariasi akibat lesi otak yang tidak progresif. Gejala motorik merupakan gejala yang menonjol dan memberikan pola gerakan abnormal tertentu. Meskipun diagnosis terutama ditentukan berdasarkan kelainan motorik, gejala lain bisa menyertai penderita CP sesuai dengan daerah kerusakan otak yang terjadi. EPIDEMIOLOGI Cerebral palsy merupakan penyebab kecatatan tersering pada anak. Prevalensi CP bervariasi, pada umumnya banyak peneliti mendapatkan sekitar 2,0/1000 anak usia sekolah. Didapatkan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi pada dua dekade terakhir. Hal ini disebabkan kemajuan penanganan obstetri dan perinatal, sehingga terdapat peningkatan bayi immatur, berat lahir rendah dan bayi prematur dengan komplikasi yang bertahan hidup. Insiden bervariasi antara 2-2,5/1000 bayi lahir hidup. Di USA perkiraan prevalensi pada yang sedang atau berat antara 1,5-2,5/1000 kelahiran, kurang lebih mengenai 1.000.000 orang. Kecenderungan peningkatan prevalensi pada kongenital CP dari 1,7 menjadi 2,0/1000 kelahiran hidup pada periode 1975-1991. Peningkatan ini akibat sedikit peningkatan kasus CP pada bayi dengan berat badan normal. Hal ini diduga akibat metode diagnostik yang berbeda dalam kurun waktu tersebut. Peneliti lain mendapatkan prevalensi CP 2,1/1000 neonatus yang bertahan hidup. Prevalensi menurut berat badan antara 1,1 neonatus dengan berat lahir >2500gr sampai 78,1 pada bayi dengan berat lahir <1000gr. ETIOLOGI Cerebral palsy terjadi akibat kerusakan otak saat periode prenatal, perinatal dan post natal. Sekitar 70-80% terjadi akibat kerusakan otak saat prenatal. Bayi lahir prematur dan gangguan pertumbuhan saat kehamilan baik pada bayi prematur maupun yang cukup bulan sebagai penyebab yang sering didapatkan saat prenatal. Resiko terjadinya CP 25-31 kali lebih tinggi pada

bayi berat lahir kurang dari 1500gr dan didapatkan 1/3 bayi dengan gejala CP dengan berat lahir kurang dari 2500gr. Bayi lahir prematur merupakan faktor tersering dan secara konsisten berhubungan dengan CP. Bayi kecil menurut usia kehamilan (intra uterine growth retardation) yang lahir setelah 32 minggu meningkatkan resiko menderita CP. Data terakhir diduga disebabkan oleh intrauterine undernutrition dan hipoksia kronik, yang dapat dideteksi pada pemeriksaan darah fetal, menunjukkan asidosis atau peningkatan konsentrasi eritropoetin dan adanya redistribusi aliran darah fetal dengan pemeriksaan USG Doppler. Kehamilan multipel meningkatkan resiko 9/1000 pada bayi kembar dua dan 30/1000 bayi kembar tiga. Kelainan kongenital yang terjadi akibat gejala sisa infeksi cytomegalovirus sekitar 0,03% dari yang lahir hidup, toksoplasmosis kongenital 1/10.000 kelahiran di Inggris. Infeksi bakteri yang terjadi pada ibu hamil bermakna menunjukkan hubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP. Infeksi maternal berpotensi menyebabkan persalinan prematur dan adanya resiko tambahan berhubungan dengan terjadinya leukomalasia periventrikuler. Defisiensi iodium sudah menjadi penyebab yang nyata terjadinya kerusakan otak dalam kehamilan. Adanya malnutrisi kalori dan protein pada intrauterine growth retardation dan kelainan neurologi belum jelas, tetapi pada kalangan sosial ekonomi rendah terdapat hubungan dengan kejadian CP dan pada banyak penelitian menduga perhatian terhadap kecukupan nutrisi ibu hamil bisa bermanfaat. Ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol 40gr/hari meningkatkan terjadinya kelainan neurologi, tetapi tidak jelas pada yang mengkonsumsi dalam jumlah sedang. Kokain menyebabkan kerusakan pada otak, akibat mempunyai efek vasokonstriktor dan infark otak kadang terlihat dengan pemeriksaan USG setelah lahir. Hipertensi dalam kehamilan berhubungan dengan meningkatnya resiko CP pada bayi lahir lebih 32 minggu, diduga insufisiensi plasenta jangka lama mengakibatkan kerusakan organ pada bayi lahir aterm. Studi terakhir menduga bahwa terapi preeklamsia menggunakan magnesium memberikan hasil yang bermakna dalam menurunkan insiden CP pada bayi lahir sebelum 32 minggu. Ion magnesium berfungsi menutup reseptor NMDA, sehingga dapat mencegah eksitasi neuron dan menghambat efek sitotoksik dari hipoksia akut, merupakan mekanisme biologis yang bisa menjelaskan hubungan tersebut. Sekitar 10% kasus Cerebral palsy disebabkan asfiksia saat melahirkan. Asfiksia akan menyebabkan proses hipoksik-iskemik-ensefalopati. Meskipun asfiksia telah jelas berhubungan, faktor-faktor abnormal prenatal (intra uterine growth retardation dan congenital malformation) mempunyai kontribusi pada stres perinatal. Bayi mengalami asfiksia bisa diakibatkan adanya partus lama, presentasi kepala abnormal, lilitan umbilikus pada leher dan bayi post matur. Bayi mengalami asfiksia ditandai dengan nilai APGAR skor yang rendah, denyut jantung janin abnormal saat persalinan dan dijumpai adanya asidosis. Pesentasi non vertek termasuk presentasi wajah berhubungan dengan meningkatnya resiko CP. Interprestasi dari fakta tersebut, bahwa presentasi abnormal bukan merupakan penyebab CP, tapi lebih merupakan pertanda akibat kesulitan persalinan yang mungkin timbul. Pada anak yang lahir sebelum era perawatan intensif neonatal yang modern, didapatkan

perbedaan yang bermakna adanya khorionitis pada plasenta pada anak dengan CP dibanding yang bukan CP. Pada saat ini khorionitis berhubungan dengan prematuritas, dan kaitan antara keduanya sekarang dengan meningkatnya bayi yang bertahan hidup dan adanya hubungan antara leukomalasia periventrikuler dan amnionitis (bisa diakibatkan komplikasi khorionitis). Khorionitis baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai kontribusi terhadap CP dengan meningkatkan resiko primaturitas. Meningitis atau ensefalitis pada saat neonatal atau anak dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf berat. Penurunan terjadinya kernikterus sebagai akibat peningkatan panatalaksanaan penyakit rhesus telah berhasil menurunkan terjadinya kelainan neurologis. Bagaimanapun juga ,hiperbilirubinemia merupakan penyebab yang bermakna adanya kerusakan otak, pada 219 kasus distonik dan diskinetik, didapatkan 57 kasus akibat hiperbilirubinemia berat. Pada penelitian lain dengan kadar bilirubin 2,3-22,5mg/100ml, tidak didapatkan bukti ada hubungan dengan keterlambatan perkembangan, terbentuknya kista periventrikuler dan CP pada bayi prematur. Di Australia barat kecelakaan lalulintas dan child abuse sebagai penyebab yang bermakna terjadinya gangguan perkembangan saraf. NEUROPATOLOGI Gambaran patologi Cerebral palsy bersifat komplek, area yang bisa terkena adalah kortek motorik, regio periventrikuler, ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anak yang menderita cacat berat cenderung mengalami atrofi yang luas, termasuk di area subkortikal, ganglia basalis, hemisferium serebri atau forensefali. Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel atau iskemia yang menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi nekrosis didaerah periventrikel substansia alba dan terjadi atrofi yang difus pada substansia kortek serebri. Kelainan tersebut dapat fokal atau menyeluruh tergantung tempat yang terkena. Pada CP yang ringan kadang-kadang jaringan otak tampak normal tetapi dengan berat otak yang berkurang. Tidak didapatkannya area yang abnormal membuat dukungan pada dugaan bahwa sebagian CP mengalami abnormalitas gangguan perkembangan pada tingkatan mikroskopis. Pada pemeriksaan neuroimaging bisa didapatkan kelainan berupa leukomalasia periventrikuler, malformasi kongenital, atropi kortikal/subkortikal, kista forensefali atau adanya kista yang multipel. Kelainan di ganglia basalis akibat proses hipoksik-iskemik-ensefalopati saat neonatal, pada gambaran mikroskopis didapatkan adanya gambaran pola marbled. Pada satu laporan kasus pada 111 anak dengan CP tipe hemiplegi spastik, dengan pemeriksaan CT Scan, didapatkan 29% normal, atrofi periventrikel 42%, malformasi kongenital 17%, kortikal-subkortikal atrofi 12% dan kelainan lain 3%. Kragelohmann dengan pemeriksaan MRI pada tipe kuadriplegi spastik 9% normal, 9% malformasi, 68% kerusakan pada substansia alba dan 14% kerusakan subkortikal. Hayakawa melakukan pemeriksaan MRI pada tipe diplegi spastik, 21% normal, 0% malformasi, 70% kerusakan substansia alba dan 9% kerusakan subkortikal. PATOFISIOLOGI Kerusakan otak saat prenatal, perinatal dan postnatal disebabkan oleh insufisiensi vaskuler, infeksi, genetik, trauma maupun metabolik. Berbagai penelitian menunjukkan adanya defisit neurologi yang terjadi disebabkan oleh malformasi serebral akibat murni kelainan gestasi.

Dengan kompleksnya jaringan otak dan kepekaan pada tiap tahap perkembangan otak, memberikan kelainan yang berbeda. Iskemia serebral sebelum usia kehamilan 20 minggu akan terjadi defisit migrasi neuronal, antara 26-34 minggu terjadi leukomalasia periventrikuler dan antara 34-40 minggu terjadi kerusakan fokal atau multifokal. Kerusakan otak akibat insufisiensi vaskuler sebelum aterm terjadi pada daerah periventrikel. Pada kehamilan 26-34 minggu, daerah watersheath zone ini sangat peka dengan adanya proses hipoksik-iskemik-ensefalopati, menyebabkan terjadinya infark yang diikuti terbentuknya daerah kistik, disusul terjadinya dilatasi ventrikel. Dapat juga terjadi perdarahan di matrik germinal maupun pada daerah subependimal ventrikel. Perdarahan terjadi karena meningkatnya sirkulasi didaerah infark yang menyebabkan rupturnya pembuluh darah akibat masih rapuhnya dinding pembuluh darah atau karena rupturnya pembuluh darah dilapisan ependim ventrikel. Pada korona radiata bagian medial merupakan jaras motorik untuk ekstremitas bawah, oleh karena itu sering terjadi kelainan tipe diplegi spastik. Patogenesis dari leukomalasia periventrikuler sendiri masih belum jelas dan kemungkinan besar bersifat multifaktorial. Terdapat 4 faktor yang diduga berperanan. Faktor pertama karena tidak adekuatnya perfusi darah dan terjadinya infark didaerah watersheath zones periventrikel. Yang kedua akibat terganggunya autoregulasi dengan pemeriksaan doppler ultra sound, terutama pada bayi prematur yang pernah mengalami kejadian hipoksik-iskemik. Faktor ketiga akibat pekanya terhadap neurotransmiter eksitatorik seperti glutamat pada saat awal proses terjadinya deferensiasi oligodendroglia. Kepekaan ini mungkin akibat tidak adekuatnya enzim antioksidan seperti katalase dan glutathion peroksidase selama periode tersebut. Teraktifasinya pertukaran antara glutamat-sistein, terjadi penurunan sistein, mengakibatkan terhambatnya sintesis gluthation. Yang terakhir citokine mempunyai peranan penting dalam menginduksi kerusakan substansia alba. Studi retrospektif menunjukkan, dalam darah neonatus menunjukkan tingginya kadar citokine dan TNF alfa pada anak lahir prematur maupun matur dengan spastik diplegi dibanding kontrol. Diduga Citokine seperti interferon-, TNF-, IL-6, IL-8 merusak substansia alba dengan terjadinya hipotensi atau induksi iskemia melalui terjadinya intravaskuler koagulasi. Mekanisme utama kematian sel pada bayi prematur akibat pekanya sel oligo- dendroglia deferensiasi awal pada iskemia terhadap paparan radikal bebas. Disamping itu juga terjadi akibat pembentukan reaktif oksigen, aktifitas sitokin dan leukosit, ditambah dengan peningkatan kadar glutamat dan kadar glutathion yang rendah. Pada penelitian dengan kultur oligodendrosit, didapatkan kerusakan lebih besar terjadi pada immatur daripada matur oligodendrosit dan pada medium yang mengandung sistein mengalami kerusakan lebih kecil pada paparan radikal bebas. Sistein diperlukan untuk membentuk glutathion peroksidase yang merupakan antioksidan yang merubah H2O2 menjadi H20+O2. Pada penelitian eksperimental diduga bahwa inflamasi-infeksi intrauterin maternal dan sitokin berhubungan dengan terjadinya leukomalasia perventrikuler. Insiden leukomalasia periventrikuler meningkat pada bayi lahir prematur yang didapatkan adanya peningkatan insiden infeksi plasenta maternal, peningkatan IL-6 pada darah palsenta, peningkatan IL-6 dan 1 beta pada cairan amnion, peningkatan interferon gamma, IL6, IL1 diantara sitokin yang lain pada darah neonatus. Pada penelitian dengan kultur menunjukkan oligodendrosit yang imatur lebih peka terhadap toksisitas interferon gama. TNF alfa meningkatkan toksisitas interferon gama. Adanya iskemia menyebabkan aktifasi mikroglia, sekresi sitokin, migrasi makrofag, dan sel-sel inflamasi. Infeksi dan sitokin bisa menyebabkan terjadinya iskemia. Endotoksin dapat merusak endotel vaskuler dan menyebabkan hipotensi pada

anjing yang baru lahir, untuk membentuk lesi seperti leukomalasia periventrikuler. Sitokin mempunyai efek vasoaktif (seperti TNF alfa) akan menyebabkan kaskade inflamasi dan gangguan regulasi serebrovaskuler. Insiden leukomalasia periventrikuler lebih tinggi pada bayi yang terdapat perdarahan intraventrikuler. Perdarahan merupakan sumber yang kaya Fe++ untuk terbentuknya radikal hidroxy. Pada kehamilan aterm, di mana pembuluh darah hampir sama dengan orang dewasa, terjadinya infark pada daerah yang mendapat vaskularisasi dari cabang utama pembuluh darah otak. Sering terjadi pada cabang A. karotis media menyebabkan kelainan tipe hemiplegi spastik. Hal ini diduga akibat emboli yang didapat dari infark plasenta, sepsis, material dari janin yang mati pada kehamilan kembar. Pada serial kasus 22% terjadi setelah asfiksia perinatal dengan onset pada 3 hari pertama kelahiran. Selama asfiksia perinatal terjadi 3 efek vaskuler pada fase awal dan 2 efek vaskuler pada kondisi lanjut. Efek awal berupa terjadi peningkatan kardiak output, peningkatan aliran darah regional atau total dan hilangnya autoregulasi vaskuler. Pada tahap lanjut penurunan kardiak output mengakibatkan hipotensi sistemik dan diikuti penurunan aliran darah otak. Mekanisme peningkatan aliran darah serebral pada tahap awal akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah disebabkan oleh hipoksemia atau hiperkapnia atau akibat peningkatan ion hidrogen perivaskuler. Akibat peningkatan aliran darah otak dapat terjadi perdarahan pada pembuluh darah yang peka. Terganggunya autoregulasi sensitif terjadi akibat perubahan kadar gas darah. Penurunan PO2 yang menyebabkan saturasi O2 sampai dibawah 50%, dipertimbangkan sebagai ambang hipoksia dalam mengakibatkan gangguan auotoregulasi. Cepat dan beratnya hipotensi yang terjadi tergantung lama dan beratnya asfiksia. Penyebab ini terutama diakibatkan penurunan kardiak output, mungkin diakibatkan efek sekunder dari terganggunya miokardium, hipoksia menginduksi terjadinya bradikardi dan kemudian diikuti dengan penurunan aliran darak ke otak/iskemia. Ensefalopati akibat hiperbilirubin menyebabkan kerusakan neuron yang spesifik pada tempat tertentu. Daerah tersebut meliputi utamanya basal ganglia, bisa juga mengenai globus palidus, nukleus subtalamikus, hipokampus, substansia nigra, nukleus vestibularis, kokhlearis dan fasialis dan nukleus dentatus serebelum. Status marmoratus, merupakan lesi terjarang, terjadi kerusakan di basal ganglia (thalamus, nukleus kaudatus, globus palidus dan putamen). Hal ini merupakan akibat dari proses hipoksik-iskemik-ensefalopati yang terjadi pada neonatus dan lebih sering mengenai bayi aterm dengan gambaran seperti marbled akibat pola mielin yang tidak normal. Alasan mengapa secara selektif terdapat kepekaan pada ganglia basalis terhadap asfiksia belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat dugaan bahwa daerah ini mempunyai kadar O2 baseline yang tinggi dengan pemeriksaan positron emission tomograpy (PET). Data eksperimental mendapatkan kepekaan daerah ini ditentukan oleh pola neurotransmiter. Tujuan observasi efek primer glutamat pada kerusakan neuron di ganglia basalis, diduga ditentukan oleh perbedaan fenotipe reseptor glutamat, maturitas neuron dan berat serta lamanya asfiksia. Kista forensefali adalah kista intraparenkim besar yang berhubungan dengan ventrikel. Hal ini sering terjadi akibat infark pada arteri besar, utamanya A. serebri media, meskipun juga bisa terjadi akibat sekuele perdarahan intra ventrikel grade IV yang menyebabkan perluasan ventrikel kearah daerah hematom yang sudah diabsorbsi. Patogenesis terjadinya perdarahan

intraventrikuler tidak sepenuhnya dimengerti. Pada bayi prematur terdapat padatnya vaskularisasi pada subependimal matrik germinal, dimana pada bayi immatur sebagian besar suplai darah serebrum kedaerah tersebut. Disamping itu kapiler pada bayi prematur mempunyai membran basalis yang tipis. Dan yang terakhir adanya hipoksia menyebabkan tekanan arterial berfluktuasi mengenai kapiler periventrikel yang rapuh. Iskemia, hipoksia dan trauma yang terjadi pada otak janin pada semeter kedua dan ketiga dapat menyebabkan malformasi yang bukan terjadi primer akibat kelainan genetik. Akibat perkembangan otak belum sempurna, lesi yang terjadi menyebabkan gangguan perkembangan dan dapat menyebabkan hambatan migrasi neuroblast atau glioblast sebelum prosesnya lengkap. Dapat menyebabkan fokal displasia atau laminasi kortikal dan heterotopia akibat neuron yang berhenti dalam migrasinya. Pada tahun 1995, postulat volpe membagi hipoksik-iskemik neuropatologi menjadi 5 subtipe dasar: 1. Nekrosis parasagital otak besar, terjadi pada bayi cukup bulan, manifestasi jangka panjang berupa kuadriplegi spastik. Parasagital area merupakan daerah yang mendapat vaskularisasi dari cabang paling perifer dari ketiga arteri besar serebral. Pada penelitian eksperimental menunjukkan daerah para sagital kortek merupakan daerah yang paling awal dan paling berat mengalami kerusakan setelah asfiksia yang berkepanjangan. Kerusakan lebih maksimal pada regio parieto-oksipital posterior. 2. Leukomalasia periventrikuler, terjadi pada bayi prematur, lesi kecil menyebabkan kelainan spastik diplegi dan lesi luas menyebabkan kelinanan tipe kuadriplegi dengan defisit visual dan kognitif. Lesi lebih tampak nyata didaerah posterior horn ventrikel lateral, optik radiasi bisa terlibat dan dapat menyebakan gangguan visual kortikal. 3. Nekrosis otak fokal atau multifokal, akibat infark pada daerah vaskularisasi pembuluh darah. Dimana sering mengenai cabang A. serebri media menyebabkan kelainan tipe hemiplegi spastik. 4. Status marmoratus, merupakan lesi terjarang, terjadi kerusakan di basal ganglia, thalamus, nukleus kaudatus, globus palidus dan putamen. Hal ini merupakan akibat dari proses hipoksik-iskemik-ensefalopati yang terjadi pada neonatus dan lebih sering mengenai bayi aterm. 5. Nekrosis neuronal selektif, merupakan cedera yang tersering terjadi. Terdapat neuron spesifik yang peka termasuk CA 1 dan subkulum hipokampus, ganglion genikulatum lateral dan thalamus, nukleus kaudatus, basal ganglia, putamen, nukleus N.V dan VII. Gejala yang timbul jangka panjang menyebakan retardasi mental dan kejang. KLASIFIKASI Klasifikasi klinis digunakan untuk menggambarkan masalah yang spesifik, untuk memperkirakan prognosis dan penanganan yang diberikan. Dibagi menjadi tipe spastik (piramidal), diskinetik (ekstrapiramidal), tipe atonik (hipotonik), tipe ataksik dan campuran. Tipe spastik sering didapatkan, mengenai sekitar 75% anak dengan CP, sedang 25% terbagi pada tipe diskinetik dan campuran. Pada tipe spastik berdasarkan distribusi topografi kelainan yang terjadi dibagi menjadi monoplegia, diplegia, triplegi, kuadriplegi dan hemiplegi. Tipe monoplegi

dan triplegi sangat jarang ditemukan. Pada tipe diplegi sering terjadi pada bayi lahir prematur, pada bayi aterm penyebabnya lebih komplek, pada 28% kasus tidak dapat diidentifikasi. Ekstremitas atas mempunyai gangguan yang lebih ringan, gangguan lebih berat terjadi pada ekstremitas bawah. Gangguan kognitif didapatkan pada sekitar 30% pada tipe ini. Kelainan mata, 50% berupa strabismus dan gangguan visus sekitar 63%. Epilepsi terjadi pada 20-25% kasus. Pemeriksaan MRI didapatkan adanya leukomalasia periventrikuler atau post hemoragik forensefali. Pada tipe kuadriplegi spastik kelainan terjadi pada keempat ekstremitas. Pada tipe ini 50% akibat faktor prenatal, 30% perinatal dan 20% postnatal. Lebih sering didapatkan kesulitan menelan dan prosentase yang tinggi adanya gangguan kognitif. Tingginya kejadian kelainan visual dan biasanya dengan derajat yang lebih berat. Sekitar separuh mengalami epilepsi. Pada MRI anak lahir prematur didapatkan gambaran leukomalasia periventrikuler, anak lahir aterm didapatkan berupa lesi untuk tipe aterm seperti lesi parasagital. Multi kistik ensefalomalasia dan malformasi lebih sering didapatkan pada tipe ini. Tipe hemiplegi spastik mengenai ektremitas satu sisi tubuh, dengan tangan biasanya lebih berat dari kaki. Sebesar 70-90% kasus terjadi secara kongenital dan 10-30% bawaan dapat terjadi akibat vaskuler, inflamasi atau trauma. Bila terjadi pada bayi prematur akibat adanya asimetri leukomalasia periventrikuler. Bisa terjadi kelainan nervus kranialis, biasanya N.VII. Kelainan visual terjadi pada 25% pada tipe ini, termasuk hemianopsia homonim dan strabismus konvergen. Kelainan kognitif pada 28% kasus, epilepsi relatif lebih sering pada 23% kasus. Tipe diskinetik ditandai dengan pola gerakan ekstrapiramidal. Kelainan ini akibat sekunder dari gangguan regulasi tonus, kontrol postural dan koordinasi. Tipe ini dibagi lagi menjadi jenis khoreoathetosis, dan distonik. Tipe khoreoathetosis adanya gerakan involunter yang kelihatan jelas dan umumnya yang dijumpai adalah athetosis. Khorea terdapat dalam derajat yang bervariasi. Tremor, mioklonus dan distonia juga mungkin tampak. Kombinasi gerakan khoreoathetosis menimbulkan pola gerakan diekstremitas bawah yang hipertonus dan gerakan rotasi yang menggeliat pada anggota badan. Dapat terjadi kesulitan dalam bicara dengan adanya kecepatan dan volume suara yang meledak-ledak. Tipe distonik jarang ditemukan, gerakan yang lambat dan lama, pada kepala dan leher yang tertarik kearah satu sisi. Rangka badan bisa memutar keberbagai posisi hingga tampak aneh. Pada pemeriksaan MRI didaerah thalamus dan putamen nampak hiperinten pada T2 pada tipe athetoid. Hiperbilirubinemia menyebabkan kerusakan pada ganglia basalis dengan manifestasi klinik tipe diskinetik. Kondisi CP atonik tidak umum dibandingkan dengan bentuk yang lain . CP atonik sering bersamaan dengan keterlambatan perkembangan motorik dengan reflek tendon yang normal atau meningkat. Pada penderita CP sering awalnya hipotonik, kemudian berubah menjadi hipertoni, pada tipe ini tidak mengalami perubahan menjadi spastik dengan bertambahnya usia, tetapi tetap hipotonik. Pada tipe ataksik gejala yang menonjol berupa ataksia. Manifestasi awal berupa hipotoni dan mulai timbul gejala ataksia sejak umur 2-3 tahun. Anak berjalan dengan kaki melebar, sering ditemukan adanya nistagmus dan dismetri hipotoni. Tes romberg positif dengan mata terbuka.

Hal ini menunjukkan tanda adanya keterlibatan fungsi serebelum. Manifestasi tipe campuran terdiri dari tipe spastik, ekstrapiramidal dan sering kali ataksia didapatkan. Pasien dengan gejala kuadriplegi yang menonjol dapat ditemukan khoreoathetosis derajat ringan. Sebaliknya pasien khoreoathetosis yang menonjol, menunjukkan gejala-gejala upper motor neuron. Pola gangguan motorik sebagai akibat dari sekuele yang luas didaerah otak terutama didaerah ganglia basalis dan kortek. Spastik ataksik diplegi merupakan bentuk campuran yang sering didapatkan dan berhubungan dengan hidrosefalus. Retardasi mental adalah gangguan intelegensi yang disebabkan gangguan dalam kandungan sampai masa perkembangan dini, usia 5 tahun. Secara formal ditentukan dengan nilai IQ. Insiden mental retardasi pada penderita CP antara 30%-50%. Sekitar 1/3 dengan retardasi mental ringan. Sering didapatkan pada tipe rigid, atonik dan tipe kuadriplegi. Pada Cerebral palsy, kelainan motorik dan postur merupakan ciri utama, tetapi sering juga disertai dengan gangguan lain yang bukan motorik. Kelainan bukan motorik yang sering dijumpai pada CP: 1. Retardasi mental (75%). 2. Epilepsi (25-50%) 3. Gangguan visual: Strabismus (75%), Gangguan refraksi (25-50%), Hemianopsia (<25%), Lain-lain (<25%) 4. Gangguan pendengaran (75%) 5. Disartria (<25%) 6. Defisit sensorik kortikal (25-50%) 7. Pertumbuhan ekstremitas yang tidak sama (unequal) (25-50%) 8. Skoliosis (75%) 9. Dental dismorfogenesis (25%) 10. Kontraktur sendi (75%) DIAGNOSIS Diagnosis Cerebral palsy berdasarkan diagnosis klinis, berupa riwayat klinis pada ibu maupun bayi dan hasil pemeriksaan neurologi dan pediatrik pada bayi atau anak. Perlu dilakukan evaluasi mengenai riwayat keluarga, kesehatan ibu dan janin saat prenatal, riwayat sakit saat kehamilan dan kesehatan saat bayi baru lahir dan saat post natal. Pemeriksaan neurologi dan pediatrik dengan melihat adanya keterlambatan pencapaian milestones, tonus otot yang tidak normal, menetapnya reflek primitif, keterlambatan reflek protektif, seperti pada neck righting reflex dan parachute reflex, adanya gerakan involunter dan adanya postur yang abnormal. Primitif reflek umumnya menghilang setelah 6 bulan, neck righting reflex biasanya timbul pada usia 6 bulan dan parachute reflex biasanya pada usia 1 tahun, gerakan ekstrapiramidal biasanya terlihat setelah 2 tahun. Diagnosis Cerebral palsy tergantung atas 2 pedoman yang harus ditemukan.Yang pertama adanya kejadian kerusakan otak yang tidak progresif yang terjadi pada saat otak sedang berkembang. Yang kedua adanya tanda klinis yang timbul akibat kerusakan sistem yang

mengontrol fungsi motorik tubuh. Gejala klinis pada penderita CP tidak memburuk, tetapi dapat berubah dengan bertambahnya umur anak. Hipotoni pada beberapa bulan awal umur bayi, berubah menjadi spastik dan juga gerakan involunter yang timbul lambat. Juga pada keterlambatan perkembangan yang terjadi awal, bisa menghilang kemudian (the child catchesup). Sehingga pada banyak kasus membuat kebimbangan dari dokter untuk membuat diagnosis CP, menunggu umur bayi mencapai 18-24 bulan. Beberapa diagnosis awal digunakan seperti keterlambatan perkembangan, disfungsi neuromotor, motor disability atau disfungsi susunan saraf pusat. Terdapat kriteria untuk menegakkan diagnosis CP, yaitu dengan membagi kelainan motorik atas 6 katagori: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Posture and movement pattern. Oral motor pattern. Strabismus. Tone of muscle Evaluation of postural reactions and landmarks. Deep tendon, infantile and plantar reflexes.

Menurut Levine disimpulkan bahwa: 1. Diagnosis CP dapat ditegakkan, jika minimum terdapat 4 abnormalitas dari 6 katagori di atas. 2. Dengan kriteria diatas dapat dibedakan apakah ini CP atau bukan. 3. Apabila terdapat hanya 1 katagori kelainan motorik diatas, bukan suatu diagnostik, hanya kecurigaan CP. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium dan neuroimaging membantu klinisi menentukan prediksi kondisi klinis CP. Untuk mengevaluasi penyakit metabolik dan genetik, diperlukan pemeriksaan darah dan urin. Pemeriksaan rutin meliputi fungsi tiroid, laktat, piruvat, asam amino dan kromosom. Ph darah berguna untuk mengetahui adanya dan beratnya asfiksia perinatal. Pemeriksaan LCS bisa untuk mengetahui adanya asfiksia. Kadar protein dalam LCS dapat meningkat dengan adanya peningkatan rasio laktat-piruvat. Pemeriksaan USG digunakan untuk skreening dan follow-up penderita dengan PVH (periventrikuler hemorrhage) atau IVH (intraventrikuler hemorrhage). Skreening dilakukan pada usia 3-7 hari, sebab kebanyakan perdarahan sering terjadi sebelum usia tersebut. Pada sekitar usia bayi 28 hari, untuk mengetahui perdarahan yang timbul lambat atau adanya leukomalasia periventrikuler. USG sering digunakan pada bayi prematur. Pemeriksaan CT Scan berguna untuk mengetahui adanya malformasi kongenital, perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikuler. Pemeriksaan MRI jarang digunakan pada bayi prematur dan lebih menguntungkan digunakan setelah umur bayi lebih dari 2-3 minggu. MRI merupakan pilihan untuk mengetahui gambaran mielin pada T2 dan gambaran sulki otak. PET

(Positron Emission Tomography) digunakan untuk mengetahui gambaran aliran darah otak dan metabolisme glukosa, dimana bisa terjadi abnormalitas baik pada kondisi akut maupun kronik. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) untuk mengetahui gambaran perfusi serebral, merupakan salah satu teknik terbaru untuk mengevaluasi adanya asfiksia. MR Spectroscopy juga untuk mengetahui adanya indikasi terjadinya asfiksia. Evoked potential untuk mengetahui respon otak akan adanya stimulasi eksternal. Digunakan untuk mengevaluasi jaras anatomik auditori dan visual. EEG digunakan untuk mengevaluasi beratnya proses hipoksik-iskemik, terdapatnya gambaran supresi gelombang dengan amplitudo rendah dan gelombang lambat memberikan prognosis yang buruk. PENATALAKSANAAN Penderita Cerebral palsy mempunyai banyak kelainan sesuai dengan lesi yang terjadi di otak, bersama-sama dengan gangguan motorik. Dengan kondisi tersebut penanganan penderita CP memerlukan kerjasama yang baik dan merupakan satu tim yang terdiri atas dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, fisioterapis, okupasional terapis, dokter gigi dan ahli gizi. Tujuan utama terapi adalah meminimalisasi kecacatan dan meningkatkan kemampuan untuk beraktifitas mandiri, fungsi sosial dan intelektual. Terapi menggunakan obat tergangtung dari gejala yang timbul. Pada spastisitas bisa menggunakan pelemas otot golongan benzodiazepin dan baklofen. Botolinum toxin (Botox) intramuskuler bisa mengurangi spastisitas untuk 3-6 bulan. Hal ini akan meningkatkan luas gerak sendi (ROM), menurunkan deformitas, meningkatkan respon terhadap fisioterapi dan okupasional terapi dan mengurangi tindakan operasi untuk spastisitas. Bila terdapat epilepsi, membutuhkan pemberian obat anti epilepsi. Obat antidepresan dan antiparkinson bisa diberikan, bila terdapat gejala depresi atau gangguan gerakan ekstrapiramidal pada penderita. Dibutuhkan tim untuk penanganan nutrisi pada pasien dengan kesulitan makan dan menelan. Terapi operasi dilakukan ahli orthopedi pada kelainan seperti hip dislokasi, skoliosis dan spastisitas (tenotomy, tendone-lightening procedure). Perlu dikonsulkan pada ahli genetika bila dengan gambaran dismorfik, kelainan organ multipel dan riwayat keluarga dengan kelainan yang serupa. Konsul pulmonologi untuk penangan penyakit paru kronik akibat bronkopulmonari displasia dan seringnya terjadi aspirasi. Terapi rehabilitasi meliputi fisioterapi, okupasional terapi, terapi wicara, ortotik, nightsplinting dan pemaikaian alat bantu. Fisioterapi meliputi latihan gerak sendi, latihan penguatan dan peningkatan daya tahan otot, latihan duduk, berdiri dan jalan. Okupasional terapi meliputi latihan fungsi tangan, aktifitas bimanual, latihan aktifitas hidup sehari-hari, modifikasi tingkah laku dan sosialisasi. Terapi wicara untuk mengembangkan anak dapat berbahasa secara pasif dan aktif. Ortotik dengan penggunaan bracing, bertujuan untuk mengurangi beban aksial, stabilisasi serta untuk pencegahan dan koreksi deformitas. Pemakaian nightsplint mengambil keuntungan dari tonus yang menurun yang terjadi selama tidur untuk menambah regangan otot antagonis yang lemah. Alat Bantu yang dipergunakan berupa kruk ketiak, rollator, walker dan kursi roda manual/listrik. DERAJAT CEREBRAL PALSY

Klasifikasi yang paling sederhana dalam menentukan derajat Cerebral Palsy dengan pembagian menjadi ringan, sedang dan berat. Derajat ringan tidak ada keterbatasan dalam aktifitas yang umum, yang sedang kesulitan dalam aktifitas sehari-hari dan membutuhkan alat bantu atau bracing, dan yang berat ada keterbatasan sedang sampai berat dalam aktifitas sehari-hari. Pembagian lain berdasarkan kemampuan fungsional: 1. Kelompok ringan. Anak dapat berjalan tanpa alat bantu, fungsi motorik halusnya tidak terganggu, tingkat kecerdasan >70, dapat berbahasa cukup baik, dan umumnya tidak tergantung orang lain. 2. Kelompok sedang. Anak jika berjalan perlu alat bantu atau merangkak, fungsi motorik halusnya terbatas, tingkat kecerdasan 50-70, hanya dapat menyebut sepatah kata yang jelas dan umunya tergantung orang lain. 3. Kelompok berat. Penderita tidak dapat berjalan sama sekali, fungsi motorik halusnya belum mampu/tidak ada, tingkat kecerdasan <50, bicara tidak jelas dan sepenuhnya tergantung orang lain. Berdasarkan faktor dapat tidaknya beraktifitas/ambulation, Gross Motor Functional Classification System (GMFCS) secara luas digunakan untuk menentukan derajat fungsional penderita CP. Skala yang lain, Bimanual Fine Motor Function (BMMF) digunakan untuk menilai fungsi dari ekstremitas, tetapi tidak secara luas digunakan seperti GMFCS. Berjalan merupakan salah satu manifestasi fungsi motorik kasar dan dapat digunakan untuk menilai perkembangan anak CP. GMFCS tidak untuk menilai kualitas dari gerakan atau memprediksi adanya kemajuan. Pembagian derajat fungsional CP menurut GMFCS, dibagi menjadi 5 level dan berdasarkan katagori umur dibagi menjadi 4 kelompok, kurang dari 2 tahun, antara 2-3 tahun, antara 4-6 tahun dan antara 6-12 tahun. Berikut ini klasifikasi pada 2 kelompok, 4-6 tahun dan 6-12 tahun: Kelompok 4 6 tahun Level 1: Anak dapat duduk dan bangkit dari duduk pada kursi, tanpa membutuhkan bantuan tangan. Anak bergerak dari lantai dan dari kursi untuk berdiri tanpa bantuan obyek. Anak berjalan baik dalam ruangan maupun diluar ruangan, dan dapat naik tangga. Terdapat kemampuan untuk berlari atau melompat. Level 2: Anak duduk di kursi dengan kedua tangan bebas memanipulasi obyek. Anak dapat bergerak dari lantai untuk berdiri, tetapi seringkali membutuhkan obyek yang stabil untuk menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak berjalan tanpa alat bantu didalam ruangan dan dengan jarak pendek pada permukaan yang rata diluar ruangan. Anak dapat berjalan naik tangga dengan berpegangan pada tepi tangga., tetapi tidak dapat berlari atau melompat. Level 3: Anak dapat duduk pada kursi, tetapi membutuhkan alat bantu untuk pelvis atau badan untuk memaksimalkan fungsi tangan. Anak dapat duduk dan bangkit dari duduk menggunakan permukaan yang stabil untuk menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak seringkali dibantu untuk mobilitas pada jarak yang jauh atau diluar ruangan dan untuk jalan yang tak rata.

Level 4: Anak duduk di kursi tapi butuh alat bantu untuk kontrol badan untuk memaksimalkan fungsi tangan. Anak duduk dan bangkit dari duduk membutuhkan bantuan orang dewasa atau obyek yang stabil untuk dapat menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak dapat berjalan pada jarak pendek dengan bantuan walker dan dengan pengawasan orang dewasa, tetapi kesulitan untuk jalan berputar dan menjaga keseimbangan pada permukaan yang rata. Anak dibantu untuk mobilitas ditempat umum. Anak bisa melakukan mobilitas dengan kursi roda bertenaga listrik. Level 5: Kelainan fisik membatasi kemampuan kontrol gerakan, gerakan kepala dan postur tubuh. Semua area fungsi motorik terbatas. Keterbatasan untuk duduk dan berdiri yang tidak dapat dikompensasi dengan alat bantu, termasuk yang menggunakan teknologi. Anak tidak dapat melakukan aktifitas mandiri dan dibantu untuk mobilisasi. Sebagian anak dapat melakukan mobilitas sendiri menggunakan kursi roda bertenaga listrik dengan sangat membutuhkan adaptasi. Kelompok 6 12 Tahun Level 1: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan, naik tangga tanpa keterbatasan. Anak menunjukkan performa fungsi motorik kasar termasuk lari dan lompat, tetapi kecepatan, keseimbangan dan koordinasi berkurang. Level 2: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan dan naik tangga dengan berpegangan di tepi tangga, tetapi terdapat keterbatasan berjalan pada permukaan yang rata dan mendaki, dan berjalan ditempat ramai atau tempat yang sempit. Anak dapat melakukan kemampuan motorik kasar, seperti berlari atau melompat yang minimal. Level 3: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan pada permukaan yang rata dengan bantuan alat bantu gerak. Anak masih mungkin dapat naik tangga dengan pegangan pada tepi tangga. Tergantung fungsi dari tangan, anak menggerakan kursi roda secara manual atau dibantu bila melakukan aktifitas jarak jauh atau diluar ruangan pada jalan yang tidak rata. Level 4: Anak bisa dengan level fungsi yang sudah menetap dicapai sebelum usia 6 tahun atau lebih mengandalkan mobilitas menggunakan kursi roda dirumah, disekolah dan ditempat umum. Anak dapat melakukan mobilitas sendiri dengan kursi roda bertenaga listrik. Level 5: Kelainan fisik membatasi kemampuan kontrol gerakan, gerakan kepala dan postur tubuh. Semua area fungsi motorik terbatas. Keterbatasan untuk duduk dan berdiri yang tidak dapat dikompensasi dengan alat bantu, termasuk yang menggunakan teknologi. Anak tidak dapat melakukan aktifitas mandiri dan dibantu untuk mobilitas. Sebagian anak dapat melakukan mobilitas sendiri menggunakan kursi roda bertenaga listrik dengan sangat membutuhkan adaptasi. PROGNOSIS Beberapa faktor berpengaruh terhadap prognosis penderita CP seperti tipe klinis, keterlambatan

dicapainya milestones, adanya reflek patologik dan adanya defisit intelegensi, sensoris dan gangguan emosional. Anak dengan hemiplegi sebagian besar dapat berjalan sekitar umur 2 tahun, kadang diperlukan short leg brace , yang sifatnya sementara. Didapatkannya tangan dengan ukuran lebih kecil pada bagian yang hemiplegi, bisa disebabkan adanya disfungsi sensoris di parietal dan bisa menyebabkan gangguan motorik halus pada tangan tersebut. Lebih dari 50% anak tipe diplegi belajar berjalan pada usia sekitar 3 tahun, tetapi cara berjalan sering tidak normal dan sebagian anak memerlukan alat bantu. Aktifitas tangan biasanya ikut terganggu, meskipun tidak tampak nyata. Anak dengan tipe kuadriplegi, 25% memerlukan perawatan total, sekitar 33% dapat berjalan, biasanya setelah umur 3 tahun. Gangguan fungsi intelegensi paling sering didapatkan dan menyertai terjadinya keterbatasan dalam aktifitas. Keterlibatan otot-otot bulber, akan menambah gangguan yang terjadi pada tipe ini. Sebagian besar anak yang dapat duduk pada umur 2 tahun dapat belajar berjalan, sebaliknya anak yang tetap didapatkan reflek moro, asimetri tonic neck reflex, ekstensor thrust dan tidak munculnya reflek parasut biasanya tidak dapat belajar berjalan. Hanya sedikit anak yang tidak dapat duduk pada umur 4 tahun akan belajar berjalan. Pada penderita CP didapatkan memendeknya harapan hidup. Pada umur 10 tahun angka kematian sekitar 10% dan pada umur 30 tahun angka kematian sekitar 13%. Penelitian didapatkan harapan hidup 30 tahun pada gangguan motorik berat 42%, gangguan kognitif berat 62% dan gangguan penglihatan berat 38%. Hasil tersebut lebih buruk dibanding gangguan yang ringan atau sedang. Jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh penderita CP bervariasi seperti sheltered whorkshops, home based program, pekerjaan tradisional, pekerja pendukung. Hasil penelitian menunjukkan adanya prediktor sukses atau tidak suksesnya bekerja pada penderita CP. Dimana yang dapat bekeja secara kompetitif bila mempunyai IQ>80, dapat melakukan aktifitas dengan atau tanpa alat bantu, berbicara susah sampai normal dan dapat menggunakan tangan secara normal sampai membutuhkan bantuan. Matthews D J, Wilson P. Cerebral palsy. In: Pediatric Rehabilitation. 3rded. Philadelphia: Hanley and Belfus, 1999. Farid. Cerebral palsy: myelin sang juru kunci. Farmacia 2004. Paneth N, Korzeniewski S,Hong T. The role of the Intrauterine and perinatal environment in cerebral palsy. Neo Reviews, American Academy of Pediatrics 2005. Winter S, Autry A, Boyle C, Allsopp M Y. Trend in prevalence of cerebral palsy in a population based study. Pediatrics 2002. Idris FH. Rehabilitasi medik pada cerebral palsy . In: Pelatihan tim rehabilitasi medik pediatrik Indonesia. Semarang . 2002. Pharoah POD, Cooke T, Johnson M A, King R, Mutch L. Epidemiology of cerebral palsy in England and Scotland,1984-9. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1998.

Estela M, Antonieta M,Garrido E. Opthalmologic changes in patients with cerebral palsy. Am Orthopt J 1998. Mc Charthy G T. Physical disability in childhood. London: Churchill livingstone, 1992. Njiokiktjien C, Panggabean R, Hartono B. Perkembangan psikomotor. Semarang: Suyi. Publ.Indonesia, 2003. Cioni G, Bertuccelli B, Boldrini A,Canapicchi R, Fazzi.B,Guzetta A .et all. Correlation between visual function, neurodevelopmental outcome, and magnetic resonance imaging findings in infants with periventricular leucomalacia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2000. Wu Y W, Steven M, Strauss J D, Shavelle R M. Prognosis for ambulation in cerebral palsy : A population-based study. Pediatrics 2004. Buultjens M, McLean H. Cerebral palsy and visual impairment in children: Experience of Collaborative Practice in Scotland CPVI Working Group. Edinburg : Published by Scottish Sensory Centre, 2003. Passat J. Kelainan Perkembangan. In : Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI, 1999. Swaiman K F, Ashwal S. Cerebral palsy. In: Pediatric neurology.3rded. Missouri: Mosby, Inc, 1999. Kuban KCK, Leviton A. Cerebral palsy. The New England Journal of Medicine 1992. Hutton JL, Pharoah POD. Effects of cognitive ,motor, and sensory disabilities on survival in cerebral palsy. Arch Dis Child 2002. Edward A D, Patel J, Azzopardi D. Prevention of acquired neurological impairment in the perinatal period. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1997. Pierre Lin J, The cerebral palsies: A physiological approach. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2003. Berker N, Yalcin S. The helps guide to cerebral palsy. Istanbul: Avrupa Medical Bookshops Co Ltd & Global - Help Organization. 2005. Graziani L J, Mitchell D G, Kornhauser M, Pidcock F S, Merton DA, Stanley C, et all. Neurodevelopmental of preterm infant :neonatal neurosonographic and serum bilirubin studies. Pediatrics 1992. Menkes J H, Sarnat H B. Perinatal aspyxia and trauma . In: Child Neurology. 6thed. Philadelpia : Lippincott Williams & Wilkins 2000.

Volpe J J. Neurology of the Newborn. 4thed. London: WB Saunders Company , 2001.

Você também pode gostar