Você está na página 1de 4

PERJUANGAN PGRI DI ANTARA DINAMIKA,

Ketika langkah guru-guru sarat dengan pengabdian yang

kesejahteraannya tidak mendapat perhatian, PGRI kerap dituding sebagai organisasi yang tak bergigi dan tak bertaring. Meski bergigi, tak ubahnya dianggap makhluk bergigi tumpul. Organisasi ini sering menuai nada-nada sumbang yang intinya memberikan penilaian memojokkan dengan menganggap perjuangannya tidak maksimal. Lalu, bagaimana ketika kini banyak guru yang telah menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG) setelah lulus sertifikasi? Hingga saat ini, dunia pendidikan di tanah air tidak pernah terlepas dari berbagai permasalahan yang mendera. Permasalahan itu muncul silih berganti, bahkan bersamaan pada setiap aspeknya. Setiap permasalahan yang hendak diatasi selalu saja menimbulkan permasalahan baru yang pelik untuk dipecahkan. Hal ini memang dapat disadari mengingat proses pendidikan melibatkan berbagai komponen yang amat kompleks. PGRI yang lahir pada tanggal 25 November 1945, 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia masih tetap memiliki semangat perjuangan yang berkobar. Perjuangan guru tidak hanya perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan semangat kemerdekaan. Organisasi ini sebenarnya telah dirintis sejak masih penjajahan Belanda. Perubahan nama organisasi ini beberapa kali telah dialami. Puncaknya, semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 25 November 1945 di Surakarta. Sejak Kongres Guru Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Suatu tekad yang tidak pernah surut: bahwa, apa pun namanya, organisasi ini tetap mengusung tujuan yang utama yaitu mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan, membela hak serta nasib guru pada khususnya. Tujuan ini telah tertuang dalam butir-butir tujuan pendirian organisasi dengat semangat mengisi kemerdekaan. Itulah yang menjiwai perjuangan PGRI dalam upayanya meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia secara umum

melalui proses pendidikan. Namun demikian, semua usaha itu tidak berjalan mulus. Langkah-langkah yang diambil penuh dengan dinamika. Organisasi PGRI yang selalu menyelenggarakan kongres setiap tahunnya tetap mengagendakan suatu perjuangan perbaikan nasib para guru ke depan. Namun, rupanya berbagai langkah yang telah diambil belum sanggup mengetuk perhatian pemerintah, atau perhatian itu masih sebatas janji dengan argumen mesti melihat APBN. Begitu lama kaum pendidik di Indonesia berada dalam keterpurukan karena semua harapan yang diberikan hanya isapan jempol belaka. Sedangkan di pihak lain, pemerintah tetap bergeming menganggap semua sudah berjalan dengan normal. Jika kita menengok sekilas sejarah pendidikan di tahun enam puluhan, kita seolah berhadapan dengan sebuah mata pena yang telah menorehkan catatan kelam di negeri ini. Rintihan guru di masa lalu atas rendahnya gaji yang diperoleh adalah sebuah gambaran betapa terpuruknya sektor pendidikan kala itu. Kondisi pendidikan semacam di atas sangat potensial menurunkan kegairahan kaum pendidik sehingga Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang selalu menjadi harapan penyelenggaraan pendidikan sangat sulit diwujudkan. Implikasinya, hasil pendidikan di Indonesia berada pada urutan jauh di bawah di antara negara-negara di ASEAN. Posisi seperti ini sungguh memprihatinkan. Melihat kenyataan itu, perjuangan PGRI tidak mandeg sampai di situ. Meski sektor pendidikan yang diwadahi dirasa masih terpinggirkan, berbagai langkah diupayakan untuk mewujudkan SDM yang unggul dan berkualitas demi menyukseskan pembangunan nasional dalam berbagai sektor. Hal yang tidak disangka-sangka bahwa gejolak perpolitikan yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 telah memberi inspirasi kepada berbagai praktisi pendidikan agar segera mengambil langkah untuk membenahi negeri ini. Muncul berbagai opini logis bahwa pergolakan yang terjadi di tanah air adalah dampak dari rendahnya SDM yang dimiliki anak bangsa sehingga potensi untuk memahami berbagai suhu politik rendah pula. Berangkat dari pemikiran di atas, PGRI semakin menajamkan gaungnya. Bersama segenap praktisi pendidikan, organisasi ini menyikapi situasi yang tengah terjadi dengan memohonkan kebijakan pemerintah maupun DPR agar meningkatkan anggaran pendidikan dalam APBN menjadi minimal 20 %. Alhasil, sebagian perjuangan ini telah membuahkan hasil. Berbagai komponen dalam sektor pendidikan pun tahap demi tahap

mulai dibenahi; baik proses, sarana prasarana maupun finansial yang menyangkut kesejahteraan. Sebagian pendidik dan tenaga kependidikan kini telah dapat bernafas lebih lega. Kesejahteraan yang diterima jauh lebih baik dibandingkan dengan puluhan tahun silam. Apalagi kini, banyak guru telah menerima tunjangan profesional guru. Kondisi ini jelas lebih menjamin kenyamanan guru dalam meningkatkan kinerja. Namun demikian, sejauh mana para penikmat ini memberi apresiasi terhadap perjuangan organisasinya? Rupanya, masyarakat secara umum di negeri ini masih krisis penghargaan terhadap pendahulunya. Sejarah perjuangan pendahulunya akan cepat terlupakan setelah hasilnya telah terbiasa dinikmati. Inilah suatu bukti bahwa pembinaan mental bangsa sangat perlu ditingkatkan secara berkesinambungan. Sejarah guru yang banyak beralih menjadi tukang batu, tukang pandai besi, dan buruh lainnya di tahun 60-an karena jarang menerima gaji patut dijadikan cermin bagi tenaga pendidik dan kependidikan masa kini. Hal ini tentu akan dapat memberi motivasi yang besar untuk meningkatkan kinerja demi peningkatan kualitas bangsa dalam skala global. Kiprah PGRI hendaknya bisa dijadikan salah satu bahan renungan untuk ikut menyuarakan keluh kesahnya. Apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya patut diberikan atas sikap dan perjuangannya yang tidak pernah letih dan tidak semata-mata memperjuangkan haknya, namun lebih mengarah pada upaya pencerdasan anak bangsa. Dengan mengusung tujuan pendidikan nasional, semangat berkobar dengan dijiwai pekik kemerdekaan, PGRI telah menunjukkan eksistensinyya dan tetap diakui serta dibutuhkan sepanjang masa. Semoga PGRI, guru, dan bangsa Indonesia tetap jaya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sukses pendidikanku, selamat bangsaku.

BIOGRAFI PENULIS

1. Nama 2. Tempat, Tgl. Lahir 3. Alamat 4. Pekerjaan 5. Alamat Kantor 6. Pangkat/Golongan 7. NIP 8. Biografi singkat

: : : : : : : :

Dra. Ni Nyoman Sumiati Klungkung, 27 Oktober 1959 Jalan Jalak Putih, Gang I No. 6 Pendem - Negara Guru pada SMA Negeri 2 Negara Jalan Mayor Sugianyar Dauh Waru Negara Pembina/IV a 195910271980122004 Penulis menjadi guru yang mengajarkan

Bahasa dan Sastra Indonesia dari tahun 1980 sampai sekarang. kritik. Tahun 1982, berhasil meraih juara II tingkat penulisan Puisi Budaya yang provinsi Tahun 1981 1989, menulis di Bali Post dalam bentuk; puisi, cerpen, ulasan karya sastra,

diselenggarakan oleh UNUD. Tahun 1984, bersama teman-teman merintis penerbitan Majalah Kampus Maha Widya di UNMAS dan aktif menulis artikel untuk dimuat. Tahun 2003, meraih juara III Guru Berprestasi tingkat kabupaten Jembrana. Tahun 2004, masuk Nominator Lomba Resensi tingkat provinsi yang Penulisan

diselenggarakan Kantor Balai Bahasa Denpasar. Tahun 2007, merintis penerbitan majalas Tahun 2009, beberapa artikel dimuat di Kini, sedang menggarap PTK dan sekolah Mamiri di SMAN 2 Negara. GM-News. merampungkan Kumpulan Cerpen.

Você também pode gostar