Você está na página 1de 6

Nama NPM Dosen

: Dega Kautsar Pradana : 110113080065 : Tajudin, S.H.,M.H.

Mata Kuliah : Hukum Pidana dalam Yurisprudensi Analisa Eksistensi Hukum Pidana Adat Indonesia dihubungkan Putusan Hakim Dewasa Ini dan KUHP Peraturan yang dimiliki masyarakat adat berfungsi sebagai pengikat artinya dalam hal ini masyarakat adat yang terdapat masih dalam wilayah berlakunya adat tersebut akan selalu berhubungan dan biasanya tidak akan bisa melepaskan prilakunya terhadap peraturan tersebut. Walaupun di hukum adat juga terdapat kebebasan namun kebebasan ini harus sesuai dengan apa yang terdapat dalam peraturan adat atau yang disebut hukum adat.

Disini, hukum adat merupakan norma yang terbentuk atau tercipta dalam suatu masyarakat yang saling berhubungan dengan prilaku manusia dimana apabila ada yang

pelanggarnya akan mendapatkan sanksi. Dari ini, sistem sanksi merupakan suatu proses tentang bagaimana itu tatanan dalam menjalankan norma tadi yan disebut juga dengan hukum adat.

Masyarkat adat selaku objeknya berusaha untuk terus tetap menjalankan apa yang menjadi tradisinya dari masyarakat sebelumnya. Masyarakat biasa menganggap apa yang telah disepakati sabagai peraturan hidup mereka, juga dijadikan sebagai pedoman dan pegangan dalam berlangsungnya kehidupan. Dalam hal ini, kepercayaan dan keyakinan menjadi tonggak ukur utama dan faktor utama dari awal terbentuknya peraturan yang di taati oleh masing-masing masyarakat adat. Berlainan dengan hukum kriminal Barat, hukum Adat tidak mempunyai sistem pelanggaran yang tertutup. Hukum adat tidak mengenal sistem prae-existente regels, artinya tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu sebagaimana dalam asas legalitas yang tertuang dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Seluruh lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Tiap-tiap perbuatan atau tiap-tiap situasi yang tidak selaras dengan atau yang memperkosa keselamatan

masyarakat, keselamatan golongan famili atau keselamatan teman semasyarakat (anggota famili, dan sebagainya), dapat merupakan pelanggaran hukum. Dengan demikian maka di dalam hukum Adat, suatu perbuatan yang tadinya tidak merupakan sanksi adat, pada suatu waktu dapat dianggap oleh kepala adat sebagai perbuatan yang menentang tata tertib masyarakat sedemikian rupa, sehingga dianggap perlu diambil upaya adat (adatreaksi) guna memperbaiki hukum. Sebagai contoh, daerah Bali merupakan daerah yang hukum adatnya masih berpengaruh dengan kuat dan diterima oleh alam hukum daerah tersebut, yang kesemuanya berpangkal pada hidup budaya dan banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur religius. Oleh karena itu, hukum adat di Bali hidup secara berdampingan dan saling mengisi dengan agama (Hindu). Diterimanya unsurunsur agama ke dalam hukum delik adat, secara konkrit terlihat dart tata cara penjatuhan sanksi adat yang lebih banyak dikaitkan dengan ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian, maka berfungsinya hukum delik adat tidak terlepas dari unsur-unsur religius, dalam arti, sesuai dengan pandangan hidup berdasarkan ajaran-ajaran agama Hindu, di samping juga faktor lain seperti kesadaran anggota masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan tertib. Dapat diidentifikasi beberapa delik hukum adat, yang apabila diklasifikasikan termasuk dalam delik terhadap: harta benda; kepentingan orang banyak; kepentingan pribadi seseorang; kesusilaan; dan pelanggaran lain yang sifatnya ringan. Dalam praktek peradilan di Bali, untuk kasus-kasus delik hukum adat, putusan hakim didasarkan Pasal 5 ayat (3) sub. b UU No. 1 Drt Tahun 1951 yang dihubungkan dengan kewajiban hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. Ditemukan putusan yang bervariasi dalam penanganan kasus-kasus delik hukum adat, bahkan ditemukan pula putusan hakim yang menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan di luar ketentuan Pasal 10 KUHP. Eksistensi delik hukum adat dalam hukum pidana positif di Indonesia, paling tidak mematahkan kekakuan asas legalitas dalam dinamika hukum pidana positif, walaupun dalam implementasinya hukum pidana positif di Indonesia masih menampakkan kekakuannya. Dalam era implementasi hukum pidana mendatang, delik hukum adat masih diberikan peluang keberadaannya. Peluang keberadaan delik hukum adat tercermin dalam konsep KUHP yang dituangkan dalam Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 64 ayat (4) sub. 5. Langkah tepat para perancang konsep KUHP untuk tetap mengakui keberadaan delik hukum adat dalam implementasi hukum pidana mendatang telah menunjukkan adanya pergeseran pandangan terhadap hukum yang yuridis dogmatis menuju pada pandangan yang

sosiologis. Urgensi memasukkan delik hukum adat tentu berkait pula dengan usaha mengangkat nilai-nilai sosial dan budaya sebagai khasanah potensial dalam pembangunan hukum. Semua ini tentu dalam konteks, bahwa faktor-faktor yang ada di luar hukum, ikut pula menentukan efektif atau tidaknya hukum. Bagaimana Peradilan Adat tersebut dipraktekkan saat ini? 1. Kampung Datar Ajab, Kec, Hantakan, Kab. Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan. Kampung ini terletak dikaki pegunungan Meratus, yang menjadi wilayah pemukiman Dayak Meratus. Kampung ini membawahi 4 (empat) Balai yaitu Balai Adat Agung Mula Ada, Balai Adat Tambun Batu, Balai Adat Matinjau dan Balai Adat Muanjal Pajat. Kelembagaan adat masih menjadi lembaga yang fugsional terhadap masyarakatnya dibawah pimpinan Kepala Adat dan Ketua Suku yang mengepalai Balai Adat serta Kepala Padang yang mengurusi hutan. Permasalahan yang terjadi (baik antar Balai maupun dengan orang laur) dan pelanggaran adat lainnya menjadi urusan tetua adat, untuk menyelesaiknnya dalam lingkup balai secara musyawarah, untuk menemukan kesepakatan mengenai kesalahan dan bentuk hukumannya. Musyawarah ini sendiri dihadiri olah tokoh adat dan pengurus lembaga adat. Dalam prakteknya, bentuk hukumannya antara lain adalah bayar pamali (parabia) sebagai denda, diasingkan dari balainya, pembalasan seperti kesalahannnya dan bayar nyawa. Penjatuhan hukuman ini didasarkan pada kesalahan serta pertimbangan si korban dan pelaku. Proses penyelesaiannya (sistem sanksi) sebagai berikut; Berawal dari adanya laporan/pengaduan kepada kepala adat. Laporan ini ditindak lanjuti dengan mengundang kepala adat, penghulu adat dan tokoh adat untuk memusyawarahkan

langkah-langkah penyelaian. Selanjutnya dilaksanakan pemeriksaan pihak yang terkait dengan kasus tersebut (pelaku dan korban) serta mencari keterangan dari masyarakat. Dengan memahami duduk persoalan berdasarkan pemeriksan tersebut, diselenggarakan rapat adat yang dihadiri oleh masyarakat banyak .

2.

Lebong Utara, Kab. Rejang Lebong Bengkulu

Kasus yang bisa diselesaikan diperadilan adat ini adalah pelanggaran atas adat kampung serta hal-hal lain yang telah diizinkan oleh pihak yang berwenang. Prosesnya sendiri dimulai dengan apa yang dinamakan proses kantor (saat ini dilakukan oleh Kepala Desa dan poerangkatnya) untuk memperoleh keterangan dan bukti-bukti. Selanjutnya kepala desa meminta diselenggrakannya persidangan adat untuk mengajukan pelaku, barang bukti dan saksi-saksi. Persidangan berlangsusng dibawah pimpinan ketua Kutai. Dalam mengambil keputusan atau menjatuhkan hukuman, Ketua Kutai ini dibantu oleh Ketua Syara dan Ketua Adat.

3.

Kei Maluku Tenggara

Di daerah ini dikenal hukum Larwur Ngabal yang berlaku diseluruh wilayah Kei. Saat ini Larwur Nagabl ini terdiri dari tiga ketentuan hukum, yaitu: 1) Nevnev, yang terdiri dari tujuh pasal ketentuan yang melarang pikiran, perkataan dan tindakan yang menyakiti, mencelakai, menghancurkan dan mematikan manusia 2) Hanilit, yang terdiri dari tujuh pasal dan dua pasal tambahan tentang kesusilan, serta 3) Hawaer batwirin, yang terdiri dari tujuh pasal mengenai kepemilikan Hukum ini menjadi satu-satunya hukum sebelum munculnya hukum agama dan negra yang ditegakkan oleh Raut (raja) dan Soa (setingkat kadus), yang kewenangan penyelesaiannya didasarkan pada berat-ringannya perkara Prosesnya sendiri berawal dari laporan orang yang

merasa haknya dilanggar kepada pemimpin adat. Selanjutnya pemimpin adat menghubungi pihak-pihak yang berperkara dan menentukan hari persidangan. Pada waktu persidangan pihakpihak yang berperkara hadir dengan saksi masing-masing. Sidang dipimpion oleh pemimpin adat dengan didampingi Dewan Adat. Dalam perkara pelanggaran susila, perempuan hanya boleh diperiksa oleh beberapa perempuan yang dituakan. Dalam prakteknya, Larwur Ngabal mengandung dua sanksi, yakni sanksi kebendaan atau hukum Delyoan dan hukum Kevhunin, semacam hukum karma. Sanksi inilah yang diyakini akan diterima oleh pihak yang mengelabui proses persidangan, sehingga berhasil lolos dari sanksi kebendaan. Sanksi Kevhunin ini tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang terlibat perkara, tetapi juga bagi semua pihak yang ikut dalam proses persidangan.

Upaya untuk memperkuat eksistensi hukum adat ke dalam sistem hukum Indonesia terus dilakukan. Salah satu contohnya adalah ketika Tim Perancang Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyandingkan asas legalistas dengan hukum adat atau hukum yang berkembang di masyarakat. Pasal 2 ayat (1) revisi KUHP menyatakan Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) (asas legalitas,-red) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hukum adat diakomodasisepanjang sejalan dengan Pancasila, hak asasi manusia dan prinsip hukum umum. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo mengatakan dengan diakomodirnya hukum adat ke dalam KUHP ini maka ada pertanyaan selanjutnya yang akan timbul. Yakni, siapa yang akan menentukan delik atau tindak pidana adat itu. Pasalnya, hukum adat tidak tertulis. Siapa yang menentukannya? tuturnya di Jakarta, Kamis (22/3). Harkristuti menjelaskan jawaban dari pertanyaan ini adalah hakim yang memutus perkara tersebut. Ini dikaitkan dengan peran hakim yang harus menggali rasa keadilan yang ada di masyarakat. Karenanya, dengan dimasukannya ketentuan hukum adat ke KUHP ini, maka tugas seorang hakim tak lagi mudah. Mereka harus mempelajari hukum adat yang eksis di Indonesia yang jumlahnya tak sedikit itu. Saya membayangkan setelah revisi KUHP ini disahkan, para hakim itu harus rajin belajar hukum adat, bukan main golf lagi, sindir wanita yang saat ini menjabat sebagai Dirjen Hak Asasi Manusia Kemenkumham ini. Sesepuh Hukum Pidana Indonesia Prof. J.E. Sahetapy berpendapat hukum adat itu memang cukup sulit untuk dijadikan acuan. Ia mengingatkan bahwa memasukan ketentuan hukum adat atau delik adat ke KUHP harus hati-hati. Pasalnya, hukum adat di Aceh, misalnya berbeda dengan hukum adat yang berlaku di Padang, Bugis atau Madura. Bahkan hukum adat di Jawa apakah masih ada atau tidak, saya bingung juga, tuturnya.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita justru mendukung langkah ini. Ia menjelaskan bahwa delik adat atau hukum adat yang tersebar di nusantara adalah kekayaan Indonesia yang luar biasa. Ia menceritakan sebuah kisah seorang Australia yang meneliti hukum di Padang. Lalu, menemukan konsep yang dikenal restorativejustice.

Kesannya istilah restorativejusticeitu keren, padahal itu sudah ada di dalam hukum-hukum adat di Indonesia. Ini kekayaan kita, tegasnya. Romli mengatakan banyak nilai-nilai yang terkandung dalam hukum adat Indonesia yang bisa memulihkan hubungan antara (keluarga) korban dan (keluarga) pelaku. Hukum adat itu kadang-kadang bisa menghilangkan dendam di antara mereka, ujarnya sembari menilai konsep ini cocok untuk hukum pidana.

Você também pode gostar