Você está na página 1de 49

Analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan akhirnya akan memberikan rasa

nyaman pada orang yang menderita.Anti inflamasi adalah obat yang dapat menghilangkan radang yang disebabkan bukan karena mikroorganisme (non infeksi). Gejala inflamasi Inflamasi dapat disertai dengan gejala panas, kemerahan, bengkak, nyeri/sakit, fungsinya terganggu. Proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatnya permeabilitas vaskuler dan migrasi leukosit ke jaringan radang, dengan gejala panas, kemerahan, bengkak, nyeri/sakit, fungsinya terganggu. Mediator yang dilepaskan antara lain histamin, bradikinin, leukotrin, Prostaglandin dan PAF. Voltaren adalah merek dari Novartis untuk obat nyeri golongan NSAID (non-steroid anti-inflamatory drug). Kandungannya adalah Natrium diklofenak (sodium diclofenac). Voltaren tersedia dalam bentuk beragam yaitu Voltaren 25 (Voltaren Enteric Coated stength 25 mg), Voltaren 50 (Voltaren Enteric Coated stength 50 mg), Voltaren SR 75 (Voltaren Sustained Release strength 75 mg), Voltaren 100 (Volataren Retard, strength 100 mg) untuk pemberian secara oral dan Voltaren Emulgel untuk pemakaian luar. Voltaren diindikasikan:

Untuk menghilangkan tanda-tanda dan gejala osteoarthritis, dosis yang direkomendasikan adalah 100-150 mg/hari dibagi dalam dosis terbagi (50 mg b.i.d. atau t.i.d., atau 75 mg b.i.d.). (b.i.d = 2 x sehari, t.i.d. = 3 x sehari) Untuk menghilangkan tanda-tanda dan gejala rheumatoid arthritis (RA), dosis yang direkomendasikan adalah 150-200 mg/hari dibagi darlam dosis terbagi (50 mg t.i.d. atau q.i.d., atau 75 mg b.i.d.). (q.i.d. = 4 x sehari) Untuk menggunakan akut atau jangka panjang dalam menghilangkan tanda dan gejala ankylosing spondylitis, dosis yang direkomendasikan adalah 100-125 mg/hari, diberikan sebagai 25 mg q.i.d., atau dengan tambahan dosis 25-mg saat akan tidur, bila perlu.

Sebenarnya banyak hal yang berpengaruh pada dosis pengobatan yang dibutuhkan pasien. Faktor-faktor tersebut misalnya bobot badan, kondisi kesehatan, dll. Jika dokter merekomendasikan dosis yang berbeda dari daftar di atas, jangan mengganti dosis sendiri tanpa konsultasi terlebih dahulu.Jika Anda terlupa satu dosis, segera minum saat teringat dan lanjutkan sesuai jadwal biasanya. Namun jika teringatnya mendekati waktu saat minum berikutnya, lupakan saja dosis terlupa tadi dan minum satu dosis saja, jangan men-double. Jika Anda ragu-ragu, segera kontak Apoteker kepercayaan/langganan Anda. Informasi penting apa terkait obat ini? Obat ini dapat meningkatkan risiko gangguan jantung yang mengancam jiwa (life-threatening heart) atau masalah pada sirkulasi darah lainnya, termasuk serangan jantung (heart attack) atau stroke. Risiko ini akan meningkatkan lagi jika Anda menggunakan Voltaren. Jangan gunakan obat ini sebelum atau setelah menjalani operasi bypass jantung (juga disebut arteri graft bypass koroner, atau CABG = called coronary artery bypass graft). Jika Anda mengalami gejala masalah jantung atau sirkulasi, seperti nyeri dada, kelemahan, sesak napas, berbicara cadel, atau masalah dengan penglihatan atau keseimbangan, segera cari bantuan medis darurat. Obat ini juga dapat meningkatkan risiko efek serius pada perut atau usus, termasuk perdarahan atau perforasi (pembentukan lubang). Kondisi ini dapat menjadi efek yang fatal (mematikan) dan efek gastrointestinal dapat terjadi sewaktu-waktu kapan saja saat Anda sedang menggunakan Voltaren. Kaum lansia memiliki risiko lebih besar dari efek samping yang serius pada gastrointestinal. Jika terjadi gejala perdarahan di dalam perut atau usus, segera panggil dokter. Ini termasuk jika tinja berwarna hitam, berdarah, atau tarry stools, atau batuk darah atau muntah yang tampak seperti bubuk kopi. Jangan menggunakan over-the-counter (OTC) lainnya yang berkhasiat sebagai pendingin, obat alergi, atau obat nyeri tanpa terlebih dahulu konsultasi dengan dokter atau apoteker. Banyak obat-obatan OTC mengandung aspirin atau obat lain yang serupa dengan Voltaren (seperti ibuprofen, ketoprofen, atau naproxen). Baca label obat lain yang Anda gunakan untuk melihat apakah mengandung aspirin, ibuprofen, ketoprofen, atau naproxen. Mengapa? Karena obat-obat di atas adalah sama-sama NSAID yang berefek pengurang rasa sakit. Jika mengonsumsi obat berlebihan bisa berbahaya. Jangan minum alkohol saat mengambil Voltaren. Alkohol dapat meningkatkan risiko perdarahan lambung yang disebabkan oleh Voltaren. Avoid prolonged exposure to sunlight. Voltaren dapat meningkatkan sensitivitas kulit terhadap cahaya. Gunakan sunscreen dan pakaian pelindung ketika paparan sinar mataharo tidak bisa dihindari. Peringatan untuk diklofenak bagi ibu hamil Diklofenak telah ditetapkan masuk kategori C untuk kehamilan sebelum 30 minggu dan kategori D mulai untuk kehamilan 30 minggu oleh FDA. Penggunaan NSAID diklofenak pada saat akhir kehamilan (setelah 30 minggu kehamilan) dapat menyebabkan penutupan dini ductus arteriosus dan memperpanjang persalinan. Penelitian terhadap hewan uji gagal untuk mengungkapkan bukti teratogenisitas, meskipun induksi toksisitas ibu dan janin toksisitas. Diklofenak harus diberikan selama kehamilan hanya jika potensi manfaat lebih besar daripada potensi risiko. Bagaimana dengan ibu menyusui?

Tidak diketahui apakah diklofenak diekskresikan dalam air susu mabusia, namun, ada laporan kasus dalam literatur menunjukkan diklofenak dapat dideteksi pada tingkat yang rendah dalam ASI. Karena banyak obat diekskresikan dalam air susu manusia dan karena potensi efek samping yang serius pada bayi, keputusan harus dibuat apakah akan menghentikan menyusui atau menghentikan obat, dengan mempertimbangkan pentingnya obat untuk ibu. Obat ini seharusnya tidak diberikan pada pasien yang:

alergi terhadap diklofenak atau kompenen lain pada obat ini (list daftar tambahan obat ada di halaman ini pada bagian bawah) ibu yang sedang menyusui sedang mengkonsumsi NSAID yang lain kehamilan trisemester ketiga (setelah 28 minggu) akan atau baru saja operas heart bypass usia kurang dari 16 tahun (Menurut data dari Medscpa dinyatakan bahwa keamanan dan efikasi belum established, tetapi obat ini aman pada sejumlah anak-anak usia 3-16 tahun yang menderita juvenile rheumatoid arthritis) sakit inflamasu pada lambung dan usus (stomach and intestines), seperti ulser lambung dan usus atau ulcerative colitis memiliki pendarahan pada otak atau gangguan pendarahan reaksi alergi terhadap ASA atau antiinflamasi yang lain memiliki kadar kalium yang tinggi dalam darah memiliki kegagalan jantung yang parah memiliki ganggunga fungsi ginjal memiliki gangguan gati yang significant

Semoga informasi ini bermanfaat. Di tengah-tengah kejadian penggunaan Voltaren yang merajalela di masyarakati, ibarat kayak konsumsi kacang goreng, tapi ternyata bisa berbahaya jika digunakan dengan tidak hati-hati. Apa beda Voltaren dengan Cataflam? Keduanya sama-sama diklofenak, beda di bentuk garamnya. Voltaren adalah garam natrium diklofenakm sedangkan Cataflam adalah garam kalium diklofenak. Cataflam cepat bekerja, onsetnya cepat, sedangkan Voltaren adalah delayed-release. Interaksi Obat Jangan gunakan Voltaren dengan obat ini, interaksi bersifat seius maka carilah penggantinya. Obat-obat tersebut yaitu: Ketorolak, ketorolak intranasal (suatu NSAID), metroteksat (obat antikanker), dan pemetrexed. Interaksi lainnya yaitu tipe signifikan, artinya perlu monitoring yang ketat. Ada list yang panjang sekali, jumlahnya 239 obat (link daftar obat). Bentuk sediaan yang lain: Tablets Voltaren Rapide Each reddish-brown, round, biconvex, sugar-coated tablet contains 50 mg diclofenac potassium. Nonmedicinal ingredients: cellulose, colloidal silicon dioxide, corn starch, ferric oxide, magnesium stearate, polyethylene glycol, povidone, sodium carboxymethyl starch, sucrose, talc, titanium dioxide, and tribasic calcium phosphate. 50 mg delayed-release tablet Each light brown, round, slightly biconvex, enteric-coated, tablet printed VOLTAREN on one side and 50 on the other contains 50 mg diclofenac sodium. Nonmedicinal ingredients: black ink, castor oil derivatives, colloidal silicon dioxide, corn starch, hypromellose, iron oxides, lactose, magnesium stearate, microcrystalline cellulose, polyethylene glycol, povidone, sodium starch glycolate, talc, and titanium dioxide. SR 75 mg extended-release tablet Each light pink, triangular, biconvex, film-coated tablet printed VOLTAREN SR on one side and 75 on the other contains 75 mg diclofenac sodium. Nonmedicinal ingredients: black ink, carnauba wax, cellulose compounds, cetyl alcohol, colloidal silicon dioxide, hypromellose, magnesium stearate, polysorbate 80, povidone, red iron oxide, sucrose, talc, and titanium dioxide. SR 100 mg extended-release tablet Each pink round, biconvex, film-coated tablet printed VOLTAREN SR on one side and 100 on the other contains 100 mg diclofenac sodium.

Nonmedicinal ingredients: black ink, carnauba wax, cellulose compounds, cetyl alcohol, colloidal silicon dioxide, hypromellose, magnesium stearate, polysorbate 80, povidone, red iron oxide, sucrose, talc, and titanium dioxide. Suppositories 50 mg rectal suppository Each bullet-shaped suppository; white to yellowish-white in colour, with a smooth surface and a fat like odour contains 50 mg diclofenac sodium. Nonmedicinal ingredients: semi-synthetic glycerides. 100 mg rectal suppository Each bullet-shaped suppository; white to yellowish-white in colour, with a smooth surface and a fat like odour contains 100 mg diclofenac sodium. Nonmedicinal ingredients: semi-synthetic glycerides. Voltaren Ophtha 0.1% Ophthalmic Solution Each mL of ophthalmic solution contains diclofenac sodium 0.1%. Nonmedicinal ingredients: preserved multi-dose bottles: boric acid, cremophor EL, edetate disodium, purified water, sorbic acid, and tromethamine (TRIS); unpreserved single dose units: boric acid, cremophor EL, purified water, and tromethamine (TRIS). asetaminofen-parasetamol January 16, 2010 by admin2 Leave a Comment asetaminofen (Alphamol, biogesic, bodrexin, demam syr, calapol, contratemp, cupanol, dumin, erphamol, farmadol, fevrin, ikacetamol, itamol, kamolas, lanamol, maganol, moretic, naprex, nasamol, nufadol, ottopan, pamol, panadol, praxion, progesic, propyretic, pyrex, sanmol, tempra, turpan, xepamol) Golongan Anti peradangan non-opioid nonsteroid Sediaan Tablet 100-500 mg Supositoria : 100 mg Cairan oral : 125 mg/5 ml Indikasi: Nyeri ringan sampai sedang termasuk dysmenorrheal, sakit kepala; pereda nyeri pada osteoarthritis dan lesi jaringan lunak; demam termasuk demam setelah imunisasi; serangan migren akut, tension headache Kontraindikasi : Perhatian : Gangguan hati; gangguan ginjal; ketergantungan alkohol Kehamilan dan meyusui : Kehamilan : Penyakit/indikasi Alasan penggunaan

Menyusui :

Tidak diketahui berbahaya


Interaksi :

Jumlah terlalu sedikit untuk membahayakan

Antikoagulan Antiepilepsi Sitotoksik

Obat pengatur lipid Metoklopramid Dosis :

Penggunaan parasetamol jangka panjang pemakaian umum mungkin meningkatkan efek antikoagulan dari koumarin Carbamazepin mungkin meningkatkan metabolism parasetamol Parasetamol mungkin menghambat metabolism busulfan intravena (pabrik busulfan intravena menyatakan perhatian dalam 72 jam penggunaan parasetamol) Penyerapan parasetamol dikurangi oleh kolestiramin Kecepatan penyerapan parasetamol ditingkatkan oleh parasetamol

Demam setelah imunisasi, per oral, BAYI 2-3 bulan, 60 mg diikuti dosis kedua, jika perlu, 4-6 jam kemudian. Ingatkan orang tua untuk menghubungi tenaga kesehatan jika demam menetap setelah dosis kedua Nyeri ringan sedang, demam, per oral, DEWASA 0,5 1 g tiap 4-6 jam, maksimal 4 g sehari; ANAK dibawah 3 bulan (lihat di bawah), 3 bulan 1 tahun 60-125 mg, 1-5 tahun 120-250 mg, 6-12 tahun 250-500 mg, dosis ini dapat diulang tiap 4-6 jam jika perlu (maksimal 4 dosis dalam 24 jam) Nyeri ringan sedang, per rectal, DEWASA 0,5 1 g; ANAK 1-5 tahun 125-250 mg, 6-12 tahun 250-500 mg; dosis diberikan tiap 4-6 jam jika perlu, maksimal 4 dosis dalam 24 jam Bayi kurang dari 3 bulan sebaiknya tidak diberikan parasetamol kecuali dianjurkan dokter; dosis 10 mg/kg (5 mg/kg jika jaundis) bisa diberikan Pengobatan serangan migren akut, per oral, DEWASA 0,5 1 g saat serangan pertama, dapat diulang tiap 4-6 jam jika perlu, maksimal 4 g sehari; ANAK 6-12 tahun 250-500 mg saat serangan pertama, dapat diulang tiap 4-6 jam jika perlu, maksimal 4 dosis dalam 24 jam Pengobatan seranga migren akut , per rectal, DEWASA dan ANAK di atas 12 tahun 0,5 1 g saat tanda pertama serangan, dapat diulang tiap 46 jam jika perlu, maksimal 4 dosis dalam 24 jam; ANAK 6-12 tahun 250-500 mg saat tanda pertama serangan, dapat diulang tiap 4-6 jam jika perlu, maksimal 4 dosis dalam 24 jam Cara pelarutan dan pemberian : Efek yang tidak diinginkan : Jarang tetapi dilaporkan : ruam dan gangguan darah; penting: kerusakan hati ( dan lebih jarang kerusakan ginjal) setelah overdosis

Kalbe.co.id - Multidisciplinary Panel on Acute and Chronic Pain, yang terdiri dari para ahli dari Asia Pasifik, pada tahun 2010 melakukan konvensi untuk mendiskusikan penggunaan paracetamol untuk mengatasi nyeri akut dan kronik pada osteoartritis (OA), termasuk dosis dan penggunaannya pada populasi pasien tertentu. Osteoartritis (OA) lebih dari sekedar penyakit degeneratif pada persendian, faktor biomekanik juga sangat berperan pada onset dan progresivitas penyakit. Rasa sakit yang dialami oleh pasien OA lutut kebanyakan merupakan rasa sakit yang disebabkan oleh pergerakan atau pembebanan pada sendi. Karena itu penanganan OA harus memperhatikan faktor biomekanik, dan intervensi non-farmakologis juga harus dilakukan. Penanganan OA dengan obat-obatan, khususnya pada pasien lanjut usia merupakan tantangan bagi dokter untuk menentukan jenis obat mana yang paling baik dalam meredakan gejala OA, dengan efek samping yang minimal. Dua review Cochrane terbaru menunjukkan bahwa paracetamol efektif dalam mengatasi rasa nyeri akut. Review pertama mengambil data dari 51 studi dan menemukan bahwa paracetamol efektif mengatasi rasa nyeri pada periode +/- 4 jam untuk 50% pasien yang mengalami nyeri sedang-berat setelah operasi (termasuk operasi gigi). Review kedua mengambil data dari 21 studi dengan total peserta penelitian lebih dari 2000 orang, menilai efikasi paracetamol dalam mengatasi rasa nyeri setelah operasi pengangkatan gigi molar 3 bawah (geraham bungsu). Peneliti menyimpulkan bahwa paracetamol meredakan nyeri

secara signifikan pada waktu 4 dan 6 jam setelah operasi (berbeda bermakna dibandingkan dengan plasebo). Uji klinis yang berbeda mencoba mencari tahu apakah kombinasi paracetamol dengan ketoprofen lebih efektif dan dapat ditoleransi dengan lebih baik dibandingkan dengan pemberian paracetamol atau ketoprofen sebagai agen tunggal dalam penanganan nyeri pasca operasi gigi. Pasien diacak untuk menerima ketoprofen 100 mg + paracetamol 1.000 mg, ketoprofen 100 mg, paracetamol 1.000 mg, atau plasebo lewat pemberian oral dosis tunggal. Hasilnya : Ketoprofen 100 mg + paracetamol 1.000 mg memberikan efek analgesia yang paling cepat onsetnya pada pasien pasca operasi gigi. Dosis maksimal paracetamol dalam 1 x pemberian oral dengan formula immediate release adalah 1 g, sedangkan untuk formula sustained release adalah 1,33 g. Paracetamol dapat digunakan sebagai alternatif pertama untuk penanganan nyeri OA, seperti direkomendasikan pada beberapa guideline internasional. Bukti klinis menunjukkkan bahwa pada pasien OA, pemberian paracetamol memiliki efikasi yang setara dengan NSAID dalam penanganan nyeri sendi, dan pemberian paracetamol tidak terkait dengan perdarahan saluran cerna bagian atas. Guideline internasional menganjurkan dosis harian maksimum untuk paracetamol (formula standar 500 mg/tablet) adalah sebesar 4 g/hari, sedangkan untuk formula slow release, dosis harian maksimum sebesar 3,9 g/hari. Beberapa data menganjurkan formula yang bekerja dalam jangka waktu yang lebih panjang (slow release) untuk kepatuhan pasien yang lebih baik dan pencapaian level terapi. Panel menganjurkan penggunaan paracetamol selama 3-4 minggu untuk menilai efektivitasnya sebelum mengubah atau menambahkan obat yang lain. Studi yang ada menunjukkan pada pasien dengan penyakit hati kronik / chronic liver disease (CLD) yang menggunakan paracetamol, waktu paruh acetaminophen / paracetamol menjadi lebih panjang, aktivitas sitokrom P450 tidak meningkat, dan cadangan glutation tidak berkurang sampai ke level kritis. Penggunaan paracetamol pada pasien CLD yang stabil tidak menunjukkan akumulasi obat atau hepatotoksitas, juga tidak menunjukkan abnormalitas dari efek samping paracetamol. Berdasar bukti-bukti yang ada, pengurangan dosis paracetamol pada pasien CLD yang stabil tidak diperlukan, sedangkan pada pasien CLD yang lanjut, karena potensi efek hepatotoksik, dosis harian paracetamol dianjurkan tidak melebihi 2-3 g/hari, dan untuk pasien alkoholik, dosis harus di bawah 2g/hari. Pada kelompok lanjut usia, menurut American Geriatric Society (AGS), paracetamol merupakan pilihan analgesik pertama, dengan dosis maksimal 4 g/hari, dan sebaiknya dikurangi menjadi 2-3 g/hari pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau dengan riwayat konsumsi alkohol berlebih. Paracetamol juga merupakan pilihan analgesik yang dapat dipakai berulang untuk pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal, menurut National Kidney Foundation (USA). Paracetamol memiliki waktu paruh 2-4 jam. Pemberian dosis tunggal paracetamol dapat dibersihkan oleh tubuh dalam waktu 24-36 jam, pemberian dosis berulang paracetamol dapat dibersihkan oleh tubuh dalam waktu 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan paracetamol dalam jangka panjang tidak menimbulkan akumulasi obat dalam tubuh. Bukti klinis menunjukkan bahwa penggunaan paracetamol dalam jangka panjang juga tidak menimbulkan efek toleransi obat maupun ketergantungan. Kesimpulan : Bukti klinis menunjukkan bahwa paracetamol merupakan analgesik yang aman dan efektif dalam mengatasi nyeri osteoartritis akut dan kronik. Paracetamol aman jika diberikan kepada pasien dengan gangguan fungsi hati, ginjal, dan juga pada kelompok pasien lanjut usia. Efek samping yang ditimbulkan karena pemberian paracetamol minimal, penggunaan jangka panjang tidak menyebabkan akumulasi obat dalam tubuh, dan tidak menimbulkan efek toleransi atau ketergantungan.

Farmakologi dan farmakokinetika KAFLAM adalah obat antiinflamasi nonsteroid yang mengandung garam kalium dari diklofenak. Obat ini memiliki efek analgesic dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat sintesis prostaglandin, mediator yang berperan penting dalam proses terjadinya inflamasi, nyeri dan demam. Kalium diklofenak akan diabsorbsi dengan cepat dan lengkap dan jumlah yang diabsorbsi tidak berkurang jika diberikan bersama dengan makanan. Kadar puncak obat dicapai dalam -1 jam. Ikatan protein 99,7%, waktu paruh 1-2 jam. Pemberian dosis berulang tiidak menyebabkan akumulasi . eliminasi terutama melalui urin

Natrium diklofenak dalam bentuk CR/lepas-lambat terkendali adalah salah satu tekonologi yang dikembangkan untuk memperbaiki efikasi dan toleransi diklofenak. Pengembangan formulasi yang canggih dengan teknologi tinggi pada drug delivery System telah dilakukan oleh Klinge Pharma GmbH dan telah dipasarkan di Indonesia dengan nama Deflamat CR oleh PT. Actavis Indonesia. Deflamat CR (gabungan antara teknologi Enteric-Coated dengan Sustained-Release ) memiliki bentuk yang unik yaitu pelet CR dimana zak aktif terbagi dalam ratusan unit sferis kecil ( pelet) yang akan menjamin penyebaran yang baik dari zat aktif diseluruh saluran gastro-intestinal sehingga akan memperbaiki toleransi gastro-intestinal dari obat AINS Selain itu, dengan ukuran partikel yang kecil, pelet bisa melintasi pilorus dengan cepat bersama kimus, dimana transportasi menuju doudenum tidak bergantung pada pengosongan lambung, sehingga waktu transit obat rata-rata lebih cepat dan dengan sistem pelepasannya yang terkendali, absorpsi yang cepat dan kontinyu memberikan kontribusi utama untuk memperbaiki bioavilabilitas obat AINS. Beberapa studi klinis natrium diklofenak yang diberikan sebagai monoterapi atau kombinasi, menunjukkan obat ini efektif meredakan gejala osteoartritis (OA) maupun reumatoid artritis (RA). Studi yang dilakukan di Jerman terhadap 230 pasien menunjukkan, penggunaan diklofenak dalam sediaan gel untuk pasien osteoartritis pada lulut terbukti efektif dan aman untuk meredakan gejala osteoartritis pada lutut. Studi ini dimuat dalam Journal of Rheumatology Indikasi Sebagai pengobatan jangka pendek untuk kondisi-kondisi akut sebagai berikut: - Nyeri inflamasi setelah trauma seperti terkilir. - Nyeri dan inflamasi setelah operasi, seperti operasi gigi atau tulang. Sebagai adjuvant pada nyeri inflamsi yang berat dari infeksi telinga, hidung, atau tenggorokan misalnya tonsilofaringitis, otitis. Sesuai dengan prinsip pengobatan umum, penyakitnya sendiri harus diobati dengan terapi dasar. Demam sendiri bukan suatu indikasi. Kontraindikasi Hipersensitif terhadap zat aktif dan tukak lambung. Juga dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat tercetusnya serangan asma, urtikaria atau rhinitis akut akibat obat-obat anti nonsteroid lainnya Peringatan dan perhatian - Hati-hati penggunaan pada penderita dekomposisi jantung atau hipertensi, karena diklofenak dapat menyebabkan retensi cairan dan edema. - Hati-hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi ginjal, jantung, hati, penderita usia lanjut dan penderita dengan luka atau perdarahan pada saluran pencernaan. - Hindarkan penggunaan pada penderita porfiria hati. -Hati-hati penggunaan selama kehamilan karena diklofenak dapat menembus plasenta. - Diklofenak tidak dianjurkan untuk ibu menyusui karena diklofenak diekskresikan melalui ASI. - Pada anak-anak efektivitas dan keamanannya belum diketahui dengan pasti. Efek samping Saluran pencernaan : - Kadang- kadang : nyeri epigastrum, gangguan saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare, kejang perut, dyspepsia, perut kembung, anoreksia. - Jarang : perdarahan saluran pencernaan ( hematemesis, melena, tukak lambung dengan atau tanpa perdarahan/ perforasi, diare berdarah ) - Sangat jarang : gangguan usus bawah seperti nonspesifik haemorrhagic colitis dan eksaserbasi colitis ulseratif atau chrons disease, stomatitis aphthosa, glositis, lesi esophagus, konstipasi.

Saluran saraf pusat dan perifer : - Kadang- kadang : sakit kepala, pusing, vertigo - Jarang : perasaan ngantuk - Sangat jarang : gangguan sensasi ternasuk parestesia, gangguan memori, disorientasi, gangguan penhlihatan ( blurred vision, diplopia ), gangguan pendengaran, tinnitus, insomnia, iritabilitas, kejang, depresi, kecemasan,mimpi buruk, tremor, reaksi psikotik, gangguan perubahan rasa. Kulit - Kadang-kadang : ruam atau erupsi kulit - Jarang : urtikaria - Sangat jarang : erupsi bulosa , eksema, eritema multiforme, SSJ, lyell syndrome ( epidermolisis toksik akut ), eritrodema ( dermatitis exfoliatif ), rambut rontok, reaksi fotosensitivitas, purpura termasuk purpura alergik Sistem urogenital, fungsi hati, darah, hipersensitivitas, susunan organ lainnya. Interaksi obat Apabila diberikan bersamaan dengan preparat yang mengandung lithium atau digoxin, kadar obat-obat tersebut dalam plasma meningkat tetapi tidak dijumpai adanya gejala kelebihan dosis. Beberapa obat antiinflamasi nonsteroid dapat menghambat aktivitas dari diuretika. Pengobatan bersamaan dengan diuretika golongan hemat kalium mungkin mungkin disertai dengan kenaikan kadar kalium dalam serum. Pemberian bersamaan dengan antiinflamasi nonsteroid sistemik dapat menambah terjadinya efek samping. Meskipun pada uji klinik diklofenak tidak mempengaruhi efek antikoagulan, sangat jarang dilaporkan adanya penambahan resiko perdarahan dengan kombinasi diklofenak dan antikoagulan, oleh karena itu dianjrkan untuk dilakukan pemantauan yang ketat terhadap pasien tersebut. Seperti dengan anti inflamasi nonsteroid lainnya, diklofenak dalam dosis tinggi (200 mg ) dapat menghambat agrregasi platelet untuk sementara. Uji klinik memperlihatkan bahwa diklofenak dapat diberikan bersamaan dengan anti diabetic oral tanpa mempengaruhi efek klinis dari masingmasing obat. Sangat jarang dilaporkan efek hipoglikemik dan hiperglikemik dengan adanya diklofenak sehingga diperlukan penyesuaian dosis obat-obat hipoglikemik. Perhatian harus diberikan bila antiinflamasi nonsteroid diberikan kurang dari 24 jam sebelum atau setelah pengobatan dengan methotrexate dalam darah dapat meningkat dan toksisitas dari pbat ini bertambah. Penambahan nefrotoksisitas cyclosporine munkin terjadi oleh karena efek obat-obat antiinflamasi nonsteroid terhadap prostaglandin ginjal. Dosis berlebih Penanganan keracunan akut dengan antiinflamasi nonsteroid pada dasrnya dilakukan dengan tindakan supportif dan simptomatik. Tidak ada gambaran klinis yang khas dari dosis berlebih diklofenak. Tindakan pengobatan yang dilakukan dalam hal dosis berlebih adalah sebagai erikut : absorbs harus dicegah segera setelah dosis berlebih dengan pencucian lambungdan pengobatan dengan arang aktif. Pegobatan suportif dan simptomatik harus diberikan untuk komplikasi seperti hipotensi, gagal ginjal, kejang, iritasi saluran pencernaan dan depresi pernapasan. Tetapi spesifik seperti forced dieresis, dialysis atau hemoperfusi mungkin tidak membantu menghilangkan antirematik non steroid karena jumlah ikatan protein yang tinggi. Dosis Umumnya takaran permulaan untuk dewasa 100-150 mg sehari. Pada kasus-kasus yang sedang , juga untuk anak-anak di atas usia 14 tahun 75100 mg sehari pada umumnya sudah mencukupi. Dosis seharian harus diberikan dengan dosis terbagi 2-3 kali

Tablet harus diberikan dengan air, sebaiknya sebelum makan, tidak dianjurkan untuk pemakaian anak-anak. Daftar pustaka Neal,M.J., 2006, Farmakologi Medis, 70-71, Erlangga, Jakarta Kalbe.co.id - Penghambat selektif COX-2 (coxib) merupakan NSAID yang berefek langsung pada COX-2, dimana COX-2 merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap inflamasi dan nyeri. Selektifitas COX-2 menurunkan resiko terjadinya tukak peptik. Salah contoh dari coxib adalah celecoxib. Laine dkk. melakukan penelitian tentang efikasi penghambat selektif COX-2 pada osteoartritis (OA) dan efek sampingnya terhadap sistem gastrointestinal, kardiovaskular, renovaskular, dan hati bila dibandingkan dengan NSAID tradisional dan asetaminofen. Coxib sebanding dengan NSAID tradisional yang diperlihatkan dengan adanya keuntungan dan fungsi yang cukup baik pada pasien nyeri akibat OA bila dibandingkan dengan plasebo. NSAID termasuk juga coxib lebih baik bila dibandingkan dengan asetaminofen pada OA, terutama pada pasien dengan nyeri derajat sedang-berat. Coxib menurunkan terjadinya ulkus gastroduodenal (penurunan resiko relatif 74%) dan komplikasi ulkus (penurunan 61%) bila dibandingkan dengan NSAID tradisional. Meta-analisis dari uji acak yang dilakukan memperlihatkan bahwa coxib meningkatkan resiko infark miokard (MI) sekitar 2 kali lipat bila dibandingkan dengan plasebo dan naproxen, namun coxib tidak meningkatkan resiko MI bila dibandingkan dengan NSAID lainnya selain naproxen. NSAID termasuk juga coxib sering menyebabkan retensi cairan dan meningkatkan tekanan darah, namun jarang menimbulkan gagal jantung kongestif atau disfungsi ginjal yang signifikan. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor resiko seperti usia lanjut, hipertensi, dan penyakit jantung atau ginjal. NSAID jarang menyebabkan hepatotoksisitas klinis (<1 kematian akibat penyakit liver /100,000 pengguna NSAID pada studi klinis). Peningkatan kadar aminotransferase terjadi pada rofecoxib (2%) dan lumiracoxib dosis tinggi (3%), dan kasus post-marketing trauma liver klinis akibat konsumsi lumiracoxib telah dilaporkan akhir-akhir ini. Pada meta-analisis dari 8 studi osteoartritis diketahui bahwa insidens penghentian penggunaan rofecoxib (3.5% ) karena efek samping pada saluran cerna dibandingkan dengan ibuprofen, diklofenac, dan nabumetone (4.8%). Studi dengan menggunakan endoskopik pada pasien yang mengkonsumsi celebrex 50-400 mg 2 x/hari selama 12-24 minggu menunjukkan bahwa tingkat komplikasi saluran cerna bagian atas pasien yang mengkonsumsi celecoxib sebanding dengan pasien yang mengkonsumsi plasebo dan lebih rendah secara signifikan bila dibandingkan dengan naproxen 500 mg 2x/hari dan ibuprofen 800 mg 3x/hari, namun tidak berbeda secara signifikan dan statistik dari pasien yang mengkonsumsi diklofenac 75 mg 2x/hari. Dari analisa tersebut diketahui bahwa rofecoxib memberikan keuntungan yang signifikan pada saluran cerna baik pada pasien dengan resiko tinggi maupun resiko rendah; pasien dengan resiko rendah yang mengkonsumsi rofecoxib memiliki lebih sedikit masalah saluran cerna (88%). Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Celecoxib Long-term Arthritis Safety Study (CLASS) telah dikonfirmasi dengan penelitian yang dilakukan oleh Successive Celecoxib Efficcacy and Safety Studies (SUCCESS), yang meneliti tentang efektivitas dan keamanan celecoxib dosis harian 200 mg dan 400 mg dan apakah celecoxib dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien dalam hal efek samping, bila dibandingkan dengan NSAID yang paling sering digunakan (diklofenac dosis harian 100 mg dan naproxen dosis harian 1000 mg). SUCCESS memperlihatkan bahwa celecoxib sama efektifnya dengan NSAID tradisional dalam mengontrol nyeri akibat arthritis, dan lebih sedikit menimbulkan ulkus gastrointestinal atau komplikasi ulkus (seperti perforasi atau perdarahan) dan lebih sedikit menimbulkan efek samping pada saluran cerna bagian atas, misalnya 29% lebih sedikit menimbulkan mual dan 22% lebih sedikit menimbulkan nyeri abdomen. Sebagai tambahan, tingkat perawatan RS untuk masalah saluran cerna bagian atas 2-4 x lebih rendah dengan celecoxib, dan karena lebih sedikitnya efek samping, pasien yang menggunakan celecoxib dan menghentikan terapinya 23% lebih rendah. Penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat keuntungan yang lebih besar dengan mengkonsumsi celecoxib dengan dosis lebih tinggi : dosis 200 mg sama efektifnya dengan dosis 400 mg. Resiko adanya kejadian trombotik kardiovaskular, misalnya infark miokard pada pasien yang mengkonsumsi rofecoxib (1.7% ) bila dibandingkan dengan grup kontrol (0.7%), dan terdapat penghentian penggunaan rofecoxib secara signifikan karena hipertensi, edema, hepatotoksisitas, gagal jantung, atau hasil laboratorium yang abnormal. Peningkatan rata-rata tekanan darah sistolik dan diastolic pada pasien yang menggunakan rofecoxib adalah 4.6 mmHg dan 1.7 mmHg, dibandingkan dengan 1.0 dan 0.1 mmHg pada grup NSAID kontrol. Karena peningkatan efek samping infark miokard dan stroke maka rofecoxib telah ditarik dari pasaran. Coxib sama efektifnya dengan NSAID tradisional dan lebih baik dibandingkan dengan asetaminofen untuk penanganan OA. Coxib lebih sedikit menimbulkan komplikasi gastrointestinal bila dibandingkan dengan NSAID tradisional. Coxib meningkatkan resiko kardiovaskular bila dibandingkan dengan plasebo dan naproxen, namun coxib mungkin tidak meningkatkan resiko kardiovaskular bila dibandingkan dengan NSAID lainnya selain naproxen. Tekanan darah sering meningkat setelah pemberian NSAID selektif atau nonselektif, terutama pada pasien hipertensi.

A. DEFINISI

Penyakit Sendi Degeneratif ( osteoartritis) adalah penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan penyebabnya belum diketahui (Kalim, IPD,1997).Atau gangguan pada sendi yang bergerak ( Price & Wilson,1995). Osteoarthritis yang juga dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau osteoarthritis (sekalipun terdapat inflamasi) merupakan kelainan sendi yang paling sering ditemukan dan kerapkali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas). B. KLASIFIKASI 1. TIPE PRIMER (IDIOPATIK) Adalah tanpa kejadian atau penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan osteoarthritis. 2. TIPE SEKUNDER C. FAKTOR RESIKO a) Umur : proses penuaan b) Sex, menopause (>50 tahun) c) Genetic d) Obesitas dan penyakit metabolic e) Cedera sendi, pekerjaan dan olah raga f) Kelainan pertumbuhan

D. PATOFISIOLOGI Osteoarthritis dapat dianggap sebagai hasil akhir banyak proses patologi yang menyatu menjadisuatu predisposisi penyakit yangmenyeluruh. Osteoarthritis mengenai kartiloago artikuler, tulang subkondrium ( lempeng tulang yang menyangga kartilago artikuler) serta sinovium dan menyebabkan keadaan campuran dari proses degenerasi, inflamasi, serta perbaikan. Proses degeneratif dasar dalam sendi telah berkembang luas hingga sudah berada diluar pandangan bahwa penyakit tersebut hanya semata-mata proses aus akibat pemakaian yang berhubungan dengan penuaaan. Factor resiko bagi osteoarthritis mencakup usia, jenis kelamin wanita, predisposisi genetic, obesitas, stress mekanik sendi,trauma sendi, kelainan sendi atau tulang yang dialami sebelumnya, dan riwayat penyakit inflamasi, endokrin serta metabolic. Unsure herediter osteoarthritis yang dikenal sebagai nodal generalized osteoarthritis ( yang mengenal tiga atau lebih kelompoksendi) telah dikomfirmasikan. Tipe osteoarthritis ini meliputi proses inflamasi primer. Wanita pascamenopause dalam keluarga yang sama ternyata memiliki tipe osteoarthritis pada tangan yang ditandai dengan timbulnya nodus pada sendi interfalang distal dan proksimal tangan. Gangguan congenital dan perkembangan pada koksa sudah diketahui benar sebagai predisposisi dalam diri seseorang untuk mengalami osteartritis koksa. Gangguan ini mencakup sublokasi-dislokasi congenital sendi koksa,displasia, asetabulum, penyakit Legg-Calve-Perthes dan pergeseran epifise destroyed femoris. Obesitas memiliki kaitan dengan osteoarthritis sendi lutut pada wanita. Meskipun keadaan ini mungkin terjadi akibat stress mekanik tambahan, dan ketidaksejajaran sendi lulut terhadap bagian tubuh lainnya karena diameter paha, namun obesitas dapat memberikan efek metabolic langsung pada kartilalago. Secara mekanis,obesitas dianggap meningkatkan gaya sendi wet arena itu menyebabkan generasi kartilago. Teori bourgeois metabolic yang berkaitan dengan danmenyebabkan osteoarthritis. Obesitas akan disertai dengan peningkatan masa tulang subkondrium yang dapat menimbulkan kekakuan pada tulang sehingga menjadi kurang lentur terhadap dampak beban muatan yang akan mentrasmisikan lebih besar gaya pada kartilago artikuler yang melapisi atasnya dan dengan demikian memuat tulang tersebut lebih rentan terhadap cidera. Factor-faktor mekanis seperti trauma sendi, aktivitas olahraga dan pekerjaan juga turut terlibat. Factor-faktor ini mencakup kerusakan pada ligamentum krusiatum dan robekan menikus, aktivitas fisik yang berat dan kebiasaan ser berlutut. E. ETIOLOGI a) Usia lebih dari 40 tahun b) Jenis kelamin, wanita lebih sering c) Suku bangsa d) Genetic e) Kegemukan dan penyakit metabolic f) Cedera sendi , pekerjaan, dan olahraga g) Kelainan pertumbuhan h) Kepadatan tulang F. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis osteoarthritis yang primer adalah rasa nyeri, kaku, dan gangguan fungsional. Nyeri pada osteoarthritis disebabkan oeh inflamasi sinova,peregangan kapsula dan ligamentum sendi, iritasi ujung-ujung saraf dalam periosteum akibat pertumbuhan osteofit, mikrofraktur, trabekulum, hipertensi intraoseus, bursitis, tendonitis, dan spasme otot. Gangguan fungsional disebabkan oleh rasa nyeri ketika sendi digerakkan dan keterbatasan gerakan yang terjadi akibat perubahan structural dalam sendi. Meskipun osteoarthritis terjadi paling sering pada sendi penyokong berat badan ( panggul, lutut, servikal, dan tulag belakang), sendi tengah dan ujung jari juga sering terkena. Mungkin ada nodus tulanh yang khas, pada inspeksi dan palpasi ini biasanya tidak ada nyeri, kecuali ada inflamasi. G. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada pemeriksaan laboratorium darah tepi, imunologi dan cairan sendi umumnya tidak ada kelainan, kecuali osteoarthritis yang disertai

paeradangan.pada pemerikasaan tomography didapatkan penyempitan rongga sendi disertai sclerosis tepi persendian. Mungkin terjadi deformitas, osteoarthritis atau pembentukan kista juksta artikular. Kadang-kadang tampak gambaran taji(spur formation), liping pada tepi-tepi tulang, dan adanya tulang-tulang yang lepas. H. PENATALAKSANAAN a. Medikamentosa Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik, hanya bersifat simpotamatik. Obat anti inflamasi nonsteroid(OAINS) bekerja hanya sebagai analgesic danmengurangi peradangan, tidak mampu menghentikan proses patologis. a) Analgesic yang dapatdipakai adalah asetaminofen dosis 2,6-4,9 g/hari atau profoksifen HCL. Asam salisilat juga cukup efektif namun perhatikan efek samping pada saluran cerna dan ginjal b) Jika tidak berpengaruh, atau tidak dapat peradangan maka OAINS seperti fenofrofin, piroksikam,ibuprofen dapat digunakan. Dosis untuk osteoarthritis biasanya -1/3 dosis penuh untuk arthritis rematoid. Karena pemakaian biasanya untuk jangka panjang, efek samping utama adalahganggauan mukosa lambung dan gangguan faal ginjal. b. Perlindungan sendi dengan koreksi posturtubuh yang buruk, penyangga untuk lordosis lumbal, menghindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang sakit , dan pemakaian alat-alat untuk meringankan kerja sendi. c. Diet untuk menurunkan berat badan dapat mengurangi timbulnya keluhan d. Dukungan psikososial e. Persoalaan seksual pada pasien dengan osteoarthritis ditulang belakang f. Fisioterapi dengan pemakaian panas dan dingin serta program latihan yang tepat g. Operasi dipertimbangkan pada pasien dengan kerusakan sendi yang nyata dengan nyeri yang menetap dan kelemahan fungsi h. Terapi konservatif mencakup penggunaan kompres hangat, penurunan berat badan, upaya untuk menhistirahatkan sendi serta menghindari penggunaan sendi yang berlebihan pemakaian alat-alat ortotail. Untuk menyangga sendi yang mengalami inflamasi ( bidai penopang) dan latihan isometric serta postural. Terapi okupasioanl dan fisioterapi da[pat membantu pasien untuk mengadopsi strategi penangan mandiri. I. PROGNOSIS Umumnya baik, sebaian besar nyeri dapat diatasi dengan obat-obat konservatif. Hanya kasus-kasus berat yang memerlukan operasi. J. EVALUASI DIAGNOSTIK Tindakan untuk menentukan siapa yang menderita osteoarthritis diperumit oleh kenyataan bahwa hanya 30% 50% pasien dengan perubahan yang terlihat pada foto roentgen yang melaporkan gejala. Pemeriksaan fisik terhadp system musculoskeletal akan memperlihatkan sendi yang nyeri tekan dan membesar, inflamasi kalau terjadi, bukan tipe destruktif sebagaimana terlihat padapenyakit jaringan ikat seperti arthritis rematoid. Penyakit osteoarthritis ditandai oleh penurunan progresif massa kartilago sendi yang akan terlihat pada foto roentgen sebagai penyempitan rongga sendi. Disamping itu perubahan reaktif akan terjadi pada pada tepi sendi dan paha tulang subkondrium dalam bentuk osteofit ketika kartilago berupaya untuk mengadakan regenerasi keberadaan osteofit maupun penyempitan rongga sendi saja bukanlah petunjuk yang spesifik bagi osteoarthritis namun demikian bila terdapat secara bersama-sama, kedua gambaran ini merupakan hasil pemeriksaan yang sensitive dan spesifik. Pada osteoartitis yang dini/ringan, korelasi antara nyeri sendi dan sinovitas sangat lemah. Pemeriksaan serum tidak bermanfaat untuk penegakkan diagnosi kelainan ini. Daftar Pustaka Potter, patricia A.2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan . Djakarta : EGC Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran.ed. 3. Media Aesculapius: Jakarta. Brunner & Suddarth.buku ajar keperawatan medical bedah.ed. 8.EGC: Jakarta. 1. Pengertian

Osteoartritis yang dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau osteoartrosis (sekalipun terdapat inflamasi) merupakan kelainan sendi yang paling sering ditemukan dan kerapkali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas). (Smeltzer , C Suzanne, 2002 hal 1087)

Osteoartritis merupakan golongan rematik sebagai penyebab kecacatan yang menduduki urutan pertama dan akan meningkat dengan meningkatnya usia, penyakit ini jarang ditemui pada usia di bawah 46 tahun tetapi lebih sering dijumpai pada usia di atas 60 tahun. Faktor umur dan jenis kelamin menunjukkan adanya perbedaan frekuensi (Sunarto, 1994, Solomon, 1997).

10

Sedangkan menurut Harry Isbagio & A. Zainal Efendi (1995) osteoartritis merupakan kelainan sendi non inflamasi yang mengenai sendi yang dapat digerakkan, terutama sendi penumpu badan, dengan gambaran patologis yang karakteristik berupa buruknya tulang rawan sendi serta terbentuknya tulang-tulang baru pada sub kondrial dan tepi-tepi tulang yang membentuk sendi, sebagai hasil akhir terjadi perubahan biokimia, metabolisme, fisiologis dan patologis secara serentak pada jaringan hialin rawan, jaringan subkondrial dan jaringan tulang yang membentuk persendian. (R. Boedhi Darmojo & Martono Hadi ,1999)

2. Klasifikasi

Osteoartritis diklasifikasikan menjadi : 1. 2. Tipe primer (idiopatik) tanpa kejadian atau penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan osteoartritis Tipe sekunder seperti akibat trauma, infeksi dan pernah fraktur

(Long, C Barbara, 1996 hal 336)

3. Penyebab

Beberapa penyebab dan faktor predisposisi adalah sebagai berikut: 1. Umur Perubahan fisis dan biokimia yang terjadi sejalan dengan bertambahnya umur dengan penurunan jumlah kolagen dan kadar air, dan endapannya berbentuk pigmen yang berwarna kuning. Pengausan (wear and tear) Pemakaian sendi yang berlebihan secara teoritis dapat merusak rawan sendi melalui dua mekanisme yaitu pengikisan dan proses degenerasi karena bahan yang harus dikandungnya. Kegemukan Faktor kegemukan akan menambah beban pada sendi penopang berat badan, sebaliknya nyeri atau cacat yang disebabkan oleh osteoartritis mengakibatkan seseorang menjadi tidak aktif dan dapat menambah kegemukan. Trauma Kegiatan fisik yang dapat menyebabkan osteoartritis adalah trauma yang menimbulkan kerusakan pada integritas struktur dan biomekanik sendi tersebut. Keturunan Heberden node merupakan salah satu bentuk osteoartritis yang biasanya ditemukan pada pria yang kedua orang tuanya terkena osteoartritis, sedangkan wanita, hanya salah satu dari orang tuanya yang terkena. Akibat penyakit radang sendi lain Infeksi (artritis rematord; infeksi akut, infeksi kronis) menimbulkan reaksi peradangan dan pengeluaran enzim perusak matriks rawan sendi oleh membran sinovial dan sel-sel radang.

2.

3.

4.

5.

6.

11

7.

8.

9.

Joint Mallignment Pada akromegali karena pengaruh hormon pertumbuhan, maka rawan sendi akan membal dan menyebabkan sendi menjadi tidak stabil / seimbang sehingga mempercepat proses degenerasi. Penyakit endokrin Pada hipertiroidisme, terjadi produksi air dan garam-garam proteglikan yang berlebihan pada seluruh jaringan penyokong sehingga merusak sifat fisik rawan sendi, ligamen, tendo, sinovia, dan kulit. Pada diabetes melitus, glukosa akan menyebabkan produksi proteaglikan menurun. Deposit pada rawan sendi Hemokromatosis, penyakit Wilson, akronotis, kalsium pirofosfat dapat mengendapkan hemosiderin, tembaga polimer, asam hemogentisis, kristal monosodium urat/pirofosfat dalam rawan sendi.

4. Patofisiologi

Penyakit sendi degeneratif merupakan suatu penyakit kronik, tidak meradang, dan progresif lambat, yang seakan-akan merupakan proses penuaan, rawan sendi mengalami kemunduran dan degenerasi disertai dengan pertumbuhan tulang baru pada bagian tepi sendi.

Proses degenerasi ini disebabkan oleh proses pemecahan kondrosit yang merupakan unsur penting rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga diawali oleh stress biomekanik tertentu. Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan dipecahnya polisakarida protein yang membentuk matriks di sekeliling kondrosit sehingga mengakibatkan kerusakan tulang rawan. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi yang harus menanggung berat badan, seperti panggul lutut dan kolumna vertebralis. Sendi interfalanga distal dan proksimasi. Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan terbatasnya gerakan. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami atau diakibatkan penyempitan ruang sendi atau kurang digunakannya sendi tersebut.

Perubahan-perubahan degeneratif yang mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu misalnya cedera sendi infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit peradangan sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur ada ligamen atau adanya perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang rawan mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi penyempitan rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaki kripitasi, deformitas, adanya hipertropi atau nodulus. ( Soeparman ,1995)

5. Pathway

1.

Download Pathway Arthritis

6. Gambaran Klinis

Gambaran klinis Askep Osteoarthritis diantaranya 1. 2. 3. Rasa nyeri pada sendi Merupakan gambaran primer pada osteoartritis, nyeri akan bertambah apabila sedang melakukan sesuatu kegiatan fisik. Kekakuan dan keterbatasan gerak Biasanya akan berlangsung 15 - 30 menit dan timbul setelah istirahat atau saat memulai kegiatan fisik. Peradangan Sinovitis sekunder, penurunan pH jaringan, pengumpulan cairan dalam ruang sendi akan menimbulkan pembengkakan dan peregangan simpai sendi yang semua ini akan menimbulkan rasa nyeri. Mekanik Nyeri biasanya akan lebih dirasakan setelah melakukan aktivitas lama dan akan berkurang pada waktu istirahat. Mungkin ada hubungannya dengan keadaan penyakit yang telah lanjut dimana rawan sendi telah rusak berat. Nyeri biasanya berlokasi pada sendi

4.

12

5.

6. 7.

yang terkena tetapi dapat menjalar, misalnya pada osteoartritis coxae nyeri dapat dirasakan di lutut, bokong sebelah lateril, dan tungkai atas. Nyeri dapat timbul pada waktu dingin, akan tetapi hal ini belum dapat diketahui penyebabnya. Pembengkakan Sendi Pembengkakan sendi merupakan reaksi peradangan karena pengumpulan cairan dalam ruang sendi biasanya teraba panas tanpa adanya pemerahan. Deformitas Disebabkan oleh distruksi lokal rawan sendi. Gangguan Fungsi Timbul akibat Ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan pada Askep Osteoarthritis: 1. 2. Foto Rontgent menunjukkan penurunan progresif massa kartilago sendi sebagai penyempitan rongga sendi Serologi dan cairan sinovial dalam batas normal

7. Penatalaksanaan

1.

2. 3. 4. 5.

Tindakan preventif 1. Penurunan berat badan 2. Pencegahan cedera 3. Screening sendi paha 4. Pendekatan ergonomik untuk memodifikasi stres akibat kerja Farmakologi : obat NSAID bila nyeri muncul Terapi konservatif ; kompres hangat, mengistirahatkan sendi, pemakaian alat- alat ortotik untuk menyangga sendi yang mengalami inflamasi Irigasi tidal (pembasuhan debris dari rongga sendi), debridemen artroscopik, Pembedahan; artroplasti

8. Pengkajian

1.

2.

3.

4.

5. 6. 7.

Aktivitas/Istirahat 1. Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan memburuk dengan stress pada sendi, kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi secara bilateral dan simetris limitimasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan, keletihan, malaise. 2. Keterbatasan ruang gerak, atropi otot, kulit: kontraktor/kelainan pada sendi dan otot. Kardiovaskuler 1. Fenomena Raynaud dari tangan (misalnya pucat litermiten, sianosis kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal. Integritas Ego 1. Faktor-faktor stress akut/kronis (misalnya finansial pekerjaan, ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan. 2. Keputusasaan dan ketidakberdayaan (situasi ketidakmampuan). 3. Ancaman pada konsep diri, gambaran tubuh, identitas pribadi, misalnya ketergantungan pada orang lain. Makanan / Cairan 1. Ketidakmampuan untuk menghasilkan atau mengkonsumsi makanan atau cairan adekuat mual, anoreksia. 2. Kesulitan untuk mengunyah, penurunan berat badan, kekeringan pada membran mukosa. Hygiene 1. Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan diri, ketergantungan pada orang lain. Neurosensori 1. Kesemutan pada tangan dan kaki, pembengkakan sendi Nyeri/kenyamanan 1. Fase akut nyeri (kemungkinan tidak disertai dengan pembengkakan jaringan lunak pada sendi. Rasa nyeri kronis dan kekakuan (terutama pagi hari).

13

8.

Keamanan 1. Kulit mengkilat, tegang, nodul sub mitaneus 2. Lesi kulit, ulkas kaki 3. Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga 4. Demam ringan menetap 5. Kekeringan pada mata dan membran mukosa 9. Interaksi Sosial 1. Kerusakan interaksi dengan keluarga atau orang lain, perubahan peran: isolasi. 10. Penyuluhan/Pembelajaran 1. Riwayat rematik pada keluarga 2. Penggunaan makanan kesehatan, vitamin, penyembuhan penyakit tanpa pengujian 3. Riwayat perikarditis, lesi tepi katup. Fibrosis pulmonal, pkeuritis. 11. Pemeriksaan Diagnostik 1. Reaksi aglutinasi: positif 2. LED meningkat pesat 3. Protein C reaktif : positif pada masa inkubasi. 4. SDP: meningkat pada proses inflamasi 5. JDL: Menunjukkan ancaman sedang 6. Ig (Igm & Ig G) peningkatan besar menunjukkan proses autoimun 7. RO: menunjukkan pembengkakan jaringan lunak, erosi sendi, osteoporosis pada tulang yang berdekatan, formasi kista tulang, penyempitan ruang sendi.

9. Diagnosa dan Intervensi Diagnosa Keperawatan Dan Intervensi Keperawatan yang mungkin muncul pada Askep Osteoarthritis adalah antara lain : 1. Nyeri akut / kronis berhubungan dengan distensi jaringan oleh akumulasi cairan/proses inflamasi, distruksi sendi. 1. Intervensi: 1. Kaji keluhan nyeri; catat lokasi dan intensitas nyeri (skala 0 - 10). Catat faktor-faktor yang mempercepat dan tanda-tanda rasa nyeri non verbal 2. Beri matras/kasur keras, bantal kecil. Tinggikan tempat tidur sesuai kebutuhan saat klien beristirahat/tidur. 3. Bantu klien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur atau duduk di kursi. Tingkatan istirahat di tempat tidur sesuai indikasi. 4. Pantau penggunaan bantal. 5. Dorong klien untuk sering mengubah posisi. 6. Bantu klien untuk mandi hangat pada waktu bangun tidur. 7. Bantu klien untuk mengompres hangat pada sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari. 8. Pantau suhu kompres. 9. Berikan masase yang lembut. 10. Dorong penggunaan teknik manajemen stress misalnya relaksasi progresif sentuhan terapeutik bio feedback, visualisasi, pedoman imajinasi hipnotis diri dan pengendalian nafas. 11. Libatkan dalam aktivitas hiburan yang sesuai untuk situasi individu. 12. Beri obat sebelum aktivitas/latihan yang direncanakan sesuai petunjuk. 13. Bantu klien dengan terapi fisik. 2. Hasil yang diharapkan/Kriteria evaluasi 1. Menunjukkan nyeri berkurang atau terkontrol 2. Terlihat rileks, dapat istirahat, tidur dan berpartisipasi dalam aktivitas sesuai kemampuan. 3. Mengikuti program terapi. 4. Menggunakan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan ke dalam program kontrol nyeri. Kerusakan Mobilitas Fisik berhubungan dengan : Deformitas skeletal, Nyeri, ketidaknyamanan , Penurunan kekuatan otot 1. Intervensi: 1. Pantau tingkat inflamasi/rasa sakit pada sendi 2. Pertahankan tirah baring/duduk jika diperlukan 3. Jadwal aktivitas untuk memberikan periode istirahat yang terus-menerus dan tidur malam hari tidak terganggu. 4. Bantu klien dengan rentang gerak aktif/pasif dan latihan resistif dan isometric jika memungkinkan 5. Dorongkan untuk mempertahankan posisi tegak dan duduk tinggi, berdiri, dan berjalan. 6. Berikan lingkungan yang aman, misalnya menaikkan kursi/kloset, menggunakan pegangan tinggi dan bak dan toilet, penggunaan alat bantu mobilitas/kursi roda penyelamat 7. Kolaborasi ahli terapi fisik/okupasi dan spesialis vasional. 2. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi 1. Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya/pembatasan kontraktor 2. Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan fungsi dari kompensasi bagian tubuh

2.

14

3.

4.

5.

6.

3. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas. Gangguan Citra Tubuh / Perubahan Penampilan Peran berhubungan dengan: Perubahan kemampuan melakukan tugas-tugas umum, Peningkatan penggunaan energi, ketidakseimbangan mobilitas. 1. Intervensi: 1. Dorong klien mengungkapkan mengenai masalah tentang proses penyakit, harapan masa depan. 2. Diskusikan dari arti kehilangan/perubahan pada seseorang. Memastikan bagaimana pandangan pribadi klien dalam memfungsikan gaya hidup sehari-hari termasuk aspek-aspek seksual 3. Akui dan terima perasaan berduka, bermusuhan, ketergantungan 4. Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal atau terlalu memperhatikan tubuh/perubahan. 5. Susun batasan pada perilaku maladaptif, bantu klien untuk mengidentifikasi perilaku positif yang dapat membantu koping. 6. Bantu kebutuhan perawatan yang diperlukan klien. 7. Ikutsertakan klien dalam merencanakan dan membuat jadwal aktivitas. 2. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi: 1. Mengungkapkan peningkatan rasa percaya diri dalam kemampuan untuk menghadapi penyakit, perubahan pada gaya hidup dan kemungkinan keterbatasan. 2. Menyusun tujuan atau rencana realistis untuk masa mendatang. Kurang Perawatan Diri berhubungan dengan Kerusakan Auskuloskeletal: Penurunan Kekuatan, Daya tahan, nyeri pada waktu bergerak, Depresi. 1. Intervensi: 1. Diskusikan tingkat fungsi umum; sebelum timbul eksaserbasi penyakit dan potensial perubahan yang sekarang diantisipasi. 2. Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan. 3. Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri. Identifikasi rencana untuk memodifikasi lingkungan. 4. Kolaborasi untuk mencapai terapi okupasi. 2. Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi: 1. Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten pada kemampuan klien. 2. Mendemonstrasikan perubahan teknik/gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri. 3. Mengidentifikasikan sumber-sumber pribadi/komunitas yang dapat memenuhi kebutuhan. Resiko Tinggi terhadap Kerusakan Penatalaksanaan Lingkungan berhubungan dengan : Proses penyakit degeneratif jangka panjang, Sistem pendukung tidak adekuat. 1. Intervensi: 1. Kaji tingkat fungsi fisik 2. Evaluasi lingkungan untuk mengkaji kemampuan dalam perawatan untuk diri sendiri. 3. Tentukan sumber-sumber finansial untuk memenuhi kebutuhan situasi individual. 4. Identifikasi untuk peralatan yang diperlukan misal alat bantu mobilisasi. 2. Hasil yang Diharapkan/Kriteria Evaluasi : 1. Mempertahankan keamanan lingkungan yang meningkatkan perkembangan. 2. Mendemonstrasikan penggunaan sumber-sumber yang efektif dan tepat. Kurang Pengetahuan (Kebutuhan Belajar) Mengenai Penyakit, Prognosis dan Kebutuhan Perawatan dan Pengobatan berhubungan dengan: Kurangnya pemahaman / mengingat kesalahan interpretasi informasi. 1. Intervensi : 1. Tinjau proses penyakit, prognosis dan harapan masa depan 2. Diskusikan kebiasaan pasien dalam melaksanakan proses sakit melalui diet, obat-obatan dan program diet seimbang, latihan dan istirahat. 3. Bantu dalam merencanakan jadwal aktivitas terintegrasi yang realistis, istirahat, perawatan diri, pemberian obat-obatan, terapi fisik, dan manajemen stress. 4. Tekankan pentingnya melanjutkan manajemen farmakologi terapi. 5. Identifikasi efek samping obat. 6. Diskusikan teknik menghemat energi. 7. Berikan informasi tentang alat bantu misalnya tongkat, tempat duduk, dan palang keamanan. 8. Dorong klien untuk mempertahankan posisi tubuh yang benar baik pada saat istirahat maupun pada saat melakukan aktivitas. 9. Diskusikan pentingnya pemeriksaan lanjutan misalnya LED, kadar salisilat, PT. 10. Beri konseling sesuai dengan prioritas kebutuhan klien. 2. Hasil yang diharapkan/Kriteria Evaluasi: 1. Menunjukkan pemahaman tentang kondisi/pragnosis dan perawatan. 2. Mengembangkan rencana untuk perawatan diri termasuk modifikasi gaya hidup yang konsisten dengan mobilitas dan atau pembatasan aktivitas.

Read more: Askep Osteoarthritis Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Osteoarthritis merupakan penyakit sendi yang paling banyak dijumpai dan prevalensinya semakin meningkat dengan bertambahnya usia

15

Osteoarthritis Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Osteoarthritis merupakan penyakit sendi yang paling banyak dijumpai dan prevalensinya semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Vertebra, lumbal, genu dan metatarsal paling sering terkena osteoarhritis. Masalah osteoarthritis di Indonesia tampaknya lebih besar dibandingkan negara barat kalau dilihat tingginya prevalensi penyakit osteoarthritis di Malang. Lebih dari 85% pasien osteoarhritis tersebut terganggu aktivitasnya terutama untuk kegiatan berjongkok, naik tangga dan berjalan (Nasution dan Sumariyono, 2006), sementara itu prevalensi osteoarthritis lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita (Soeroso dkk, 2006). Arti dari gangguan jongkok dan menekuk lutut sangat penting bagi pasien osteoarthritis di Indonesia oleh karena banyak kegiatan sehari hari yang tergantung kegiatan ini khususnya Sholat dan buang air besar. Kerugian tersebut sulit diukur dengan materi Pasien osteoarthritis biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat nyeri dapat dirasakan terus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya kronik-progresif, osteoarthritis mempunyai dampak sosioekonomik yang besar, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena osteoarthritis (Soeroso dkk, 2006). Pada abad mendatang tantangan terhadap dampak osteoarthritis akan lebih besar karena semakin banyaknya populasi yang berumur tua Pemahaman yang lebih baik mengenai patogenesis osteoarthritis akhir akhir ini diperoleh antara lain berkat meningkatnya pengetahuan mengenai biokimia dan biomolekuler rawan sendi. Dengan demikian diharapkan kita dapat mengelola pasien osteoarthritis dengan lebih tepat dan aman Perlu dipahami bahwa penyebab nyeri yang terjadi pada osteoarthritis bersifat multifaktoral. Nyeri dapat bersumber dari regangan serabut syaraf periosteum, hipertensi intra-oseus, regangan kapsul sendi, hipertensi intra-artikular, regangan ligamen, mikrofraktur tulang subkondral, bursitis dan spasme otot. Dengan demikian penting dipahami, bahwa walaupun belum ada obat yang benar benar dapat menyembuhkan osteoarthritis saat ini, namun terdapat berbagai cara untuk mengurangi nyeri dengan memperhatikan kemungkinan sumber nyerinya Terapi osteoarthritis pada umumnya simptomatis, misalnya dengan pengendalian faktor faktor resiko, latihan, intervensi fisioterapi, dan terapi farmakologis, pada osteoarthritis fase lanjut sering diperlukan pembedahan. Untuk membantu mengurangi keluhan nyeri pada osteoarthritis, biasanya digunakan analgetik atau obat anti-inflamasi non steroid (OAINS). Karena keluhan nyeri pada osteoarthritis yang kronik dan progresif, pengunaan OAINS biasanya berlangsung lama, sehingga tidak jarang menimbulkan masalah. Di Amerika penggunaan OAINS menelurkan sekitar 100.000 pasien tukak lambung dengan 10.000-15.000 kematian setiap tahun (Soeroso dkk, 2006). Atas dasar masalah masalah tersebut diatas, para ahli berusaha mencari terapi farmakologis yang dapat memperlambat progresivitas kerusakan kartilago. Beberapa obat telah dan sedang dilakukan uji pada binatang maupun uji klinis pada manusia. Obat-obat baru tersebut sering disebut sebagai chondroprotective agents atau disease modifying osteoarthritis drugs (DMOADs) Salah satu pengobatan mutahir yang sedang populer adalah penyuntikan menggunakan hyaluronic acid / HA secara intraartikular, komponen mukopolisakarida viskoelastis dari cairan sinovial. hyaluronic acid atau disebut hyaluronan atau hyaluronate adalah glikosaminoglikan dengan berat molekular tinggi, terdiri dari rantai molekul berulang dari asam glukoronat dan N-asetil-glukosamine, dan bisa ditemukan hampir di setiap jaringan ikat tubuh. Dalam persendian, hyaluronic acid membungkus tulang rawan sendi dan berperan sebagai lubrikan dan penyerap goncangan. Penelitian baru baru ini juga mendukung bahwa hyaluronic acid meningkatkan proliferasi dan diferensiasi kondrosit. Sementara itu dalam sendi yang patologis, konsentrasi hyaluronic acid dalam sendi menurun hingga 33% sampai 50% (Hart dan Miller , 2007), membatasi perannya dalam menjaga fungsi biomekanisme sendi normal. Tujuan dari injeksi hyaluronic acid intraartikular ini adalah sebagai viskosuplemen yang menggantikan hyaluronic acid yang hilang dan mungkin menstimulasi pembentukan hyaluronic acid endogen baru dalam sendi. Walaupun mekanisme pastinya belum diketahui benar, hyaluronic acid juga memiliki sifat anti-inflamasi, analgesik dan bahkan efek chondroprotective dalam sendi dan tulang rawan sendi. Sampai sekarang ada 5 formula injeksi hyaluronic acid yang diakui dan dipergunakan di Amerika. Yaitu Synvisc (r) Hyalgan (r) Supartz (r) Orthovisc (r) dan Euflexxa (r). Dari semua formula diatas berbeda dalam hal persiapan, bahan dasar, metode produksi, tatacara terapi, berat moleuker, masa paruh waktu dalam sendi, viskositas, farmakodinamik dan harga. Walaupun terapi injeksi hyaluronic acid intraartikular ini diindikasikan untuk nyeri pada osteoarthritis lutut, penelitian terkini menunjukan bahwa pengunaan injeksi hyaluronic acid pada lumbal, articulatio humeri dan metatarsal sama efektifnya dalam mengurangi rasa nyeri dengan pengunaan pada genu. Produk hyaluronic acid yang sedang hangat dibahas adalah Euflexxa yang berbeda dengan produk hyaluronic acid lainnya karena dia adalah produk hyaluronic acid non avian pertama dan satu satunya yang diakui oleh Food Drug Association / FDA untuk pengobatan osteoarthritis. Euflexxa dihasilkan dari sel sel bakteri melalui fermentasi seluler dan tidak mengandung kimia sambung silang (cross link) ataupun modifikasi struktur dari molekul hyaluronic acid. Euflexxa didesain agar mirip dengan hyaluronic acid yang alami di persendian normal kita, baik dalam segi stuktur, berat molekul maupun tingkat kemurnian. Satu struktur rantai hyaluronic acid Euflexxa sangat mirip dengan hyaluronic acid manusia. Kemurnian dari Euflexxa sudah diverifikasi melalui berbagai tes laboratorium dan prosedur, termasuk elektroforesis, UV absorbance spectrophotometry, high liquid chromatography dan immunoradiometric assay. Tes untuk Euflexxa telah dikonfirmasi bahwa ketidak murnian semacam protein asing, asam nukleat, endotoksin dan zat potensial penyebab inflamasi berada pada batas ambang deteksi Kemurnian dari Euflexxa menyingkirkan resiko terjadinya alergi atau reaksi hipersensitivitas yang mungkin bisa terjadi karena kontaminasi protein avian, asam nukleat dan endotoksin yang terdapat pada produk hyaluronic acid lainnya Dalam Islam penggunaan hyaluronic acid sebagai obat tidak disebutkan secara khusus baik didalam Al-Quran maupun Hadits. Apakah hyaluronic acid mengandung najis dan zat yang diharamkan, terutama sekali mengenai salah satu produk hyaluronic acid yaitu Euflexxa yang dikatakan bahwa diproduksi dari non avian, bagaimana dengan cara pengolahan dan penggunaannya apakah sudah sesuai dengan ketentuan Islam atau tidak Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membahas lebih jauh penyuntikan hyaluronic acid pada osteoarthritis. PENYUNTIKAN MENGGUNAKAN HYALURONIC ACID PADA PENDERITA OSTEOARTHRITIS DITINJAU DARI KEDOKTERAN OSTEOARTHRITIS / OA Osteoarthritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronis, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai

16

oleh adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan sendi (Soeroso dkk, 2006) Osteoarthritis adalah bentuk arthritis yang paling umum, dengan jumlah pasiennya sedikit melampaui separuh jumlah pasien arthritis. Gangguan ini sedikit lebih banyak pada perempuan daripada laki laki dan terutama ditemukan pada orang orang yang berusia lebih dari 45 tahun. Penyakit ini pernah dianggap sebagai suatu proses penuaan normal, sebab insidens bertambah dengan meningkatnya usia. Osteoarthritis dahulu diber nama arthritis yang rusak karena dipakai karena sendi. Namun, menjadi aus dengan bertambahnya usia. Tetapi temuan temuan yang lebih baru dalam bidang biokimia dan biomekanik telah menyanggah teori ini (Soeroso dkk, 2006) Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk proteoglikan dan kolagen rawan sendi. Dengan alasan alasan yang masih belum diketahui, sintesis proteoglikan dan kolagen meningkat tajam pada osteoarthritis. Tetapi, substansi ini juga dihancurkan dengan kecepatan lebih tinggi, sehingga pembentukan tidak mengimbangi kebutuhan. Sejumlah kartilago tipe I mengantikan tipe II yang normal, sehingga terjadi perubahan pada diameter dan orientasi serat kolagen yang mengubah biomekanika dari kartilago. Rawan sendi kemudian kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik (Soeroso dkk, 2006) Etiopatogenesis Osteoarthritis Berdasarkan patogenesisnya osteoarthritis dibedakan menjadi dua yaitu osteoarthritis primer dan osteoarthritis sekunder. Osteoarthritis primer disebut juga osteoarthritis idiopatik yaitu osteoarthritis yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. osteoarthritis sekunder adalah osteoarthritis yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. Osteoarthritis primer lebih sering ditemukan daripada osteoarthritis sekunder (Woodhead, 1989., Sunarto, 1990., Rahardjo, 1994., Soeroso dkk, 2006) Selama ini osteoarthritis sering dipandang sebagai akibat proses penuaan yang tidak dapat dihindari. Para pakar yang meneliti ini sekarang berpendapat bahwa osteoarthritis ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas diketahui (Woodhead, 1989). Osteoarthritis dapat terjadi melalui dua mekanisme, pertama, ketika rawan penyusun tulang subkondral normal tetapi mendapatkan beban berlebih di lutut dan kedua, ketika beban normal tetapi rawan tulang mengalami kemunduran (Leslie, 1999). Osteoarthritis ditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesa matrik makromolekuler oleh kondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair)(Brandt, 1993). Osteoarthritis terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodelling tulang dan inflamasi cairan sendi (Woodhead, 1989., Soeroso dkk, 2006., Felson, 2006) Beberapa penelitian membuktikan bahwa rawan sendi ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri dimana kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru (Woodhead,1989., Dingle, 1991., Wen, 2000). Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi kondrosit untuk mensintesis protein seperti kolagen serta proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin like growth factor, growth hormon, dan lainnya (Soeroso dkk, 2006) Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan sendi serta mengawali suatu respon imun yang menyebabkan inflamasi sendi (Woodhead, 1989., Pelletier, 1990). Rerata perbandingan antara sintesa dan pemecahan matriks rawan sendi pada pasien osteoarthritis kenyataannya lebih rendah dibanding normal yaitu 0,29 dibanding 1 (Dingle, 1991., Soeroso dkk, 2006) Pada rawan sendi pasien osteoarthritis juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses tersebut menyebabkan penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut (Ghosh, 1992). Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti PG dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit (Moskowitz, 1987). Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimia seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi (Brandt, 1987., Cefalu dan Waddell, 1999). Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intramedular akibat stasis vena intramedular karena proses remodelling pada trabekula dan subkondrial (Moskowitz, 1987., Brandt, 1987., Soeroso dkk, 2006) Faktor resiko osteoarthritis Untuk penyakit dengan penyebab tidak jelas, istilah faktor resiko (faktor yang meningkatkan resiko penyakit) adalah lebih tepat. Secara garis besar faktor resiko untuk timbulnya osteoarthritis (primer) adalah seperti di bawah ini. Harus diingat bahwa masing masing sendi mempunyai biomekanik, cedera dan persentase gangguan yang berbeda, sehingga peran faktor faktor resiko tersebut untuk masing masing osteoarthritis tertentu berbeda. (Soeroso dkk, 2006., Felson, 2006) Umur Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoarthritis, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya osteoarthritis semakin meningkat dengan bertambah umur. Osteoarthritis hampir tidak pernah pada anak anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi harus diingat bahwa osteoarthritis bukan akibat ketuaan saja. Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan berbeda dengan perubahan pada osteoarthritis (Soeroso dkk, 2006., Brandt, 2001) Jenis kelamin Wanita lebih sering terkena osteoarthritis lutut dan osteoarthritis banyak sendi, dan lelaki lebih sering terkena osteoarthritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan, di bawah 45 tahun frekuensi osteoarthritis kurang lebih sama pada laki laki dan wanita, tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frequensi osteoarthritis lebih banyak pada wanita daripada pria. Hal ini menunjukan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoarthritis (Soeroso dkk, 2006., Felson, 2006., Brandt, 2001., Leslie, 1999). Suku bangsa Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoarthritis nampaknya terdapat perbedaan di antara masing masing suku bangsa. Misalnya osteoarthritis paha lebih jarang di antara orang orang kulit hitam dan Asia daripada kaukasia. Osteoarthritis lebih sering dijumpai pada orang orang Amerika asli (Indian) daripada orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan (Soeroso dkk, 2006., Brandt, 2001) Genetik

17

Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoarthritis misalnya, pada ibu dari seorang wanita dengan osteoarthritis pada sendi sendi interfalang distal (nodus Heberden) terdapat 2 kali lebih sering osteoarthritis pada sendi sendi tersebut, dan anak anak perempuannya cenderung mempunyai 3 kali lebih sering, daripada ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa osteoarthritis tersebut. Adanya mutasi dalam gen prokolagen II atau gen gen struktural lain untuk unsur unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada osteoarthritis tertentu (terutama osteoarthritis banyak sendi) (Soeroso dkk, 2006., Brandt, 2001) Kegemukan dan penyakit metabolik Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya osteoarthritis baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan gternyata tak hanya berkaitan dengan osteoarthritis pada sendi yang menanggung beban, tetapi juga pada osteoarthritis sendi lain (tangan dan sternoklavikula). Oleh karena itu disamping faktor mekanis yang berperan (karena meningkatnya beban mekanis) diduga terdapat faktor lain (metabolik) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kiatan antara osteoarthritis dan kegemukan juga disokong oleh adanya kaitan antara osteoarthritis dan penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi. Pasien pasien osteoarthritis ternyata mempunyai resiko penyakit jantung koroner dan hipertensi lebih tinggi dibandingkan orang tanpa osteoarthritis (Soeroso dkk, 2006., Brandt, 2001) Cedera sendi, pekerjaan dan olahraga Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetik kapas) berkaitan dengan peningkatan resiko osteoarthritis tertentu. Demikian juga olahraga yang seringkali menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan resiko osteoarthritis yang lebih tinggi. Peran beban benturan yang berulang pada timbulnya osteoarthritis masih menjadi pertentangan. Aktivitas aktivitas tertentu dapat menjadi predisposisi osteoarthritis cedera traumatik (misalnya robeknya meniskus, ketidakstabilan ligamen) yang dapat mengenai sendi. Akan tetapi selain cedera yang nyata, hasil hasil penelitian tidak menyokong pemakaian yang berlebihan sebagai suatu faktor untuk timbulnya osteoarthritis. (Soeroso dkk, 2006., Brandt, 2001) Riwayat penyakit Pada umumnya pasien osteoarthritis mengatakan bahwa keluhan keluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang perlahan lahan Nyeri sendi Keluhan ini merupakan keluhan utama yang seringkali membawa pasien berobat (meskipun mungkin sebelumnya sendi sudah kaku dan berubah bentuknya). Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibandingkan gerakan lain. Selain itu nyeri dapat memburuk dengan adanya peningkatan beban yang dibawa, walau pertamanya nyeri bersifat intermiten namun dalam keadaan yang lebih parah nyeri bisa berlanjut terus menerus (continuous) (Soeroso dkk, 2006., Leslie, 1999) Nyeri pada osteoarthritis juga dapat berupa penjalaran akibat radikulopati, misalnya pada osteoarthritis servical dan lumbal. Osteoarthritis lumbal yang menimbulkan stenosis spinal mungkin menimbulkan keluhan nyeri di betis, yang biasa disebut claudicatio intermitten (Soeroso dkk, 2006) Hambatan gerakan sendi Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan pelan sejalan bertambahnya rasa nyeri (Soeroso dkk, 2006) Kaku pagi Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama bahkan setelah bangun tidur Krepitasi Rasa gemeretak (kadang kadang terdengar) pada sendi yang sakit (Soeroso dkk, 2006) Pembesaran sendi (deformitas) Pasien mungkin menunjukan bahwa salah satu sendinya (seringkali terlihat di lutut dan tangan) secara pelan pelan membesar (Soeroso dkk, 2006., Felson, 2006) Perubahan gaya berjalan Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir semua pasien osteoarthritis pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien osteoarthritis yang umumnya tua (Soeroso dkk, 2006) Pemeriksaan fisik Hambatan gerak Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada osteoarthritis yang masih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerak) maupun eksentrik (salah satu gerakan saja) (Soeroso dkk, 2006) Krepitasi Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis osteoarthritis lutut. Pada awalnya hnya berupa perasaan akan adanya suatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakan atau secara pasif dimanipulasi (Soeroso dkk, 2006) Pembengkakan sendi yang seringkali asimetris Pembengkakan sendi pada osteoarthritis dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (<100cc). Sebab lain ialah karena adanya ostefit, yang dapat mengubah permukaan sendi (Soeroso dkk, 2006) Tanda tanda peradangan Tanda tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada osteoarthritis karena adanya sinovitis. Biasanya tanda tanda ini tak menonjol dan timbul belakangan. Seringkali dijumpai di lutut, pergelangan kaki dan sendi sendi kecil tangan dan kaki (Soeroso dkk, 2006) Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan

18

perubahan pada tulang dan permukaan sendi (Soeroso dkk, 2006) Perubahan gaya berjalan Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada osteoarthritis lutut, sendi paha dan osteoarthritis tulang belakang dengan stenosis spinal. Pada sendi sendi lain, seperti tangan bahu, siku dan pergelangan tangan, osteoarthritis juga menimbulkan gangguan fungsi (Soeroso dkk, 2006) Pemeriksaan radiologis Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis osteoarthritis ialah : Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung badan) Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral Kista tulang Osteofit pada pinggir sendi Perubahan struktur anatomi sendi (Soeroso dkk, 2006)

Pemeriksaan laboratoris Hasil pemeriksaan laboratorium pada osteoarthritis biasanya tidak banyak berguna. (Soeroso dkk, 2006., Felson, 2006) Darah tepi (Hb, leukosit, laju endap darah) dalam batas batas normal, kecuali osteoarthritis generalisata yang harus dibedakan dengan arthritis peradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor reumatoid dan komplemen) juga normal. Pada osteoarthritis yang disertai peradangan mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein (Soeroso dkk, 2006) Pengelolaan Pengelolaan osteoarthritis berdasarkan atas distribusinya (sendi mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena. Pengelolaannya terdiri dari 3 hal 1. Terapi nonfarmakologis A. Edukasi atau penerangan B. Terapi fisik dan rehabilitasi C. Penurunan berat badan 2. Terapi farmakologis A. Analgesik oral non opiat B. Analgesik topikal C. OAINS D. Chondroprotective E. Steroid intraartikular 3. Terapi bedah (Soeroso dkk, 2006) Dari semua diatas, tatalaksana yang dianggap pertama atau first line untuk osteoarthritis meliputi analgesik non opiat seperti asetaminofen untuk nyeri kronis, penurunan berat badan, analgesik topikal dan olahraga (Cefalu dan Waddell, 1999) Terapi non farmakologis Edukasi Maksud dari edukasi adalah agar pasien mengetahui sedikit seluk beluk tentang penyakitnya, bagaimana menjaganya agar penyakitnya tidak bertambah parah serta persendiannya tetap dapat dipakai (Soeroso dkk, 2006) Terapi fisik dan rehabilitasi Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit (Wen, 2000., Soeroso dkk, 2006). Terapi fisik dalam bentuk range of motion, penguatan otot (muscle strengthening) dan olahraga daya tahan (endurance exercises) dapat menstabilkan sendi dan biasanya mengurangi rasa nyeri. Walau olahraga dapat memperburuk pembengkakan, tetapi dalam jangka panjang dapat mempertahankan fungsi dan kekuatan sendi yang terjangkit (Burning & Materson, 1991., Geier, 2002). Selain itu dengan olahraga, pasien diharapkan juga dapat menurunkan berat badannya, mengingat berat badan berlebih dapat memperberat osteoarthritis (Geier, 2002) Penurunan berat badan Seperti disebutkan diatas, berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor yang akan memperberat penyakit osteoarthritis. Oleh karenanya berat badan harus selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apabila berat badan berlebihan, maka harus diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin mendekati berat badan ideal (Soeroso dkk, 2006). Penurunan berat badan disesuaikan antara berat badan yang tercatat dengan berat badan ideal, metoda yang paling berguna dan banyak digunakan untuk mengukur tingkat obesitas adalah BMI (Body Mass Index), yang didapat dengan cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (meter). Terapi farmakologis Analgesik oral non opiat Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri penyakitnya, terutama dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. (Wen, 2000). Banyak sekali obat obatan yang dijual bebas yang mampu mengurangi rasa sakit. Pada umumnya pasien mengetahui hal ini dari

19

iklan di media massa (Soeroso dkk, 2006). Acetaminofen adalah drug of choice awal untuk osteoarthritis, jika gagal dengan menggunakan acetaminofen, dapat digunakan analgesik topikal atau oral OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) . OAINS tidak direkomendasikan sebagai drug of choice awal, mengingat dari toksisitasnya terhadap lambung (Leslie, 1999) Analgesik topikal Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan dipasaran dan banyak sekali dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan cara ini, sebelum memakai obat obatan peroral lainnya (Soeroso dkk, 2006) OAINS Apabila dengan cara cara tersebut diatas tidak berhasil, pada umumnya pasien mulai datang ke dokter. Dalam hal seperti ini kita pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh karena obat golongan ini disamping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi. Oleh karena pasien osteoarthritis kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obat obatan jenis ini harus sangat berhati hati. Jadi pilihlah obat yang efek sampingnya minimal dan dengan cara pemakaian yang sederhana, disamping pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya efek samping selalu harus dilakukan (Soeroso dkk, 2006., Felson, 2006). Mengingat efek samping OAINS sering berupa gangguan gastrointestinal. Ulkus peptikum terjadi kira kira 5-25% dari orang yang menggunakan OAINS. Angka kejadian sebegitu tinggi sehingga kadang disebut sebagai NSAID gastropathy (Schnitzer, 1995). Komplikasi ke ginjal dan hati juga meningkat seiring pengunaan OAINS, walaupun demikian OAINS terbilang sangat efektif untuk mengurangi rasa nyeri dan inflamasi. Sebagai tambahan, OAINS paling sering diresepkan karena cukup dikenal dan mudah untuk di dapat di apotik (Geier, 2002) Chondroprotective agent Yang dimaksud dengan chondroprotective agent adalah obat obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien osteoarthritis. Sebagian peneliti mengolongkan obat obatan tersebut dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondrotin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, superokside desmutase (Soeroso dkk, 2006) Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai kemampuan untuk menghambat kerja enzim metaloproteinase dengan cara menghambatnya, Salah satu contohnya adalah doxycylcine, sayangnya obat ini baru dicobakan pada hewan belum pada manusia (Soeroso dkk, 2006) Asam hialuraonat disebut juga sebagai viscosupplement oleh karena salah satu manfaat obat ini adalah dapat memperbaiki viskositas cairan sinovial, obat ini diberikan intra artikuler. Asam hialuronat ternyata memegang peranan penting dalam pembentukan matrik tulang melalui agregasi dengan proteoglikan. Disamping itu pada binantang percobaan, asam hialuronat dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat angiogenesis dan kemotaksis sel inflamasi, Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam topik tersendiri. (Soeroso dkk, 2006., Felson, 2006) Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam proses degradasi tulang rawan, antara lain : hialuronidase, protease, elastase dan cathepsin B1 invitro dan juga dapat merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan sendi manusia. (Soeroso dkk, 2006) Kondrotin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok vertebrata, dan terutama jaringan yang mengandung kondrotin sulfat adalah tulang rawan sendi dan zat ini merupakan bagian dari proteoglikan. Menurut Hardingham (1998), tulang rawan sendi terdiri dari 2% sel dan 98% matrix ekstraseluler yang terdiri dari kolagen dan proteoglikan. Matriks ini membentuk suatu struktur yang utuh sehingga dapat menerima beban tubuh. Pada penyakit sendi degeneratif seperti osteoarthritis terjadi kerusakan tulang rawan sendi dan salah satu penyebabnya adalah hilangnya atau berkurangnya proteoglikan pada tulang rawan tersebut. Menurut penelitian Uebelhart dkk (1998) pemberian kondrotin sulfat pada kasus osteoarthritis mempunyai efek protektif terhadap terjadinya kerusakan tulang rawan sendi. Sedang Ronca dkk (1998) telah mengambil kesimpulan dalam penelitiannya tentang kondrotin sulfat sebagai berikut : efektivitas kondrotin sulfat pada pasien osteoarthritis mungkin melalui tiga mekanisme utama yaitu; (1) antiinflamasi, (2) efek metabolik terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan, (3) antidegradatif melalui hambatan enzim proteolitik dan menghambat efek oksigen reaktif (Soeroso dkk, 2006., Felson, 2006) Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas enzim lisozim. Pada pengamatan ternyata vitamin C mempunyai manfaat dalam terapi osteoarthritis (Fife dan Brandt,1992) Superokside dismutase, dapat dijumpai pada setiap sel mamalia dan mempunyai kemampuan untuk menghilangkan superokside dan hidoksil radikal. Secara invitro, radikal superokside mampu merusak asam hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang hidrogen peroksida dapat merusak kondrosit secara langsung. Dalam percobaan klini dilaporkan bahwa pemberian superokside dismutase ini dapat mengurangi keluhan keluhan pada pasien osteoarthritis (Fife & Brandt, 1992., Soeroso dkk, 2006) Steroid intraartikular Pada penyakit arthritis reumatoid menunjukan hasil yang baik. (Wen, 2000). Kejadian inflamasi kadang kadang dijumpai pada pasien osteoarthritis, oleh karena itu kortikosteroid intra artikuler telah dipakai dan mampu mengurangi sakit, walaupun hanya dalam waktu yang singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukan keuntungan yang nyata pada pasien osteoarthritis, sehingga pemakaiannya dalam hal ini masih kontroversial (Soeroso dkk, 2006., Felson, 2006) Terapi bedah Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang menganggu aktivitas sehari hari (Soeroso dkk, 2006) PENYUNTIKAN HYALURONIC ACID PADA OSTEOARTHRITIS Injeksi hyaluronic acid secara intraartikular, komponen mukopolisakarida visko-elastis dari cairan sinovial, semakin meningkat popularitasnya sebagai terapi osteoarthritis non bedah. Hyaluronic acid atau disebut hyaluronan atau hyaluronate adalah glikosaminoglikan dengan berat molekular tinggi (500.000-730.000 dalton), terdiri dari rantai molekul berulang dari asam glukoronat dan N-asetil-glukosamine, dan bisa ditemukan hampir di setiap jaringan ikat tubuh. Dalam persendian, hyaluronic acid melapisi rawan sendi dan berperan sebagai lubrikan dan penyerap goncangan, hyaluronic acid juga berperan sebagai tulang punggung dari proteoglikan dari matriks ekstraseluler, menciptakan jalan terhidrasi dimana antar sel dapat bermigrasi. Penelitian baru baru ini juga mendukung bahwa hyaluronic acid meningkatkan proliferasi dan diferensiasi kondrosit. Sementara itu dalam sendi yang patologis, konsentrasi hyaluronic acid dalam sendi menurun hingga 33% sampai 50% (Hart dan Miller , 2007., Wen, 2000., Geier, 2002), membatasi perannya dalam menjaga fungsi biomekanisme sendi normal. Tujuan dari injeksi hyaluronic acid intraartikular ini adalah sebagai visko-suplemen yang menggantikan hyaluronic acid yang hilang dan mungkin menstimulasi pembentukan hyaluronic acid endogen baru dalam sendi. Hyaluronic acid juga memiliki sifat anti-inflamasi, analgesik dan bahkan efek chondroprotective dalam sendi dan tulang rawan sendi (Hart dan Miller , 2007., Wen, 2000., Geier, 2002). Efek anti-inflamasi memiliki

20

mekanisme mirip OAINS dengan menekan dari pelepasan prostaglandin yang dapat menyebabkan inflamasi. Walau demikian, tidak seperti OAINS, hyaluronan tidak akan mengiritasi lambung, karena hyaluronan hanya bersifat lokal dan tidak sistemik (Geier, 2002). Sedangkan efek analgesik terjadi karena molekul hyaluronan dapat mendapar (buffer) ujung ujung saraf (Leslie, 1999., Geier, 2002) Sampai sekarang ada 5 formula injeksi hyaluronic acid yang diakui dan dipergunakan di Amerika. Meliputi Synvisc (r) Hyalgan (r) Supartz (r) Orthovisc (r) dan Euflexxa (r). Dari semua formula diatas berbeda dalam hal persiapan, bahan dasar, metode produksi, tatacara terapi, berat moleuker, masa paruh waktu dalam sendi, viskositas, farmakodinamik dan harga. Walaupun terapi injeksi hyaluronic acid intraartikular ini diindikasikan untuk nyeri pada osteoarthritis lutut, penelitian terkini mendemonstrasikan bahwa pengunaan injeksi hyaluronic acid pada pinggang, pundak dan pergelangan kaki sama efektifnya dalam mengurangi rasa nyeri dengan pengunaan pada lutut. (Hart dan Miller , 2007) Pasien Dengan semakin tersedianya terapi injeksi hyaluronic acid intraartikular ini, penentuan kandidat yang ideal menjadi penting. Hyaluronic acid tidak diberikan kepada sembarang pasien kecuali mereka yang memiliki nyeri hebat berhubungan dengan arthritis di lutut dan gagal dengan pengunaan terapi konservatif (Hart dan Miller , 2007., Cefalu dan Waddell, 1999). Dapat juga menjadi alternatif bagi pasien yang sudah tua tetapi gagal dengan terapi analgesik dasar tetapi bukan kandidat untuk operasi atau ingin menunda operasi selama satu tahun atau lebih (Cefalu dan Waddell, 1999). Sampai sekarang tidak ada hubungan langsung antara jenis kelamin, umur dan IMT (Indeks massa tubuh) dengan efektivitas visco-suplemen (Hart dan Miller , 2007) OAINS telah lama digunakan sebagai terapi utama untuk osteoarthritis ringan sampai sedang, tetapi dengan efek samping yang berbahaya, OAINS tidak ditoleransi baik oleh semua pasien. Terutama untuk OAINS yang nonselektif, gangguan saluran cerna lebih sering dihubungkan. Beberapa analis memperkirakan bahwa resiko timbulnya ulkus peptikum bahkan dalam terapi yang singkat (6 hari sampai 2 minggu), resikonya meningkat 16-22%. Dimana 44% dari pasien mengeluhkan dispepsia parah yang membutuhkan terapi lain. (Hart dan Miller , 2007) Injeksi kortikosteroid telah juga digunakan sebagai terapi osteoarthritis. Mereka biasanya ditoleransi baik, tetapi harus dibatasi tiga sampai empat injeksi pertahun dikarenakan dapat meningkatkan resiko degradasi kartilago lebih cepat bila injeksi kortikosteroid digunakan lebih sering Unloader bracer dan terapi fisik juga berperan penting dalam mengatasi gejala dari arthritis, tetapi perannya lebih ke arah adjuvant terapi (Hart dan Miller , 2007) Waktu Waktu pemberian injeksi hyaluronic acid intraartikular penting untuk dipertimbangkan. Penelitian multipel menunjukan bahwa tingkat keparahan osteoarthritis berhubungan bermakna dengan respon pasien dan mungkin berhubungan dengan waktu pemberiannya. Beberapa standar tingkatan osteoarthritis telah diciptakan untuk menstandarisasi tingkat keparahan osteoarthritis berdasarkan gambaran radiologis dari sendi yang arthritis. Kellgren dan Lawrence menciptakan standar tingkatan osteoarthritis pertama pada tahun 1957. Sedangkan standar Larsen diciptakan pada tahun 1977 digunakan untuk memberi nilai kuantitas terhadap keparahan arthritis reumatoid berdasarkan radiografik yang objektif. (Hart dan Miller , 2007) Standar tingkatan osteoarthritis Kellgren & Lawrence grading scale penampakan radiografik 0 normal 1 osteofit minimal, jarak ruang sendi menyempit diragukan 2 osfeofit definet, mungkin terdapat ruang sendi yang menyempit 3 osteofit moderat, ruang sendi menyempit dan beberapa sklerosis dan deformitas 4 osteofit besar, ruang sendi menyempit definet dan sklerosis dan deformitas parah (Hart dan Miller , 2007) Dengan mengunakan Larsen index keluaran dengan osteoarthritis tingkat 1 sampai 3, mempunyai skor peningkatan subjektif lebih baik dan angka rekurensi yang lebih rendah dibandingkan dengan osteoarthritis tingkat 3 dan 4 bila mengunakan injeksi hyaluronic acid. Penelitian lain secara retrospektif mengatakan bahwa pasien dengan tingkat I setelah mendapatkan terapi injeksi hyaluronic acid mengalami perbaikan hingga 91% dibandingkan dengan tingkat IV yang perbaikannya hanya 58%. Pengambilan keputusan klinis untuk pengunaan injeksi hyaluronic acid pada terapi osteoarthritis lutut diperlukan evaluasi radiologis yang hati hati. Untuk keuntungan maksimum, pasien sebaiknya dikonsulkan untuk diterapi injeksi hyaluronic acid sedini mungkin dari osteoarthritis nya (Hart dan Miller , 2007) Indikasi Dari semua indikasi yang dibahas disini, sebagian besar injeksi hyaluronic acid intraartikular digunakan hanya pada sendi lutut, sebenarnya efektifitas injeksi hyaluronic acid ini tidak hanya berlaku pada lutut, tetapi berlaku untuk semua sendi sinovial dengan osteoarthritis. Banyak formula dari isi injeksi hyaluronic acid intraartikular sekarang sedang diteliti pengunaannya pada sendi lain dalam rangka perluasan indikasi dalam terapi osteoarthritis di sendi lain seperti bahu, pinggang dan pergelangan kaki (Hart dan Miller , 2007; Brockenbrough , 2006., Geier, 2002) Penelitian lain mengunakan model binatang digunakan untuk memperluas indikasi penyuntikan hyaluronic acid intraartikular dalam bidang ortopedik. Salah satu penelitian memeriksa efek dari injeksi hyaluronic acid pada graft osteokondral dimana terdapat efek positif dalam survival dari kondrosit. Penelitian binatang lain meneliti efek hyaluronic acid pada meniscus, dan menemukan bahwa proses penyembuhan dari robekan periferal lebih cepat dan memfasilitasi remodeling setelah meniscectomi pada lutut. Efek perlindungan baik pada meniskus dan kartilago sendi telah ditunjukan dengan model dimana dilakukan pemberian luka cukup parah pada meniskus, mensugestikan bahwa injeksi hyaluronic acid intraartikular dapat menurunkan progresifitasan dari osteoarthritis pada lutut yang at risk tersebut (Hart dan Miller , 2007) Tentu saja, lebih banyak penelitian yang dibutuhkan untuk membuktikan hal diatas, tapi sejauh ini keluarannya cukup menjanjikan Efek samping Dari banyak penelitian yang dilakukan dengan hyaluronan, rata rata efek samping biasanya rendah (umumnya no sampai tiga persen) (Wen, 2000) Tidak ada efek samping sistemik yang ditemukan dalam penyuntikan hyaluronic acid. Kebanyakan efek samping yang dilaporkan adalah

21

rasa sakit lokal di tempat penyuntikan atau efusi, dimana biasanya hilang setelah satu sampai tiga hari. Laporan timbulnya pseudogout pernah terjadi. Tidak jelas apakah reaksi lokal ini disebabkan oleh hyaluronic acid itu sendiri atau dari prosedur injeksi. Tidak ada efek samping jangka panjang yang dilaporkan (Wen, 2000). Teknik Penyuntikan hyaluronic acid dilakukan secara berkala setiap minggu. Rekomendasi terkini dilakukan sampai tiga atau lima kali penyuntikan (Hart dan Miller , 2007; Wen, 2000; Grossman, 2006). Walaupun penelitian sedang dilakukan untuk meneliti apakah penyuntikan lebih sedikit sama efektifnya. Tapi data penelitian yang solid belum ditemukan untuk mengubah rekomendasi penyuntikan yang sekarang. (Hart dan Miller , 2007) Penyuntikan dapat diulang enam bulan kemudian (Wen, 2000) Sendi lutut dapat disuntikan dalam beberapa cara. Satu pendekatan dilakukan dengan berbaring terlentang diatas meja pemeriksaan dengan lutut difleksikan 90 derajat. Dengan posisi ini, bagian anteromedial dan anterolateral dapat dengan mudah dipalpasi dan menjadi tempat ideal untuk penyuntikan. Cara lain, lutut diekstensikan, tetap dalam posisi berbaring terlentang, kebanyakan yang dipakai adalah sudut sublateral dari patella untuk tempat penyuntikan. Dengan pendekatan ini (kaki diekstensikan) jarum diarahkan langsung ke bawah patella (Wen, 2000., Cefalu dan Waddell, 1999) Apapun pendekatan yang digunakan, tempat dimana kita akan menyuntik dapat ditandai sebelumnya dengan ujung kuku atau dengan goresan pen. Selanjutnya, persiapan steril dengan betadin dan alkohol dilakukan. Jarum ukuran 22 sampai 25 dapat digunakan untuk penyuntikan. Anestesi lokal dengan lidokain dapat digunakan sebelum penyuntikan, tetapi dengan jarum arthrosentrik ukuran kecil anestesi tidak selalu diperlukan. Alternatif spray etil klorida dapat digunakan untuk anestesi lokal. Bila dalam penyuntikan ditemukan tahanan, arah suntikan dapat dirubah bila diperlukan. (Wen, 2000) Jika efusi terjadi, aspirasi sendi direkomendasikan terlebih dahulu sebelum penyuntikan hyaluronic acid dilakukan (Wen, 2000., Cefalu dan Waddell, 1999), hal ini dilakukan untuk mencegah dilusi dari cairan hyaluronic acid. Aspirasi dapat dilakukan pada tempat penyuntikan yang sebelumnya sudah dijabarkan. Dalam kasus tertentu, aspirasi dapat dilakukan dengan jarum 18 atau 20. Setelah dilakukan anestesi, klem hemostat dapat dipakai untuk menstabilkan jarum, setelah jarum aspirasi dicabut, semprit berisi hyaluronic acid dapat dipasang pada jarum penstabil yang sama, diikuti dengan penyuntikan (Wen, 2000., Geier, 2002). Setelah penyuntikan. Pasien dianjurkan untuk tidak melakukan aktifitas fisik yang meregangkan sendi selama 24 jam. Selama waktu itu, pasien sebaiknya istirahat, dapat juga mengunakan es untuk mengkompres dan sendi kaki ditinggikan. Walau beberapa pasien mengalami perbaikan cepat setelah penyuntikan, tetapi mungkin membutuhkan 3-6 minggu kemudian untuk merasakan efeknya (Geier, 2002) Euflexxa Euflexxa adalah produk hyaluronic acid non avian pertama yang diakui oleh FDA untuk pengobatan osteoarthritis. Euflexxa dihasilkan dari sel sel bakteri melalui fermentasi seluler dan tidak mengandung kimia sambung silang (cross link) ataupun modifikasi struktur dari molekul hyaluronic acid. (Grossman, 2006) Euflexxa didesain agar mirip dengan hyaluronic acid yang alami di persendian normal kita, baik dalam segi stuktur, berat molekul maupun tingkat kemurnian. Satu struktur rantai hyaluronic acid Euflexxa sangat mirip dengan hyaluronic acid manusia. Berat molekul Euflexxa berkisar 2,4-3,76 juta Dalton dimana masuk dalam jangkauan hyaluronic acid manusia (4 7 juta Dalton) Kemurnian dari Euflexxa sudah diverifikasi melalui berbagai tes laboratorium dan prosedur, termasuk elektroforesis, UV absorbance spectrophotometry, high liquid chromatography dan immunoradiometric assay. Tes untuk Euflexxa telah dikonfirmasi bahwa ketidak murnian semacam protein asing, asam nukleat, endotoksin dan zat potensial penyebab inflamasi berada pada batas ambang deteksi Kemurnian dari Euflexxa menyingkirkan resiko terjadinya alergi atau reaksi hipersensitivitas yang mungkin bisa terjadi karena kontaminasi protein avian, asam nukleat dan endotoksin yang terdapat pada produk hyaluronic acid lainnya Sebagai tambahan, Euflexxa diproses untuk menyingkirkan efek samping seperti efusi sendi yang dihubungkan dengan keberadaan kimia asing dari produk hyaluronic acid Pertimbangan terapi Euflexxa (1% Natrium hyaluronate) diindikasikan untuk nyeri lutut karena osteoarthritis. Digunakan pada orang orang yang gagal terapi dengan medikasi analgesik simpel seperti acetaminophen atau dengan olahraga dan atau fisioterapi (Holmberg, 2006) Pasien dengan osteoarthritis ringan dan sedang adalah kandidat untuk pengobatan dengan Euflexxa Euflexxa sebaiknya tidak digunakan pada orang yang sebelumnya mengalami reaksi alergi dengan preparat hyaluronate dimana terjadi infeksi sendi lutut ataupun penyakit kulit di area penyuntikan Dalam penelitian Euflexxa yang dilakukan secara random, double blind dan multi center, didapatkan efek samping dari Euflexxa yang lebih dari 5% adalah arthralgia (8,75%). Nyeri sendi temporer dan bengkak pada lutut dapat terjadi paska penyuntikan dengan Euflexxa (Holmberg, 2006) Selain itu telah dilakukan penelitian lanjutan mengenai Euflexxa dibandingkan dengan produk hyaluronic acid lainnya, seperti penelitian sebelumnya penelitian ini dilakukan secara random, prospective, double blind, multi center, active control study. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan ketanpa kekurangan (noninferiority) dari Euflexxa, dibandingkan dengan produk hyaluronic acid lainnya. Evaluasi nyeri dibuat berdasarkan tingkat nyeri bila berjalan di permukaan datar, naik turun tangga, istirahat sewaktu malam, duduk atau berbaring dan bangun berdiri. 160 pasien dirandom untuk menerima euflexxa, 161 pasien menerima produk aktif kontrol. Setiap grup menerima penyuntikan tiga kali seminggu di awal penelitian (Holmberg, 2006) Setelah 12 minggu, peneliti menemukan bahwa hilangnya nyeri terjadi pada ke lima parameter nyeri terdapat pada euflexxa dibandingkan dengan kontrol. Oleh karena itu ketanpa kekurangan (noninferiority) dari Euflexxa dapat terbukti kebenarannya. (Holmberg, 2006) http://drakeiron.wordpress.com/2008/11/26/info-oa/

22

Patofisiologi dan Rehabilitasi Osteoartritis Osteoartritis (OA) atau penyakit degenerasi sendi ialah suatu penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat yang tidak diketahui penyebabnya, meskipun terdapat beberapa faktor resiko yang berperan. Keadaan ini berkaitan dengan usia lanjut terutma pada sendi-sendi tangan dan sendi besar yang menanggung beban dan secara klinis ditandai oleh nyeri, deformitas, pembesaran sendi oleh hambatan gerak.1 Osteoartritis merupakan penyakit sendi yang paling sering menyerang manusia dan dianggap sebagai penyebab ketidakmampuan pada orang tua.2 Penyakit radang sendi ini mulai dikenal sejak abad ke-19, dan pada waktu itu dipandang sebagai akibat dari suatu proses aus karena dipakai selama hidup. Menjelang abad ke-20, penyakit kelainan sendi adalah penyebab utama gangguan muskuloskeletal di seluruh dunia, dan dianggap sebagai kecacatan yang kedua di Amerika serikat setelah penyakit jantung rematik.3 Berikut ini akan dibahas suatu tinjauan pustaka dan laporan kasus tentang rehabilitasi medik pada Osteoartritis shoulder bialteralis.

Definisi Osteoartritis adalah suatu sindroma klinis yang ditandai dengan menipisnya kartilago secara progresif, disertai dengan pembentukan tulang baru pada tepi sendi (osteofit). Proses osteoartritis secara histopatologis ditandai dengan menipisnya kartilago disertai pertumbuhan dan remodeling tulang diikuti dengan atrofi dan destruksi tulang sekitarnya.3 Epidemiologi Prevalensi osteoartritis secara jelas meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Kondisi ini jarang ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Usia, jenis kelamin, pekerjaan dan kegemaran, ras, dan hereditas seluruhnya bisa berperan dalam manifestasi klinis osteoartritis.2 Di Amerika Serikat dan Eropa, hampir semua orang mengalami degenerasi sendi setelah usia 40 tahun. Jumlah penderita osteoartritis setiap tahunnya mencapai 16 juta orang, wanita 2 kali lebih banyak menderita osteoartritis dibanding pria.3 Data di Indonesia yang didapat dari Malang dimana prevalensinya sekitar 10-13,5%, sedang di pedesaan Jawa tengah prevalensi osteoartritis klinis sekitar 5,1%. Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan 43,8% (1991-1994) 35% (2000) adalah osteoartritis. Etiologi Etiologi pasti dari osteoartritis sampai saat ini tidak diketahui1, akan tetapi beberapa faktor predisposisi terjadinya osteoartritis dipengaruhi oleh:1,4,5,6 - Umur Umumnya ditemukan pada usia lanjut (diatas 50 tahun) - Jenis Kelamin Kelainan ini ditemukan baik pada pria maupun wanita, dimana osteoartritis primer lebih banyak ditemuakn pada wanita pasca menopause, sedangkan osteoartritis sekunder lebih banyak pada laki-laki. - Ras Lebih sering pada orang Asia khususnya China, Eropa dan Amerika daripada kulit hitam. - Faktor keturunan - Faktor metabolik/endokrin Pada penderita obesitas, hipertensi, hiperurisemia dan diabetes lebih rentan - Faktor mekanik serta kelainan geometri sendi. - Trauma dan faktor okupasi Patogenesis Terdapat dua perubahan utama yang mewarnai osteoartritis yaitu kerusakan vokal tulang rawan sendi yang progresif dan pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang rawan sendi dan tepi sendi (osteofit). Pembentukan tulang baru (osteofit) merupakan proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian. Dengan menambah luas permukaan sendi yang dapat menerima beban, osteofit mungkin dapat memperbaiki perubahan-perubahan awal tulang rawan sendi pada osteoartritis.1,2 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis ialah nyeri pada sendi yang terkena terutama sewaktu bergerak. Umumnya timbul secara perlahan-lahan, mula-mula rasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang dengan istirahat. Terdapat hambatan pada pergerakan sendi, kaku pagi, krepitasi, pembengkakan sendi dan perubahan gaya berjalan. Lebih lanjut terdapat pembengkakan sendi dan krepitasi tulang. Tempat predileksi osteoartritis adalah sendi karpometakarpal I, metatarsofalangeal I, apofiseal tulang belakang, lutut dan paha. Tanda-tanda peradangan pada sendi tersebut tidak menonjol dan timbul belakangan, mungkin dijumpai karena adanya sinovitis, terdiri dari nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat dan kemerahan.1,4,5,7,8 Diagnosis Meskipun osteoartritis mungkin didiagnosis dengan sensitivitas dan spesifitas yang cukup tinggi, pada pasien-pasien dengan nyeri sendi menahun sudah memenuhi kriteria klinis tanpa perubahan radiografi. Gejala klinis perlu diperhatikan oleh karena tidak semua pasien dengan perubahan radiografi osteoartritis mempunyai keluhan sendi.1,4 Pemeriksaan Radiologis2 Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan foto polos, gambaran yang khas pada foto polos adalah : 1. Densitas tulang normal atau meninggi 2. Penyempitan ruang sendi yang asimetris karena hilangnya tulang rawan sendi. 3. Sklerosis tulang subkondral.

23

4. Osteofit pada tepi sendi. 5. Kista tulang pada permukaan sendi terutama subkondral. Penatalaksanaan5 1. Medikamentosa; Diberikan analgesik (NSAID) tapi perlu memperhatikan efek samping pada saluran pencernaan dan ginjal 2. Diet; Diet untuk menurunkan berat badan timbulnya keluhan dan peradangan. 3. Rehabilitasi medik pada osteoartritis5,9,10 Tujuan: Mnegurangi nyeri dan spasme Memperbaiki lingkup gerak sendi Meningkatkan kekuatan otot Memperbaiki fungsi Meningkatkan kualitas hidup Istirahat (bidai) Terapi panas, dingin, listrik/TENS, masase Latihan (exercise) khusus Ortosis/ assistive device Proteksi/ pemeliharaan sendi Penurunan berat badan (diet) Konseling/ psikologi Tindak lanjut Evaluasi keluhan ROM MMT. Deformitas Evaluasi fungsi berkala tergantung berat ringan penyakit Rujukan Ke instalasi Rehabilitasi medik lebih tinggi Ke dokter spesialis penyakit dalam konsultan rematologi Ke dokter spesialis bedah ortopedi Pencegahan komplikasi Edukasi Terapi latihan Ortosis LAPORAN KASUS Identitas Penderita Nama : Ny. BKS Umur : 72 tahun Alamat : Bahu Link. III Pekerjaan : Pensiunan perawat Agama : Kristen Protestan Suku : Minahasa Pendidikan terakhir : Sekolah perawat Pemeriksaan tanggal : 17 Desember 2004 ANAMNESIS Keluhan utama : nyeri pada sendi bahu kanan dan kiri. Riwayat penyakit sekarang 4 bulanNyeri pada sendi bahu kanan dan kiri dialami penderita sejak yang lalu. Nyeri tidak disertai merah dan bengkak. Nyeri sifatnya hilang timbul seperti ditusuk-tusuk, setempat dan tidak menjalar.. Nyeri timbul terutama saat penderita beraktifitas (mencuci, mengangkat ember berisi air) dan nyeri berkurang saat beristirahat. Selain nyeri penderita juga sering merasa kaku terutama pada pagi hari 5 menit dan hilang saat penderita sudah menggerak-gerakkankira-kira lengannya. Saat menggerakkan lengan secara tiba-tiba, penderita merasa bahunya berbunyi krek. Keadaan ini membuat penderita merasa terganggu jika memakai baju kaos, mengancing tali BH atau menyisir rambut. 2-3 minggu sebelum timbul nyeri dan bengkak (penderitaRiwayat trauma jatuh di jalan, terjerembab dengan kedua lengan menyangga berat badan). Penderita sudah pernah minum obat Natrium diklofenak tapi nyeri tidak berkurang. Buang air kecil dan air besar biasa, tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu : , terkontrol sejak tahun 2000, sakit maag Kolesterol tinggi , asam urat (terkontrol) sejak tahun 2000, DM hipertensi (terkontrol) Riwayat keluarga : Hanya penderita yang sakit seperti ini. Riwayat Sosial Ekonomi : Penderita adalah pensiunan perawat, suami dosen fakultas pertanian, anak 6 orang semua sudah berkeluarga. Saat ini tinggal dengan suami, 1 anak dan 2 cucu.

24

Rumah permanen, lantai satu, WC duduk. Sumber air PAM, biaya pengobatan diatnggung ASKES Riwayat kebiasaan : Penderita tidak merokok, tidak minum alcohol, penderita bekerja menggunakan tangan kanan. PEMERIKSAAN FISIK Berat badan : 56 kg, Tinggi badan : 151 cm Keadaan umum : cukup Kesadaran : compos mentis Tanda Vital : T: 110/80 mmHg, N: 80 x/mnt, R: 20 x/ mnt, S: 36,70c Kepala : Bentuk : mesosefal, rambut sukar dicabut Mata : konjungtiva anemis -/- sklera ikterik -/Mulut : lidah beslag , carries . Leher : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening Thoraks : Pulmo: Inspeksi : simetris Palpasi : stem fremitus kiri = kanan Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru Auskultasi : SP. vesikuler, ronki -/-, wheezing -/Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat Perkusi : Batas kiri: midclavikularis sinistra ICS V Batas kanan: parasternalis dekstra ICS IV Auskultasi : S I-II normal, bising , gallop Abdomen normal: Datar, lemas, bising usus Hepar dan lien tidak teraba Ektremitas : Akral hangat Status Neurologis Kesadaran : GCS : E4 V5 M6 Nervus Kranialis I-X : Dalam batas normal. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk Status Motorik : Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior Dextra Sinistra Dextra Sinistra Gerakan Terbatas Terbatas Normal Normal Kekuatan Otot 5/5/5 5/5/5 5/5/5 5/5/5 Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Tonus Otot (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal Refleks Fisiologis (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal Refleks Patologis (-) (-) (-) (-) Sensibilitas Test (+) Normal (+) Normal (+) Normal (+) Normal Lingkup gerak sendi bahu Bahu kiri Bahu kanan Aktif Pasif aktif Pasif Extensi Fleksi Abduksi Adduksi Exorotasi Endorotasi 60 (nyeri) 180 150(nyeri) 75 60 (nyeri) 50 (nyeri) 60 (nyeri) 180 180 (nyeri) 75 70 (nyeri) 70 (nyeri) 60 (nyeri) 180o 160 (nyeri) 75 70 (nyeri) 60 (nyeri) 60 (nyeri) 180o

25

180 (nyeri) 75 70 (nyeri) 70 (nyeri) Status Lokalis Dekstra Sinistra Inspeksi: - Oedema - Hiperemi - Deformitas Palpasi: - Nyeri tekan - Nyeri gerak - Ballotement - Krepitasi - Panas perabaan Tes provokasi: - Apply scrath test - Yergason test - Mosley test - Adson test (-) (-) (-) (anterior deltoid) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (anterior deltoid) (-) (-) (-) (-) Hasil Laboratorium tanggal 16 Desember 2004: HB: 13,5 gr%, Leukosit: 7.800/ mm3, Trombosit: 334.000/mm3, Ureum: 19 mg%, Kreatinin: 0,9 mg%, GDS: 135 mg%, Kolesterol: 102 mg%, Asam urat: 4,5 mg% Pemeriksaan radiologis Kesan : Osteoartritis Shoulder Dekstra et Sinistra RESUME Seorang wanita 72 tahun, pekerjaan pensiunan perawat, datang berobat ke Unit Rehabilitasi Medik RSU Prof. R.D. Kandou tanggal 17 Desember 2004 dengan keluhan nyeri bahu kanan dan kiri, nyeri seperti ditusuk-tusuk, bersifat hilang timbul terutama waktu pagi hari disertai kekakuan. terkontrol., hipertensi , maag Riwayat penyakit dahulu: asam urat Pada pemeriksaan fisik pada regio glenohumeral joint bilateral; LGS terbatas pada ekstensi, abduksi, eksorotasi dan endorotasi. Juga di anterior dan nyeri tekan , krepitasi terdapat nyeri gerak aktif .deltoid. Pada tes provokasi didapatkan Appley scratch test Pada pemeriksaan radiologis didapatkan kesan osteoartritis shoulder dekstra dan sinistra.

26

Diagnosis Klinis : Osteoartritis Shoulder dekstra et sinistra Diagnosis Topik : Glenohumeral Joint Dekstra et Sinistra Diagnosis Etiologi : Proses Degeneratif Problem Rehabilitasi Medik : - Rasa nyeri disertai kekakuan pada kedua bahu - Keterbatasan lingkup gerak sendi - Gangguan aktifitas kehidupan sehari-hari (AKS) Therapi : Medikamentosa - Analgetik : Natrium diklofenak 2 x 25 mg/ hari - H2 Blocker : Ranitidin 2 x 150 mg/ hari - Suplemen / vitamin untuk tulang Program Rehabilitasi Medik 1. Fisiotherapi Evaluasi : - Kontak, pengertian dan komunikasi baik. - Nyeri dan kaku (+) terutama pada pagi hari - Penderita masih dapat beraktivitas ringan meskipun masih terasa nyeri pada bahu kanan dan kiri - Tidak ada pembengkakan dan tidak teraba panas. - Bahu kiri masih bisa di gerakkan tapi terasa nyeri - Keterbatasan lingkup gerak sendi pada bahu kanan dan kiri Program : - Terapi dengan Ultrasound daerah bahu kanan dan kiri. - Latihan isometrik bahu kanan dan kiri - Latihan LGS aktif dengan finger ladder. 2. Okupasi Terapi Evaluasi : - Kontak, pengertian dan komunikasi baik. - Penderita dapat mengerjakan pekerjaan sehari-hari tetapi sulit melakukan pekerjaan yang mengharuskan penderita untuk mengangkat benda, mengkait tali BH, menyisir rambut dan memakai baju kaos terutama dengan tangan kanan. Program : - Latihan peningkatan ADL dengan aktivitas (bila tidak nyeri). - Latihan LGS dengan aktivitas (bila tidak nyeri). 3. Ortotik Prostetik Evaluasi : Nyeri pada bahu kanan dan kiri, tetapi penderita masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari yang ringan. Program : Saat ini belum diperlukan. 4. Psikologi Evaluasi : Kontak perhatian dan komunikasi baik Penderita menyadari bahwa mempunyai keterbatasan fisik karena penyakit yang diderita Program : Memberikan dorongan pada penderita untuk berobat dan menjalani terapi rehabilitasi dengan teratur untuk mempercepat proses penyembuhan. 5. Sosial Medik : Evaluasi : Penderita seorang pensiunan perawat, tinggal dengan suaminya, biaya pengobatan ditanggung ASKES, rumah permanen. Program : Saat ini belum ada program dari sosial medik. 6. Terapi Wicara : Evaluasi : kontak, perhatian dan komunikasi baik. Program : sementara ini belum diperlukan program terapi wicara. DAFTAR PUSTAKA 1. Kalim H. Penyakit Sendi Degeneratif (Osteoartritis). Dalam : Noer HMS, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1, Edisi 3, Jakarta. Balai Pustaka FKUI, 1998 : 76-84. 2. Garison SJ. Osteoartritis. Dalam : Wijaya AC, alih bahasa. Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Jakarta : Hipokrates, 1996 : 70-2 http://minepoems.blogspot.com/2011/01/patofisiologi-dan-rehabilitasi.html Osteoartritis genu Osteoartritis genu adalah suatu penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi lutut, merupakan suatu penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan tidak diketahui penyebabnya, meskipun terdapat beberapa faktor resiko yang berperan. Keadaan ini berkaitan dengan usia lanjut. Prevalensi Prevalensi OA total 34,3 juta orang di pada tahun 2002 dan diprediksikan mencapai 36,5 juta orang pada tahun 2007. Diperkirakan 40% dari populasi usia di atas 70 tahun menderita OA, dan 80% pasien OA mempunyai keterbatasan gerak dalam berbagai derajat dari ringan sampai berat yang berakibat mengurangi kualitas hidupnya. Prevalensi di Indonesia berdasarkan studi yang dilakukan di Jawa Tengah menemukan prevalensi OA lutut mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita yang berumur antara 40-60 tahun. Prevalensi ini semakin meningkat

27

dengan bertambahnya usia. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik-progresif, OA mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA. Pada abad mendatang tantangan terhadap dampak OA akan lebih besar karena semakin banyaknya populasi yang berumur tua.

picture: osteoartritis pada sendi lutut Anatomi Sendi lutut merupakan gabungan dari tiga sendi yaitu patelofemoral, tibiofemoral medial dan tibiofemoral lateral. Pada sendi tibiofemoral, terdapat meniskus lateralis dan medial. Meniskus merupakan diskus fibrokartilago pipih atau segitiga atau irreguler yang melekat pada kapsul fibrosa dan selalu pada salah satu tulang yang berdekatan. Meniskus mengandung kolagen tipe I sampai 60-90% sedangkan proteoglikan hanya 10%. Konstituen glikosaminoglikan yang terbanyak adalah kondroitin sulfat dan dermatan sulfat sedangkan keratan sulfat sangat sedikit. Selain itu fibrokartilago meniskus juga lebih mudah membaik bila rusak. Sendi lutut diperkuat oleh kapsul sendi yang kuat, ligamen kolateral dan medial yang menjaga kestabilan lutut agar tidak bergerak ke lateral dan medial dan ligamentum krusiatum anterior dan posterior yang menjaga agar tidak terjadi hiperfleksi dan hiperekstensi sendi lutut. Fleksi lutut akan diikuti rotasi interna tibia, sedangkan ekstensi lutut akan diikuti rotasi untuk memperbesar momen gaya pada waktu lutut ekstensi sehingga kerja otot quadriceps femoris tidak terlalu kuat. Patologi Terdapat dua perubahan morfologi utama yang mewarnai osteoartritis yaitu kerusakan tulang rawan sendi yang progresif dan pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang rawan sendi dan tepi sendi (osteofit). Perubahan yang lebih dulu timbul, sampai sekarang belum dimengerti. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa perubahan-perubahan metabolisme tulang rawan sendi telah timbul sejak proses patologis osteoartritis. Perubahan tersebut berupa peningkatan aktivitas enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi (proteoglikan dan kolagen). Hal ini menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang rawan sendi. Saat ini osteoartritis tidak dipandang hanya sebagai proses degeneratif saja, tetapi juga merupakan suatu penyakit dengan proses aktif. Dengan adanya perubahan-perubahan pada makromolekul tulang rawan tersebut, sifat-sifat biomekanis tulang rawan sendi akan berubah. Hal ini akan menyebabkan tulang rawan sendi rentan terhadap beban biasa. Permukaan tulang rawan sendi menjadi tidak homogen, terpecah belah dengan robekan-robekan dan timbul ulserasi. Dengan berkembangnya penyakit, tulang rawan sendi dapat hilang seluruhnya sehingga tulang dibawahnya menjadi terbuka. Pembentukan tulang baru (osteofit) dipandang oleh beberapa ahli sebagai suatu proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian atau tepi sendi. Dengan menambah luas permukaan sendi yang dapat menerima beban, osteofit mungkin dapat memperbaiki perubahan-perubahan awal tulang rawan sendi pada osteoartritis, akan tetapi kaitan yang sebenarnya antara osteofit dengan kerusakan tulang rawan sendi belum jelas, oleh karena osteofit dapat timbul pada saat tulang rawan sendi masih kelihatan normal. Faktor risiko Ada beberapa faktor risiko yang diketahui berhubungan erat dengan terjadinya osteoartritis genu: 1. umur dari semua faktor risiko timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan adalah yang terpenting. Prevalensi dan beratnya penyakit osteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Osteoartritis hampir tidak pernah ditemukan pada anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Penderita osteoartritis genu meningkat pada usia lebih dari 65 tahun, baik secara klinik, maupun radiologik. Gambaran radiologik yang berat (grade III dan IV menurut kriteria Kell-green-Lawrence) makin meningkat dengan bertambahnya umur, yaitu 11,5% pada usia kurang dari 70 tahun, 17,8% pada umur 7079 tahun dan 19,4% pada usia lebih dari 80 tahun; wanita yang mempunyai gambaran radiologik osteoartritis berat adalah 10,6% pada umur kurang dani 70 tahun, 17,6% pada umur 70-79 tahun dan 21,1% pada umur lebih dari 80 tahun; sedangkan pada laki-laki 12,8% pada umur kurang dari 70 tahun, 18,2% pada umur 7079 tahun dan 17,9% pada umur lebih dari 80 tahun. Prevalensi radiologik osteoartritis akan meningkat sesuai dengan umur. Pada umur di bawah 45 tahun jarang didapatkan gambaran radiologik yang berat. Pada usia tua gambanan radiologik osteoartritis genu yang berat mencapai 20%. Pada penelitian lain didapatkan bahwa dengan makin meningkatnya umur, maka beratnya osteoartritis secara radiologik akan meningkat secara eksponensial. 2. jenis kelamin wanita lebih sering terkena osteoartritis genu dan laki-laki lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelengan tangan dan leher. Secara keseluruhan, dibawah usia 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di atas usia 50 tahun setelah menopause frekuensi osteoartritis lebih banyak pada wanita dibanding pria. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal. Dari 500 pasien dengan osteoartritis pada anggota badan, ternyata 41,9% adalah penderita osteoartritis genu dan jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki (1,3: 1). 3. pekerjaan pekerjaan berat maupun pemakaian satu sendi yang terus-menerus berkaitan dengan peningkatan risiko osteoartritis.Pekerjaan dan olah raga juga merupakan faktor predisposisiosteoantrosis sendi lutut. Penelitian HANES I mendapatkan bahwa pekerja yang banyak membebani sendi

28

lutut akan mempunyai risiko terserang osteoartritis genu lebih besar dibandingkan pekerja yang tidak banyak membebani lutut 4. kegemukan Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya risiko untuk timbul osteoartritis pada wanita maupun pria. Maquet berusaha menjelaskan secara biomekanika beban yang diterima lutut pada obesitas. Pada keadaan normal, gaya berat badan akan melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi oleh otot-otot paha bagian lateral sehingga resultannya akan jatuh pada bagian sentral sendi lutut. Pada keadaan obesitas, resultan gaya tersebut akan bergeser ke medial sehingga beban yang diterima sendi lutut tidak seimbang. Pada keadaan yang berat dapat timbul perubahan bentuk sendi menjadi varus yang akan makin menggeser resultan gaya tersebut ke medial 5. suku bangsa prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis tampak berbeda diantara masing-masing suku bangsa. osteoartritis genu lebih sering ditemukan pada orang Asia, sedangkan osteoartritis panggul lebih sering pada orang Kaukasia. osteoartritis paha lebih jarang pada kulit hitam dan asia dibanding kaukasia. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan. Frekuensi osteoartritis genu pada wanita kulit hitam lebih tinggi dibandingkan dengan pada wanita kulit putih, sedangkan pada laki-laki, frekuensi pada kulit hitam sama dengan pada kulit putih. 6. genetik adanya mutasi pada gen prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan seperti kolagen tipe IX dan XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada osteoartritis. 7. faktor lain tingginya kepadatan ulang dikatakan dapat meningkatkan risiko timbulnya osteoartritis. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tidak membantu mengurangi benturan beban pada sendi. Akibatnya tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan pada tingginya osteoartritis pada orang gemuk dan pelari (yang umumnya mempunyai tulang yang lebih padat). Gambaran klinik Pada umumnya penderita osteoartritis mengatakan bahwa keluhan-keluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahnlahan. Gejala dapat berupa: 1. nyeri sendi Gejala klinik yang paling menonjol adalah nyeri. Ada tiga tempat yang dapat menjadi sumber nyeri, yaitu sinovium, jaringan lunak sendi dan tulang. Nyeri sinovium dapat terjadi akibat reaksi radang yang timbul akibat adanya debris dan kristal dalam cairan sendi. Selain itu juga dapat terjadi akibat kontak dengan rawan sendi pada waktu sendi bergerak. Kerusakan pada jaringan lunak sendi dapat menimbulkan nyeri, misalnya robekan ligamen dan kapsul sendi, peradangan pada bursa atau kerusakan meniskus. Nyeri yang berasal dari tulang biasanya akibat rangsangan pada periosteum karena periosteum kaya akan serabut-serabut penerima nyeri. Selain itu rasa nyeri dipengaruhi oleh keadaan psikologik pasien, sehingga dianjurkan untuk melakukan evaluasi psikologik dalam penatalaksanaan penderita osteoartrosis. Nyeri pada osteoartritis genu, biasanya mempunyai irama diurnal, nyeri akan menghebat pada waktu bangun tidur dan sore hari. Selain itu, nyeri juga dapat timbul bila banyak berjalan, naik dan turun tangga atau bergerak tiba-tiba. Nyeri yang belum lanjut biasanya akan hilang dengan istirahat, tetapi pada keadaan lanjut, nyeri akan menetap walaupun penderita sudah istirahat 2. hambatan gerak sendi Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri. Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada osteoartritis yang masih dini. Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja). 3. kaku pagi Kaku sendi merupakan gejala yang sering ditemukan, tetapi biasanya tidak lebih dari 30 menit. Kaku sendi biasanya muncul pada pagi hari atau setelah imobilitas seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur. 4. krepitasi Krepitasi berupa rasa gemeretak kadang-kadang dapat terdengar. Krepitus dapat ditemukan tanpa disertai rasa nyeri, tapi biasanya berhubungan dengan nyeri yang tumpul. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif dimanipulasi. 5. pembengkakan sendi yang seringkali asimetris Kadang-kadang ditemukan pembengkakan sendi akibat efusi cairan sendi yang biasanya tak banyak Pemeriksaan penunjang Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena sudah cukup memberikan gambaran diagnostik. Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adaah: Penyempitan celah sendi yang sering asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban) Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral) Kista tulang Osteofit pada pinggir sendi Perubahan struktur anatomi sendi

29

Terapi Penatalaksanaan osteoarthritis dapat berupa: Obat-obatan Obat yang diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, meningkatkan mobilitas dan mengurangi ketidakmampuan. Obat-obatan anti inflamasi non steroid bekerja sebagai analgetik dan sekaligus mengurangi viskositas, meskipun tak dapat memperbaiki ataupun menghentikan proses patologis osteoarthritis. Perlindungan sendi Perlu dihindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang sakit misalnya dengan modifikasi tempat duduk dan mengurangi aktivitas jongkok dan berlutut. Bila diperlukan dapat juga menggunakan tongkat atau alat listrik yang dapat meringankan kerja sendi. Diet Penurunan berat badan seringkali mengurangi timbulnya keluhan. Dukungan psikososial Dukungan psikososial diperlukan oleh pasien OA karena sifatnya yang menahun dan ketidakmampuan yang ditimbulkan. Pasien kadang ingin menyembunyikan kemampuannya tapi dia juga ingin orang lain turut memikirkan penyakitnya. Fisioterapi Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan pasien osteoarthritis, dapat berupa terapi panas dan dingin serta program latihan yang tepat. Pemakaian panas sebelum latihan untuk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan. Pada sendi yang masih akut diberikan terapi dingin. Berbagai sumber panas dapat dipakai seperti hidrokolator, bantalan listrik, ultrasonik, inframerah, diatermi, mandi parafin dan mandi dari pancuran panas. Program latihan bertujuan untuk memperbaiki gerak sendi dan memperkuat otot yang biasanya atropik di sekitar sendi OA. Latihan isometrik lebih baik daripada isotonik karena mengurangi tegangan pada sendi. Operasi Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien OA dengan kerusakan sendi yang nyata dengan nyeri menetap dan kelemahan fungsi. Tindakan yang dapat dilakukan adalah osteotomi untuk mengoreksi ketidaklurusan atau ketidak sesuaian, debridemen sendi untuk mengghilangkan fragmen tulang rawan sendi, pembersihan osteofit, artroplasti parsial dan total, artrodesis dan kondroplasti. http://viramedika.blogspot.com/2009/04/osteoartritis-genu.htmlg Osteoartritis dan Osteoporosis Osteoartritis dan Osteoporosis merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi, terutama pada populasi wanita usia lanjut. Meski sering ditemukan pada wanita usia lanjut, tapi osteoartritis dan osteoporosis merupakan dua keadaan yang berbeda.Osteoartritis (OA) yang dikenal pula sebagai pengapuran sendi, kelainan utamanya dimulai dari kerusakan tulang rawan sendi yang diikuti dengan pertumbuhan osteofit, penebalan tulang subkondral, peradangan sinovium, dan kerusakan ligamen. OA umumnya menyerang sendi penopang tubuh seperti sendi lutut, panggul, lumbal dan servikal. OA dapat juga mengenai sendi jari tangan terutama sendi interfalang distal (DIP) dan proksimal (PIP). "OA dimulai dengan kerusakan pada tulang rawan sendi yang berakhir dengan kerusakan seluruh organ sendi, hasil akhir OA ialah sendi yang cacat," jelas Ketua Umum PB Ikatan Rheumatologi Indonesia (IRA). Sementara, osteoporosis (OP) yang lebih dikenal keropos tulang. Definisi osteoporosis yang telah disetujui oleh WHO merupakan penyakit skeletal sistemik yang karakteristik dengan massa tulang rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap patah tulang. "OP dimulai dengan penurunan kualitas tulang dan penurunan kepadatan tulang yang berakhir dengan kekeroposan tulang, hasil akhir dari OP ialah patah tulang." Perhatian Dunia terhadap Muskuloskeletal Penyakit osteoartritis dan osteoporosis pada usia lanjut akan memberikan dampak penting terhadap penurunan fungsi, independensi dan kualitas hidup pasien. Apalagi prevalensinya semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya populasi usia lanjut. Oleh karena itu perhatian dunia terhadap persoalan ini cukup besar. Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Mr.Kofi A. Annan yang didukung oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Nasional dan Internasional untuk Penderita Gangguan Muskuloskeletal, serta Organisasi Profesi Kesehatan di seluruh dunia mencanangkan "Bone and Joint Decade (BJD) 2000-2010 for Prevention and Treatment of Musculoskeletal Disorders". WHO dalam laporannya yang dimuat dalam WHO Technical Report Series Nomer 919 tahun 2003 yang berjudul "The Burden of Musculoskeletal Conditions at The Start of The New Millenium" menyatakan beberapa hal. Pertama, walaupun penyakit-penyakit yang menyebabkan kematian lebih mendapat perhatian masyarakat, tetapi gangguan muskoloskeletal dan penyakir reumatik merupakan penyebab utama morbiditas di seluruh penjuru dunia terutama pada warga usia lanjut, mempengaruhi tingkat kesehatan dan kualitas hidup manusia, mengakibatkan perlunya biaya tinggi pada sistem kesehatan. Kedua, terdapat kira-kira 150 jenis gangguan muskoloskeletal, yang diderita ratusan juta manusia, yang mengakibatkan nyeri dan inflamasi berkepanjangan dan disabilitas, sehingga menyebabkan gangguan psikologik dan sosial penderita. Ketiga, empat puluh persen dari penduduk dunia yang berusia lebih dari 70 tahun akan menderita osteoartritis lutut, Keempat, terdapat 1,7 juta kejadian patah tulang akibat osteoporosis di seluruh dunia pada 1990 dan diperkirakan akan terdapat 6 juta patah tulang pada tahun 2025. Fraktur panggul pada gilirannya akan mengakibatkan peningkatan morbiditas, mortalitas dan biaya tinggi.

30

Di Indonesia sendiri, BJD 2000-2010, atas prakarsa dari Ikatan Reumatologi Indonesia (IRA), dicanangkan oleh Menteri Kesehatan Dr.Achmad Sujudi atas nama Pemerintah Indonesia di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2000. Dekade Tulang dan Sendi merupakan inisiatif multidisiplin. Dimana tujuan dari Bone and Joint Decade 2000 - 2010 adalah memperbaiki kualitas hidup kesehatan pasien yang berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal di seluruh dunia dengan jalan meningkatkan kesadaran akan tingginya beban masyarakat dan besarnya biaya yang diakibatkan gangguan muskuloskeletal, menyadarkan pasien agar berpartisipasi dalam perawatan diri sendiri, promosi dari pencegahan dan pengobatan yang cost-effectiveness, meningkatkan pengetahuan tentang gangguan muskuloskeletal melalui riset untuk memperbaiki cara prevensi dan pengobatan. (Amril) http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=28 Pengobatan OA terdiri dari latihan, terapi manual, modifikasi gaya hidup, obat-obatan dan intervensi lainnya untuk mengurangi rasa sakit. Modifikasi gaya hidup Tidak peduli keparahan atau lokasi OA, tindakan konservatif seperti mengontrol berat badan, istirahat yang tepat, olahraga, dan penggunaan perangkat dukungan mekanis dapat bermanfaat. Dalam OA lutut, lutut kawat gigi dapat membantu. Sebuah tongkat, atau walker bisa mengurangi tekanan pada sendi kaki yang terlibat yang dapat membantu untuk berjalan dan dukungan. Olahraga teratur seperti berjalan atau berenang, atau kegiatan lain low impact didorong. Menerapkan panas lokal sebelumnya, dan / atau kemasan dingin setelah latihan, dapat membantu mengurangi rasa sakit, seperti yang bisa teknik-teknik relaksasi. Berat badan bisa menghilangkan stres bersama dan dapat menunda kemajuan meskipun penelitian yang mendukung ini adalah samar-samar. Fisik langkah-langkah Saran yang tepat dan pembinaan oleh penyedia layanan kesehatan seperti ahli tulang, ahli terapi fisik, okupasi terapis, dan dokter medis penting dalam manajemen OA, memungkinkan orang dengan kondisi ini untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Fungsional, kiprah, dan keseimbangan pelatihan telah direkomendasikan untuk mengatasi gangguan dari proprioception, keseimbangan, dan kekuatan pada individu dengan artritis ekstremitas bawah. Defisit ini dapat memberikan kontribusi lebih tinggi risiko jatuh pada orang tua. Edukasi pasien Pasien pendidikan telah terbukti untuk membantu dalam pengelolaan diri pasien dengan arthritis dalam menurunkan rasa sakit, meningkatkan fungsi, mengurangi kekakuan dan kelelahan, dan mengurangi penggunaan medis. Sebuah meta-analisis menunjukkan pendidikan pasien dapat memberikan pereda nyeri rata-rata 20% lebih bila dibandingkan dengan NSAID sendirian pada pasien dengan OA panggul atau rheumatoid arthritis. Latihan Olahraga ringan menyebabkan peningkatan dan penurunan fungsi rasa sakit pada orang dengan osteoarthritis lutut. Gerak sendi yang memadai dan elastisitas jaringan periarticular diperlukan untuk tulang rawan gizi dan kesehatan, perlindungan struktur gabungan dari beban dampak merusak, fungsi, dan kenyamanan dalam kegiatan sehari-hari. Latihan untuk mendapatkan kembali atau mempertahankan gerak dan fleksibilitas dengan intensitas rendah, gerakan terkontrol yang tidak menyebabkan rasa sakit meningkat. Kelemahan otot di sekitar sendi osteoarthritic adalah umum ditemukan. Progresif resistif / latihan beban memperkuat otot-otot dengan cara yang lulus untuk memungkinkan memperkuat sementara membatasi cedera jaringan. Belat jempol untuk OA pangkal jempol mengarah ke perbaikan setelah satu tahun. Pada tahun 2002, percobaan, penilai acak buta telah diumumkan menunjukkan efek positif pada fungsi tangan dengan pasien yang dipraktekkan latihan perlindungan rumah bersama (JPE). Grip kekuatan parameter hasil primer, meningkat 25% pada kelompok latihan versus tidak ada perbaikan pada kelompok kontrol. Fungsi tangan global meningkat sebesar 65% bagi mereka JPE melakukan.

31

Obat Parasetamol Parasetamol (Tylenol / asetaminofen), umumnya digunakan untuk mengobati rasa sakit dari OA, dan direkomendasikan dalam 16 dari 16 pedoman dievaluasi dalam review 2007 dari pedoman yang ada. Sebuah uji coba terkontrol secara acak membandingkan parasetamol dengan ibuprofen dalam x-ray-terbukti osteoarthritis ringan sampai sedang dari pinggul atau lutut menemukan manfaat yang sama. Namun, parasetamol dengan dosis 4 gram per hari dapat meningkatkan tes fungsi hati. Pada tahun 2006, bagaimanapun, review Cochrane menemukan manfaat kecil (efek ukuran 0,13) dari parasetamol, menunjukkan signifikansi klinis dipertanyakan. Obat yang paling menonjol di kelas meliputi diklofenak, ibuprofen, naproxen dan ketoprofen. Dosis tinggi obat oral sering diperlukan. Namun, diklofenak telah ditemukan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang rawan artikular. Bahkan lebih penting lagi semua NSAID sistemik agak berat pada saluran pencernaan, dan dapat menyebabkan gangguan perut, kram, diare, dan ulkus peptikum. Seperti efek samping sistemik biasanya tidak diamati bila menggunakan NSAID topikal, yaitu, pada kulit sekitar area target. Dan biasanya lemah / atau pendek tinggal efek terapi topikal seperti perawatan dapat ditingkatkan dengan menggunakan obat dalam formulasi yang lebih modern, termasuk atau ketoprofen yang terkait dengan operator Transfersome atau diklofenak dalam larutan DMSO. Tipe lain dari NSAID, COX-2 inhibitor selektif (seperti celecoxib, dan rofecoxib ditarik dan valdecoxib) sering digunakan tetapi tidak lebih efektif dibandingkan dengan NSAID lainnya. NSAID ini terakhir membawa peningkatan resiko penyakit jantung, dan beberapa kini telah ditarik dari pasar. Kortikosteroid Steroid oral tidak dianjurkan dalam pengobatan OA karena manfaat mereka yang sederhana dan tingkat tinggi efek samping. Namun intra artikular kortikosteroid sementara memperbaiki gejala seperti dibahas di bawah. Analgesik opioid Untuk nyeri sedang sampai berat analgesik opioid seperti morfin atau kodein mungkin diperlukan. Hangat Ada beberapa NSAID tersedia untuk digunakan topikal (misalnya diklofenak, ibuprofen, dan ketoprofen) dengan sedikit, jika ada, efek samping sistemik dan setidaknya beberapa efek terapeutik. Formulasi NSAID lebih modern untuk pemanfaatan langsung, yang berisi obat dalam larutan organik atau pembawa gel berbasis Transfersome, dilaporkan, adalah sebagai efektif sebagai NSAID oral. Krim dan lotion, mengandung capsaicin, yang efektif dalam mengobati rasa sakit yang terkait dengan OA jika mereka diterapkan dengan frekuensi yang cukup. Injeksi Sebuah tinjauan 2005 suntikan asam hyaluronic, yang dikenal sebagai vicosupplementation, tidak menemukan bahwa hal itu mengarah pada perbaikan klinis pada OA. Sebuah studi 2009 selanjutnya menemukan hasil yang serupa. Injeksi glukokortikoid (seperti hydrocortisone) menyebabkan nyeri bantuan jangka pendek yang dapat berlangsung antara beberapa minggu dan beberapa bulan. Operasi Jika manajemen di atas tidak efektif, operasi penggantian sendi mungkin diperlukan. Individu dengan sendi OA sangat menyakitkan mungkin memerlukan pembedahan seperti penghapusan fragmen, reposisi tulang, atau tulang fusing untuk meningkatkan stabilitas dan mengurangi rasa sakit. Arthroscopic intervensi bedah untuk osteoartritis lutut telah ditemukan untuk menjadi tidak lebih baik dari plasebo pada menghilangkan gejala. Alternatif pengobatan Sebagian besar pasien dengan arthritis telah mencoba pengobatan alternatif untuk sakit mereka. Berbagai penelitian telah melaporkan beberapa manfaat bagi banyak dari pendekatan ini, termasuk akupunktur dan beberapa suplemen herbal. Namun, tingkat respons cenderung rendah dan ada kekhawatiran tentang bias dalam banyak studi.

32

Sebuah Tinjauan menyarankan akupunktur 2007 merupakan pengobatan yang efektif untuk nyeri dan disfungsi terkait dengan osteoarthritis lutut Sebuah tinjauan 2007 menyarankan akupunktur berguna untuk pasien yang lebih tua dengan osteoartritis lutut dan unggul daftar tunggu atau kelompok perawatan biasa, tetapi hasilnya tidak klinis relevan untuk pura-pura dan akupunktur aktual dan berasal efek plasebo. Sebuah tinjauan 2007 menemukan bahwa electroacupuncture dikaitkan dengan bantuan jangka pendek nyeri lutut osteoarthritic lebih baik dari plasebo, namun panduan akupunktur tidak, dan kualitas dari artikel ditinjau dengan ukuran sampel yang kecil dapat merusak validitas kesimpulan. Sebuah tinjauan 2008 menunjukkan ada bukti kualitas moderat yang akupunktur mengurangi rasa sakit untuk pasien dengan osteoarthritis lutut, bukti untuk latihan dan pengurangan berat badan lebih tinggi, dan juga meningkatkan fungsi fisik dan cacat yang dilaporkan sendiri masing-masing Satu set 2008 dari rekomendasi konsensus yang dihasilkan oleh Osteoarthritis Penelitian Masyarakat Internasional menyimpulkan akupunktur yang mungkin menawarkan manfaat simptomatik untuk osteoartritis lutut atau pinggul Sebuah tinjauan 2008 menyarankan bahwa akupunktur menyediakan manajemen jangka pendek dari osteoarthritis yang berhubungan dengan nyeri lutut. Namun, pengobatan jangka pendek dengan akupunktur tidak memiliki manfaat jangka panjang.

Glucosamine / Chondroitin Ada kontroversi mengenai efektivitas glukosamin untuk OA lutut. Sebuah tinjauan menyimpulkan bahwa glukosamin 2005 dapat meningkatkan gejala OA dan menunda perkembangannya. Namun, sebuah studi besar berikutnya menunjukkan bahwa glucosamine tidak efektif dalam mengobati OA lutut, dan 2007 meta-analisis yang mencakup percobaan ini menyatakan bahwa glukosamin hidroklorida tidak efektif .. Selain itu, dalam analisis in vitro glukosamin telah mengungkapkan bahwa glukosamin menghambat karakteristik sel tulang rawan. Ada "mencolok" perbedaan antara hasil yang dilaporkan dari percobaan yang melibatkan glukosamin sulfat dibandingkan dengan glukosamin hidroklorida, dengan glukosamin sulfat melaporkan ukuran efek 0,44 dibandingkan dengan efek ukuran 0,06 dari glukosamin hidroklorida; Osteoarthritis Research Society International merekomendasikan menghentikan glukosamin jika tidak ada efek diamati setelah enam bulan. Ada kekhawatiran bahwa bias industri telah mempengaruhi persidangan sebelumnya, meskipun konsensus OARSI meninjau 2008 menyatakan bahwa ini adalah "tidak berdasar". Tidak ada efek samping telah diamati. Liga Eropa Melawan Rematik pedoman praktek merekomendasikan glukosamin. Chondroitin sulfat juga menjadi suplemen makanan banyak digunakan untuk pengobatan osteoarthritis, baik dalam kombinasi dengan glucosamine dan dengan sendirinya. Sebuah meta-analisis dari uji terkontrol acak tidak menemukan manfaat dari kondroitin, meskipun hal ini meta-analisis mencakup hanya 3 uji coba, satu yang memiliki "respons placebo yang sangat tinggi" dan satu yang diterbitkan sebagai satusatunya abstrak. Sebuah sidang 2004 membandingkan SAMe dan celecoxib menemukan bahwa selama bulan pertama kelompok SAMe melaporkan nyeri lebih, tetapi setelah itu tidak ada perbedaan yang signifikan antara SAMe dan celecoxib pada mengurangi rasa sakit. Kelompok SAMe melaporkan agak lebih sedikit efek samping, konsisten dengan review sebelumnya.

Resin Kemenyan dari serrata Boswellia''''pohon-India kemenyan adalah pengobatan tradisional untuk artritis dalam pengobatan Ayurveda. Bromelain, enzim protease yang diekstrak dari keluarga tanaman Bromeliaceae (nanas), blok beberapa metabolit proinflamasi. Antioksidan, termasuk vitamin C dan E dalam baik makanan dan suplemen, memberikan bantuan nyeri dari OA. Jahe (rimpang) ekstrak - telah meningkatkan gejala lutut moderat. Kekurangan selenium telah berkorelasi dengan risiko yang lebih tinggi dan beratnya OA. Vitamin B9 (asam folat) dan B12 (cobalamin) diambil dalam dosis besar telah dipikirkan untuk mengurangi nyeri OA tangan dalam satu studi yang sangat kecil, non-kuantitatif dari 25 orang, hasil yang sangat jelas yang terbaik. Kekurangan vitamin D telah dilaporkan pada pasien dengan OA, dan suplemen dengan vitamin D3 dianjurkan untuk menghilangkan rasa sakit.

http://www.news-medical.net/health/Osteoarthritis-Treatments-(Indonesian).aspx

33

aktor utama dalam kemajuan pesat ilmu kedokteran selama 50 tahun terakhir telah pengembangan dan penyempurnaan dari metode penelitian klinis yang dikenal sebagai uji coba terkontrol secara acak (RCT). A clinical trial is defined as a prospective scientific experiment that involves human subjects in whom treatment is initiated for the evaluation of a therapeutic intervention. Sebuah uji klinis didefinisikan sebagai suatu eksperimen ilmiah prospektif yang melibatkan subyek manusia dalam antaranya pengobatan dimulai untuk evaluasi dari intervensi terapeutik. In an RCT, each patient is assigned to receive a specific treatment intervention by a chance mechanism. Dalam sebuah RCT, setiap pasien ditugaskan untuk menerima intervensi pengobatan tertentu dengan mekanisme kebetulan. Nothing more clearly indicates the key role of an RCT in modern clinical research than the placement of this specific research method at the top of the list of levels of evidence in evidence-based medicine. 1 According to this classification, significant results of an RCT are more definitive than any other type of clinical research information. Tidak ada yang lebih jelas menunjukkan peran penting dari sebuah RCT dalam penelitian klinis modern daripada penempatan metode penelitian khusus di bagian atas daftar tingkat bukti dalam kedokteran berbasis bukti. 1 Menurut klasifikasi ini, hasil yang signifikan dari suatu RCT yang lebih definitif daripada jenis lain dari informasi penelitian klinis. The purpose of this article is to present an overview of the design of RCTs. Tujuan artikel ini adalah untuk menyajikan gambaran dari desain RCT. Some of the principles of a high-quality study, such as the use of randomization, placebos, and double-blind designs are well known. Beberapa prinsip-prinsip penelitian berkualitas tinggi, seperti penggunaan pengacakan, plasebo, dan double-buta desain terkenal. Other principles such as stratification, use of a decision-making structure, and statistical power are known by many investigators but are not universally recognized or fully understood. Prinsip-prinsip lain seperti stratifikasi, penggunaan struktur pengambilan keputusan, dan kekuatan statistik yang dikenal oleh banyak peneliti tetapi tidak universal diakui atau sepenuhnya dipahami. These features plus others that indicate the design of a high-quality RCT are discussed. Fitur-fitur ini ditambah lain yang menunjukkan desain berkualitas tinggi RCT dibahas. A companion article on the conduct and evaluation of RCTs will appear in a future issue of this journal. Sebuah artikel pendamping pada pelaksanaan dan evaluasi RCT akan muncul dalam isu masa depan jurnal ini. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Clarity of Study Objective Kejelasan Tujuan Studi One of the most easily recognized aspects of a well-designed and conducted clinical trial is the apparent clarity of the research mechanism evident in its published report. Salah satu aspek yang paling mudah dikenali dari percobaan klinis yang dirancang dengan baik dan dilakukan adalah kejelasan nyata dari mekanisme penelitian jelas dalam laporan yang dipublikasikan. Alternatively, one of the more common problems with a published clinical trial is the apparent design by committee in which different members of a protocol team have different goals. Atau, salah satu masalah yang lebih umum dengan percobaan klinis yang diterbitkan adalah "desain oleh komite" jelas di mana anggota yang berbeda dari tim protokol memiliki tujuan yang berbeda. Because a clinical trial is a resource-intensive undertaking, many investigators feel that the study should attempt to satisfy a large number of objectives. Karena percobaan klinis adalah usaha sumber daya-intensif, banyak peneliti merasa bahwa penelitian ini harus berusaha untuk memenuhi sejumlah besar tujuan. The end result of this perspective is that some studies come to conclusion without convincing data on any specific question. Hasil akhir dari perspektif ini adalah bahwa beberapa studi sampai pada kesimpulan tanpa data meyakinkan pada setiap pertanyaan tertentu. Ideally, investigators should focus their study on a single major objective, such as the comparison of a new therapy versus the standard therapy with respect to a specific primary end point measure. Idealnya, peneliti harus fokus studi mereka pada tujuan utama tunggal, seperti perbandingan terapi baru versus terapi standar sehubungan dengan ukuran titik akhir primer yang spesifik. Development of an explicit statement of the study objective will lead the investigators to the identification of a clear study design. Pengembangan sebuah pernyataan eksplisit dari tujuan studi akan memimpin peneliti untuk identifikasi dari desain studi yang jelas. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Classification by Study Design Klasifikasi oleh Desain Studi Overall, clinical trials serve a multitude of functions that include the determination of a maximum tolerated dose, formulation of the basis for drug approval by the FDA, and definition of standard therapeutic management. Secara keseluruhan, uji klinis melayani banyak fungsi yang meliputi penentuan dosis toleransi maksimum, perumusan dasar untuk persetujuan obat oleh FDA, dan definisi manajemen terapi standar. They can be classified by either design or phase. Mereka dapat diklasifikasikan dengan baik desain atau fase. The 3 most common designs are uncontrolled clinical trials, nonrandomized controlled trials, and RCTs. Yang 3 desain yang paling umum adalah uji klinis terkontrol, percobaan dikontrol nonrandomized, dan RCT. For uncontrolled trials, no concurrent comparison group exists and controls are implicit. Untuk percobaan yang tidak terkendali, tidak ada kelompok pembanding bersamaan ada dan kontrol implisit. This design is usually considered to provide the weakest level of clinical evidence. Desain ini biasanya dianggap memberikan tingkat terlemah bukti klinis. In nonrandomized controlled trials, a concurrent comparison group does exist, but patients are allocated to this group by a nonrandom process. Dalam uji coba terkontrol nonrandomized, kelompok pembanding bersamaan tidak ada, tetapi pasien yang dialokasikan ke grup ini melalui proses nonrandom. Data from such studies are usually only considered reliable if confirmed by a randomized study or by a number of similarly designed nonrandomized studies in a meta-analysis. Data dari studi tersebut biasanya hanya dianggap dapat diandalkan jika dikonfirmasi oleh penelitian secara acak atau dengan sejumlah studi nonrandomized juga dirancang dalam meta-analisis. In an RCT, individuals are randomly allocated to 2 or more treatment groups, which usually include a standard treatment group and one or more experimental groups. Dalam sebuah RCT, individu secara acak dialokasikan untuk 2 atau lebih kelompok perlakuan, yang biasanya termasuk kelompok perlakuan standar dan satu atau lebih kelompok eksperimental.

34

Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Classification by Study Objective and Phase Klasifikasi oleh Tujuan Studi dan Fase The system that classifies clinical trials by phase is given in the Table . Sistem yang mengklasifikasikan fase uji klinis oleh diberikan dalam Tabel . Under this system, a new drug or intervention begins testing in phase I trials and then proceeds to phase II and III trials in a sequential manner that culminates in the establishment of the intervention as the new standard or in its licensing. Di bawah sistem ini, obat baru atau intervensi dimulai pengujian dalam fase I percobaan dan kemudian meneruskan ke tahap II dan III di uji coba dengan cara berurutan yang berpuncak pada pembentukan intervensi sebagai standar baru atau dalam lisensinya. After licensing, a phase IV trial may be undertaken to explore the longterm morbidity and effects that would be too uncommon to be detected in previous studies. Setelah lisensi, fase IV percobaan dapat dilakukan untuk mengeksplorasi morbiditas jangka panjang dan efek yang akan terlalu jarang untuk dideteksi dalam penelitian sebelumnya. View this table: Lihat tabel ini:

In this window Pada jendela ini In a new window Di jendela baru

Phases of Clinical Trials Fase Clinical Trials Treatment assignment for phase III trials nearly always uses a randomization mechanism. Pengobatan tugas untuk percobaan fase III hampir selalu menggunakan mekanisme pengacakan. Although nearly all phase III trials are RCTs, not all randomized trials are phase III trials. Meskipun hampir semua fase III percobaan yang RCT, tidak semua percobaan acak fase III percobaan. The frequency with which randomization is used decreases for phase I and II trials. Frekuensi yang digunakan menurun pengacakan untuk tahap I dan II uji coba. In addition to ensuring that groups are alike as much as possible, randomization in phase I and II studies is sometimes seen as a fair mechanism to provide patient access to a promising new drug of limited supply. Selain untuk memastikan bahwa kelompok yang sama sebanyak mungkin, pengacakan dalam fase I dan II studi kadang-kadang dilihat sebagai mekanisme yang adil untuk memberikan akses pasien ke obat baru yang menjanjikan pasokan terbatas. Although the concept of progression of a drug/intervention through phase I, II, and III trials has served its purpose well for many years, often the progression is not clearly demarcated. Meskipun konsep perkembangan obat / intervensi melalui fase I, II, dan III percobaan telah melayani tujuan dengan baik selama bertahun-tahun, seringkali perkembangan tersebut tidak jelas batas-batasnya. For example, phase I/II and phase II/III studies are quite common and may fit clinical needs better than strict adherence to the phase I, II, III progression. Sebagai contoh, fase I / II dan fase II / III studi sangat umum dan mungkin sesuai kebutuhan klinis yang lebih baik daripada ketaatan pada fase I, II, III kemajuan. Furthermore, with a typical clinical trial gestation period of 1 year, investigators often adopt a multiphase study design to speed the pace of research. Selain itu, dengan masa percobaan klinis yang khas kehamilan 1 tahun, peneliti sering mengadopsi desain studi multifase untuk mempercepat laju penelitian. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Equipoise Imbang Equipoise is an ethical concept in the design and conduct of clinical trials. Imbang adalah sebuah konsep etika dalam desain dan pelaksanaan uji klinis. This concept states that, ethically speaking, we can only conduct clinical trials in areas of uncertainty and can only continue as long as the uncertainty remains. Konsep ini menyatakan bahwa, etika berbicara, kita hanya bisa melakukan uji klinis di daerah ketidakpastian dan hanya bisa terus berlanjut selama ketidakpastian tetap. Thus, for an RCT it is unethical to initiate a clinical trial that does not include the standard treatment as 1 of the therapy arms, if such a standard exists, and it is unethical to include a therapy arm that is known to be inferior to any other treatment. Jadi, untuk sebuah RCT itu tidak etis untuk memulai percobaan klinis yang tidak termasuk "pengobatan standar" sebagai 1 dari lengan terapi, jika standar tersebut ada, dan itu tidak etis untuk menyertakan kelompok terapi yang dikenal rendah untuk setiap perawatan lainnya. This concept obligates investigators who plan a study to perform a comprehensive review of the medical literature during the protocol development phase and to establish a mechanism by which to keep informed of the latest released results from any related trials. Konsep ini mewajibkan peneliti yang merencanakan studi untuk melakukan kajian komprehensif dari literatur medis selama tahap pengembangan protokol dan untuk membentuk suatu mekanisme yang digunakan untuk mendapatkan informasi dari hasil yang dirilis terbaru dari setiap percobaan terkait. Two practical problems are encountered with the concept of equipoise. Dua masalah praktis yang dihadapi dengan konsep keseimbangan. First, there can be differences of opinion as to the level of evidence associated with uncertainty. Some investigators may adopt the position of uncertainty unless clear information from an RCT exists, whereas others may use their clinical judgment to make such a determination. Pertama, bisa ada perbedaan pendapat tentang tingkat bukti yang terkait dengan Beberapa peneliti dapat mengadopsi posisi ketidakpastian kecuali informasi yang jelas dari RCT ada, sedangkan yang lain dapat menggunakan penilaian klinis mereka untuk membuat semacam tekad "ketidakpastian.". Second, it is unclear whether standard therapy is an individual, local, national, or international concept. Kedua, tidak jelas apakah terapi standar adalah, individu lokal, konsep nasional, atau internasional. Most often it is felt to be a local concept in which there may differences in personal preferences among some clinicians but a consensus among most practicing clinicians in that local geographic area. Paling sering dirasakan menjadi konsep lokal di mana mungkin ada perbedaan dalam preferensi pribadi di antara beberapa dokter tetapi konsensus di antara dokter yang paling berlatih di wilayah geografis lokal.

35

Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Common Phase III Designs Umum Tahap III Desain A general progression exists for phase III study designs relative to a specific disease ( Figure ). Sebuah perkembangan umum ada untuk studi fase III desain relatif terhadap suatu penyakit tertentu ( Gambar ). The appropriate study design is largely dictated by the maturity of the therapeutic knowledge in that disease setting and design issues associated with equipoise. Rancangan penelitian yang tepat adalah sangat ditentukan oleh kematangan pengetahuan terapi dalam pengaturan penyakit dan masalah desain yang terkait dengan imbang.View larger version: Lihat versi yang lebih besar:

In this page Pada jendela ini In a new window Di jendela baru Download as PowerPoint Slide Download sebagai Slide PowerPoint

Common phase III designs. Umum desain tahap III. R indicates randomization. R menunjukkan pengacakan. In the clinical setting in which no prior drug (or intervention) has been established as the standard therapy, the study design for the initial phase III studies would compare a new experimental therapy group to a no therapy (eg, placebo control) group (design A). Dalam pengaturan klinis di mana tidak ada obat sebelumnya (atau intervensi) telah ditetapkan sebagai terapi standar, desain studi untuk studi tahap awal III akan membandingkan kelompok terapi baru eksperimental untuk sebuah kelompok "tidak ada terapi" (misalnya, kontrol plasebo) (desain A). After a drug was found to be effective and identified as the standard, subsequent phase III study designs would either compare a new drug to the standard (design B) or would compare the standard to combination therapy that involves the standard plus the new drug (design C). Setelah obat ditemukan menjadi efektif dan diidentifikasi sebagai "standar," fase berikutnya desain studi III baik akan membandingkan "obat baru" untuk standar (desain B) atau akan membandingkan standar untuk terapi kombinasi yang melibatkan standar ditambah "obat baru" (desain C). Often the decision to design the study as a head-on-head comparison of the new drug (design B) depends on how promising the new drug appeared to be at the phase II level. Seringkali keputusan untuk rancangan penelitian sebagai perbandingan head-on-kepala "obat baru" (desain B) tergantung pada seberapa menjanjikan obat baru tampak pada tingkat tahap II. New drugs that looked promising but are not as potent as the current standard often end up being added to the standard in a combination therapy arm (design C). Obat baru yang tampak menjanjikan tetapi tidak sebagai ampuh sebagai standar saat ini sering berakhir menjadi standar ditambahkan ke dalam kelompok terapi kombinasi (desain C). A sequence of promising but not spectacular drugs that enter a particular disease setting over a period of time often leads to a sequence of 2-, then 3-, then 4-drug combination regimen RCTs. Urutan obat yang menjanjikan tetapi tidak spektakuler yang masuk pengaturan penyakit tertentu selama periode waktu yang sering mengarah ke urutan 2 -, kemudian 3 -, maka kombinasi RCT 4-obat rejimen. Other common phase III designs consider issues of timing and switching. Umum lainnya tahap III desain mempertimbangkan masalah waktu dan switching. The testing of timing study design depicts a situation in which the optimal time to initiate therapy is unknown (design D). The "pengujian waktu" desain penelitian menggambarkan situasi di mana waktu yang optimal untuk memulai terapi tidak diketahui (desain D). The study team has selected 2 points in the clinical course of the disease to investigate. Tim peneliti telah memilih 2 poin dalam perjalanan klinis penyakit untuk menyelidiki. Patient entry and randomization is set at the earlier of these points and patients are randomized to the standard therapy or a delay arm. Pasien masuk dan pengacakan ditetapkan pada awal titik-titik dan pasien diacak untuk terapi standar atau "penundaan" lengan. The subsequent trigger point (most often a clinical or laboratory event) on the delay arm would determine the initiation of the standard therapy for that group of patients. Titik pemicu berikutnya (paling sering peristiwa klinis atau laboratorium) di lengan keterlambatan akan menentukan inisiasi terapi standar untuk kelompok pasien. A comparison of results for these 2 groups would clarify the advantages of a delay in therapy initiation, if any. Perbandingan hasil untuk 2 kelompok akan menjelaskan keuntungan dari keterlambatan dalam memulai terapi, jika ada. Similarly, the testing of switching study design gives a strategy for evaluation of a switch from the standard therapy to a new experimental therapy (design E). Demikian pula, "pengujian switching" desain penelitian memberikan strategi untuk evaluasi beralih dari terapi standar untuk terapi eksperimental baru (E desain). All patients would be treated on standard therapy up to a specific point, often a chronological time or a clinical or laboratory event, at which point the patients would enter the study and be randomly assigned to continue the current standard therapy or switch to the new experimental therapy. Semua pasien akan diperlakukan pada terapi standar sampai titik tertentu, sering waktu kronologis atau acara klinis atau laboratorium, di titik mana pasien akan memasuki studi dan secara acak ditugaskan untuk melanjutkan terapi standar saat ini atau beralih ke eksperimental baru terapi. The value of the switch could then be evaluated by a direct comparison of the 2 randomized groups. Nilai dari switch kemudian bisa dievaluasi dengan perbandingan langsung dari 2 kelompok secara acak. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Randomization Pengacakan A scientifically valid comparison between 2 treatment groups depends on the groups being alike as much as possible, with the only exception being the specific treatments under investigation. Sebuah perbandingan ilmiah yang valid antara 2 kelompok pengobatan tergantung pada

36

kelompok yang sama sebanyak mungkin, dengan pengecualian hanya menjadi perawatan khusus di bawah penyelidikan. Without such an assurance, healthier patients may be given one treatment and sicker patients another treatment, and the observed result would be biased in favor of the healthier patients rather than serve as a valid comparison of the treatments. Tanpa suatu jaminan, sehat pasien dapat diberikan salah satu pengobatan dan perawatan pasien sakit lain, dan hasil pengamatan akan bias mendukung pasien sehat daripada berfungsi sebagai perbandingan yang valid dari perawatan. The best way to achieve such a balance is by the use of randomization in which a chance mechanism determines the treatment assignment. Cara terbaik untuk mencapai keseimbangan semacam ini dengan menggunakan pengacakan di mana mekanisme kesempatan menentukan tugas pengobatan. Randomization will ensure that a specific treatment assignment is not known in advance to either the clinician or the patient. Pengacakan akan memastikan bahwa tugas pengobatan khusus tidak diketahui di muka untuk baik dokter atau pasien. The primary benefit of randomization is that it will eliminate both conscious bias and unconscious bias associated with the selection of a treatment for a given patient. Manfaat utama dari pengacakan adalah bahwa hal itu akan menghilangkan bias yang sadar baik dan bias sadar terkait dengan pemilihan pengobatan untuk pasien tertentu. Although the majority of clinical investigators today are convinced of the benefits of randomization, some disadvantages exist. Meskipun mayoritas peneliti sekarang yakin klinis manfaat dari pengacakan, ada beberapa kelemahan. Many investigators feel that the action of randomization interferes with the doctor-patient relationship. Banyak peneliti merasa bahwa tindakan pengacakan mengganggu hubungan dokter-pasien. In order to participate in an RCT, clinicians must admit to a patient that it is not known which of the therapies would be best for the patient, which thereby potentially erodes their relationship with that patient. Dalam rangka berpartisipasi dalam RCT, dokter harus mengakui kepada seorang pasien yang tidak diketahui yang mana dari terapi yang terbaik untuk pasien, yang dengan demikian berpotensi mengikis hubungan mereka dengan pasien itu. Furthermore, from an ethical perspective, a clinician should believe that these therapies are equivalent with respect to potential patient benefit, a situation many clinicians find uncomfortable. Selanjutnya, dari perspektif etika, dokter harus percaya bahwa terapi ini setara sehubungan dengan manfaat potensial pasien, dokter banyak menemukan situasi tidak nyaman. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Stratified Randomization Pengacakan bertingkat Although randomization does not guarantee balanced treatment groups, it will tend to produce treatment groups that are alike on average. Meskipun pengacakan tidak menjamin kelompok perlakuan seimbang, maka akan cenderung menghasilkan kelompok perlakuan yang sama rata-rata. Additional protection against a possible imbalance, however, is preferred. Perlindungan tambahan terhadap ketidakseimbangan mungkin, namun, lebih disukai. In common clinical research settings the difference in effect between treatments is small relative to the effect of prognostic factors, such as extent of disease and a patient's performance status. Secara umum pengaturan penelitian klinis perbedaan efek antara perawatan relatif kecil efek faktor prognostik, seperti luasnya penyakit dan status kinerja pasien. A concept useful for clinical trial design and analysis is that we are trying to detect a soft signal in a noisy environment. Sebuah konsep yang berguna untuk desain uji klinis dan analisis adalah bahwa kita sedang mencoba untuk mendeteksi sinyal lembut di lingkungan yang bising. The soft signal is the effect of treatment and the noisy environment is patient variability caused by prognostic factors, referral patterns, adherence to therapy, and other factors. Sinyal lembut adalah efek dari pengobatan dan lingkungan yang bising variabilitas pasien disebabkan oleh faktor prognostik, pola rujukan, kepatuhan terhadap terapi, dan faktor lainnya. Careful study design can help improve the signal to noise ratio, which thereby more readily exposes any true difference in treatments. Desain penelitian yang cermat dapat membantu meningkatkan sinyal ke rasio kebisingan, yang dengan demikian lebih mudah mengekspos perbedaan benar dalam perawatan. Additional protection against a possible imbalance is easily obtained by the use of a stratified randomization. Perlindungan tambahan terhadap ketidakseimbangan yang mungkin adalah mudah diperoleh dengan menggunakan sebuah pengacakan bertingkat. In stratification, patients are formed into risk groups (strata) based on 1 or more prognostic factors, and a separate randomization is conducted for each strata. Dalam stratifikasi, pasien yang dibentuk menjadi kelompok risiko (strata) berdasarkan 1 atau lebih faktor prognostik, dan pengacakan terpisah dilakukan untuk strata masing-masing. When the treatment assignment groups are then summed over the various strata, the end result is a forced balance of these overall treatment groups according to the factors used to form the strata. Ketika kelompok perlakuan tugas tersebut kemudian dijumlahkan atas berbagai strata, hasil akhirnya adalah keseimbangan dipaksa dari kelompok perlakuan secara keseluruhan sesuai dengan faktor yang digunakan untuk membentuk strata. Use of stratified randomization should be viewed as an insurance policy against a potential imbalance, and, because it has virtually no cost (ie, no increase in number of patients needed or additional administrative complexity), it should be routinely used in RCTs. Penggunaan pengacakan bertingkat harus dipandang sebagai polis asuransi terhadap ketidakseimbangan potensial, dan, karena memiliki hampir tanpa biaya (yaitu, tidak ada peningkatan dalam jumlah pasien yang diperlukan atau kompleksitas administratif tambahan), itu harus secara rutin digunakan dalam RCT. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Selecting the Treatments to be Compared Memilih Pengobatan untuk Dibandingkan Because of the ethical principle of equipoise, 1 of the treatment arms in an RCT should be the standard therapy arm. Karena prinsip etika imbang, 1 dari kelompok pengobatan dalam RCT harus menjadi kelompok terapi standar. The selection of other new treatment arms for the randomized comparison can often be viewed as an attempt to find a balance between an aggressive step forward and a cautious step forward. Pemilihan kelompok pengobatan baru lainnya untuk perbandingan acak seringkali dapat dilihat sebagai upaya untuk menemukan keseimbangan antara langkah agresif maju dan langkah hati-hati ke depan. The new intervention should have the potential for a meaningful medical advance, capable of producing a benefit that is strong enough to be detected with a moderate-size clinical trial. Intervensi baru harus

37

memiliki potensi untuk kemajuan medis yang bermakna, mampu menghasilkan keuntungan yang cukup kuat untuk dideteksi dengan percobaan moderat ukuran klinis. However, a step forward that is too aggressive may produce a clinical trial in which patients or their physicians are unwilling to participate. Namun, ke depan langkah yang terlalu agresif dapat menghasilkan percobaan klinis di mana pasien atau dokter mereka tidak bersedia untuk berpartisipasi. On the other hand, a new therapy that represents a cautious step forward may be very appealing to potential patients and their physicians but runs the risk of not being able to produce a benefit that is large enough to be detected by a clinical trial that uses available resources. Di sisi lain, terapi baru yang merupakan langkah hati-hati ke depan mungkin sangat menarik bagi calon pasien dan dokter mereka tetapi berjalan resiko tidak mampu menghasilkan manfaat yang cukup besar untuk dideteksi oleh uji klinis yang menggunakan tersedia sumber daya. The smaller the anticipated benefit, the larger the study needed to detect it. Semakin kecil manfaat antisipasi, semakin besar studi yang diperlukan untuk mendeteksi itu. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Selection of the Patient Population Pemilihan Populasi Pasien Selection of the patient population for a clinical trial is a process of making decisions about contrasts. Pemilihan populasi pasien untuk percobaan klinis adalah proses pembuatan keputusan tentang kontras. Restriction of the study to a specific group of relatively homogeneous patients can nearly always minimize the number of patients studied in a clinical trial. Pembatasan penelitian untuk kelompok tertentu pasien relatif homogen dapat hampir selalu meminimalkan jumlah pasien yang diteliti dalam percobaan klinis. The more alike and sensitive a group of patients is to the intervention under investigation, the less other factors can affect the results and the easier it is for the trial to detect the effect of the therapeutic intervention. Kelompok yang lebih sensitif sama dan pasien adalah untuk intervensi dalam penyelidikan, faktor-faktor yang kurang lainnya dapat mempengaruhi hasil dan semakin mudah untuk percobaan untuk mendeteksi efek dari intervensi terapeutik. On the other hand, the population of all patients in the general population that will eventually receive the treatment regimen should theoretically be the population under investigation. Di sisi lain, populasi semua pasien dalam populasi umum yang pada akhirnya akan menerima rejimen pengobatan secara teoritis harus populasi yang diteliti. However, when the patient population includes a broader range, the number of patients needed increases, the cost of the study increases, and a greater risk exists that the true treatment effect may go undetected because of the noise added by the heterogeneity of the patient population. Namun, ketika populasi pasien mencakup yang lebih luas, jumlah pasien yang diperlukan meningkat, biaya meningkat studi, dan risiko lebih besar ada bahwa efek pengobatan yang sebenarnya mungkin tidak terdeteksi karena kebisingan ditambahkan oleh heterogenitas populasi pasien . A related contrast is the investigator's option to carefully select a set of patients that are motivated and more likely to adhere to the treatment regimen. Sebuah kontras yang terkait adalah pilihan penyidik untuk hati-hati memilih set pasien yang termotivasi dan lebih mungkin untuk mematuhi rejimen pengobatan. Some patient groups are not able to adhere to even a moderately complex treatment program, which thereby dilutes the study. Beberapa kelompok pasien tidak mampu untuk mematuhi program pengobatan bahkan cukup kompleks, yang dengan demikian mencairkan penelitian. One of the best ways to ensure an efficient clinical trial is to establish a run-in period, and then restrict subsequent patient entry onto the main study to only those who demonstrated that they could adhere to the run-in regimen. Salah satu cara terbaik untuk memastikan uji klinis yang efisien adalah untuk membentuk suatu run-pada periode, dan kemudian membatasi masuknya pasien berikutnya ke studi utama untuk hanya mereka yang menunjukkan bahwa mereka bisa mematuhi jangka-dalam rejimen. This strategy is also effective in identification of patients who will be the least likely to be lost to follow-up. Strategi ini juga efektif dalam mengidentifikasi pasien yang akan menjadi paling tidak mungkin hilang untuk menindaklanjuti. Nearly all patient populations are a blend of different risk groups. Hampir semua populasi pasien adalah campuran dari kelompok risiko yang berbeda. When the primary end point is a time-to-failure type end point (eg, survival), the statistical power is directly proportional to the number of observed failures. Ketika titik akhir primer adalah waktu-ke-kegagalan tipe titik akhir (misalnya, kelangsungan hidup), kekuatan statistik berbanding lurus dengan jumlah kegagalan diamati. For example, consider a completed study of patients with congestive heart failure that used patient survival as its primary end point and had a patient population that could be clearly divided into 2 groups with different risks; call these groups A and B. Assume group A (a high-risk group) comprised 100 patients and that this group experienced 50 deaths. Sebagai contoh, pertimbangkan sebuah penelitian selesai dari pasien dengan gagal jantung kongestif yang digunakan kelangsungan hidup pasien sebagai titik akhir primer dan memiliki populasi pasien yang dapat dengan jelas dibagi menjadi 2 kelompok dengan risiko yang berbeda; menyebut kelompok A dan B. Asumsikan kelompok A ( kelompok berisiko tinggi) yang terdiri 100 pasien dan bahwa kelompok ini mengalami 50 kematian. Assume group B (a low-risk group) comprised 200 patients and that this group experienced 10 deaths. Asumsikan kelompok B (kelompok berisiko rendah) terdiri 200 pasien dan bahwa kelompok ini mengalami 10 kematian. Because group A experienced 50 deaths, it provided 5 times (50/10) more statistical information on mortality than group B. This means that the study results were mainly driven by group A. Even though group B had twice as many patients, its contribution to the study survival results was minimal. Karena kelompok A 50 kematian berpengalaman, disediakan 5 kali (50/10) informasi lebih lanjut statistik terhadap mortalitas dibanding kelompok B. Ini berarti bahwa hasil studi terutama didorong oleh kelompok A. Bahkan meskipun kelompok B memiliki pasien dua kali lebih banyak, kontribusinya hasil studi kelangsungan hidup sangat minim. Inclusion of low-risk patients in a clinical trial population may not be a good investment of resources. Pencantuman pasien berisiko rendah pada populasi uji klinis mungkin tidak menjadi investasi yang baik sumber daya. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya

38

Placebos and Double-Blind Designs Plasebo dan Double-Blind Desain If any of the outcome measures of an RCT are subjective, then it is important that the trial be designed as a double-blind, placebo-controlled study. Jika salah satu ukuran hasil dari suatu RCT bersifat subjektif, maka penting bahwa sidang dirancang sebagai studi double-blind, terkontrol plasebo. Only when both the patient and caregiver are unaware of the treatment assignment can their desire for a favorable outcome not potentially bias the results of the trial. Hanya ketika kedua pasien dan pengasuh tidak menyadari tugas pengobatan dapat keinginan mereka untuk hasil yang menguntungkan tidak berpotensi bias hasil sidang. The value of blinding, however, extends to all clinical trial assessments. Nilai menyilaukan, namun meluas ke semua penilaian uji klinis. Reliability of the results of a trial is strengthened when, for example, investigators use mechanisms such as an independent blinded end points committee. Keandalan dari hasil sidang ini diperkuat ketika, misalnya, peneliti menggunakan mekanisme seperti sebuah komite independen dibutakan titik akhir. Another benefit of the use of placebos is the objective assessment of toxicities. Manfaat lain dari penggunaan plasebo adalah penilaian obyektif toksisitas. If an RCT of a new drug is conducted in an unblinded manner, then all unexpected toxicities on the new drug arm are often ascribed to the new drug. Jika RCT obat baru dilakukan secara unblinded, maka semua toksisitas tidak terduga di lengan obat baru sering dianggap berasal dari obat baru. If such a study is conducted in a blinded manner, then the difference in the rate of toxicities between the new drug arm and the standard therapy arm is ascribed to the new drug, frequently a lower rate than what would be reported by an unblinded study. Jika penelitian semacam ini dilakukan secara buta, maka perbedaan dalam tingkat toksisitas antara lengan obat baru dan kelompok terapi standar dianggap berasal dari obat baru, sering tarif yang lebih rendah dari apa yang akan dilaporkan oleh sebuah studi unblinded. It is not always feasible to blind a clinical trial, for example in studies that involve surgery. Hal ini tidak selalu layak untuk buta percobaan klinis, misalnya dalam studi yang melibatkan operasi. Nevertheless, the most influential studies are often those that attempt to establish and maintain the highest scientific standards, which include blinding and the use of placebos. Namun demikian, studi yang paling berpengaruh adalah mereka yang mencoba untuk membangun dan mempertahankan standar ilmiah tertinggi, yang meliputi membutakan dan penggunaan plasebo. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Primary End Point Primer End Point Selection of the primary end point is a key design element of an RCT. Pemilihan titik akhir primer adalah elemen desain utama dari sebuah RCT. This is the outcome measure used to make the decision on the overall result of the study and serves as the basis to determine the number of patients needed for the study. Ini adalah ukuran hasil yang digunakan untuk membuat keputusan tentang hasil keseluruhan penelitian dan berfungsi sebagai dasar untuk menentukan jumlah pasien yang diperlukan untuk penelitian. Each clinical trial should have only 1 primary end point, which should be defined before initiating the study. Setiap uji klinis harus memiliki hanya 1 titik akhir primer, yang harus ditetapkan sebelum memulai penelitian. Use of multiple primary end points in a clinical trial is often a sign that investigators have let their biases influence the results they wish to report to the medical community. Penggunaan beberapa titik akhir primer dalam percobaan klinis seringkali merupakan tanda bahwa peneliti telah membiarkan mereka bias mempengaruhi hasil yang mereka ingin melaporkan kepada komunitas medis. If the primary end point is not defined until after investigators have reviewed the data, it is not difficult to sift through the data and select end points that confirm the investigators' bias. Jika titik akhir primer tidak didefinisikan sampai peneliti setelah telah meninjau data, tidak sulit untuk menyaring data dan pilih titik akhir yang mengkonfirmasi bias peneliti. Regulatory authorities and most journals insist on the a priori identification of a single primary end point, which thus insures objective reporting of the study's findings. Pihak berwenang dan jurnal yang paling bersikeras pada identifikasi apriori titik tunggal akhir primer, yang dengan demikian menjamin tujuan pelaporan temuan penelitian ini. Use of composite end points is common in high-quality cardiovascular RCTs. Penggunaan titik akhir komposit adalah umum dalam berkualitas tinggi RCT kardiovaskular. Composite end points are necessary because a number of clinical events, such as a nonfatal myocardial infarction or stroke, may indicate a clinical failure, whereas the selection of only 1 type of clinical event as the end point will not present a comprehensive clinical picture. Titik akhir komposit diperlukan karena sejumlah peristiwa klinis, seperti infark miokard nonfatal atau stroke, mungkin menunjukkan kegagalan klinis, sedangkan pemilihan hanya 1 jenis aktivitas klinis sebagai titik akhir tidak akan menyajikan gambaran klinis yang komprehensif. However, care must be taken when a composite end point is defined to ensure that the clinical failure events include the events of interest as well as anything worse. For example, consider an RCT that compares 2 treatments for patients with congestive heart failure and the composite end point nonfatal myocardial infarction or stroke. If there were more deaths on 1 of the 2 treatment arms, then deaths may have prevented the observance of either a nonfatal myocardial infarction or stroke and thus artificially made the arm with more deaths appear better. Namun, perawatan harus diambil ketika titik akhir komposit didefinisikan untuk memastikan bahwa peristiwa kegagalan klinis termasuk peristiwa kepentingan serta "yang lebih buruk." Sebagai contoh, pertimbangkan sebuah RCT yang membandingkan 2 pengobatan untuk pasien dengan gagal jantung kongestif dan titik akhir komposit "infark miokard nonfatal atau stroke." Jika ada lebih banyak kematian pada 1 dari 2 kelompok pengobatan, maka kematian mungkin telah mencegah ketaatan baik infark miokard nonfatal satu atau stroke dan dengan demikian artifisial dibuat lengan dengan kematian lebih muncul lebih baik. In this example, one can avoid such interpretation difficulties by inclusion of death into the definition of the composite end point. Dalam contoh ini, seseorang dapat menghindari kesulitan-kesulitan interpretasi tersebut dengan masuknya "kematian" dalam definisi titik akhir komposit. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Sample Size and Statistical Power Ukuran sampel dan Power statistik A clinical trial should be designed to be definitive, whether positive or negative. Sebuah uji klinis harus dirancang untuk menjadi definitif, apakah positif atau negatif. A study should not be initiated unless a reasonable likelihood exists that it will provide an answer to the clinical

39

question that is posedeither an intervention works or it does not. Sebuah studi tidak boleh dimulai kecuali ada kemungkinan wajar bahwa hal itu akan memberikan jawaban atas pertanyaan klinis yang diajukan-baik sebuah karya intervensi atau tidak. One of the most unfortunate possible outcomes of a clinical trial is an inconclusive result. Salah satu hasil yang mungkin paling malang dari percobaan klinis adalah hasil meyakinkan. In that case, the good will of the patients and the resources of the clinical research mechanism would have all gone for naught. Dalam kasus itu, akan baik dari pasien dan sumber daya dari mekanisme penelitian klinis akan memiliki semua pergi sia-sia. The chance of this type of outcome can be minimized by adherence to the following principles. Kesempatan dari jenis hasil dapat diminimalkan dengan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip berikut. A definitive study result is achieved by placement of a mathematical decision-making structure on the clinical trial in the study development phase. Sebuah hasil studi definitif dicapai dengan penempatan struktur pengambilan keputusan matematika pada uji klinis dalam tahap pengembangan studi. For RCTs, the basic mathematical structure involves (1) identification of the primary end point and the main objective of the trial, (2) formulation of the trial objective as an hypothesis to be tested, (3) specification of the medically important difference the study is designed to detect, (4) identification of the magnitude of the errors that are acceptable (ie, the desired precision of the trial), and (5) calculation of the sample size necessary to achieve this desired precision. Untuk RCT, struktur matematika dasar mencakup (1) identifikasi titik akhir primer dan tujuan utama dari sidang, (2) perumusan tujuan percobaan sebagai hipotesis yang akan diuji, (3) spesifikasi perbedaan medis penting belajar ini dirancang untuk mendeteksi, (4) identifikasi besarnya kesalahan yang dapat diterima (yaitu, ketepatan yang diinginkan pengadilan), dan (5) perhitungan ukuran sampel yang diperlukan untuk mencapai hal ini presisi yang diinginkan. As noted in the Table , the typical size of a phase III RCT is 100 to 1000 patients. Seperti dicatat dalam Tabel , ukuran khas dari fase III RCT adalah 100 hingga 1000 pasien. The sample size determination method outlined below is appropriate for RCTs. Penentuan ukuran sampel metode yang dijelaskan di bawah ini sesuai untuk RCT. Different approaches are used for phase I and II trials. Pendekatan yang berbeda digunakan untuk percobaan fase I dan II. As an example that uses the most common type of end point seen in RCTs, consider a trial that compares 2 treatments, A and B, with respect to the proportion of successes observed in each treatment group, denoted P A and P B . Sebagai contoh yang menggunakan jenis yang paling umum dari titik akhir terlihat di RCT, mempertimbangkan sebuah penelitian yang membandingkan 2 pengobatan, A dan B, sehubungan dengan proporsi keberhasilan diamati pada setiap kelompok perlakuan, dinotasikan P A dan P B. In a randomized trial that compares these 2 treatments, we test the null hypothesis (H O : P A P B =0) that the 2 treatments yield equivalent results versus the alternative hypothesis (H A : P A P B 0) that the treatments yield different results. Dalam sebuah uji coba secara acak yang membandingkan 2 pengobatan ini, kita menguji hipotesis nol (H O: P A-P B = 0) bahwa 2 hasil hasil setara perawatan terhadap hipotesis alternatif (H A: P A-P B 0) bahwa pengobatan menghasilkan hasil yang berbeda. The study is conducted in an attempt to gather sufficient evidence to show that the null hypothesis is incorrect. Penelitian ini dilakukan dalam upaya untuk mengumpulkan bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa hipotesis nol tidak benar. Samples of patients are selected and the estimated difference in proportions is calculated. Sampel dari pasien yang dipilih dan perbedaan diperkirakan dalam proporsi dihitung. The key question is: How far from 0 does this estimate of P A P B need to be before we have sufficient evidence to say the treatments are different? Pertanyaan kuncinya adalah: Seberapa jauh dari 0 hal ini perkiraan-P P A B perlu sebelum kita memiliki bukti yang cukup untuk mengatakan perawatan yang berbeda? To answer this question, we formulate the problem in statistical terms, with as the probability of a conclusion that the treatments are different when in fact they are really equivalent (type I error), and with as the probability of a conclusion that the treatments are not different when in fact they are different (type II error). Untuk menjawab pertanyaan ini, kita merumuskan masalah dalam hal statistik, dengan sebagai probabilitas dari sebuah kesimpulan bahwa perawatan yang berbeda ketika pada kenyataannya mereka benarbenar setara (kesalahan tipe I), dan dengan sebagai probabilitas dari sebuah kesimpulan bahwa pengobatan yang tidak berbeda ketika pada kenyataannya mereka berbeda (kesalahan tipe II). For RCTs, traditionally the level is set to be 0.05. Untuk RCT, tradisional tingkat diatur menjadi 0,05. The level is most often set to 0.20 or 0.10 and is often stated as the power level (1) for the study. Tingkat yang paling sering diatur untuk 0,20 atau 0,10 dan sering dinyatakan sebagai tingkat daya (1-) untuk penelitian. Let be the difference in the primary end point between the 2 treatment groups that the study is designed to detectthe medically important difference. Biarkan menjadi perbedaan di titik akhir primer antara 2 kelompok perlakuan bahwa penelitian ini dirancang untuk mendeteksi perbedaan-medis penting. Therefore, is the difference, P A P B , considered to be both medically significant and biologically plausible. Oleh karena itu, adalah perbedaan, P A-P B, dianggap baik medis signifikan dan biologis masuk akal. Any smaller difference is considered to be too small to be worth detection and not medically important. Setiap perbedaan kecil dianggap terlalu kecil untuk menjadi layak deteksi dan medis tidak penting. Any larger difference is considered to be biologically implausible; it is quite unlikely that there will be such a large difference between these 2 treatments. Setiap perbedaan yang lebih besar adalah dianggap biologis masuk akal, itu sangat tidak mungkin bahwa akan ada semacam perbedaan besar antara 2 perawatan. With , , and specified, statistical methods can be used to calculate the sample size necessary to provide the desired precision. Dengan , , dan ditentukan, metode statistik dapat digunakan untuk menghitung ukuran sampel yang diperlukan untuk memberikan presisi yang diinginkan. Numerous Web sites are available for these calculations, depending on the type of primary end point. 24 Banyak situs Web yang tersedia untuk perhitungan ini, tergantung pada jenis titik akhir primer. 2-4 Although the premature loss of cases to follow-up weakens the quality of a clinical trial, it is a fact of life for nearly all long-term studies. Meskipun kehilangan dini kasus untuk menindaklanjuti melemahkan kualitas dari percobaan klinis, itu adalah kenyataan hidup bagi hampir semua studi jangka panjang. Sample size for clinical trials should be adjusted to take into account the anticipated proportion of cases lost to follow-up. Ukuran sampel untuk uji klinis harus disesuaikan untuk memperhitungkan proporsi diantisipasi kasus hilang untuk menindaklanjuti. It is useful to review the power statement in the published report of an RCT. Hal ini berguna untuk meninjau "Pernyataan kekuasaan" dalam laporan yang diterbitkan dari RCT. This statement, most often found in the statistical methods paragraph of the methods section, will specify (1) the original primary end point, (2) the medically important difference the study was designed to detect, (3) the size of type I error (usually 0.05), (4) the power (usually 0.80 or 0.90) or , and (5) the sample size necessary to achieve this desired precision. Pernyataan ini, paling sering

40

ditemukan dalam paragraf metode statistik dari bagian metode, akan menentukan (1) titik akhir utama asli, (2) perbedaan medis penting penelitian ini dirancang untuk mendeteksi, (3) ukuran tipe I kesalahan (biasanya 0,05), (4) daya (biasanya 0,80 atau 0,90) atau , dan (5) ukuran sampel yang diperlukan untuk mencapai hal ini presisi yang diinginkan. For example, consider the RCT by Dawkins et al that appeared in a recent issue of Circulation . 5 On page 3307 one finds that these authors have identified the rate of ischemia-driven target-vessel revascularization at 9 months to be their primary end point, their to be the change from a 20% control rate to a 10% rate in the treatment group, their to be 0.05, their power to be 80%, and their sample size to be N=448. Sebagai contoh, perhatikan RCT oleh Dawkins dkk yang muncul dalam edisi terbaru Sirkulasi. 5 Pada halaman 3307 orang menemukan bahwa penulis telah mengidentifikasi tingkat revaskularisasi iskemia-driven target-kapal di 9 bulan menjadi titik akhir primer mereka, mereka menjadi berubah dari tingkat kontrol 20% dengan tingkat 10% pada kelompok pengobatan, mereka untuk menjadi 0,05, kekuasaan mereka untuk menjadi 80%, dan ukuran sampel mereka untuk menjadi N = 448. Comparison of the power statement with the observed results from this article allows one to see that the prior planning for this study was well done. Perbandingan pernyataan listrik dengan hasil yang diamati dari artikel ini memungkinkan seseorang untuk melihat bahwa perencanaan sebelumnya untuk studi ini dilakukan dengan baik. The abstract reports an observed control rate of 19.4% and an observed treatment group rate of 9.1%. Abstrak laporan tingkat kontrol diamati dari 19,4% dan tingkat perlakuan yang diamati sekelompok 9,1%. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Need for Rapid Enrollment Kebutuhan Pendaftaran Cepat The cooperation of a number of clinical centers is often needed to enter a sufficient number of patients on a clinical trial in a reasonable time frame. Kerja sama dari sejumlah pusat klinis sering dibutuhkan untuk memasukkan jumlah yang memadai pasien pada percobaan klinis dalam kerangka waktu yang wajar. If study entry continues beyond 2 years, the investigators open their study up to the risk that the emergence of new advances from a different study may cause their clinical trial to be obsolete or to be stopped prematurely with no results because it may be unethical to continue. Jika awal penelitian berlanjut melebihi 2 tahun, para peneliti membuka studi mereka sampai risiko bahwa munculnya kemajuan baru dari sebuah studi yang berbeda dapat menyebabkan uji klinis mereka menjadi usang atau dihentikan sebelum waktunya tanpa hasil karena mungkin tidak etis untuk melanjutkan . Investigators with limited access to patients who wish to participate in RCTs are well advised to join large multicenter efforts rather than attempt to strike out on their own. Penyidik dengan akses terbatas pada pasien yang ingin berpartisipasi dalam RCT sangat dianjurkan untuk bergabung dengan upaya multisenter besar daripada berusaha untuk menyerang keluar pada mereka sendiri. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Difference Versus Equivalence Trials Perbedaan Ujian Kesetaraan Versus RCTs can be classified by their goals. RCT dapat diklasifikasikan oleh tujuan mereka. Difference (superiority) trials aim to determine if sufficient evidence exists that 1 treatment arm is different from another. Perbedaan (superioritas) percobaan bertujuan untuk menentukan apakah ada bukti yang cukup bahwa 1 kelompok pengobatan berbeda dari yang lain. These trials are by far the most frequent. Percobaan ini adalah yang paling sering. Equivalence (noninferiority) trials aim to determine that 2 treatment arms are equivalent (or nearly so) and are conducted less often than difference trials. Ekuivalensi (noninferiority) percobaan bertujuan untuk menentukan bahwa 2 kelompok pengobatan adalah setara (atau hampir jadi) dan dilakukan kurang sering daripada uji perbedaan. With the common difference trial, the investigators conclude a difference has been demonstrated if they observe a P value <0.05. Dengan perbedaan sidang umum, para peneliti menyimpulkan perbedaan telah dibuktikan jika mereka mengamati nilai P <0,05. A series of successful difference trials will thus move medical science forward with a series of improvements in the standard therapy. Serangkaian percobaan perbedaan sukses sehingga akan bergerak maju dengan ilmu kedokteran serangkaian perbaikan dalam terapi standar. An equivalence trial tries to demonstrate similarity between a new treatment and standard therapy. Percobaan kesetaraan mencoba untuk menunjukkan kesamaan antara pengobatan baru dan terapi standar. This is most often done to show that a less expensive or less toxic new treatment has clinical benefit very similar to that of the standard therapy. Hal ini paling sering dilakukan untuk menunjukkan bahwa pengobatan baru yang lebih murah atau kurang beracun memiliki manfaat klinis yang sangat mirip dengan terapi standar. Equivalence trials are sometimes used by a pharmaceutical manufacturer when attempts are made to license a drug in a disease setting that already has 1 or more licensed drugs. Uji kesetaraan kadang-kadang digunakan oleh produsen farmasi ketika upaya yang dilakukan untuk lisensi obat dalam pengaturan penyakit yang sudah memiliki 1 atau lebih obat berlisensi. Many researchers who have planned a noninferiority trial, however, do not correctly present their results. Banyak peneliti yang telah merencanakan uji coba noninferiority, bagaimanapun, tidak benar mempresentasikan hasil mereka. The noninferiority design concept is a 1directional concept. Konsep desain noninferiority adalah sebuah konsep 1-arah. Either the new treatment is inferior to the standard therapy or it is nota yes versus no type of decision. Entah pengobatan baru lebih rendah daripada terapi standar atau tidak-ya versus tidak ada jenis keputusan. Statistical procedures for an equivalence trial should focus on that unidirectional decision with 1-sided tests, P values, and confidence intervals. Prosedur statistik untuk uji kesetaraan harus fokus pada bahwa keputusan searah dengan 1-sisi tes, nilai-nilai P, dan interval kepercayaan. Readers are referred to the COBALT (Continuous Infusion vs Double-Bolus Administration of Alteplase) study 6 and the

41

accompanying editorial 7 for an example of how an equivalence trial should be reported. Pembaca dirujuk ke (Infus kontinyu Administrasi vs Double-bolus dari alteplase) Cobalt studi 6 dan editorial 7 untuk contoh bagaimana percobaan kesetaraan harus dilaporkan. Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Study Monitoring Studi Pemantauan Safety of the patients who participate in a clinical trial is of paramount importance. Keselamatan pasien yang berpartisipasi dalam uji klinis adalah sangat penting. For an RCT this is achieved by 2 main mechanisms. Untuk RCT ini dicapai dengan 2 mekanisme utama. One mechanism is the monitoring of each adverse event report as it occurs by a qualified clinician, often on the protocol team, and the resulting assessment as to whether the adverse event was expected or whether additional investigation or a modification of planned protocol treatment may be indicated. Salah satu mekanisme adalah monitoring setiap laporan peristiwa buruk seperti itu terjadi oleh dokter berkualitas, sering di tim protokol, dan penilaian yang dihasilkan sebagai apakah efek samping yang diharapkan atau apakah penyelidikan tambahan atau modifikasi dari protokol pengobatan yang direncanakan dapat diindikasikan . A second mechanism is a Data and Safety Monitoring Board (DSMB), also known as a Data Monitoring Committee (DMC). Mekanisme kedua adalah Data dan Keamanan Dewan Pengawas (DSMB), juga dikenal sebagai Data Monitoring Committee (DMC). This is an independent committee established to assess at regularly scheduled intervals the progress of an RCT, regarding enrollment, safety data, data quality, and the critical efficacy end points, as well as the continuing validity and scientific merit of the trial. 8 Because the DSMB/DMC is entirely independent of the clinicians who are participating in the study, it can ensure patient safety and study validity without compromise or bias of the study. Ini adalah sebuah komite independen yang dibentuk untuk menilai pada interval teratur dijadwalkan kemajuan suatu RCT, tentang pendaftaran, data keamanan, kualitas data, dan poin akhir kemanjuran kritis, serta validitas dan manfaat ilmiah melanjutkan sidang. 8 Karena DSMB / DMC adalah sepenuhnya independen dari dokter yang berpartisipasi dalam penelitian ini, dapat menjamin keselamatan pasien dan validitas studi tanpa kompromi atau bias penelitian. Good study design and periodic monitoring also help the investigation maintain appropriate ethical standards. Studi desain yang baik dan pemantauan berkala juga membantu penyelidikan mempertahankan standar etika yang sesuai. The ability of investigators to monitor and evaluate ongoing clinical trials has improved markedly with the recent initiative by many medical journals to require the registration of a clinical trial in a public trials registry as a condition for consideration of publication. 9 Kemampuan peneliti untuk memantau dan mengevaluasi uji klinis berlangsung telah membaik dengan inisiatif terbaru oleh jurnal medis banyak memerlukan pendaftaran dari percobaan klinis dalam uji publik registri sebagai syarat pertimbangan publikasi. 9 Percobaan terkontrol acak adalah cara yang paling ketat untuk menentukan apakah hubungan sebab-akibat ada antara pengobatan dan hasil dan untuk menilai efektivitas biaya pengobatan. They have several important features: Mereka memiliki beberapa fitur penting:

Random allocation to intervention groups Alokasi acak kelompok intervensi Patients and trialists should remain unaware of which treatment was given until the study is completed-although such double blind studies are not always feasible or appropriate Pasien dan ahli penelitian harus tetap menyadari pengobatan yang diberikan sampai studi selesai-meskipun seperti studi buta ganda tidak selalu layak atau sesuai All intervention groups are treated identically except for the experimental treatment Semua kelompok intervensi diperlakukan identik kecuali untuk pengobatan eksperimental Patients are normally analysed within the group to which they were allocated, irrespective of whether they experienced the intended intervention (intention to treat analysis) Pasien biasanya dianalisa dalam kelompok yang mereka dialokasikan, terlepas dari apakah mereka mengalami intervensi dimaksudkan (niat untuk mengobati analisis) The analysis is focused on estimating the size of the difference in predefined outcomes between intervention groups. Analisis ini difokuskan pada memperkirakan ukuran perbedaan hasil yang telah ditetapkan antara kelompok intervensi.

Other study designs, including non-randomised controlled trials, can detect associations between an intervention and an outcome. Desain studi lain, termasuk non-acak percobaan terkontrol, dapat mendeteksi asosiasi antara intervensi dan hasil. But they cannot rule out the possibility that the association was caused by a third factor linked to both intervention and outcome. Tapi mereka tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa asosiasi itu disebabkan oleh faktor ketiga terkait dengan baik intervensi dan hasil. Random allocation ensures no systematic differences between intervention groups in factors, known and unknown, that may affect outcome. Alokasi acak menjamin tidak ada perbedaan sistematis antara kelompok intervensi dalam faktor, dikenal dan tidak dikenal, yang dapat mempengaruhi hasil. Double blinding ensures that the preconceived views of subjects and clinicians cannot systematically bias the assessment of outcomes. Memastikan membutakan ganda yang terbentuk sebelumnya bahwa pandangan subyek dan dokter tidak dapat secara sistematis bias penilaian hasil. Intention to treat analysis maintains the advantages of random allocation, which may be lost if subjects are excluded from analysis through, for example, withdrawal or failure to comply. Niat untuk mengobati analisis mempertahankan keuntungan dari alokasi acak, yang mungkin hilang jika subjek dikeluarkan dari analisis melalui, penarikan misalnya, atau kegagalan untuk mematuhi. Meta-analysis of controlled trials shows that failure to conceal random allocation and the absence of double blinding yield exaggerated estimates of treatment effects. 1 Meta-analisis dari percobaan terkontrol menunjukkan bahwa kegagalan untuk menyembunyikan alokasi acak dan tidak adanya perkiraan membutakan ganda berlebihan menghasilkan efek pengobatan. 1 Although randomised controlled trials are powerful tools, their use is limited by ethical and practical concerns. Meskipun uji coba terkontrol secara acak adalah alat yang kuat, penggunaannya dibatasi oleh keprihatinan etika dan praktis. Exposing patients to an intervention believed to

42

be inferior to current treatment is often thought unethical. Mengekspos pasien untuk intervensi diyakini akan kalah dengan pengobatan saat ini sering dianggap tidak etis. For example, a non-random study suggested that multivitamin supplementation during pregnancy could prevent neural tube defects in children. 2 Although the study was seriously flawed, ethics committees were unwilling to deprive patients of this potentially useful treatment, making it difficult to carry out the trial which later showed that folic acid was the effective part of the multivitamin cocktail. 3 On the other hand, failure to perform trials may result in harmful treatments being used. Sebagai contoh, sebuah penelitian nonacak menunjukkan bahwa suplemen multivitamin selama kehamilan dapat mencegah cacat tabung saraf pada anak-anak. 2 Meskipun penelitian ini cacat serius, komite etika tidak bersedia untuk mencabut pasien dari pengobatan berpotensi berguna, sehingga sulit untuk melaksanakan percobaan yang kemudian menunjukkan bahwa asam folat adalah bagian efektif dari koktail multivitamin. 3 Di sisi lain, kegagalan untuk melakukan uji coba dapat mengakibatkan perawatan yang berbahaya yang digunakan. For example, neonates were widely treated with high concentrations of oxygen until randomised trials identified oxygen as a risk factor for retinopathy of prematurity. 4 Sebagai contoh, neonatus secara luas diperlakukan dengan konsentrasi tinggi oksigen sampai percobaan acak diidentifikasi oksigen sebagai faktor risiko retinopati prematuritas. 4 In other circumstances a randomised controlled trial may be ethical but infeasible-for example, because of difficulties with randomisation or recruitment. Dalam keadaan lain uji coba terkontrol secara acak mungkin etis, melainkan layak-misalnya, karena kesulitan dengan pengacakan atau perekrutan. Indeed, once an intervention becomes widespread, it can prove impossible to recruit clinicians who are willing to experiment with alternatives. Memang, setelah intervensi menjadi luas, dapat membuktikan mustahil untuk merekrut dokter yang bersedia untuk "bereksperimen" dengan alternatif. A recent attempt to conduct a trial of counselling in general practice failed when practitioners declined to recruit patients to be allocated at random. 5 Strong patient preferences may also limit recruitment and bias outcomes if not accommodated within the study design. 6 Sebuah upaya baru untuk melakukan uji coba konseling dalam praktek umum gagal ketika praktisi menolak untuk merekrut pasien untuk dialokasikan secara acak. 5 preferensi pasien yang kuat juga dapat membatasi rekrutmen dan hasil bias yang jika tidak diakomodasi dalam rancangan penelitian. 6 A third limiting factor is that randomised controlled trials are generally more costly and time consuming than other studies. Sebuah faktor pembatas ketiga adalah bahwa uji coba terkontrol secara acak umumnya lebih mahal dan memakan waktu dibandingkan penelitian lain. Careful consideration therefore needs to be given to their use and timing. Oleh karena itu pertimbangan cermat perlu diberikan untuk menggunakan mereka dan waktu.

Is the intervention well enough developed to permit evaluation? Apakah intervensi cukup baik dikembangkan untuk memungkinkan evaluasi? This can be especially difficult to decide when new interventions are heavily dependent on clinicians' skills (surgical procedures 7 or talk therapies). Hal ini dapat sangat sulit untuk memutuskan kapan intervensi baru sangat bergantung pada kemampuan dokter '(prosedur bedah 7 atau "berbicara" terapi). Is there preliminary evidence that the intervention is likely to be beneficial (from observational studies), including some appreciation of the size of the likely treatment effect? Apakah ada bukti awal bahwa intervensi mungkin bermanfaat (dari studi observasional), termasuk beberapa apresiasi dari ukuran efek pengobatan mungkin? Such information is needed to estimate sample sizes and justify the expense of a trial. Informasi tersebut diperlukan untuk memperkirakan ukuran sampel dan membenarkan biaya pengadilan.

Given these constraints, it remains an ideal that all new healthcare interventions should be evaluated through randomised controlled trials. Mengingat kendala-kendala, tetap ideal bahwa semua intervensi kesehatan yang baru harus dievaluasi melalui uji coba terkontrol secara acak. Given that poor design may lead to biased outcomes, 1 trialists should strive for methodological rigour and report their work in enough detail for others to assess its quality. 8 Mengingat bahwa desain miskin dapat menyebabkan hasil yang bias, 1 ahli penelitian harus berusaha untuk kekakuan metodologis dan melaporkan pekerjaan mereka dalam detail yang cukup bagi orang lain untuk menilai kualitasnya. 8 Jenis percobaan terkontrol acak As Jadad observed in his 1998 book Randomised Controlled Trials [ 2 ]: Seperti yang diamati pada tahun 1998 Jadad nya acak Terkendali Ujian buku [ 2 ]:

Over the years, multiple terms have been used to describe different types of randomized controlled trials. Selama bertahun-tahun, beberapa istilah telah digunakan untuk menggambarkan berbagai jenis uji coba terkontrol secara acak. This terminology has evolved to the point of becoming real jargon. Terminologi ini telah berkembang ke titik menjadi jargon nyata. This jargon is not easy to understand for those who are starting their careers as clinicians or researchers because there is no single source with clear and simple definitions of all these terms. Jargon ini tidak mudah untuk dipahami bagi mereka yang memulai karier mereka sebagai dokter atau peneliti, karena tidak ada sumber tunggal dengan definisi yang jelas dan sederhana dari semua istilah-istilah ini. The best classification of frequently used terms was offered by Jadad [ 2 ], and we have based our article on his work. Klasifikasi terbaik dari istilah yang sering digunakan adalah yang ditawarkan oleh Jadad [ 2 ], dan kami telah berdasarkan artikel kami pada pekerjaannya.

43

According to Jadad, randomized controlled trials can be classified as to the aspects of intervention that investigators want to explore, the way in which the participants are exposed to the intervention, the number of participants included in the study, whether the investigators and participants know which intervention is being assessed, and whether the preference of nonrandomized individuals and participants has been taken into account in the design of the study. Menurut Jadad, uji coba terkontrol secara acak dapat diklasifikasikan sebagai ke aspek intervensi yang peneliti ingin mengeksplorasi, cara di mana peserta yang terkena intervensi, jumlah peserta termasuk dalam penelitian, apakah para peneliti dan peserta tahu intervensi yang dinilai, dan apakah preferensi individu nonrandomized dan peserta telah diperhitungkan dalam desain penelitian. In the context of this article, we can offer only a brief discussion of each of the different types of randomized controlled trials. Dalam konteks artikel ini, kita dapat menawarkan hanya diskusi singkat dari masing-masing jenis percobaan terkontrol acak. Randomized Controlled Trials Classified According to the Different Aspects of Interventions Evaluated Percobaan terkontrol acak Baris Menurut Aspek berbeda dari Intervensi Dievaluasi Randomized controlled trials used to evaluate different interventions include explanatory or pragmatic trials; efficacy or equivalence trials; and phase 1, 2, 3, and 4 trials. Percobaan terkontrol acak yang digunakan untuk mengevaluasi intervensi yang berbeda termasuk uji penjelasan atau pragmatis; keberhasilan atau uji kesetaraan, dan fase 1, 2, 3, dan 4 percobaan. Explanatory or pragmatic trials. Explanatory trials are designed to answer a simple question: Does the intervention work? Percobaan penjelasan atau pragmatis-jelas. Percobaan yang dirancang untuk menjawab pertanyaan sederhana: Apakah pekerjaan intervensi? If it does, then the trial attempts to establish how it works. Jika tidak, maka sidang mencoba membangun cara kerjanya. Pragmatic trials, on the other hand, are designed not only to determine whether the intervention works but also to describe all the consequences of the intervention and its use under circumstances corresponding to daily practice. Percobaan pragmatis, di sisi lain, dirancang tidak hanya untuk menentukan apakah intervensi bekerja tetapi juga untuk menjelaskan semua konsekuensi dari intervensi dan penggunaan di bawah kondisi yang sesuai untuk praktek sehari-hari. Although both explanatory and pragmatic approaches are reasonable, and even complementary, it is important to understand that they represent extremes of a spectrum, and most randomized controlled trials combine elements of both. Meskipun kedua pendekatan jelas dan pragmatis adalah wajar, dan bahkan pelengkap, penting untuk memahami bahwa mereka mewakili ekstrim spektrum, dan uji coba terkontrol secara acak yang paling menggabungkan unsur-unsur keduanya. Efficacy or effectiveness trials. Randomized controlled trials are also often described in terms of whether they evaluate the efficacy or effectiveness of an intervention. Keberhasilan atau efektivitas percobaan.-Acak uji coba terkontrol juga sering dijelaskan dalam hal apakah mereka mengevaluasi keberhasilan atau efektivitas intervensi. Efficacy refers to interventions carried out under ideal circumstances, whereas effectiveness evaluates the effects of an intervention under circumstances similar to those found in daily practice. Khasiat mengacu pada intervensi dilakukan di bawah kondisi ideal, sedangkan efektivitas mengevaluasi efek dari intervensi dalam kondisi yang sama dengan yang ditemukan dalam praktek sehari-hari. Phase 1, 2, 3, and 4 trials. These terms describe the different types of trials used for the introduction of a new intervention, traditionally a new drug, but could also encompass trials used for the evaluation of a new embolization material or type of prosthesis, for example. Tahap 1, 2, 3, dan 4 percobaan-ini. Istilah menggambarkan berbagai jenis uji yang digunakan untuk pengenalan dari intervensi baru, tradisional obat baru, tetapi juga dapat mencakup uji coba digunakan untuk evaluasi dari bahan embolisasi baru atau jenis prostesis, misalnya. Phase 1 studies are usually conducted after the safety of the new intervention has been documented in animal research, and their purpose is to document the safety of the intervention in humans. Tahap 1 studi biasanya dilakukan setelah keselamatan intervensi baru telah didokumentasikan dalam penelitian hewan, dan tujuan mereka adalah untuk mendokumentasikan keamanan intervensi pada manusia. Phase 1 studies are usually performed on healthy volunteers. Tahap 1 penelitian biasanya dilakukan pada sukarelawan sehat. Once the intervention passes phase 1, phase 2 begins. Setelah melewati fase intervensi 1, tahap 2 dimulai. Typically, the intervention is given to a small group of real patients, and the purpose of this study is to evaluate the efficacy of different modes of administration of the intervention to patients. Biasanya, intervensi ini diberikan kepada sekelompok kecil pasien yang nyata, dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas berbagai modus administrasi intervensi untuk pasien. Phase 2 studies focus on efficacy while still providing information on safety. Tahap 2 studi fokus pada keberhasilan sementara masih memberikan informasi mengenai keamanan. Phase 3 studies are typically effectiveness trials, which are performed after a given procedure has been shown to be safe with a reasonable chance of improving patients' conditions. Tahap 3 penelitian biasanya efektivitas percobaan, yang dilakukan setelah prosedur tertentu telah terbukti aman dengan kesempatan yang wajar untuk meningkatkan kondisi pasien. Most phase 3 trials are randomized controlled trials. Kebanyakan fase 3 uji adalah uji coba terkontrol secara acak. Phase 4 studies are equivalent to postmarketing studies of the intervention; they are performed to identify and monitor possible adverse events not yet documented. Tahap 4 studi setara dengan penelitian pascapemasaran intervensi, mereka dilakukan untuk mengidentifikasi dan memantau efek samping yang mungkin belum didokumentasikan. Randomized Controlled Trials Classified According to Participants' Exposure and Response to the Intervention Percobaan terkontrol acak Baris Menurut Paparan Peserta 'dan Respon Intervensi yang These types of randomized controlled trials include parallel, crossover, and factorial designs. Jenis uji coba terkontrol secara acak meliputi paralel, crossover, dan desain faktorial. Parallel design. Most randomized controlled trials have parallel designs in which each group of participants is exposed to only one of the study interventions. Paralel desain-Sebagian besar. Percobaan terkontrol acak memiliki desain paralel di mana setiap kelompok peserta terkena hanya salah satu intervensi studi. Crossover design. Crossover design refers to a study in which each of the participants is given all of the study interventions in successive periods. Crossover desain.-Crossover desain mengacu pada sebuah studi di mana masing-masing peserta diberikan semua intervensi studi di periode berturut-turut. The order in which the participants receive each of the study interventions is determined at random. Urutan di mana peserta menerima masing-masing intervensi studi ditentukan secara acak. This design, obviously, is appropriate only for chronic conditions that are fairly stable over time and for interventions that last a short time within the patient and that do not interfere with one another. Desain ini, jelas, hanya cocok untuk kondisi kronis yang cukup stabil dari waktu ke waktu dan untuk intervensi yang bertahan pendek dalam pasien dan yang tidak mengganggu satu sama lain. Otherwise, false conclusions about the effectiveness of an intervention could be drawn [ 29 ]. Jika tidak, kesimpulan palsu tentang efektivitas intervensi dapat ditarik [ 29 ].

44

Factorial design. A randomized controlled trial has a factorial design when two or more experimental interventions are not only evaluated separately but also in combination and against a control [ 2 ]. Desain faktorial.-Sebuah uji coba terkontrol secara acak memiliki desain faktorial ketika dua atau lebih intervensi eksperimental tidak hanya dievaluasi secara terpisah tetapi juga dalam kombinasi dan melawan kontrol [ 2 ]. For example, a 2 2 factorial design generates four sets of data to analyze: data on patients who received none of the interventions, patients who received treatment A, patients who received treatment B, and patients who received both A and B. More complex factorial designs, involving multiple factors, are occasionally used. Misalnya, 2 2 faktorial desain menghasilkan empat set data untuk menganalisis: data pada pasien yang menerima tidak ada intervensi, pasien yang menerima perlakuan A, pasien yang menerima pengobatan B, dan pasien yang menerima kedua A dan B. Lebih kompleks desain faktorial, yang melibatkan beberapa faktor, yang kadang-kadang digunakan. The strength of this design is that it provides more information than parallel designs. Kekuatan dari desain ini adalah bahwa ia menyediakan lebih banyak informasi daripada desain paralel. In addition to the effects of each treatment, factorial design allows evaluation of the interaction that may exist between two treatments. Selain efek dari setiap perlakuan, rancangan faktorial memungkinkan evaluasi interaksi yang mungkin ada di antara dua perlakuan. Because randomized controlled trials are generally expensive to conduct, the more answers that can be obtained, the better. Karena uji coba terkontrol secara acak umumnya mahal untuk melakukan, jawaban yang lebih yang bisa diperoleh, semakin baik. andomized Controlled Trials Classified According to the Number of Participants Percobaan terkontrol acak Baris Menurut Jumlah Peserta Randomized controlled trials can be performed in one or many centers and can include from one to thousands of participants, and they can have fixed or variable (sequential) numbers of participants. Uji coba terkontrol secara acak dapat dilakukan dalam satu atau banyak pusat dan dapat termasuk dari satu ke ribuan peserta, dan mereka dapat memiliki tetap atau variabel (sekuensial) jumlah peserta. -of-one trials .Randomized controlled trials with only one participant are called n -of-one trials or individual patient trials. Randomized controlled trials with a simple design that involve thousands of patients and limited data collection are called megatrials. * 30 , 31 ]. "N-darisatu percobaan."-Percobaan terkontrol acak dengan hanya satu peserta yang disebut "n-dari-satu percobaan" atau percobaan terkontrol acak "uji coba pasien." Dengan desain sederhana yang melibatkan ribuan pasien dan terbatas pengumpulan data disebut "megatrials." [ 30 , 31 ]. Usually, megatrials require the participation of many investigators from multiple centers and from different countries [ 2 ]. Biasanya, megatrials memerlukan partisipasi banyak peneliti dari beberapa pusat dan dari berbagai negara [ 2 ]. Sequential trials. A sequential trial is a study with parallel design in which the number of participants is not specified by the investigators beforehand. Percobaan Sequential-A. Percobaan sekuensial adalah studi dengan desain paralel di mana jumlah peserta tidak ditentukan oleh para peneliti sebelumnya. Instead, the investigators continue recruiting participants until a clear benefit of one of the interventions is observed or until they become convinced that there are no important differences between the interventions [ 27 ]. Sebaliknya, para peneliti merekrut peserta terus sampai manfaat yang jelas dari salah satu intervensi yang diamati atau sampai mereka menjadi yakin bahwa tidak ada perbedaan penting antara intervensi [ 27 ]. This element applies to the comparison of some diagnostic interventions and some procedures in interventional radiology. Elemen ini berlaku untuk perbandingan dari beberapa intervensi diagnostik dan beberapa prosedur di radiologi intervensi. Strict rules govern when trials can be stopped on the basis of cumulative results, and important statistical considerations come into play. Aturan ketat mengatur saat uji dapat dihentikan berdasarkan hasil kumulatif, dan pertimbangan statistik penting datang ke dalam bermain. Fixed trials. Alternatively, in a fixed trial, the investigators establish deductively the number of participants (sample size) that will be studied. Percobaan tetap.-Atau, dalam sidang tetap, para peneliti membangun deduktif jumlah peserta (ukuran sampel) yang akan dipelajari. This number can be decided arbitrarily or can be calculated using statistical methods. Nomor ini dapat diputuskan sewenang-wenang atau dapat dihitung dengan menggunakan metode statistik. The latter is a more commonly used method. Yang terakhir adalah metode yang lebih umum digunakan. Even in a fixed trial, the design of the trial usually specifies whether there will be one or more interim analyses of data. Bahkan dalam sidang tetap, desain percobaan biasanya menentukan apakah akan ada satu atau lebih analisis sementara data. If a clear benefit of one intervention over the other can be shown with statistical significance before all participants are recruited, it may not be ethical to pursue the trial, and it may be prematurely terminated. Jika manfaat yang jelas dari satu intervensi atas yang lain dapat ditunjukkan dengan signifikansi statistik sebelum semua peserta direkrut, hal itu mungkin tidak etis untuk mengejar sidang, dan mungkin waktunya dihentikan. Randomized Controlled Trials Classified According to the Level of Blinding Percobaan terkontrol acak Baris Menurut Tingkat Membutakan In addition to randomization, the investigators can incorporate other methodologic strategies to reduce the risk of other biases. Selain pengacakan, para peneliti dapat menggabungkan strategi metodelogi lain untuk mengurangi risiko bias lainnya. These strategies are known as blinding. The purpose of blinding is to reduce the risk of ascertainment and observation bias. Strategi-strategi ini dikenal sebagai "menyilaukan." Tujuan membutakan adalah untuk mengurangi risiko bias pemastian dan observasi. An open randomized controlled trial is one in which everybody involved in the trial knows which intervention is given to each participant. Sebuah uji coba terkontrol secara acak yang terbuka adalah satu di mana semua orang yang terlibat dalam persidangan tahu dimana intervensi diberikan kepada setiap peserta. Many radiology studies are open randomized controlled trials because blinding is not feasible or ethical. Banyak studi-studi radiologi terbuka uji coba terkontrol secara acak karena membutakan tidak layak atau etis. One cannot, for example, perform an interventional procedure with its associated risks without revealing to the patient and the treating physician to which group the patient has been randomized. Seseorang tidak dapat, misalnya, melakukan prosedur intervensi dengan risiko yang terkait tanpa mengungkapkan kepada pasien dan dokter yang merawat untuk kelompok pasien yang telah diacak. A single-blinded randomized controlled trial is one in which a group of individuals involved in the trial (usually patients) does not know which intervention is given to each participant. Sebuah percobaan tunggal-buta terkontrol secara acak adalah satu di mana sekelompok individu yang terlibat dalam percobaan (biasanya pasien) tidak tahu mana intervensi diberikan kepada setiap peserta. A double-blinded randomized controlled trial, on the other hand, is one in which two groups of individuals involved in the trial (usually patients

45

and treating physicians) do not know which intervention is given to each participant. Sebuah percobaan double-blind terkontrol secara acak, di sisi lain, adalah satu di mana dua kelompok individu yang terlibat dalam percobaan (biasanya pasien dan dokter yang merawat) tidak tahu mana intervensi diberikan kepada setiap peserta. Beyond this, triple-blinded (blinding of patients, treating physicians, and study investigators) and quadruple-blinded randomized controlled trials (blinding of patients, treating physicians, study investigators, and statisticians) have been described but are rarely used. Selain ini, tiga-buta (membutakan pasien, mengobati dokter, dan peneliti penelitian) dan quadruple-buta percobaan terkontrol acak (yang menyilaukan dari pasien, dokter mengobati, peneliti penelitian, dan statistik) telah dijelaskan tetapi jarang digunakan.

Randomized Controlled Trials Classified According to Nonrandomized Participant Preferences Percobaan terkontrol acak Baris Menurut Preferensi Peserta nonrandomized Eligible individuals may refuse to participate in a randomized controlled trial. Individu yang memenuhi syarat dapat menolak untuk berpartisipasi dalam uji coba terkontrol secara acak. Other eligible individuals may decide to participate in a randomized controlled trial but have a clear preference for one of the study interventions. Individu yang memenuhi syarat lain mungkin memutuskan untuk berpartisipasi dalam uji coba terkontrol secara acak tetapi memiliki preferensi yang jelas untuk salah satu intervensi studi. At least three types of randomized controlled trials take into account the preferences of eligible individuals as to whether or not they take part in the trial. Setidaknya tiga jenis uji coba terkontrol secara acak memperhitungkan preferensi individu yang memenuhi syarat untuk apakah atau tidak mereka mengambil bagian dalam persidangan. These are called preference trials because they include at least one group in which the participants are allowed to choose their preferred treatment from among several options offered [ 32 , 33 ]. Ini disebut uji preferensi karena mereka termasuk setidaknya satu kelompok di mana para peserta diperbolehkan untuk memilih pengobatan pilihan mereka dari antara beberapa pilihan yang ditawarkan [ 32 , 33 ]. Such trials can have a Zelen design, comprehensive cohort design, or Wennberg's design [ 33 36 ]. Percobaan tersebut dapat memiliki desain Zelen, desain kohort komprehensif, atau desain Wennberg itu [ 33 - 36 ]. For a detailed discussion of these designs of randomized controlled trials, the reader is directed to the excellent detailed discussion offered by Jadad [ 2 ]. Untuk pembahasan rinci dari desain uji coba terkontrol secara acak, pembaca diarahkan untuk pembahasan rinci yang sangat baik yang ditawarkan oleh Jadad [ 2 ].

Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya The Ethics of Randomized Controlled Trials Etika Acak Terkendali Ujian Despite the claims of some enthusiasts for randomized controlled trials, many important aspects of health care cannot be subjected to a randomized trial for practical and ethical reasons. Meskipun klaim dari beberapa penggemar untuk uji coba terkontrol secara acak, banyak aspek penting dari perawatan kesehatan tidak dapat dikenakan uji coba secara acak untuk alasan praktis dan etis. A randomized controlled trial is the best way of evaluating the effectiveness of an intervention, but before a randomized controlled trial can be conducted, there must be equipoisegenuine doubt about whether one course of action is better than another [ 16 ]. Sebuah uji coba terkontrol secara acak adalah cara terbaik untuk mengevaluasi efektivitas intervensi, tapi sebelum uji coba terkontrol secara acak dapat dilakukan, harus ada keseimbangan asli ragu tentang apakah satu tindakan lebih baik daripada yang lain [ 16 ]. Equipoise then refers to that state of knowledge in which no evidence exists that shows that any intervention in the trial is better than another and that any intervention is better than those in the trial. Imbang kemudian mengacu pada keadaan pengetahuan di mana tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa setiap intervensi dalam persidangan lebih baik daripada yang lain dan bahwa intervensi apapun lebih baik daripada mereka dalam persidangan. It is not ethical to build a trial in which, before enrollment, evidence suggests that patients in one arm of the study are more likely to benefit from enrollment than patients in the other arm. Hal ini tidak etis untuk membangun sebuah sidang di mana, sebelum pendaftaran, bukti menunjukkan bahwa pasien dengan satu tangan dari penelitian ini adalah lebih mungkin untuk manfaat dari pendaftaran dibandingkan pasien pada kelompok lain. Equipoise thus refers to the fine balance that exists between being hopeful a new treatment will improve a condition and having enough evidence to know that it does (or does not). Imbang dengan demikian mengacu pada keseimbangan yang baik yang ada antara menjadi harapan pengobatan baru akan meningkatkan kondisi dan memiliki bukti yang cukup untuk mengetahui bahwa itu tidak (atau tidak). Randomized controlled trials can be planned only in areas of uncertainty and can be carried out only as long as the uncertainty remains. Uji coba terkontrol secara acak dapat direncanakan hanya dalam bidang ketidakpastian dan dapat dilakukan hanya selama ketidakpastian tetap. Ethical concerns that are unique to randomized controlled trials as well as other research designs will be addressed in subsequent articles in this series. Keprihatinan etis yang unik untuk uji coba terkontrol secara acak serta desain penelitian lain akan dibahas dalam artikel berikutnya di seri ini. Hellman and Hellman [ 37 ] offered a good discussion on this subject. Hellman dan Hellman [ 37 ] menawarkan diskusi yang baik tentang hal ini.

Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya

46

Reporting of Randomized Controlled Trials Pelaporan percobaan terkontrol acak The Quality of Randomized Controlled Trial Reporting Kualitas Pelaporan Percobaan Acak Terkendali Awareness concerning the quality of reporting randomized controlled trials and the limitations of the research methods of randomized controlled trials is growing. Kesadaran tentang kualitas laporan uji coba terkontrol secara acak dan keterbatasan metode penelitian uji coba terkontrol secara acak tumbuh. A major barrier hindering the assessment of trial quality is that, in most cases, we must rely on the information contained in the written report. Sebuah penghalang utama menghambat penilaian kualitas persidangan adalah bahwa, dalam banyak kasus, kita harus bergantung pada informasi yang terkandung dalam laporan tertulis. A trial with a biased design, if well reported, could be judged to be of high quality, whereas a well-designed but poorly reported trial could be judged to be of low quality. Sebuah percobaan dengan desain bias, jika juga melaporkan, dapat dinilai berkualitas tinggi, sedangkan percobaan yang dirancang dengan baik tapi buruk yang dilaporkan mungkin dinilai berkualitas rendah.

Recently, efforts have been made to improve the quality of randomized controlled trials. Baru-baru ini, upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas uji coba terkontrol secara acak. In 1996, a group of epidemiologists, biostatisticians, and journal editors published CONSORT (Consolidated Standards of Reporting Trials) * 38 ], a statement that resulted from an extensive collaborative process to improve the standards of written reports of randomized controlled trials. Pada tahun 1996, sekelompok ahli epidemiologi, biostatisticians, dan editor jurnal yang diterbitkan "Consort (Standar Pelaporan Konsolidasi Ujian)" [ 38 ], sebuah pernyataan yang dihasilkan dari suatu proses kolaboratif yang luas untuk meningkatkan standar laporan tertulis dari uji coba terkontrol secara acak. The CONSORT statement was revised in 2001 [ 39 ]. Pernyataan mendampingi direvisi pada tahun 2001 [ 39 ]. It was designed to assist the reporting of randomized controlled trials with two groups and those with parallel designs. Hal ini dirancang untuk membantu pelaporan uji coba terkontrol secara acak dengan dua kelompok dan mereka dengan desain paralel. Some modifications will be required to report crossover trials and those with more than two groups [ 40 ]. Beberapa modifikasi akan diminta untuk melaporkan percobaan crossover dan mereka dengan lebih dari dua kelompok [ 40 ]. Although the CONSORT statement was not evaluated before its publication, it was expected that it would lead to an improvement in the quality of reporting of randomized controlled trials, at least in the journals that endorse it [ 41 ]. Meskipun pernyataan Consort tidak dievaluasi sebelum publikasi, diharapkan bahwa hal itu akan menyebabkan perbaikan dalam kualitas pelaporan uji coba terkontrol secara acak, setidaknya dalam jurnal yang mendukung itu [ 41 ].

Recently, however, Chan et al. Baru-baru ini, bagaimanapun, Chan et al. [ 42 ] pointed out that the interpretation of the results of randomized controlled trials has emphasized statistical significance rather than clinical importance: [ 42 ] menunjukkan bahwa interpretasi hasil uji coba terkontrol secara acak telah menekankan signifikansi statistik daripada kepentingan klinis:

The lack of emphasis on clinical importance has led to frequent misconceptions and disagreements regarding the interpretation of the results of clinical trials and a tendency to equate statistical significance with clinical importance. Kurangnya penekanan pada pentingnya klinis telah menyebabkan kesalahpahaman dan perselisihan sering mengenai interpretasi hasil uji klinis dan kecenderungan untuk menyamakan signifikansi statistik dengan kepentingan klinis. In some instances, statistically significant results may not be clinically important and, conversely, statistically insignificant results do not completely rule out the possibility of clinically important effects. Dalam beberapa kasus, hasil statistik yang signifikan tidak mungkin secara klinis penting dan, sebaliknya, hasil statistik tidak signifikan tidak sepenuhnya mengesampingkan kemungkinan efek klinis penting.

Limitations of the Research Methods Used in Randomized Controlled Trials Keterbatasan Metode penelitian yang digunakan dalam percobaan acak terkontrol The evaluation of the methodologic quality of randomized controlled trials is central to the appraisal of individual trials, the conduct of unbiased systematic reviews, and the performance of evidence-based health care. Evaluasi kualitas metodelogi dari uji coba terkontrol secara acak merupakan pusat penilaian uji individu, melakukan tinjauan sistematis bias, dan kinerja berbasis bukti perawatan kesehatan. However, important methodologic details may be omitted from published reports, and the quality of reporting is, therefore, often used as a proxy measure for methodologic quality. Namun, penting metodelogi rincian mungkin dihilangkan dari laporan yang diterbitkan, dan kualitas

47

pelaporan Oleh karena itu, sering digunakan sebagai ukuran proxy untuk kualitas metodelogi. High-quality reporting may hide important differences in methodologic quality, and well-conducted trials may be reported badly [ 43 ]. Berkualitas tinggi pelaporan dapat menyembunyikan perbedaan penting dalam kualitas metodelogi, dan uji coba dilakukan dengan baik dapat dilaporkan buruk [ 43 ]. As Devereaux et al. Sebagai Devereaux et al. [ 41 + observed, *h+ealth care providers depend upon authors and editors to report essential methodological factors in randomized controlled trials (RCTs) to allow determination of trial validity (ie, likelihood that the trials' results are unbiased). [ 41 ] mengamati, "[h] ealth penyedia perawatan tergantung pada penulis dan editor untuk melaporkan faktor-faktor metodologis penting dalam uji terkontrol acak (RCT) untuk memungkinkan penentuan validitas percobaan (yaitu, kemungkinan bahwa hasil uji coba 'yang berisi)."

The most important limitations of research methods include the following: Keterbatasan paling penting dari metode penelitian adalah sebagai berikut:

Insufficient power. A survey of 71 randomized controlled trials showed that most of these trials were too small (ie, had insufficient power to detect important clinical differences) and that the authors of these trials seemed unaware of these facts [ 44 ]. Listrik tidak cukup-A. Survei dari 71 uji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa sebagian besar uji coba ini terlalu kecil (yaitu, memiliki kekuatan cukup untuk mendeteksi perbedaan klinis yang penting) dan bahwa penulis uji coba ini tampaknya tidak menyadari fakta ini [ 44 ].

Poor reporting of randomization A study of 206 randomized controlled trials showed that randomization, one of the main design features necessary to prevent bias in randomized controlled trials, was poorly reported [ 45 ]. Pelaporan Miskin pengacakan-Sebuah studi dari 206 uji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa pengacakan, salah satu desain utama fitur yang diperlukan untuk mencegah bias dalam uji coba terkontrol secara acak, adalah buruk dilaporkan [ 45 ].

Other limitations. Additional limitations identified by Chalmers [ 46 ] were inadequate randomization, failure to blind the assessors to the outcomes, and failure to follow up all patients in the trials. Keterbatasan lainnya-tambahan. Keterbatasan diidentifikasi oleh Chalmers [ 46 ] adalah pengacakan tidak memadai, kegagalan untuk buta penilai untuk hasil, dan kegagalan untuk menindaklanjuti semua pasien dalam percobaan.

Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Intent to Treat Niat untuk Mengobati A method to correct for differential dropout rates between patients from one arm of the study and another is to analyze data by the intent to treatthat is, data are analyzed in the way patients were randomized, regardless of whether or not they received the intended intervention. Sebuah metode untuk mengoreksi angka putus sekolah diferensial antara pasien dari satu kelompok penelitian dan yang lainnya adalah untuk menganalisis data dengan maksud untuk mengobati-yaitu, data dianalisis dengan cara pasien diacak, terlepas dari apakah atau tidak mereka menerima dimaksudkan intervensi. The intent to treat correction is a form of protection against bias and strengthens the conclusions of a study. Maksud untuk mengobati koreksi adalah bentuk perlindungan terhadap bias dan memperkuat kesimpulan dari penelitian. A detailed discussion of the assessment of the quality of randomized controlled trials was offered by Jadad [ 2 ]. Sebuah diskusi rinci tentang penilaian kualitas uji coba terkontrol secara acak yang ditawarkan oleh Jadad [ 2 ].

48

In the appraisal of randomized controlled trials, a clear distinction should be made between the quality of the reporting and the quality of methodology of the trials [ 43 ]. Dalam penilaian uji coba terkontrol secara acak, perbedaan yang jelas harus dibuat antara kualitas pelaporan dan kualitas metodologi percobaan [ 43 ].

Previous Section Next Section Sebelumnya Bagian Bagian Berikutnya Recent Randomized Controlled Trials in Radiology Percobaan Acak Terkendali terakhir di Radiologi In recent years, randomized controlled trials have become increasingly popular in radiology research. Dalam beberapa tahun terakhir, uji coba terkontrol secara acak telah menjadi semakin populer dalam penelitian radiologi. In 1997, for instance, there were only a few good randomized studies in diagnostic imaging, such as the one by Jarvik et al. Pada tahun 1997, misalnya, hanya ada beberapa penelitian acak yang baik dalam pencitraan diagnostik, seperti satu per Jarvik et al. [ 47 ]. [ 47 ]. Since 2000, the number of good randomized controlled trials has significantly increased in both diagnostic and interventional radiology. Sejak tahun 2000, jumlah yang baik percobaan terkontrol acak telah meningkat secara signifikan dalam radiologi diagnostik dan intervensi baik. Examples of randomized controlled trials in diagnostic imaging include the works of Gottlieb et al. Contoh uji coba terkontrol secara acak dalam pencitraan diagnostik mencakup karya Gottlieb dkk. [ 48 ] and Kaiser et al. [ 48 ] dan Kaiser et al. [ 49 ]. [ 49 ]. Examples of interventional randomized controlled trials are the studies by Pinto et al. Contoh intervensi uji coba terkontrol secara acak adalah studi oleh Pinto et al. [ 50 ] and Lencioni et al. [ 50 ] dan Lencioni dkk. [ 51 ]. [ 51 ].

Randomized controlled trials are equally important in screening for disease. Percobaan terkontrol acak sama-sama penting dalam skrining untuk penyakit. Our initial experience with breast screening was unfortunate, and controversy over this issue continues to this day [ 52 , 53 ]. Pengalaman awal kami dengan skrining payudara disayangkan, dan kontroversi atas masalah ini berlanjut hingga hari ini [ 52 , 53 ]. On the other hand, positive developments have occurred, such as the work of the American College of Radiology Imaging Network. Di sisi lain, perkembangan positif telah terjadi, seperti karya American College of Radiologi Pencitraan Jaringan. Writing for this group, Berg [ 54 ] has offered a commentary on the rationale for a trial of screening breast sonography. Menulis untuk kelompok ini, Berg [ 54 ] telah menawarkan sebuah komentar pada alasan untuk percobaan dari sonografi skrining payudara.

Radiologists have a great deal to learn about randomized controlled trials. Ahli radiologi memiliki banyak untuk belajar tentang uji coba terkontrol secara acak. Academic radiologists who perform research and radiologists who translate research results into practice should be familiar with the different types of these trials, including those conducted for diagnostic tests and interventional procedures. Ahli radiologi yang melakukan penelitian akademis dan ahli radiologi yang menerjemahkan hasil penelitian ke dalam praktek harus akrab dengan berbagai jenis uji coba ini, termasuk yang dilakukan untuk tes diagnostik dan prosedur intervensi. Radiologists also must be aware of the limitations and problems associated with the methodologic quality and reporting of the trials. Ahli radiologi juga harus menyadari keterbatasan dan masalah yang terkait dengan kualitas metodelogi dan pelaporan percobaan. It is our hope that this article proves to be a valuable source of information about randomized controlled trials. Ini merupakan harapan kami bahwa artikel ini terbukti menjadi sumber informasi berharga tentang uji coba terkontrol secara acak.

49

Você também pode gostar