Você está na página 1de 28

APA SEBENARNYA DEFINISI PORNOGRAFI MENURUT PENDAPAT ANDA

Minggu, Agustus 14, 2011 Philipus Nahaya No comments

Pornografi bukan hal yang aneh lagi dalam masyarakat... dari kalangan bawah sampai kalangan atas mengenal apa itu pornografi. Sehingga ketika Pemerintah memblokir situs-situs Porno di Indonesia dan mengeluarkan undang-undang NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI. Banyak orang yang beretiriak-teriak menolak Undang-Undang pornografi tersebut. Sehingga bagi mereka yang hobi mendownload Video porno akan terhambat dengan adanya undang-undang tersebut. Sebagian masyarakat menganggap Undang-Undang itu baik dengan alasan untuk menghindari anak-anak dibawah umur mengakses Video-Video trsebut. pornografi berpotensi merusak moral bangsa, terutama ketika jatuh ke tangan orang yang belum cukup usia, yang bisa menyebabkan terjadinya pelecehan seksual seperti yang sering diberitakan di televisi. Namun di kalangan lain ada juga yang menganggap bahwa Pemerintah Arogan dan diktator karena telah membatasi kebebasan mereka atas akses informasi yang mereka anggap sebagian dari HAM. Ada juga orang yang berpendapat pemblokiran itu tidak akan bisa memberantas pornografi yang ada di Indonesia karena masih banyak saluran situs-situs porno yang tidak mereka blokir seperti situs dari luar negeri (xxx) yang sampai sekarang masih bisa diakses dengan bebas oleh masyarakat Indonesia. Kembali ke langkah pemerintah tadi yang melarang dan memblokir Situs-situs porno di Indonesia, saya yakin Anda juga punya pendapat dan pandangan sendiri mengenai hal tersebut, Silakan saja, bebas, dan kebebasan tersebut dijamin oleh Undang-undang! Hehehehe
Seperti malam ini, saya mengomentari salah satu status teman di facebook saya Apa yang kamu tahu tentang pornografi??? http://kuliahonline-philipus.blogspot.com/2011/08/apa-

sebenarnya-definisi-pornografi.html

Undang-Undang Pornografi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

RUU APP menyulut kontroversi Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008[1]. Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, UU ini maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat[2]. Masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini[3]. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mendesak Pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indonesia[4]. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi[5].

Daftar isi
[sembunyikan]

1 Definisi dan Rancangan 2 Panitia khusus DPR o 2.1 Jadwal Pembahasan RUU Pornografi o 2.2 Disahkan menjadi Undang-undang 3 Kontroversi o 3.1 Penyeragaman budaya o 3.2 Menyudutkan perempuan o 3.3 Bentuk Totalitarianisme Negara 4 Peristiwa o 4.1 Gelar seribu tayub o 4.2 Karnaval budaya o 4.3 Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika o 4.4 Aksi sejuta umat o 4.5 Fatwa MUI o 4.6 Fadholy El Muhir diadukan ke polisi o 4.7 Pancasila Rumah Kita 5 Rujukan 6 Pranala luar

[sunting] Definisi dan Rancangan


Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini: Rancangan Undang-Undang tentang Anti Pornografi (2003) Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini: Rancangan Undang-Undang tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi (2006) Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini: Rancangan Undang-Undang tentang Pornografi (2008) Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR.[6] Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal. Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual,

kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum". Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur". Definisi pornoaksi pada draft ini adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi". Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.[7] Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi pornografi. [8] Rancangan terakhir RUU ini masih menimbulkan kontroversi, banyak elemen masyarakat dari berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, dan Papus), LSM perempuan yang masih menolak RUU ini [9][10][11]. Definisi pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.[12]

RUU APP Pornogr Pornografi adalah afi substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan

RUU Pornografi Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,

KBBI Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu

gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika

suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, patung, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.

Pornoak Pornoaksi adalah si perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum

(definisi pornoaksi dihilangkan)

(tidak ada kata pornoaksi dalam KBBI)

[sunting] Panitia khusus DPR


Panitia khusus DPR untuk RUU Antipornografi dan Pornoaksi ini diketuai oleh Balkan Kaplale dari Partai Demokrat dan wakil ketua Yoyoh Yusron dari Partai Keadilan Sejahtera, serta Ali Mochtar Ngabalin dari Partai Bulan Bintang sebagai jurubicara Pansus. Draf RUU APP adalah warisan dari Komisi VI DPR Periode 1999-2004. Pada Periode 2004-2009 awalnya RUU APP ini tidak tercantum dalam prolegnas, tapi kemudian masuk lewat Komisi VIII DPR, lalu dibahas di Badan Musyawarah DPR (Bamus). Bamus kemudian menyepakati RUU tersebut untuk dibawa ke Sidang paripurna DPR. Paripurna kemudian menerima usulan tersebut dan menugaskan panitia khusus (Pansus) untuk membahas. RUU APP ditetapkan oleh Rapat Paripurna DPR periode 1999-2004 sebagai RUU usul inisiatif DPR tanggal 23 September tahun 2003. Polemik keras dan aksi-aksi di masyarakat yang menyulut kekerasan antara pihak yang menolak dan menerima membuat DPR memutuskan untuk menarik dan menyusun kembali draf RUU APP.

DPR periode 2005-2009 memasukkan RUU itu ke dalam Prioritas Prolegnas. RUU ini dibahas secara cepat. Pada tanggal 27 September 2005 terbentuk Panitia Khusus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Pada Maret 2006, 10 anggota Pansus RUU Antipornografi menandatangani pernyataan penolakan terhadap Ketua Pansus RUU, Balkan Kaplale karena telah melakukan kebohongan publik, atas pernyataannya di media massa yang membuat masyarakat bingung. [1] [2] [3] 8 Juni 2006, Latifah Iskandar dari fraksi PAN, seorang anggota pansus, mengatakan bahwa DPR saat ini belum pernah merevisi draft RUU APP yang lama. RUU tersebut saat ini baru ditangani oleh tim perumus yang tugasnya antara lain memberi perhatian dan melakukan koreksi atas redaksional RUU ini. Setelah Tim Perumus selesai melakukan tugasnya, baru kemudian RUU itu bisa dibahas subtansinya kembali oleh Pansus. Jadi Pansuslah yang berhak memotong, menambah atau mengganti pasal-pasal yang ada dalam RUU itu. Tim Perumus merampungkan Naskah Akademik dan RUU Pornografi tanggal 13 Desember 2007. Panja RUU tentang Pornografi dibentuk pada akhir Masa Persidangan IV Tahun Persidangan 2007-2008, tepatnya pada tanggal 29 Mei 2008. Panja RUU tentang Pornografi bersama Pemerintah secara efektif baru melaksanakan tugasnya pada Awal Masa Persidangan I Tahun Persidangan 2008-2009. Panja telah melaksanakan Rapat pada tanggal 4 September 2008, 18 September 2008, 23 September 2008, 24 September 2008, 8 Oktober 2008, 16 Oktober 2008, 17 Oktober 2008, 22 Oktober 2008, 23 Oktober 2008, 27 Oktober 2008, dan 28 Oktober 2008.

[sunting] Jadwal Pembahasan RUU Pornografi


Ketentuan tentang pornoaksi kemudian dihilangkan dan RUU diganti menjadi RUU Pornografi. Panitia Khusus mengesahkannya pada tanggal 4 Juli 2007. Masa kerja Panitia Khusus berlaku hingga pertengahan (15-24) Oktober. Surat Presiden diajukan ke DPR pada tanggal 20 September 2007 dan rapat dengar pendapat pertama dengan pemerintah dilakukan pada 8 November 2007. Tanggal 23 September merupakan laporan tim teknis DPR dan pemerintah kepada Panitia Kerja (Panja). Daftar inventarisasi masalah (DIM) sandingan Pemerintah dan DPR tak dibahas dalam Pansus, terutama untuk pasal- pasal berbeda. Pembahasannya dilimpahkan ke Panitia Kerja (Panja) yang sifatnya tertutup dan berlangsung selama kurang lebih satu bulan (Juni 2008). Banyak rapat tidak memenuhi kuorum, artinya hanya diikuti kurang dari 50 persen anggota Pansus maupun panja.[13] Tanggal 24 September hingga 8 Oktober 2008 adalah masa dimana Panja melaporkan hasil kerja kepada Pansus, serta penandatanganan draft RUU Pornografi antara DPR dan Pemerintah.

Laporan Pansus kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR Tanggal dijadwalkan pada 9 Oktober 2008. Dalam Bamus ini kemudian akan ditetapkan tanggal Rapat Paripurna untuk mengesahkan UU Pornografi.[14]

[sunting] Disahkan menjadi Undang-undang


Pada 28 Oktober 2008 RUU Pornografi disepakati 8 fraksi di DPR. Sekitar pukul 23.00 WIB, Mereka menandatangani naskah draft, yang tinggal menunggu pengesahannya di rapat paripurna. Delapan fraksi tersebut adalah FPKS, FPAN, FPD, FPG, FPBR, FPPP, dan FKB. Sedang 2 fraksi yakni FPDIP dan FPDS melakukan aksi 'walk out'. Sebelumnya, masing-masing fraksi menyampaikan pandangan akhirnya. Hingga kemudian, mayoritas fraksi mencapai kesepakatan. "Kami dari pemerintah mewakili presiden menyambut baik diselesaikannya pembahasan RUU Pornografi," ujar Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam rapat kerja pansus RUU Pornografi, di Gedung DPR, Senayan.[15] Setelah melalui proses sidang yang panjang dan beberapa kali penundaan, pada 30 Oktober 2008 siang dalam Rapat Paripurna DPR, akhirnya RUU Pornografi disahkan. Pengesahan UU tersebut disahkan minus dua Fraksi yang sebelumnya menyatakan 'walk out', yakni Fraksi PDS dan Fraksi PDI-P. Menteri Agama Maftuh Basyuni mewakili pemerintah mengatakan setuju atas pengesahan RUU Pornografi ini[16]. Pengesahan UU Pornografi ini juga diwarnai aksi 'walk out' dua orang dari Fraksi Partai Golkar (FPG) yang menyatakan walk out secara perseorangan. Keduanya merupakan anggota DPR dari FPG yang berasal dari Bali, yakni Nyoman Tisnawati Karna dan Gde Sumanjaya Linggih [17] Setelah disahkan, definisi Pornografi menjadi, "Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat." Frase membangkitkan hasrat seksual dihilangkan kerena menimbulkan multitafsir.

[sunting] Kontroversi
Search Wikiquote Wikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi

Isi pasal RUU APP ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di museum [4]. Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi. Dari sisi substansi, RUU ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain RUU ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa

dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain. Pihak yang menolak mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undangundang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Porno ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barangbarang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia. Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilainilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang. [18][19]

[sunting] Penyeragaman budaya


RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama. RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila. Tapi persepsi yang berbeda tampak pada pandangan penyusun dan pendukung RUU ini. Mereka berpendapat RUU APP sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah tatanan budaya Indonesia, tetapi untuk membentengi ekses negatif pergeseran norma yang efeknya semakin terlihat akhirakhir ini. Karena itulah terdapat salah satu eksepsi pelaksanaannya yaitu yang menyatakan adatistiadat ataupun kegiatan yang sesuai dengan pengamalan beragama tidak bisa dikenai sanksi, sementara untuk pertunjukan seni dan kegiatan olahraga harus dilakukan di tempat khusus pertunjukan seni atau gedung olahraga (Pasal 36), dan semuanya tetap harus mendapatkan izin dari pemerintah dahulu (Pasal 37). Rumusan dalam RUU APP tersebut dikhawatirkan akan dapat menjadikan seorang yang pada resepsi pernikahan memakai baju kebaya yang sedikit terbuka di bagian dada, dapat dikenakan sanksi paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp. 200 Juta dan paling banyak Rp. 1 milyar, karena resepsi pernikahan bukanlah upacara kebudayaan atau upacara keagamaan. Sedangkan seseorang yang lari pagi di jalanan atau di lapangan dengan celana pendek dikhawatirkan akan bisa dinyatakan melanggar hukum, karena tidak dilakukan di gedung olahraga.

[sunting] Menyudutkan perempuan

RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah. Perempuan juga dianggap bertanggungjawab terhadap kejahatan seksual. Menurut logika agamis di dalam RUU ini, seksualitas dan tubuh penyebab pornografi dan pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan. Bahwa dengan membatasi seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia, kepribadian luhur, kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam. Seksualitas dan tubuh perempuan dianggap kotor dan merusak moral. Sedangkan bagi pendukungnya, undang-undang ini dianggap sebagai tindakan preventif yang tidak berbeda dengan undang-undang yang berlaku umum di masyarakat.

[sunting] Bentuk Totalitarianisme Negara


RUU Pornografi dianggap sebagai bentuk intervensi negara dalam mengontrol persoalan moralitas kehidupan personal warga negara, sehingga dapat menjebak negara untuk mempraktikkan politik totalitarianisme. RUU Pornografi melihat perempuan dan anak-anak sebagai pelaku tindakan pornografi yang dapat terkena jeratan hukum, dan menghilangkan konteks persoalan yang sebenarnya menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai korban dari obyek eksploitasi. RUU pornografi akan menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai korban yang kedua kalinya. Mereka menjadi korban dari praktik pemerasan sistem kapitalisme sekaligus korban tindakan represi negara. Selain mendiskreditkan perempuan dan anak-anak, RUU pornografi secara sistematik juga bertentangan dengan landasan kebhinekaan karena mendiskriminasikan pertunjukan dan seni budaya tertentu dalam kategori seksualitas dan pornografi. Dari sudut pandang hukum, RUU Pornografi dinilai telah menabrak batas antara ruang hukum publik dan ruang hukum privat. Hal ini tercermin dari penggebirian hak-hak individu warga yang seharusnya dilindungi oleh negara sendiri. Seharusnya persoalan yang diatur RUU ini adalah masalah yang benar-benar mengancam kepentingan publik, seperti komersialisasi dan eksploitasi seks pada perempuan dan anak, penyalahgunaan materi pornografi yang tak bertanggung jawab, atau penggunaan materi seksualitas di ruang publik. Selain tidak adanya batas antara ruang hukum publik dan privat, RUU Pornografi bersifat kabur (tidak pasti) sehingga berpotensi multitafsir. Pasal 1 angka 1 mengungkapkan ...membangkitkan hasrat seksual. Isi pasal ini bertentangan dengan asas lex certa dimana hukum haruslah bersifat tegas. Proses penyusunan RUU Pornografi dinilai mengabaikan unsur-unsur sosiologis. Hal ini terlihat dari banyaknya pertentangan dan argumen yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat. RUU pornografi mengabaikan kultur hukum sebagai salah satu elemen dasar sistem hukum. Hukum merupakan hasil dari nilai-nilai hidup yang berkembang secara plural di masyarakat. [20]

Aksi Budaya tolak RUU APP

[sunting] Peristiwa
[sunting] Gelar seribu tayub
Pada 15 Maret 2006, ribuan seniman di Kota Solo, menggelar pentas seni kolosal di pelataran Taman Budaya Jawa Tengah bertajuk "Gelar 1.000 Tayub Seniman Solo Menolak RUU APP", sekaligus mendeklarasikan penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Aksi ini melibatkan seniman dari berbagai disiplin seperti teaterawan, musisi, penari, koreografer, dalang, pelukis, sastrawan, teater-teater kampus, dan sanggar-sanggar serta penari-penari tradisional. Aksi ini diikuti oleh tokoh seni seperti Garin Nugroho, Didik Nini Thowok, dalang wayang "suket" Slamet Gundono. [5] [6]

[sunting] Karnaval budaya


Pada 22 April 2006, ribuan masyarakat bergabung dalam karnaval budaya "Bhinneka Tunggal Ika" untuk menolak RUU ini. Peserta berasal dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari aktivis perempuan, seniman, artis, masyarakat adat, budayawan, rohaniwan, mahasiswa, hingga komunitas jamu gendong dan komunitas waria. Peserta berkumpul di Monumen Nasional (Monas) untuk

kemudian berpawai sepanjang jalan Thamrin hingga jalan Sudirman, kemudian berputar menuju Bundaran HI. Ribuan peserta aksi melakukan pawai iring-iringan yang dimulai oleh kelompok pengendara sepeda onthel, delman, dilanjutkan dengan aksi-aksi tarian dan musik-musik daerah seperti tanjidor, gamelan, barongsai, tarian Bali, tarian adat Papua, tayub, reog, dan ondel-ondel. Banyak peserta tampak mengenakan pakaian tradisi Jawa, Tionghoa, Badui, Papua, Bali, Madura, Aceh, NTT dan lain-lain. Mulai dari kebaya hingga koteka dan berbagai baju daerah dari seantero Indonesia yang banyak mempertunjukkan area-area terbuka dari tubuh. Banyak tokoh ikut serta dalam aksi demonstrasi ini, diantaranya mantan Ibu Negara Shinta N Wahid, GKR Hemas dari Keraton Yogyakarta, Inul Daratista, Gadis Arivia, Rima Melati, Ratna Sarumpaet, Franky Sahilatua, Butet Kertaradjasa, Garin Nugroho, Goenawan Moehammad, Sarwono Kusumaatmadja, Dawam Rahardjo, Ayu Utami, Rieke Diah Pitaloka, Becky Tumewu, Ria Irawan, Jajang C Noer, Lia Waroka, Olga Lidya, Nia Dinata, Yeni Rosa Damayanti, Sukmawati Soekarnoputri, Putri Indonesia Artika Sari Devi dan Nadine Candrawinata, dll. [7] [8]

[sunting] Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika


Pada 13 Mei 2006 di Komunitas Utan Kayu dilakukan deklarasi "Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika". Deklarasi ditandatangani oleh tokoh-tokoh seperti WS Rendra, Lily Chadidjah Wahid, Adnan Buyung Nasution, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Shahnaz Haque, Jajang C Noer, Hariman Siregar, Budiman Sudjatmiko, Ayu Utami, Rahman Tolleng, Muslim Abdurachman, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, Garin Nugroho, Butet Kertaradjasa, Franky Sahilatua, Dian Sastro, Sujiwo Tedjo, Ade Rostina, BJD Gayatri, La Ode Ronald Firman, dan lain-lain. Acara dibuka dengan pembacaan puisi Setelah Rambutmu Tergerai oleh Rendra. Pernyataan ini dibuat berdasarkan keprihatinan pada RUU APP, sejumlah rancangan undangundang dan peraturan daerah yang memaksakan spirit moralitas, nilai-nilai dan norma-norma agama tertentu. Kesewenangan ini disebutkan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pendirian negara Republik Indonesia. [9]

[sunting] Aksi sejuta umat


Pada tanggal 21 Mei 2006, umat Islam dari berbagai ormas, partai dan majlis taklim berkumpul di bundaran HI untuk mengikuti aksi sejuta umat dalam rangka mendukung RUU APP, memberantas pornografi-pornoaksi, demi melindingi akhlak bangsa, dan mewujudkan Indonesia yang bermartabat. Aksi dimulai dengan longmarch dari bundaran HI ke gedung DPR RI. Tampak hadir di tengah-tengah kerumunan massa sejumlah artis, tokoh dan ulama'. Di antaranya, KH Abdurrasyid Abdullah Syafii, Ketua MUI Pusat KH Ma'ruf Amien, Dra Hj. Tuty Alawiyah AS, Ustadz Hari Moekti, Inneke Koesherawati, Astri Ivo, Henki Tornado, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, KH Husein Umar, Habib Rizieq Shihab (FPI), H. Muhammad Ismail Yusanto (HTI), H. Mashhadi (FUI), KH Zainuddin MZ (PBR), H. Rhoma Irama (PAMMI), Hj. Nurdiati Akma (Aisyiyah), Habib Abdurrahman Assegaf, KH Luthfi Bashori (DIN) dan lain-lain. Dari jajaran

pimpinan DPR RI, Agung Laksono (Ketua DPR), Zainal Maarif (Wakil Ketua DPR) dan Balkan Kaplale (Ketua Pansus RUU-APP).

[sunting] Fatwa MUI


MUI, pada 27 Mei 2006, mengeluarkan beberapa fatwa, diantaranya berisi: fatwa tentang perlu segeranya RUU APP diundangkan dan fatwa yang berisi desakan kepada semua daerah untuk segera memiliki perda anti maksiat, miras serta pelacuran.

[sunting] Fadholy El Muhir diadukan ke polisi


Pada 1 Juni 2006, Ny Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid didampingi Tim Pembela Perempuan Bhinneka Tunggal Ika mengadukan Ketua Forum Betawi Rempug Fadholy El Muhir ke Polda Metro Jaya. Ny Shinta mengadukan pernyataan Fadholy dalam acara dialog di Metro TV pada 21 Mei pukul 22.30 telah melecehkan dan menghina pribadi dan integritasnya sebagai peserta pawai Bhinneka Tunggal Ika untuk menolak Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi. Dalam dialog itu, Fadholy menyatakan, "Peserta pawai budaya adalah perempuan-perempuan bejat berwatak iblis yang merusak moral bangsa Indonesia." Pernyataan-pernyataan Fadholy diikuti penyerangan-penyerangan dan ancaman-ancaman untuk menutup tempat usaha para peserta pawai budaya lainnya. Ny Shinta sebelumnya juga sudah melayangkan somasi. Setelah karnaval budaya, FBR sempat mengancam terbuka di TV bahwa akan melakukan sweeping terhadap peserta pawai, bahkan Inul diancam akan diusir dari Jakarta dan bisnis karaokenya akan dirusak.[10] [11] [12]

[sunting] Pancasila Rumah Kita


Aliansi Bhinneka Tunggal Ika (BTI) kembali menggelar karnaval budaya pada 3 Juni yang mengetengahkan berbagai pentas seni di Bundaran HI dan karnaval sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman. Selain melakukan pawai budaya, Aliansi BTI bersama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Dirjen Kesbangpol Depdagri juga mengadakan acara "Curhat Budaya" pada 1 dan 2 Juni di Hotel Nikko. Karnaval dan curhat budaya ini diberi judul: Pancasila Rumah Kita. Beberapa tokoh yang terlibat dalam aksi tersebut antara lain Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Prof. Dr. Syafii Maarif, A. Mustofa Bisri, Prof. Edy Sedyawati, Ratna Sarumpaet, Siswono Yudhohusodo, I Gde Ardika, Franky Sahilatua, Prof. Melani Budianta, Moeslim Abdurahman, Mohammad Sobary, Mudji Sutrisno, Kamala Chandra Kirana, Prof. Dr. Toety Heraty, Jamal D. Rahman, Nurul Arifin, Mirta Kartohadiprodjo, Gugun Gondrong. Organisasi yang terlibat diantaranya Banteng Muda Indonesia, Arus Pelangi, Garda Bangsa, Repdem, GMKI. [13]

[sunting] Rujukan
1. ^ RUU Pornografi, PDIP dan PDS Akan Walkout, Sinar Harapan, 17 September 2008 2. ^ RUU Pornografi Dinilai Cacat oleh Banyak Pihak, Kompas 29 September 2008 3. ^ Ancaman atas Nama Pornografi, Majalah Tempo 4. ^ Tolak Undang-Undang Pornografi, Papua Barat Ancam Pisah dari NKRI, tempointeraktif.com

5. ^ Forum Masyarakat NTT Tolak UU Pornografi, Kompas.com 6. ^ RUU Pornografi Segera Disahkan, Republika Online, 21 September 2008 7. ^ Inilah Isi RUU Pornografi, detikNews, 16 September 2008 8. ^ Tidak Dirancang Dengan Matang, Kompas 22 September 2008 9. ^ Komponen Rakyat Bali Tolak RUU Pornografi 10. ^ Masyarakat Bali Tolak RUU Pornografi 11. ^ Sulut Minta Pengecualiaan Penerapan UU Pornografi 12. ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia 13. ^ Moeslim: Sebaiknya Tolak Saja RUU Ini Kompas, 22 September 2008 14. ^ Wawancara dengan Ali Mochtar Ngabalin, juru bicara Pansus RUU Pornografi, Rakyat Merdeka 28 September 2008 15. ^ 8 Fraksi Teken Draft RUU Pornografi 16. ^ Akhirnya RUU Pornografi Disahkan 17. ^ Giliran Dua Anggota FPG Walk Out 18. ^ RUU Pornografi, Ancaman Kriminal bagi Perempuan 19. ^ UU Pornografi Intervensi Kebebasan Dan Kehidupan Pribadi 20. ^ RUU Pornografi Bentuk Totalitarianisme Negara

[sunting] Pranala luar


(Indonesia) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Indonesia) Rancangan Undang-Undang ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI versi DPR per tanggal 14 Februari 2006 (Indonesia) Draf final RUU Pornografi (Indonesia) Draf RUU Pornografi yang dikirimkan kepada Presiden (Indonesia) Draf pertama RUU APP di situs DPD RI (Indonesia) "RUU Antipornografi Direvisi", 13 Maret 2006 (Indonesia) Fatwa MUI No. 287 Tahun 2001 Tentang PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI - Halal Guide (Indonesia) Meski Direvisi, Bali Tetap Tolak RUU APP (Indonesia) Multitafsir RUU APP (Indonesia) Tak Seharusnya Lelah karena Berbeda (Indonesia) Bergoyang dalam Bayang-bayang RUU (Indonesia) Mengapa RUU APP Menimbulkan Kontroversi? (Indonesia) Langgar Konstitusi, Langgar HAM? (Indonesia) RUU Malaikat dan Politik Seks (Indonesia) Misoginis dan Memojokkan (Indonesia) Wahabisasi "Islam-Indonesia" (Wahid Institute) (Indonesia) Blog 'Ruuappri' - blog yang mendukung RUU APP (Indonesia) Blog 'Jiwa Merdeka' - blog masyarakat Bali menolak RUU APP (Indonesia) Srikandi demokrasi Indonesia

(Indonesia) (Indonesia) (Indonesia) (Indonesia) (Indonesia) RUU APP (Indonesia)

Aliansi Mawar Putih Petisi Online Menolak RUU APP Berita Foto: Karnaval Budaya Tolak RUU APP Berita di hizbut-tahrir.or.id Surat Terbuka Untuk Indonesia - Blog satir yang menolak Tolak UU Pornografi

Kategori:

Pornografi Undang-undang Masuk log / buat akun Halaman Pembicaraan Baca Sunting Versi terdahulu

Halaman Utama Perubahan terbaru Peristiwa terkini Halaman sembarang

Komunitas

Warung Kopi Portal komunitas Bantuan

Wikipedia Cetak/ekspor Peralatan Bahasa lain

English Halaman ini terakhir diubah pada 14.38, 1 Oktober 2011.

Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya. Kebijakan privasi Tentang Wikipedia Penyangkalan Tampilan seluler

Definisi Pornografi

Syahdan di kerajaan margasatwa berlangsung sidang maha penting membahas mengenai pornografi. Hadir dalam temu akbar ini perwakilan dari semua hewan di muka bumi ini mulai dari semut sampai gajah. Sang baginda memulai pertemuan ini dengan bersabda : Hari ini saya mengundang seluruh unsur dunia satwa karena telah berkembang suatu situasi yang amat gawat dan genting dan mengancam moralitas kita sekalian dan lebih dari itu mengakibatkan degradasi moral dari insan yang selama ini menjadi panutan kita yaitu manusia. Ancaman yang saya maksudkan ini adalah pornografi. Akan saya uraikan perbuatan-perbuatan porno yang selama ini sudah kalian lakukan dan akan saya buatkan undang-undang yang memberi sanksi kepada siapa saja yang melanggarnya. Pertama-tama, kita semua harus merasa malu karena telah berbugil ria di depan umum,ujar sang raja dengan muka serius. Dari barisan depan sidang ini seekor perwakilan kucing mengangkat tangannya dan berkata : Ampun beribu ampun paduka,kami tidak merasa bugil karena seluruh tubuh kami sudah ditutupi oleh bulu yang indah, sedangkan manusia kan tidak ada bulunya. Hai kucing, anda jangan berdebat kusir, hardik sang raja. Masih banyak perbuatanperbuatan porno lainnya yang kalian lakukan. Contohnya pada saat kalian mau kawin, begitu banyak dan panjangnya erangan,desahan dan pekikan erotis yang keluar dari mulut kalian. Tanpa melihat perbuatan mesum kalian pun, mendengar meongan cabul kalian saja, pikiran kita semua menjadi ngeres ! Di masa mendatang, undang-undang akan melarang kalian mengumbar meongan yang mengundang syahwat karena ini termasuk porno-aksi. Dan sang kucing pun terdiam diberi label porno-aksi ini. Saya juga memberi peringatan keras kepada komunitas anjing yang tidak habis-habisnya mempertontonkan pornografi, kata raja. Coba bayangkan, sesudah bersenggama kalian tanpa mempunyai rasa malu, terus saling menempel seperti kembar siam dempet di pantat bermenit-menit di ruang publik ! Ini harus diakhiri tanpa kompromi!

Maaf baginda, kami menempel bermenit-menit bukan karena mau kami untuk mempertonton adegan porno, tapi itu semata-mata karena kehendak alam, sahut sang anjing. Saya tidak mau tahu ! Dan satu hal lagi yang akan saya larang adalah gayamu bercinta ! Ini sangat merusak akhlak manusia junjungan kita, sampai-sampai mereka punya istilah dog style. Kalau bukan kalian yang memulai dog style ini, maka manusia akan terselamatkan moralnya tidak meniru-niru perilaku bejat kalian. Lantas kami harus pakai gaya apa,baginda ?,tanya sang anjing memelas. Itu satusatunya gaya yang kami bisa lakukan. Itu bukan urusan saya, pokoknya gaya porno itu akan dilarang keras ! Pandangan mata baginda pun kemudian terarah ke perwakilan sapi. Saya juga akan melarang keras mempertontonkan payudara di muka umum. Larangan ini bukan cuma berlaku untuk sapi, tetapi untuk semua margasatwa yang mempunyai payudara ! Mohon maaf baginda, ujar sang anjing lagi. Ada perbedaan yang sangat signifikan antara kami dan manusia. Payudara kami hanya membesar dan ranum pada saat kami melahirkan anak dan menyusui. Kalau kami sudah tidak menyusui lagi, payudara itu akan menyusut lagi dan tidak akan nampak secara kasat mata. Ini tentunya berbeda dengan manusia yang mempunyai payudara yang tetap membesar dan seksi sepanjang hidupnya. Saya tidak mau mendengar lagi argumentasi yang sok ilmiah itu ! Undang-undang akan segera mengamanatkan agar kalian semua memakai BH untuk menutup payudara itu. Tetapi baginda, kata sang anjing memberanikan diri. Kami kan punya empat pasang payudara dan rasanya terlalu berat di ongkos, kalau kami harus membeli dan memakai empat BH sekaligus Ongkos itu tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan moral yang bisa diselamatkan dengan pemberantasan pornografi ini, jawab raja menutup sidang itu. Seluruh hewan peserta sidang terhenyak diam. Mereka masih belum bisa mengerti mengapa segala yang sudah mereka lakukan turun temurun sesuai dengan sabda alam ini tiba-tiba dihujat sebagai perbuatan amoral. Hanya lamat-lamat di balik benak mereka masih terngiang suara manusia yang belakangan ini berseru dengan penuh kemarahan menghujat perusak moral yang bernama pornografi. http://sosbud.kompasiana.com/2010/06/30/definisi-pornografi/

Bingung-Bingung Definisi Pornografi , 28 maret 2008


Tulisan ini saya buat sehubungan dengan rencana pemerintah Indonesia untuk mem-block situssitus porno di negeri tercinta ini. Pemerintah Indonesia akan mem-block situs-situs pornografi. Berita ini begitu maraknya akhirakhir ini sehingga saya yakin Anda dapat menemukan beritanya tanpa harus saya berikan link-nya. Rencana ini banyak menuai pro dan kontra. Pro dari orang yang telah jera melihat Indonesia yang seakan menyuburkan pornografi, kontra dari orang yang masih menyukai (dari mengakses hingga menyediakan) material asusila tersebut. Begitu banyaknya pro dan kontra yang ada sehingga saya rasa tidak perlu menambahkannya lagi di tulisan ini. Silakan googling saja bagi yang berminat Masih berhubungan dengan rencana blocking situs-situs porno tersebut, pemerintah kebingungan bagaimana cara mengetahui sebuah situs itu adalah situs porno atau tidak Pernyataan terakhir yang dikeluarkan oleh M. Nuh tentang definisi situs porno adalah situs yang mensyaratkan pengunjungnya berusia 17 tahun atau 18 tahun. Tapi, apakah semua situs yang seperti itu pasti situs porno? Jadi apa dong definisi pornografi (terutama situs porno)!? Banyak yang mengatakan kalau definisinya sangat subjektif, dan ini salah satu yang bikin bingung! OK, saya langsung saja ke inti dari tulisan saya ini. Kalau Anda menyadari, ada sebuah kata yang saya bold pada tulisan di atas. Kata apakah itu? Itu adalah kata rencana. Mengapa kata tersebut saya tekankan? Karena, sudah sejak lama dan setelah banyak biaya dikeluarkan pemerintah untuk masalah pornografi ini, hingga saat ini semuanya masih ada dalam tahap rencana. Maksudnya, belum ada situs porno yang benar-benar di-block oleh pemerintah (CMIIW) Kalau ditanya, apa sih kesulitan pemerintah? Menurut saya, pemerintah menemui banyak kesulitan tentang pembuatan undang-undang, penentuan definisi pornografi yang bikin bingung subjektif itu, membuat software-software yang dapat menangkap gambar porno secara otomatis, menciptakan algoritma untuk menetapkan suatu situs adalah situs porno atau bukan, dan lain sebagainya Apakah hal-hal yang dilakukan pemerintah di atas salah? Tidak salah sih, cuma, hal-hal di atas secara tidak langsung dapat dikatakan menjadi penyebab semuanya ini hanyalah baru dalam tahap rencana. Pemerintah sudah kesulitan dengan hal-hal yang jauh ke depan, padahal yang benarbenar di depan mata seolah tidak terlihat Apa contohnya? Contohnya adalah, di saat banyaknya situs yang sudah jelas-jelas adalah situs porno, pemerintah malah lebih memilih berbingungbingung dengan situs yang sifatnya abu-abu (antara porno dan tidak). Definisi pornografi itu subjektif? Ya, saya setuju Tapi, pasti ada content pornografi yang sudah jelas-jelas pornografi (semua orang setuju kalau itu adalah pornografi). Dan, tidak sulit untuk menemukan situs-situs yang saya katakan sebagai pornografi absolut seperti ini. Kalau memang situs-situs porno absolut (yang benar-benar porno) masih banyak, kenapa tidak yang itu dulu diblock? Iya toh? Kok malah bingung sama yang abu-abu? Kalau blocking otomatis masih sulit, yah

sementara blocking manual dulu bisa kan? Memang dengan cara manual tidak akan semua situs terjangkau, tapi setidaknya situs-situs top-nya kan bisa di-block dulu So, daripada hanya rencana saja, kan lebih baik ada action dulu (meskipun tindakannya kecil tapi berpengaruh besar, loh) Setuju, pemerintah? Lets take action :D http://charleschristian.wordpress.com/2008/03/28/bingung-bingung-definisi-pornografi/

Definisi Pornografi Kembali Dimohonkan Judicial Review, 23 maret 2009 Mahkamah Konstitusi menyiratkan akan menggabungkan pemeriksaan permohonan. Pengujian terhadap definisi bisa berdampak pada seluruh isi UU Pornografi. Aksi kelompok masyarakat dari Minahasa, Sulawesi Utara, dalam menguji UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tak lagi sendirian. Sejumlah orang baik dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perorangan, maupun seniman ikut mengajukan permohonan uji materi UU Pornografi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meski permohonan yang diajukan secara terpisah, tapi kedua permohonan tersebut memiliki beberapa kemiripan. Kuasa Hukum pemohon terakhir, Zainal Abidin mengatakan ada lima pasal yang diuji, yaitu, Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 43 UU Pornografi. Pasal 1 angka 1 memuat definisi pornografi dan Pasal 4 ayat (1) berupa larangan atau batasan produksi yang materinya berbau pornografi. Kedua pasal ini juga diuji oleh kelompok masyarakat dari Minahasa. Zainal mengatakan definisi pornografi dalam Pasal 1 angka 1 itu berpotensi besar merusak kebhinnekaan Indonesia. Definisi pornografi itu multitafsir dan sangat meluas, ujar anggota Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika ini di ruang sidang MK, Senin (23/3). Isi Pasal 1 angka 1 secara lengkap, Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai nilai kesusilaan dalam masyarakat'. Pengamat Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin pernah mengatakan pasal ini merupakan inti dari UU Pornografi. Dengan lata lain, pasal tentang definisi tadi merupakan jantung' UU Pornografi. Menurutnya pengujian pasal yang mengatur definisi sama saja menguji seluruh isi UU Pornografi. Bila definisinya dibatalkan, ya Undang-Undangnya rontok semua, tegasnya beberapa waktu lalu. Selain pasal yang mengatur definisi, pemohon juga menguji Pasal 20 dan Pasal 21 yang mengatur peran serta masyarakat dalam melakukan pencegahan produksi pornografi. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya atau setidaknya terkuranginya jaminan atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebut Zainal dalam permohonan.

Pasal 20 Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi Pasal 21 (1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: a. Melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini; b. Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; c. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan d. Melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terakhir, pemohon menguji Pasal 43 yang berbunyi ? Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memunashkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan'. Para pemohon menilai pasal ini tidak dapat diimplementasikan karena tak ada sanksi yang jelas untuk orang yang tidak melakukannya. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebut pemohon dalam permohonannya. Pasal 28D ayat (1) merupakan jaminan bagi ? Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum'. Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati meminta agar kedudukan hukum pemohon diperjelas. Dalam permohonan, terdapat 28 pemohon yang ikut serta dalam pengujian ini. Di antaranya adalah seniman Butet Kartaredjasa dan Ayu Utami. Maria Farida meminta agar dalam permohonan diperinci kerugian konstitusional masing-masing pemohon. Dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda tentu kerugian konstitusionalnya juga tak bisa disamakan. Aksi kelompok masyarakat dari Minahasa, Sulawesi Utara, dalam menguji UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tak lagi sendirian. Sejumlah orang baik dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perorangan, maupun seniman ikut mengajukan permohonan uji materi UU Pornografi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meski permohonan yang diajukan secara terpisah, tapi kedua permohonan tersebut memiliki beberapa kemiripan. Kuasa Hukum pemohon terakhir, Zainal Abidin mengatakan ada lima pasal yang diuji, yaitu, Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 43 UU Pornografi. Pasal 1 angka 1 memuat definisi pornografi dan Pasal 4 ayat (1) berupa larangan atau batasan produksi yang materinya berbau pornografi. Kedua pasal ini juga diuji oleh kelompok masyarakat dari Minahasa. Zainal mengatakan definisi pornografi dalam Pasal 1 angka 1 itu berpotensi besar merusak kebhinnekaan Indonesia. Definisi pornografi itu multitafsir dan sangat meluas, ujar anggota Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika ini di ruang sidang MK, Senin (23/3).

Isi Pasal 1 angka 1 secara lengkap, Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai nilai kesusilaan dalam masyarakat'. Pengamat Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin pernah mengatakan pasal ini merupakan inti dari UU Pornografi. Dengan lata lain, pasal tentang definisi tadi merupakan jantung' UU Pornografi. Menurutnya pengujian pasal yang mengatur definisi sama saja menguji seluruh isi UU Pornografi. Bila definisinya dibatalkan, ya Undang-Undangnya rontok semua, tegasnya beberapa waktu lalu. Selain pasal yang mengatur definisi, pemohon juga menguji Pasal 20 dan Pasal 21 yang mengatur peran serta masyarakat dalam melakukan pencegahan produksi pornografi. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya atau setidaknya terkuranginya jaminan atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebut Zainal dalam permohonan. Pasal 20 Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi Pasal 21 (1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: a. Melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini; b. Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; c. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan d. Melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terakhir, pemohon menguji Pasal 43 yang berbunyi ? Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memunashkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan'. Para pemohon menilai pasal ini tidak dapat diimplementasikan karena tak ada sanksi yang jelas untuk orang yang tidak melakukannya. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebut pemohon dalam permohonannya. Pasal 28D ayat (1) merupakan jaminan bagi ? Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum'.

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati meminta agar kedudukan hukum pemohon diperjelas. Dalam permohonan, terdapat 28 pemohon yang ikut serta dalam pengujian ini. Di antaranya adalah seniman Butet Kartaredjasa dan Ayu Utami. Maria Farida meminta agar dalam permohonan diperinci kerugian konstitusional masing-masing pemohon. Dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda tentu kerugian konstitusionalnya juga tak bisa disamakan. http://hukumonline.com/berita/baca/hol21527/definisi-pornografi-kembali-dimohonkanijudicial-reviewi

Menelisik Pornografi di Indonesia


Wednesday, 05 October 2011 02:14 administrator karangasemkab.go.id

Oleh : Nyoman Tusthi Eddy I Salah satu syarat mutlak untuk mencermati pornografi adalah definisi yang akurat. Meskipun definisi tidak sepenuhnya memberikan jaminan ketetapan maka: paling sedikit definisi memberikan landasan yang jelas dalam memberikan makna. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi pornografi sbb: (1). Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan tulisan atau lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi. (2) Bahan bacaan dan yang sengaja dan semata-mata dirancang untuk memberikan nafsu birahi dalam seks (1993 : 782). Ensiklopedi Indonesia memberikan batasan lebih tajam,yaitu bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks. Dengan demikian ini karya seni dan sastra n a s k a h - n a s k a h kedokteran yang sering terang-terangan tidak bersifat pornografi, walaupun dalam hal tertentu mungkin dianggap cabul.(Edisi khusus ,Jilid 5,hlm 2749). Dengan ketiga definisi dalam kedua buku itu kita dapat memilih mana karya pornografi dan mana bukan pornografi. Motif sengaja dengan tujuan memancing bangkitnya nafsu birahi dapat menjadikan landasan untuk membedakan karya pornografi dan bukan pornografi. Ilustrasi teks kedokteran dan seksologi bukan karya pornografi jika penyebarannya sesuai dengan fungsi dan sasarannya. Perbuatan seksual satu jenis mahluk guna memikat lawan jenis kelaminnya secara biologis adalah wajar tanpa perbuatan itu semua mahluk di planet bumi akan musnah. Pada manusia perbuatan ini ada yang digolongkan pornografi dan bukan pornografi; sedangkan pada hewan semuanya wajar. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan dimensi hidup antara manusia dengan hewan.

Kelebihan dimensi hidup manusia dari mahluk lain yaitu kebudayaan, memberikan batasan-batasan tertentu terhadap perbuatannya. Dengan kebudayaan manusia tidak bisa lagi sekehendak hatinya mengekpresikan perbuatan seksual kepada lawan jenis kelaminnya. Justru dalam predikat inilah ia mendapat predikat manusia. Ekspresi seksual manusia dibungkus dalam simbol-simbol atas nama kebudayaan (khususnya nilai-nilai kesusilaan), manusia tidak bisa meekspresikan hasrat seksualnya diluar simbol-simbol . Julius Fast dalam bukunya Body Language (terjemahan Nyonya Singgih: Bahasa Tubuh), mengungkapkan secara naluriah mnusia mengekspresikan hasrat seksualnya untuk menarik lawan jenis kelaminnya. Tetapi karena manusia sudah menjadi homosimbolikum (mahluk simbolik), ekspresi bahasa tubuh inipun tetap terbungkus dalam simbol-simbol. Demikianlah pengungkapan daerah-daerah erotik lewat bentuk tertentu tidak dengan sendirinya bisa disebut pornografi. Hanya yang bertujuan untuk merangsang nafsu birahi dengan sengaja dan tidak pada tempatnya, termasuk pornografi. Patung Lingga-Yoni yang melambangkan alam penciptaan dan kesuburan menurut Siwaisme bukanlah pornografi, karena: (1). Struktur fisiknya sudah mendapat sentuhan estetik, sehingga sepenuhnya sudah menjelma menjadi karya seni (bukan lukisan vulgar). (2). Dibuat untuk tujuan spiritual, bukan untuk mengelitik nafsu birahi. II Sejarah pornografi sudah saangat tua. Dalam berbagai pustaka yang terpendam (tak banyak orang yang mengenal dan membaca) banyak terdapat ungkapan-ungkapan yang bernuansa pornografi. Hal ini antara lain diungkapkan oleeh A.Mustofa Bisri dalam tulisannya Pornografi (DR, 26 31 Juli 1999, hlm.45). Anekdot-anekdot yang bernuansa pornografi tampaknya disini untuk humor. Pornografi akan menimbulkan sensasi sosial jika dengan sengaja dan sistematis disebarluaskan melalui berbagai media massa. Jadi media massa memegang peranan penting. Tumbuh dan berkembangnya pornografi saat ini karena diusahakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Pornografi berubah posisi dari media bersyahwatria menjadi komoditi pebisnis seks. Tujuan asalnya dikelola untuk tujuan baru yaitu bisnis. Dengan posisinya yang baru ini pornografi semakin kuat mencekam masyarakat, sebab aspek yang satu mendukung aspek lain secara timbal balik dan solid. Pornografi telah menjelma menjadi industri. Menguatnya industri pornografi dunia pernah diliput oleh Harian Jawa Pos dalam even AVN Adult Entertainment Expo di Las Vegas Nevada, 10 -13 Januari 2007

( Jawa Pos, 23-1-2007,hlm. 1 + 15). Dalam evenini pornografi sudah menjadi fenomena budaya yang sangat kompleks, dan tampaknya sangat sulit diantisipasi hanya dengan undang-undang. Model pornografi yang tersebar luas saat ini adalah produk kebudayaan barat. Pertumbuhannya dimulai dari kebebasan berpikir dan berpendapat, kemudian berlanjut kearah kebebasan bersikap dan berekspresi, termasuk kebebasan seks. Pornografi adalah salah satu bentuk dari produk kebebasan seks. Jadi pornografi yang sedang melanda dunia sekarang ini adalah rembesan kebudayaan barat lewat berbagai media yang semakin lama semakin kompleks dan sulit dipantau. Sulitnya memantau dan mencegah pornografi juga disinggung oleh A.Mustofa Bisri dalam tulisannya :Pornografi. Ia bertanya: Kalau misalnya Anda bisa mencegah mereka melihat film atau VCD, apakah Anda juga bisa mencegah mereka berisengria melalui internet? (DR,26-31 Juli 1999,hlm.45). Sektor yang paling banyak memanfaatkan pornografi saat ini bukanlah kesenian, melainkan ekonomi. Pelaku ekonomi paham, pengungkapan prilaku seksual atau penayangan daerah-daerah erotik dalam iklan akan sangat menarik (terutama bagi lelaki) Di dunia iklan, tempat pornografi dimanfaatkan, timbul semacam jargan sinisme : tubuh wanita sudah dijual habis-habisan. Hampir tidak ada iklan tanpa wanita, dan sangat jarang iklan yang tidak mengekspose daerah-daerah erotik wanita. Dalam Catatan Kebudayaan yang berjudul Pasar Moh Wan Anwar mengungkapkan kejamnya iklan dalam membujuk konsumen. Permintaan publik akan dirayu habis-habisan melalui pelayanan dan pencitraan di media massa yang mengeksplorasi bahasa retoris, stilistis, penuh fiksi dan impian. (Horison, April 2006,hlm.4). Dalam model iklan seperti inilah pornografi bermetamorfosis ikut menggempur konsumen habis-habisan. Jadi meruyaknya pornografi saat ini tidak semata-mata disebabkan oleh keisengan seks, tetapi telah menjadi bagian dari industri dan ekonomi. Efek kehidupan kota-kota besar yang melahirkan manusia-manusia kesepian, terasing, kelelahan, frustasi, menjadi sasaran prodak industri pornografi. III Dasar pemikiran usaha memerangi pornografi adalah untuk mencegah dampak pornografi baik yang bersifat kriminal maupun moral. Bagi Indonesia hal ini menjadi lebih urgen karena agama ikut menjadi salah satu dasar negara. Pornografi dianggap

dapat menyuburkan berbagai penyimpngan seks yang bertentangan dengan moral bangsa. Dampak pornografi tidak sama antara jenis pornografi yang satu dengan jenis yang lain. Perbedaan ini tergantung pada: ( 1 ). Kualitas pornografi, ( 2 ). Media pornografi (3). Lapisan Masyarakatnya. Semakin tinggi penonjolan seksual suatu pornografi semakin kuat pula daya rangsangnya. Dengan demikian dampaknya semakin dalam dan luas. Media pornografi pun ikut menentukan kuat/lemahnya daya rangsang pornografi. Pprnografi lewat audio visual lebih kuat daya rangsangnya dari dibandingkan pornografi dalam bahasa verbal. Film dan video porno sangat kuat rangsangannya karena seluruh indra penikmat tersentuh rangsangannya. Kejahatan seks banyak terjadi setelah pelakunya menyaksikan film atau video porno. Lapisan masyarakatnya juga menentukan sejauh mana dampak pornografi. Orang-orang yang imannya kuat dan moralnya teguh tak akan terpengaruh oleh pornografi. Kalangan remaja lebih mudah terpengaruh oleh pornografi dibandingkan dengan orang yang sudah berumur. Para penderita psikoseksual (misalnya satiriasis dan nympomania ) sangat terpengaruh oleh pornografi. Dalam hal dampak pornografi harus dikecualikan gambar-gambar yang bercorak pornografi, digunakan dalam dunia medis. Karena dampak yang diharapkan untuk kesehatan, maka hal ini tidak bisa dikatagorikan pornografi. IV Reaksi terhadap keberadaan pornografi di Indonesia mengalami pasang surut. Di tahun 1940- an Pemerintah jajahan sudah pernah memberikan seaksi terhadap jenis bacaan yang disebut bacaan cabal. Meskipun bukan oleh pemerintah, reaksi serupa pernah ditunjukan kepada sejumlah novel karya Motinggo Busye di tahun 1970-an. Reaksi ini tidak sampai marak karena wilayah pornografi baru sebatas barang cetakan yang penyebarannya tidak begitu luas. Keberadaan pornografi di Indonesia semakin jelas dan meluas setelah piranti audio-visual (TV, VCD, dsb ) tersebar luas. Lewat piranti elektronik pornografi berpotensi penuh mempengaruhi masyarakatnya. Selain intensitasnya sangat kuat ,jangkauan wilayahnya sangat luas. Piranti mutakhir (internet dan HP) ikut memperkuat keberadaan pornografi. Keberadaan pornografi di Indonesia memang bervariasi Pornografi lewat TV dan VCD saat ini keberadaannya terbuka karena kedua piranti itu sudah menelusup sampai ke desa-desa dan bisa disaksikan oleh setiap orang, kemudian disusul oleh HP

dan internet. Meskipun pengangses internet kini sudah berlevel dunia, wilayahnya masih terbatas pada elit tertentu. Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dimana Agama diikutsertakan menjadim dasar moral bangsa jelas menolah penyebaran fornografi. Amerika Serikat, yang dasar moralnya libralisme, tahun 1977 pernah menyatakan perang total terhadap pornografi (Sari Pers,Juli 1977, hlm.32-33). Penanggulangan pornografi di Indonesia diatur dengan undang-undang yang termaktub dalam KUHP Bab XIV, Pasal 281-303, dengan topik: Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Persoalan yang kita hadapi sekarang adalah kelemahan pelaksanaan Undangundang yang sudah ada, bukan tidak adanya undang-undang.Karena itu pembentukan RUU Anti pornografi (RUU AP) adalah tindakan mubazir. Di samping itu meskipun RUU AP sudah direvisi beberapa kali, tampaknya masih bermuatan politis ,dan menyentuh wilayah yang berada diluar wilayah pornografi. Jika hal ini terjadi maka undang-undang itu akan menjadi alat penindas kemanusiaan dan mengerdilkan keberagaman kebudayaan. Gagasan memerangi pornografi di Indonesia wajar adanya, tetapi tidak mesti membentuk undang-undang. Sebab masalah pornografi di Indonesia saat ini tidak lagi berdiri sendiri. Pornografi telah menyusup ke berbagai sektor dan mengukuhkan diri disana dengan berbagai bentuk metamorfosisnya. Jadi masalah yang kita hadapi dalam memerangi pornografi seperti yang dikatakan oleh A.Mustofa Bisri : Akar masa-lahnya ketidakmampuan kita untuk bersama-sama,secara bersungguh-sungguh melawan penjajahan dunia dan materi terhadap diri kita sendiri . (DR.26-31Juli 1999, hlm.45). Selengkap dan sehebat apapun undang-undang yang kita miliki, kalau kita sebagai subyek undang-undang lemah, maka undang-undang tinggal sebagai undang-undang, sedangkan pornografi jalan terus.* http://www.karangasemkab.go.id/index.php? option=com_content&view=article&id=761:menelisik-pornografi-diindonesia&catid=54:artikel&Itemid=81

Definisi Pornografi versi Undang-Undang


Pornografi dianggap mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia.
Minggu 22 juni 2010. Vivanews.com

VIVAnews - Markas Besar Kepolisian RI telah menahan Ariel Peterpan dalam kasus video porno. Ariel dinilai telah melanggar UU No 44/2008 tentang

Pornografi

yang

berlaku

sejak

November

2008.

Lantas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan pornografi, benarkah yang dilakukan pelaku video melanggar UU. Seperti disebutkan dalam UU, definisi pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Di pasal 4 disebutkan lebih jauh bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit membuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak. Bahkan, dalam penjelasan UU disebutkan mengenai jenis "persenggamaan yang menyimpang", perinciannya adalah persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual. Pemerintah bersama DPR membentuk UU Pornografi ini bukan saja bertujuan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, juga untuk menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara. UU ini menekankan globalisasi dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia. "Ini mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia," ujar UU

tersebut. "Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan." MPR telah mengingatkan ancaman serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi. Karena itu MPR mendesak upaya sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia melalui pembentukan UU Pornografi. Asal kata & Sejarah pornografi 1857, "deskripsi pelacur," dari Fr. pornographie, dari Gk. pornographos "(satu) penulisan pelacur," dari porne "pelacur," awalnya "dibeli, dibeli" (dengan pengertian asli, mungkin dari "budak wanita dijual untuk pelacuran;" yang terkait dengan pernanai "untuk menjual," dari akar PIE per - "untuk lalu lintas BUKA ". cf L. Pretium" dalam, menjual, harga ") + graphein" menulis "Awalnya digunakan seni klasik dan tertulis; aplikasi untuk contoh modern mulai tahun 1880-an Utama arti modern.". tulisan cabul atau gambar "merupakan pergeseran sedikit dari etimologi, meskipun penggambaran klasik pelacuran biasanya memiliki kualitas ini. "Saya tidak akan berusaha hari ini lebih lanjut untuk menentukan jenis bahan yang saya mengerti untuk dipeluk dalam bahwa deskripsi singkat [hard-core pornografi]; dan mungkin aku tak pernah bisa dimengerti berhasil dalam melakukannya Tapi aku tahu ketika aku melihatnya, dan. gambar gerak yang terlibat dalam kasus ini bukan itu. " [US Hakim Agung Potter Stewart, opini concurring, "Jacobellis v Ohio," 1964] Pornographer adalah bentuk paling awal dari kata tersebut, dibuktikan dari 1850. Pornocracy (1860) adalah "pengaruh mendominasi wanita-wanita pelacur," digunakan khusus dari pemerintah Roma pada paruh pertama abad ke-10 oleh Theodora dan putri-putrinya. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en| id&u=http://dictionary.reference.com/browse/pornography

Representasi dalam buku, majalah, foto, film, dan media lainnya dari adegan perilaku seksual yang erotis atau cabul dan dirancang untuk membangkitkan minat seksual. Pornografi adalah penggambaran dari perilaku seksual yang dimaksudkan untuk membangkitkan gairah seksual pada para penonton. Selama abad kedua puluh, Amerika memperdebatkan apakah materi pornografi harus dilindungi secara hukum atau dilarang. Mereka yang percaya pornografi harus dilindungi berpendapat bahwa Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat untuk menjamin kebebasan berekspresi, termasuk ekspresi seksual. Lawan Tradisional pornografi meningkatkan keprihatinan moral, dengan alasan bahwa Amandemen Pertama tidak melindungi ekspresi yang merusak perilaku masyarakat. Menjelang akhir abad ini, beberapa feminis

menganjurkan pornografi menekan karena melanggengkan stereotip gender dan mempromosikan kekerasan terhadap perempuan. Pornografi telah diatur oleh standar hukum yang mengatur konsep Kecabulan , yang mengacu pada hal masyarakat dapat mempertimbangkan menjijikkan, busuk, atau tidak bermoral, dan mungkin termasuk bahan yang menghujat. Pornografi terbatas pada penggambaran perilaku seksual dan mungkin tidak cabul. Mahkamah Agung AS telah menetapkan bahwa kecabulan tidak dilindungi oleh Amandemen Pertama. Pertanyaan yang lebih merepotkan telah mendefinisikan apa yang bisa dan tidak senonoh. Pada tahun 1957, Mahkamah Agung AS, dalam ROTH BERSATU V NEGARA, 354 US 476, 77 S. Ct. 1304, 1 L. Ed. 2d 1498, menyatakan bahwa kecabulan adalah "sama sekali tanpa menebus pentingnya sosial" dan karenanya tidak dilindungi oleh Amandemen Pertama. Tes Roth untuk kecabulan adalah "apakah untuk rata-rata orang, menerapkan standar komunitas kontemporer, tema dominan dari bahan diambil sebagai keseluruhan banding ke cabul bunga [cabul atau penuh nafsu]." Tes Roth terbukti sulit untuk digunakan karena setiap istilah di dalamnya menghindari definisi yang konklusif. Mahkamah Agung menambahkan persyaratan dengan definisi dari kecabulan dalam kasus 1966 yang melibatkan Memoirs baru dalam bahasa Inggris dari Woman of Pleasure, lebih dikenal sebagai Fanny Hill. Dalam Sebuah Buku Dinamakan "Memoirs John Cleland tentang sebuah Woman of Pleasure" v Jaksa Agung , 383 US 413, 86 S. Ct. 975, 16 L. Ed. 2d 1, Pengadilan menyimpulkan bahwa untuk mendirikan kecabulan, bahan harus, selain menarik untuk kepentingan cabul, menjadi "benar-benar tanpa menebus nilai sosial" dan "jelas menyerang karena penghinaan standar komunitas kontemporer yang berkaitan dengan deskripsi masalah seksual." Ungkapan "sama sekali tanpa nilai sosial penebusan" diperbolehkan celah untuk pornografi. Ahli saksi.. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://legaldictionary.thefreedictionary.com/pornography

Você também pode gostar