Você está na página 1de 12

BAB I PENDAHULAN A.

Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa syariat yang diawa oleh nabi Muhammad SAW, adalah syariat yang bersifat tidak memberatkan dan mudah untuk dilaksanakan, kemudian apabila ada hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang memberatkan umat dalam menjalankannya, maka hal-hal tersebut harus dihindari atau dihilangkan. Sesuai dengan pokok bahasan kali ini, yaitu: (Kemudhorotan itu harus dihilangkan) sebagai kaidah pokok fiqih yang ke-empat dari lima kaidah pokok yang ada. Saya akan berusaha menyajikan pembahasan sekitar dalil-dalil yang mendasari kaidah ini, perincian kaidah dan beberapa contoh masalah yang berhubungan dengannya. B. sebagai berikut : 1. 2. C. berikut : 1. fiqh 2. Kaidah-kaidah Ad-dharuri Bagaimana Peranan Kaidah Ad-dharuri dalam ilmu Peranan Kaidah Ad-dharuri Kaidah-kaidah Ad-dharuri Tujuan penulisan Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah

[1]

BAB II PEMBAHASAN AD-DHARARU YUZALU A. Peranan Kaidah Ad-Dhararu Yuzalu Kaidah keempat ini merupakan pembina dasar fiqh islami. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam bagian muamalat, jinayat dan munakahat jiwa dari kaidah tersebut memegang peranan utama. Pengembalian sesuatu barang yang telah dibeli karena terdapat cacat, diadakan khiyar dalam jual beli karena adanya perbedaan sifat-sifat yang telah disepakatinya, adanya perwalian bagi orang-orang yang tidak cakap mentransaksikan harta milik, adanya hak syufah (jual beli utama) bagi seorang tetangga dan lain sebagainya adanya sekian contoh-contoh untuk menghindarkan kemudharatan para pihak yang mengadakan muamalat bersama. Syara mengadakan hukum qishas, hudud, kafarat, ganti rugi, menghalalkan kepada pengusaha untuk mengerangi kaum pemberontak dan lain sebagainya untuk membuat kemaslahatan bersama dan menghindari kemudharatan. Islam membolehkan adanya perceraian dalam keadaan yang sangat diperlukan dan ketentraman rumah tangga yang sudah begitu kacau dan memberikan kuasa kepada hakim untuk menfasakhkan nikah seseorang lantaran suami sudah tidak dapat menunaikan tugas berumah tangga dengan baik, demi untuk menghilangkan kemudharatan bagi mereka yang tersiksa. Kaidah tersebut erat hubungannya dan saling isi mengisi dengan kaidah-kaidah sebelumnya. B. kondisi Mudharat 1. Kaidah Pertama : Kemudlaratan-kemudlaratan itu dapat memperbolehkan keharaman (Wahbah az-Zuhaili, 1982 : 225 ) Kaidah kaidah yang berkenaan dengan


Artinya: [2]

Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya (QS. Al-Anam :119). Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya. Batasan Kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda. Dengan demikian darurat itu terkait dengan Dharuriah, bukan hajiah dan tahsaniah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiah dan tahsiniah. Karena itu terdapat kaidah: Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakruhan bagi kebutuhan. (Abdul Hamid Hakim, 1956 :81) Apa yang diperbolehkan karena darurat maka diukur menurut kadar kemudlaratannya.(asSuyuthi, TT:60). Menurut Abdul Qodir Audah, seorang hakim dan pengacara terkenal dari Ikhwan al-Muslimin Mesir berpendapat, bahwa syarat-syarat keadaan darurat yang membolehkan orang melakukan perbuatan yang dilarang (haram) ada empat, ialah : (1) Dirinya atau orang lain dalam keadaan gawat yang dikhawatirkan dapat membahayakan nyawanya atau anggota-anggota tubuhnya. (2) Keadaan yang sudah serius, sehingga tidak bisa ditunda-tunda penangannya. Misalnya orang kelaparan belum boleh makan bangkai, kecuali ia telah berada dalam keadaan bahaya lapar yang gawat akibatnya. (3) Untuk mengatasi darurat itu tidak ada jalan keluar kecuali melakukan perbuatan pelanggaran / kejahatan. Jika masih bisa diatasi darurat itu dengan menempuh perbuatan yang mubah. Misalnya orang yang kelaparan yang masih bisa membeli makanan yang halal, maka tidak benarkan makan makanan yang tidak halal (haram) tersebut, karena hasil curian. (4) Keadaan darurat itu hanya boleh diatasi dengan mengambil seperlunya saja (seminimal mungkin untuk sekedar mempertahankan hidupnya). Kebolehan berbuat

[3]

atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Menurut Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 4 klasifikasi, yaitu: a. Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seprti memakai sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya. b. Hajah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya, seseorang yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram. c. Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya, makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk pauk, dan sebagainya. d. Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebihlebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum Saddud Dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan (Wahbah az-Zuhali, 1982 : 246 247). 2. Kaidah Kedua : Kemudharatan yang terjadi tidak dapat dianggap telah lama terjadinya.Kaidah ini adalah membatasi kaidah : Yang telah ada dari Tuhan tidak ditinggalkan atas kedahuluannya Yakni bahwa manfaat dan kegunaan yang dihargai adalah yang tidak terdapat kemudharatan yang dilarang oleh syara yang apabila demikian halnya, haruslah kemudharatan itu dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan, berdasarkan telah ada sejak dulu.Dari kaidah ini dapat diambil contoh, bahwa dibolehkan seorang guru yang berpenyakit darah tinggi untuk tidak

[4]

mengajar, sebab meskipun dengan mengajar itu ada manfaat, namun disitu terdapat kemudharatan, baik terhadap murid maupun terhadap guru itu sendiri, seperti: apabila guru itu baru naik darah kemudian memukul muridnya, demikian pula dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar gi si guru, misalnya karena mengajar itu, kambuh penyakitnya yang mengakibatkan kematian. Lantaran ini tidak bisa dibantah dengan alasan, bahwa sejak semula guru itu telah mengajar dan memberi manfaat kepada murid-muridnya. 3. Kaidah Ketiga: Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar kedaruratannya. Dimana kebolehan tersebut hanya sekedar untuk menghilangkan kemudharatan yang sedang menimpa. Maka apabila kemudharatan atau suatu keadaan yang memaksa telah hilang, maka kebolehan terhadap yang didasarkan atas kemudharatan ini menjadi hilang pula, artinya perbuatan itu kembali ke-asal mulanya yakni telah dilarang. Ringkasnya, bahwa darurat itu merupakan suatu keadaan yang dikecualikan. Maka kebolehan yang diberikan itu tentulah tidak mutlak, tetapi harus diukur dengan kadar yang diperlukan saja. Umpamanya bila boleh mencuri sepotong roti karena lapar, maka tidaklah boleh dia mencuri sekarung tepung. Maka karenanyalah orang yang makan bangkai karena lapar dibolehkan sekedar untuk perlu mempertahankan jiwa. Sedangkan Imam Malik membolehkan si yang lapar itu makan sampai kenyang bahkan boleh dijadikan bekalnya sampai dia menemukan yang lain. 4. Kaidah Ke-Empat: Sesuatu yang diperbolehkan karena udzur, batal lantaran hilangnya udzur. Kaidah ini memberika pengertian bahwa apabila kita melaksanakan suatui perbuatan tetapi perbuiatan itu akhirnya tidak bisa dilaksanakan disebabkan adanya udzur yang menghalanginya. Maka pada saat itu kita diperbolehkan untuk melaksanakan perbuatan yang lain sebagai pengganti perbuatan yang tidak dapat kita laksanakan tersebut. Tetapi setelah udzur (penghalang) itu hilang maka perbuatan pengganti tersebut juga dianggap hilang. Misalnya: seseorang yang ingin

[5]

berwudhu ia tidak bisa menemukan air untuk menjalankan shalat. Maka orang ini diperbolehkan untuk tayamum. Tetapi sebelum masuk shalat ia diberi tahu oleh temannya bahwa ditempat tertentu ada air, maka dalam keadaan seperti ini tayamum orang tersebut dianggap batal, lantaran diketemukan air sebelum masuk waktu sembahyang. 5. Kaidah Kelima: Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan Redaksi kaidah ini menjelaskan apabila dalam suatu perkara terlihat adanya manfaat atau maslahat, namun disitu juga terdapat kemafsadatan (kerusakan), haruslah didahulukan menghilangkan mafsadatnya ini dulu, sebab kemafsadatan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Oleh karena itu diharamkan judi, minum-minuman yang memabukkan (Khamar). Meskipun pada keduanya terdapat kemanfaatan, namun bahaya kerusakannya lebih besar. Sebagaimana firman Allah SWT: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi, katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat (yang sedikit) bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya. Untuk itulah menyangatkan berkumur-kumur dan beristinyaq di waktu wudhu adalah sunnah, tetapi bagi orang yang sedang berpuasa adalah makruh, sebab dapat merasakan atau membatalkan puasa. Begitu pula apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan pada perbuatan, dengan kata lain jika suatu perbuatan ditinjau dari satu segi terlarang karena mengandung kemaslahatan, maka segi larangannya harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah meninggalkan larangan lebih kuat dari pada perintah menjalankan kebaikan, sesuai dengan sabda Nabi Saw: Apabila akau memerintahkan kepadamu suatu perintah, kerjakanlah semampumu dan apabila aku melarang kamu sesuatu perbuatan tinggalkanlah.(HR. Bukhari Muslim). Demikianlah disyaratkan adanya kesanggupan dalam menjalankan perintah, sedang dalam meninggalkan larangan di-isyaratkan demikian, ini menunjukkan bahwa tuntutan meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat dari pada tuntutan

[6]

menjalankan perintah. Berdasarkan kaidah ini pulalah, Syeikh Muhammad Abduh berpendapat, bahwa poligami dapat dilarang. Manakala dengan poligami itu akan menimbulkan kerusakan. Seperti kehancuran dan berantakan nya rumah tangga apabila seorang suami tidak mampu bersifat adil kepada istri-istrinya, yang akhirnya dapat menelantarkan anak-anaknya. 6. Kaidah Keenam: Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar mudharatnya dengan dikerjakan yang lebih ringan kepada Madhatan. Maksud kaidah ini, manakala pada suatu ketika datang bersamaan dua mafsadat atau lebih, maka harus diseleksi, manakala antara mafsadat itu yang lebih kecil atau lebih ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat harus ditinggalkan dan kerjakan yang lebih kecil atau lebih ringan mudharatnya. Biarpun sebenarnya kemudharatan itu ringan maupun berat harus dihindarkan. Sesuai dengan firman Tuhan dalam surat Al-Araf :56, sebagai berikut:

Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.(QS. Al-Araf : 56).


7. Kaidah Ketujuh: Apabila saling bertentangan ketentuan hukum, maka didahulukanlah yang akan dilakukan waktunnya sempit dari pada yang longgar dan dilakukan yang mengehendaki segera daripada yang boleh ditunda. Kaidah ini terletak pada waktu pelaksanaannya terbatas (sempit) dan mana pula yang waktu pelaksanaannya luas, sehingga denga dipilihnya waktu yang sesuai tersebut tidak akan membawa mudharat kepada kita. Contoh: Apabila ada seseorang yang diwaktu bulan ramadhan bernadzar akan puasa, haruslah puasa bulan ramadhan dikerjakan bulan ramadhan tersebut. 8. Kaidah Kedelapan: Apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan, maka harus diperhatikan mana yang lebih kuat diantara keduanya Contoh, Bahwa bohong itu

[7]

adalah sifat tercela lagi berdosa. Tetapi apabila bohong tersebut dilakukan bertujuan untuk mendamaikan pertengkaran antara seseorang dengan kawan-kawannya atau antara suami dan istri, maka diperbolehkannya. 9. Kaidah Kesembilan: Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain Misalnya, seseorang yang dalam kelaparan, dan dia akan mati jika ia tidak makan, maka jalan satu-satunya dalah mencuri . karena tindakannya ini maka ia wajib mengembalikan atau mengganti makanan orang lain yang telah dimakannya. 10. Kaidah Kesepuluh: Apabila saling bertentangan ketentuan hukum yang mencegah dengan yang dikehendaki pelaksanaan sustu perbuatan, niscaya didahulukan yang mencegahnya. Sebagai contoh: dalam suatu sengketa yang terjadi karena seorang menjual suatu benda yang disewakan tanpa seizin penyewa yang oleh karenanya jual beli ini hanya berlaku pada pihak penjual dan pembeli saja, tidak dapat berlaku pada pihak penyewa, artinya pembeli tidak boleh minta begitu saja agar penyewa menyerahkan benda tersebut, sebelum habis masa sewanya. 11. Kaidah Kesebelas: Kebutuhan itu ditempatkan pada tempat darurat baik kebutuhan itu bersifat umum atau khusus. Menurut kaidah ini kejahatan yang mendesak dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan tersebut bersifat umum. 12. Kaidah Ke-dua belas : Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan mengerjakan kemudaharatan yang lebih ringan Seperti wajibnya si kaya untuk menafkahkan sebagian hartanya kepada sifakir, sebab pada hakikatnya kemadlaratan yang dijumpai oleh sikaya dengan menafkahkan sebagian hatanya, lebih ringan daripada si fakir yang tidak mempunyai sama sekali.

[8]

13. Kaidah Ke-Tiga Belas: Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan yang sebanding. Kaidah ini menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang membawa kemadlaratan itu tidak boleh dihilangkan dengan suatu perbuatan yang mendatang kemdlaratan lain yang sebanding. Sebab apabila demikian halnya, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sia-sia belaka. Contoh, bahwa tidak boleh bagi seseorang yang sedang dalam kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan, apabila makananyna hilang. Begitu pula, bagi seorang dokter dilarang mengobati pasien yang memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami kekurangan darah. 14. Kaidah Ke-Empat belas: Kemudlaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemdlaratan yang lain. Kaidah ini sebenernya mempunyai kesamaan dengan kaidah diatas, yaitu samasamna keduanya adalah menunjukkan adanya larangan menghindarkan kemadlaratan yang satu tapiu mendatangkan kemadlaratan yang lainnya. Dari kaidah ini dapat diambil sebuah contoh dua orang yang terapung-apung di atas lautan akibat kapal yang ditumpanginya pecah. Salah satu dari mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas air sekedar bertahan sampai ada tim penolong datang. Tetapi juga kawanya uang juga ingin sekali menyelamatkan jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dank arena papan itu tidak dapat menampung dua orang ia harus mengorbankan kawannya yang sudah berada di atas papan. Maka tindakan orang yang merebut karana darurat terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula oleh kawan yang direbutnya tidak dibenarkan oleh syariat. 15. Kaidah Ke-Lima belas: Kemudharatan itu harus dihindarkan sedapat mungkin Maksud dari kaidah ini ialah, kewajiban menghindarkan terjadinya suatu kemadharatan, atau dengan kata lain, kewajiban melakukan usaha-usaha perventif agar jangan terjadi suatu kemadharatan, dengan segala daya upaya yang mungkin dapat diusahakan. Maksud yang demikian ini sesuai dengan maksud dalil-dalil mashlahah mursalah, yang

[9]

dikenal dikalangan ulama Ushul dan banyak digunakan fiqh Siyasah. Dari kaidah ini dapat diambil contoh: tindakan-tindakan hukum diantaranya, yaitu tindakan Umar bin Khattab dengan membakar kedai arak, agar jangan sampai terjadi kemadlaratan-kemadlaratan yang lebih besar. Begitu juga dengan usaha Abu Bakar untuk mengadakan penulisan al-Quran agar jangan samapai ada yang hilang atau terlupakan. Demikian pula tidakan Usman bin Affan dalam usahanya mengumpulkan al-Quran dalam mushaf Dalam pelayaran dengan kapal laut, di mana kapal demikian olengnya dan besar kemjungkinan akan tenggelam apabila semua barang yang ada didalamnya tidak dibuang kelaut. Dalam keadaan semacam itu diperbolehkan membuang barang kelaut meskipun tidak seizin yang empunya demi kemaslahatan penumpang, yaitu menolak bahaya yang mengancam keselamatan jiwa mereka.

BAB III PENUTUP

[10]

Kesimpulan: Ad-dararu Yuzalu (kemudhoratan itu harus dihapuskan) sebagai kaidah pokok fiqih yang ke-empat dari lima kaidah pokok yang ada. Kaidah keempat ini merupakan pembina dasar fiqh islami. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam bagian muamalat, jinayat dan munakahat jiwa dari kaidah tersebut memegang peranan utama. Syara mengadakan hukum qishas, hudud, kafarat, ganti rugi, menghalalkan kepada pengusaha untuk mengerangi kaum pemberontak dan lain sebagainya untuk membuat kemaslahatan bersama dan menghindari kemudharatan. Kaidah kaidah yang berkenaan dengan kondisi Mudharat membahas bagaimana cara menghilangkan kemudharatan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh syara. Batasan Kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda. Dengan demikian darurat itu terkait dengan Dharuriah, bukan hajiah dan tahsaniah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiah dan tahsiniah. Karena itu terdapat kaidah: Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakruhan bagi kebutuhan kemaslahatan bersama dan menghindari kemudharatan.

DAFTAR PUSTAKA

[11]

Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembina Hukum Fiqh Islami, AlMaarif, Bandung 1986. Abu, Muhammad Zahrah, Ushul Fiqih, Pustaka Firdaus, Jakarta 2008. http//fiqh-matahariku-.com. http// sumber-sumber hukum Islam.Prf, Php file

[12]

Você também pode gostar