Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Mengumpul artikel-artikel politik kampus untuk tujuan kajian dan rujukan peribadi.
Kita akan mendengar slogan dan propaganda di radio mahupun di TV bahawa anak-anak mahasiswa ini adalah pelapis kepada kepimpinan yang ada sekarang. Apabila mendengar slogan "mahasiswa sebagai pemimpin pelapis negara", hampir semua mahasiswa bersemangat tinggi untuk menamatkan pengajian masing-masing. Hampir setiap hari mereka akan membayang jubah di hari konvokesyen dengan harapan merekalah bakal pemimpin yang bertanggungjawab dan membawa negara ke arah yang lebih cemerlang, gemilang dan terbilang. Itulah harapan mahasiswa yang bercita-cita mahu menyumbang baik buat ummah dan negara. Namun, langkah pertama yang perlu mereka belajar adalah menghadapi pilihan raya kampus yang disifatkan asas kepada pembentukan diri sebagai seorang ahli politik. Sesetengah mahasiswa membayangkan pilihan raya kampus adalah proses pemilihan memilih pemimpin pelajar di antara golongan berilmu atau intelektual, yang bersaing secara bebas. Bagaimanapun, kini mereka hanya diberikan dua pilihan sama ada mahu menjadi kumpulan Aspirasi yang dikuasai oleh Umno atau kumpulan yang didakwa propembangkang. Di sinilah majoriti mereka tergamam dan terkejut dengan situasi sebenar pilihan raya kampus yang sepatutnya dinamik dan bebas. Di sinilah juga mereka berhadapan dengan situasi yang kacau apabila proses pilihan raya itu ditekan dan dicengkam sehingga matlamat sebenar mahu melahirkan pemimpin mahasiswa berwibawa dan bertanggungjawab hilang di celah-celah hiruk-pikuk emosi kepartain. Seolah-olah yang hanya dibenarkan ialah aliran pemikiran yang selari (sebenarnya yang mengampu) dengan politik pemerintah. Siapa jua yang cuba menyanggah akan dilabelkan sebagai propembangkang yang perlu perlu dikalahkan. Pada pilihan raya kampus 2007 yang lalu, kumpulan Aspirasi yang dikuasai oleh Umno telah mendabik dada kerana mereka diterima dan menang daripada 20 IPTA. Mereka hanya tewas di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM). Di UIAM, para calon sudah diajar bagaimana mahu menjadi seorang ahli politik. Mereka diajar oleh tenaga yang dimport khas oleh Umno seperti Setiausaha Parlimen Kementerian Pendidikan Tinggi, Dr Adham Baba dan Setiausaha Politik kepada Menteri Kewangan dan juga Presiden GPMS, Reezal Meerican Naina Merican. Kedua-dua mereka adalah ahli Umno tulen dan hidup dalam kancah politik Umno. Yang lebih menarik dan menyedihkan adalah para mahasiswa dan para pensyarah yang cerdik dan bijaksana itu diajar dan dipengaruhi oleh seorang yang tewas ketika bertanding jawatan Ketua Umno bahagian dan seorang presiden pertubuhan belia yang mempunyai rekod kemenangan yang penuh kontroversi, misteri dan memalukan.
Apakah perasaan Rektor Dr Syed Arabi Syed Idid dan Timbalan Rektor HEP, Hamidon Abd Hamid? Bagaimana perasaaan tenaga pengajar UIAM yang cukup hebat seperti Dr Aziz Bari, Dr Sidik Baba dan lainnya terhadap tunjuk ajar dan pengaruh dari dua pemimpin Umno ini yang berperangai kartun itu? Di manakah hebat dan maruah mereka, seorang tewas bertanding dalam politik sebenar dan seorang menjadi presiden pertubuhan yang penuh kontroversi? Setiap tahun pilihan raya kampus akan berlangsung dan setiap tahun juga pemimpin mahasiswa disogok dengan politik murahan dan tidak bermaruah. Inikah wajah-wajah bakal pemimpin masa depan negara yang benar-benar bermaruah, bertanggungjawab untuk mentadbir negara? Jika demikian keadaannya, pemimpin pelajar dan mahasiswa boleh belajar dengan lulusan universiti ternama luar negara, misalnya Oxford. Mereka hanya perlu berfikiran sedikit kreatif dan gunakanlah pendekatan yang paling mudah untuk menjadi pemimpin dalam Umno. Secara jenaka, carilah mana-mana anak perempuan atau lelaki yang bapa mereka adalah seorang Menteri Kabinet, Menteri Besar atau bakal Perdana Menteri. Ketika itu, anda akan menjadi bakal pemimpin besar tanpa perlu bersusah payah seperti mana Dr Adham dan Reezal Meerican. Apa pun, kasihanlah kepada pengorbanan ibu bapa mahasiswa yang bertungkus-lumus menghantar anak mereka ke menara gading tempatan. Mereka masih tidak tahu apa yang berlaku kepada masa depan anak-anak mereka di sana, sekadar dibuai slogan "mahasiswa adalah pemimpin pelapis" untuk masa depan negara etapi mereka sebenarnya dididik oleh ahli-ahli politik secara tidak bermaruah!
Politik
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari
Politik
Daftar topik politik Politik menurut negara Politik menurut administrasi wilayah negara Ekonomi politik Sejarah politik Sejarah politik dunia Filsafat politik Ilmu politik Sistem politik o Komunisme o Negara kota o Kediktatoran o Direksional o Feodalisme o Kerajaan o Parlementer o Presidensial o Semi-presidensial Hubungan internasional (Teori) Ilmuwan politik Politik perbandingan Administrasi publik o Birokrasi (tingkat terendah)
Adhockrasi
Kebijakan publik Pemisahan kekuasaan Legislatif Eksekutif Yudikatif Kedaulatan Teori perilaku politik
Sub-rangkaian
Portal Politik
l b s
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles) politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
Etimologi
Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya (polites - warga negara) dan (polis - negara kota). Secara etimologi kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang menekuni hal politik.
memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama, organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang terpola dalam bidang politik. Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan umumnya (atau sekarang KPUnya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita untuk duduk di parlemen. Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan normanorma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan. Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.
melegitimasi suatu tindakan internasional sebagai tindakan multilateral dan bukan tindakan unilateral atau sepihak. Upaya AS untuk mendapatkan dukungan atas inisiatifnya menyerbu Irak dengan melibatkan PBB, merupakan bukti diperlukannya legitimasi multilateralisme yang dilakukan lewat PBB. Untuk mengatasi berbagai konflik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan perdamaian dunia (peace keeping force) yang bersifat tetap dan berada di bawah komando PBB. Hal ini diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi berbagai konflik bersenjata. Saat misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap yang setiap saat bisa dikerahkan oleh Sekertaris Jendral PBB untuk beroperasi di daerah operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi Civpol (Civilian Police/polisi sipil) pertama saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia. Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusif para diplomat dengan segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap orang bisa menjadi aktor dan memengaruhi jalannya politik baik di tingkat global maupun lokal. Pada sisi lain juga terlihat kemungkinan munculnya pemerintahan dunia dalam bentuk PBB, yang mengarahkan pada keteraturan suatu negara (konfederasi?).
[sunting] Masyarakat
adalah sekumpulan orang orang yang mendiami wilayah suatu negara.
[sunting] Kekuasaan
Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber kekuasaan: pertama dari perundangundangan yakni kewenangan; kedua, dari kekerasan seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.
[sunting] Negara
negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara lain. ketentuan yang tersebut diatas merupakan syarat berdirinya suatu negara menurut konferensi Montevideo pada tahun 1933
[sunting] Mancanegara
Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun kontempoter antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels, Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci, Harold Crouch, Douglas E Ramage.
[sunting] Indonesia
Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti.
Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat Ikut serta dalam pesta politik Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas Berhak untuk menjadi pimpinan politik Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4a/Commons-logo.svg/40px-Commonslogo.svg.png
Negara yang kaya akan sumber daya alam, belumkah mampu mengimbangi kemiskinan yang menjadi beban bagi bangsa ini. Negeri yang dikenal subur dan memiliki potensi untuk maju, masihkah terus terjajah oleh kekuatan asing,melalui ekonomi, politik dan keamanan. Bisakah kita mandiiri dan tegas setegas Iran, dan negara menentang imperialisme barat? Lihatklah rakyat, masih banyak diantara saudara kita masih dalam hidup dibawah garis kemiskinan, masih banyak rakyat Indonesia hidup melarat dan menderita, tidak sedikit pula anak bangsa ini belum sepenuhnya memiliki pendidikan. Lihatklah rakyat dari dekat, berdirilah, duduk dan terbaringlah sebagai rakyat, sehingga kita tahu betapa masih banyak mereka menderita. Pandangilah mereka dan perhatikan kesulitan mereka, kemudian bantulah mereka sehingga mereka menjadi lebih baik dan sellau menjaga kalian. Lihatlah rakyat dari ajarak dekat, dan jangan ciptakan jurang pemisah antara rakyat dan penguiasa.
4 Votes
DALAM kata pengantarnya terhadap buku Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence (1976), George Kahin berargumen bahwa politik luar negeri Indonesia senantiasa amat dipengaruhi oleh politik domestik. Dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh usaha untuk memperluas akses terhadap sumber-sumber daya eksternal tanpa mengorbankan kemerdekaannya.Dari waktu ke waktu, argumen ini belum hilang relevansinya. Persoalan mencari titik kesetimbangan antara dinamika politik domestik dan usaha Indonesia mendapatkan sumber daya eksternal tanpa mengorbankan prinsip kemandirian dan kemerdekaan selalu menjadi persoalan pelik bagi setiap rezim pemerintahan kita, baik dari masa Soekarno hingga pemerintahan Megawati saat ini. Persoalan inilah yang sejatinya berusaha dikonfrontasi oleh Bung Hatta dalam pidatonya Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan oleh Bung Hatta di muka Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta pada 1948. Hatta dengan jeli menangkap potensi konflik internal antarkelompok elite setelah persetujuan Linggarjati dan Renville.Ia menyimpulkan bahwa pro-kontra terhadap kedua persetujuan antara pemerintah Indonesia yang baru merdeka dan pemerintah kerajaan Belanda itu sebenarnya merupakan gambaran konkret dari dinamika politik internasional yang diwarnai pertentangan politik antara dua adikuasa ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itulah Hatta mulai memformulasikan adagium politik luar negeri kita yang bebas dan aktif. Bila diamati dengan cermat, sebagaimana ditemukan dalam sebuah tulisan Bung Hatta di jurnal internasional terkemuka Foreign Affairs (vol 51/3, 1953), politik luar negeri bebas aktif diawali dengan usaha pencarian jawaban atas pertanyaan konkret: have then Indonesian people fighting for their freedom no other course of action open to them than to choose between being proRussian or pro-American? The government is of the opinion that position to be taken is that Indonesia should not be a passive party in the arena of international politics but that it should be an active agent entitled to determine its own standpoint. The policy of the Republic of Indonesia
must be resolved in the light of its own interests and should be executed in consonance with the situations and facts it has to face. Tampak jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif yang dikemukakan oleh Hatta sama sekali bukan retorika kosong mengenai kemandirian dan kemerdekaan, akan tetapi dilandasi pemikiran rasional dan bahkan kesadaran penuh akan prinsip-prinsip realisme dalam menghadapi dinamika politik internasional dalam konteks dan ruang waktu yang spesifik. Bahkan dalam pidato tahun 1948 tersebut, Hatta dengan tegas menyatakan, percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional. Pelajaran terpenting yang bisa kita ambil dari para founding fathers kita adalah bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan sentimen belaka. Namun, dengan realitas dan logika yang rasional. Contoh yang paling sering disebut adalah pilihan yang diambil Uni Soviet pada 1935 ketika ia harus menghadapi kelompok fasis pimpinan Hitler. Para pemimpin Uni Soviet menyerukan kader dan sekutunya di seluruh dunia untuk mengurangi permusuhan dengan kelompok kapitalis dan menyerukan dibentuknya front bersama melawan fasisme. Kemudian pada 1939, Uni Soviet mengadakan kerja sama nonagresi dengan musuhnya sendiri, Jerman. Dengan itu, Soviet terbebaskan untuk beberapa waktu lamanya dari ancaman penaklukan. Contoh inilah yang dikemukakan Hatta untuk menggambarkan betapa politik internasional sedapat mungkin dijauhkan dari prinsip sentimental dan didekatkan pada prinsip realisme. Dalam menghadapi dilema di atas, Soekarno dan Soehartodua presiden yang lama berkuasa menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soekarno menjalankan politik luar negeri Indonesia yang nasionalis dan revolusioner. Hal ini tecermin dari politik konfrontasi dengan Malaysia, penolakan keras Soekarno terhadap bantuan keuangan Barat dengan jargon go to hell with your aid, dan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaannya dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Landasan pemikiran Soekarno adalah Indonesia harus menolak perluasan imperialisme dan kembalinya kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan keuangan Barat serta PBB, dalam pemikiran Soekarno ketika itu, adalah representasi imperialisme dan kolonialisme. Di lain pihak, Soeharto menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soeharto dan Orde Baru-nya tidak menolak hubungan dengan negara-negara Barat, dan pada saat yang bersamaan berusaha untuk menjaga independensi politik Indonesia. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa Indonesia melalui ASEAN menolak kehadiran kekuatan militer Barat di kawasan regional Asia Tengggara. Perlu diperhatikan bahwa Hatta, Soekarno, dan Soeharto bekerja dalam konteks Perang Dingin dengan fixed-premis-nya mengenai dunia yang bipolar, terbagi dua antara Blok Barat dan Timur. Tren demokratisasi Dengan berlangsungnya proses transisi menuju demokrasi, beberapa pertanyaan muncul: akankah sebuah rezim demokratis yang solid bisa dihadirkan di Indonesia? Ataukah rezim otoriter, dengan beragam bentuk dan levelnya, tetap mewarnai politik domestik Indonesia dan pada akhirnya wajah sentralistis dari perumusan kebijakan luar negeri kita tetap dominan?
Di sisi lain, politik internasional pun mengalami perubahan fundamental. Setelah Perang Dingin usai, yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin yang menyimbolisasi dunia yang bipolar dan pecah berantakannya negara Uni Soviet, format konstelasi politik internasional belum lagi menemukan bentuknya. Variabel yang harus diperhatikan pun semakin kompleks setelah terjadinya aksi terorisme ke New York dan Washington pada 11 September 2001. Perang melawan teror yang dikampanyekan Amerika Serikat di seluruh dunia, amanat demokratisasi dan juga tantangan-tantangan baru yang muncul setelah Perang Dingin membawa kita pada satu pertanyaan: di manakah dan bagaimanakah Indonesia menempatkan dirinya? Tampaknya peristiwa 11 September 2001 dan segala konsekuensi yang mengikutinya menunjukkan dengan sangat jelas, baik kepada warga negara biasa ataupun para pembuat kebijakan, bahwa politik domestik Indonesia sangat terkait erat dengan dinamika politik internasional dan demikian pula sebaliknya. Bila dulu dikenal adagium foreign policy begins at home, yang menyiratkan pengertian bahwa politik luar negeri merupakan cerminan dari politik dalam negeri, maka kini kita bisa saksikan bahwa politik domestik bisa amat dipengaruhi oleh dinamika eksternal kita. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam pernyataan pers Departemen Luar Negeri (Deplu) yang dikeluarkan awal 2002 ini menyebut faktor intermestik, yakni keharusan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia ke luar, tapi diplomasi juga menuntut kemampuan untuk mengomunikasikan perkembangan-perkembangan dunia luar ke dalam negeri. Konsekuensi logis dari situsi ini adalah bahwa kita harus mampu berpikir outward-looking dan inward-looking pada saat bersamaan. Sudah jelas bagi kita bahwa setelah Perang Dingin usai, isu utama dalam politik internasional bergeser dari rivalitas ideologis dan militer mejadi isu-isu mengenai kesejahteraan ekonomi yang mewujud dalam usaha meliberalisasi perdagangan dunia, demokrasi, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Singkatnya, di samping isu yang state-centric, isu-isu yang nonstate centric semakin mendapatkan perhatian. Isu-isu ini tidak meniadakan isu keamanan dan isu militer lama, akan tetapi banyak aspek dari isu keamanan mengalami perubahan bentuk. Pada dekade 1990-an, isu keamanan nontradisional berbasis maritim semakin mengemuka. Statistik memperlihatkan bahwa isu keamanan nontradisional seperti pembajakan (piracy at sea), people smuggling, human-trafficking, serta isu small arms transfer semakin meningkat frekuensinya. Bagi negara kepulauan dengan batas wilayah yang terbuka dan luas seperti Indonesia, tentu saja hal ini menjadi persoalan yang harus mendapat perhatian utama. Diplomasi kita telah berhasil mengadvokasi kepentingan Indonesia melalui diakuinya status Indonesia sebagai negara kepulauan melalui Law of The Sea Convention pada 1982. Dalam sebuah tulisannya, Professor Hasjim Djalal menyebutkan bahwa penerapan status kepulauan ini telah memperluas wilayah laut Indonesia hingga 5 juta kilometer persegi! Karena itu, menjaga kedaulatan dan keamanan laut dan udara di atasnya akan menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia di masa yang akan datang. Hal ini tidak hanya menjadi tugas angkatan bersenjata kita
untuk semakin mengorientasikan diri pada pengembangan kapasitas kelautan dan udara daripada terus-menerus bertumpu pada kekuatan teritorial darat yang bisa dikatakan semakin tidak relevan apabila dikaitkan jenis dan bentuk ancaman yang baru tersebut. Tentunya, kebijakan luar negeri kita harus mampu meneruskan keberhasilan diplomasi bidang kemaritiman yang sudah berhasil dicapai dan menginkorporasikannya dengan tantangan berbasis maritim seperti tersebut di atas. Kelak kita perlu memilih apakah Indonesia akan memaksimalkan potensinya menjadi sebuah maritime power sungguhan atau hanya menjadikannya sebagai legenda historis nenek moyang. Demokratisasi dan juga situasi eksternal yang berubah cepat juga menimbulkan situasi di mana keterlibatan sebanyak mungkin aktor, baik negara ataupun nonnegara, dalam kebijakan luar negeri Indonesia semakin tidak terhindarkan. Kasus Timor Timur menjadi pelajaran penting karena ia memperlihatkan bagaimana advokasi kelompok-kelompok nonnegara yang bergerak dalam bidang HAM sangat efektif dalam proses perjuangan masyarakat Timor Timur mencapai kemerdekaannya. Sementara, Indonesia sangat terlambat dalam melibatkan beragam aktor nonnegara dalam berbagai isu. Kendala utamanya tampaknya terletak pada mindset kita bahwa kedaulatan negara dipahami sebagai sebuah konsepsi yang state-centric, sehingga isu-isu seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan human security yang tentu saja akan melibatkan aktor-aktor nonnegara dianggap sebagai isu yang akan mereduksi kedaulatan dari state. Padahal, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, politik luar negeri harus dibimbing tidak hanya oleh prinsipprinsip ideasional belaka, tapi harus pula dibimbing oleh prinsip-prinsip rasional. Ketika situasi dan tantangan yang ada semakin menuntut keterlibatan lebih banyak aktor untuk menghadapinya maka tidak ada pilihan lain selain mengakomodasinya. Di samping itu, demokratisasi menuntut keadaan ketika semua orang atau kelompok memiliki akses yang sama terhadap perumusan kebijakan, termasuk kebijakan luar negeri. Hal terakhir yang penting adalah prinsip bebas aktif harus ditafsirkan sebagai sebuah situasi di mana Indonesia bebas memilih dengan siapa ia bisa memajukan kepentingan nasionalnya secara aktif. Karena kita tidak lagi hidup dalam dunia dikotomis seperti pada masa Perang Dingin. SATU INDONESIA Edisi Khusus Akhir Tahun Media Indonesia Jumat, 20 Desember 2002
Konvensi Wina tahun 1969 menetapkan alasan-alasan yang dapat diajukan oleh suatu negara untuk membatalkan persetujuan atau perjanjian yang telah disepakati, diantaranya sebagai berikut. 1. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum nasional salah satu peserta yang berkaitan dengan kewenangan (kompetensi) kuasa penuh negara yang bersangkutan. 2. Terdapat unsur kesalahan (error) berkenaan dengan suatu fakta atau/keadaan pada waktu perjanjian dibuat.
3. Terdapat unsur penipuan oleh suatu negara peserta terhadap negara peserta lain pada waktu pembentukan perjanjian. 4. Terdapat kelicikan atau akal bulus, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap mereka yang menjadi kuasa penuh dan negara peserta tertentu. 5. Terdapat unsur paksaan dalam arti penggunaan kekerasan dan ancaman kepada seorang kuasa penuh atau negara peserta tertentu. 6. Terdapat ketentuan yang bertentangan dengan suatu kaidah dasar atau asas jus cogenst. Maksud asas ini adalah kaidah atau norma yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan yang tidak boleh dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru dan mempunyai sifat sama.
Adapun mengenai berakhir atau hapusnya suatu perjanjian internasional secara umum dapat disebabkan oleh hal-hal berikut mi. 1. Telah tercapai tujuan perjanjian. 2. Habis masa berlakunya. 3. Salah satu pihak peserta perjanjian punah (misalnya: negara tersebut hancur akibat peperangan atau bencana alam). 4. Persetujuan dan para peserta untuk mengakhiri perjanjian. 5. Diadakannya perjanjian baru antarpeserta yang isinya meniadakan perjanjian terdahulu. 6. Telah dipenuhinya tentang berakhirnya perjanjian sesuai dengan ketentuan-ketentuan sendiri.
Waktu kukecil dulu, seingatku waktu umurku 7 tahun, dimana kakek mengumpulkan seluruh anak dan cucunya. Kala itu kakekku umurnya sekitar 83 tahun, kata ibuku. Ketika aku, saudara, sepupu, dan semua sanak familiku berkumpul diruang tengah rumah kakek, aku dan semuanya terdiam menyimak penuturan beberapa pesan kakek. Dia menceritakan semua tentang masa hidupnya, bagaimana dia masih kecil seusiaku, tumbuh hingga dewasa seperti pamanku, berkeluarga sampai menjelang usianya yang menua. Banyak hal yang kakek ceritakan tentang pengalaman hidupnya, semasa dia masih remaja, sungguh kehidupan yang penuh tantangan dan cobaan. Aku berfikir, bagus juga kakek berbagi cerita kepada kami untuk dijadikan contoh. Namun yang masih terngiang ditelingaku hingga kini adalah kakek menurunkan wasiatnya. Kakekku mewasiatkan beberapa hal kepada kami, demi kehidupan masa depan aku dan saudaraku kelak menuju kehidupan hari tua. Yang masih kuingat adalah cucuku, anakku Kata kakek. Ragaku terasa dekat dan makin dekat dengan tanah, tanah dimana aku akan kembali menghadapNya Kata kakek melanjutkan pembicaraannya. Ketahuilah oleh kalian, bahwa kehidupan masa depan kalian, terutama cucucucuku, kalian akan menjadi saksi bahwa dunia ini semakin lama semakin cantik Kakek terus berceruta dengan mantap. Dunia ini, adalah milik Allah yang diciptakanNya karena sayangnya kepada kita Kata kakek lagi. Dunia ini semakin lama semakin cantik, namun semakin cantiknya dunia ini, kebohongan dan nista semakin merajalela. Peperangan antar penghuni dunia ini semakin tak terhindarkan, fitnah meraja lela meski kamu bisa dan mampu menuntutnya secara hukum. Tiada yang kamu lihat lebih banyak sepanjang hidupmu melainkan kenegativan perbuatan manusia, karena itu berhatii-hatilah
Begitu kata kakek yang membuat kami terdiam dan tak bisa berkata-kata lagi. Sungguh sebuah pengajaran yang bermanfaat ketika kakek membagikan pengalamannya kepada kami, cucucucunya. Jagalah olehmu dirimu dari kesesatan dunia Kata kakekku ketika dia terus memberikan petuahnya. Aku tidak meninggalkan harta kepada kalian, dimana kalian pada suatu saat kalian akan bertengkar hanya karena sejengkal tanah milik leluhur kalian, yang aku tinggalkan pada kalian adalah pengajaranku. Ketahuilah..! Kata kakek kelak kalian akan tumbuh dewasa, dan bila menemukan kezaliman, percayalah itulah efek lain dari keindahan dunia dan semakin pintarnya anak bangsa ini. Benar juga, kataku dalam hati seusai mengenang kembali wasiat kakek, kakek tidak meninggalkan harta warisan untuk anak cucunya, meski dia bisa dikatakan mamupu dan hartawan, tetapi yang ditinggalkan kepada kami adalah pengajaran dan pendidikan terbaik dirumah bersama orang tua. Kini, benar apa kata kakek, dunia semakin cantik, taman dibangun, menara ditinggikan, anakanak zaman kini semakin modern kehidupannya, tetapi lihatlah, manusia zaman kinii lelap pada kebohongannya, kezaliman merajalela, fitnah dan hal-hal negatif tampak didepan mata. Lihatlah, berapa banyak kezaliman didunia ini? Berapa banyak korban teror dan intimuidasi politk dari penguasa? Sungguh dunia seakan semakin dekat dengan neraka. SELESA
Selamatkan bangsa kita dari kesemerautan Bangsa kita terlalu bangga dengan demokrasi, bangsa kita terlalu antusias dengan apa yang dinamakan politik demokrasi atau demokrasi politik. Kebanggan itu kadang menjadi berlebihan, sehingga apa saja dalam kehidupan bangsa ini dipolitisir, akibatnya segala sesuatunya bernuansa politik. Kekuatan politik mungkin saja dapat disebut salah satu simbol kekuatan Indonesia. Namun, yang jadi pertanyaan adalah apakah itu kekuatan politik membangun atau malah kekuatan politik menghancurkan. Dingeri kita ini, politik dijadikan alat untuk mencapai keinginan, politik kadang menjadi raja lalim yang menjajah sesamanya. Apakah ini merupakan bibit kehidupan bangsa kita pasca berakhirnya kekuasaan kolonial belanda, atau memang tabiat bangsa kita ingin tampil namun bertindak keliru? Fenomena bangsa kita adalah, gagal. Gagal dalam mendidik moral anak bangsa, gagal mengawasi pengurus negara yang bertindak sesuka hati. Dimana keberanian kita menetapkan kebenaran? Dimana kemampuan kita untuk merdeka dari ketidakadilan, Dimana wibawa kita sebagai negara yang berdaulat, memiliki hukum dan undang-undang, nyatanya kedaulatan tidak
lagi dihargai oleh pendaulatanya, hukum dan undang-undang direvisi untuk menguatkan kepentingan. Bila raja berpolitik, tentu itu merupakan kemajuan. Artinya, raja membuka dirinya untuk kehidupan politik, namun bila politik menjadi raja, tentu hal ini sebuah kemunduran. Lihatlah negara-negara damai yang digempur kekuatan politik, hancur berkeping-keping menyisakan reruntuhan moral, apakah hal seperti pantas dinegeri kita? Coba kita perhatikan kembali teks Pancasila, apakah sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi dasar bangsa kita bahwa saat ini kita adalah bangsa yang bertuhan? Nyatanya kita menuhankan politik, sehingga hukum diangap aturan Tuhan Politik. Apakah Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, mencerminkan bahwa kita adalah negara yang beradab? Nyatanya dinegeri kita lahir kelompok -kelompok biadab yang suka meneror, menguras, memeras, dan lain sebagainya. Apakah sila ketiga Persatuan Indonesia, merupakan kekuatan bangsa kita, sehingga bangsa ini kuat, makmur dan sejahtera? Nyatanya, dinegeri ini masih banyak kekuatan-kekuatan yang yang merobohkan semangat NKRI. Banyak elit politik tidak menunjukkan bagian dari sila ketiga ini, masing-masing bertahan pada idealis masing-masing yang dianggap maha benar dan segala yang benar, sementara kelompok oportunis bertebaran dan terus tumbuh dan menggerogoti sendisendi bangsa. Apkah sila ke empat Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksaan Dalam Permusyawarat Perwakilan adalah landasan bahwa kita tumbuh dalam organisasi negara yang teratur? Siapa yang memipin rakyat, dan kebijakan apa yang diterpakan dinegeri ini, apa juga yang dimusyawarahkan oleh para wakil rakyat? Apakah hanya karena ketenaran atau popularitas, sekalian saja menjadi artis. Kebijakan dinegeri sudah tepat namun cacatnya terletak ada pelaku kebijakan. Suara sumbang mengatakan, pelaku kebijakan juga manusia, tetapi bukankah manusia itu mahkluk yang cukup pandai? sayangnya segala sesuatunya dinilai di meja politik. Apakah sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sudah menyempurnakan kekurangan dinegeri ini? Nyatanya keadilan masih merupakan produk jual dinegeri ini, kehidupan sosial makin sulit, karena terbentang jarak antara kaya dan miskin, atasan dan bawahan, pemimpin dan rakyat, pejabat dan jelata. Pemeritaan keadilan masih merupakan mimpi disiang bolong bagi anak bangsa ini. Pemerataan sosial masih sebatas slogan usang, sementara jiwa-jiwa oportunis terus tumbuh bagai parasit dinegeri ini. Bila politik menjadi raja, maka bersiaplah kita benar-benar hancur lebur dan bangkrut moral.
JAKARTA - Partai Golkar memilih menggunakan metode survei ketimbang konvensi guna menentukan siapa yang memperoleh 'tiket' calon presiden dalam Pemilu 2014. Hal itu karena pengalaman masa lalu Partai Golkar. "Yang pasti sistem konvensi dua kali enggak berhasil, bahkan terkotak-kotak, money politics-nya enggak tahan, parah sekali, gila-gilaan. Makanya kita enggak pakai lagi," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Agung Laksono di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (24/4/2012). Penggunaan metode survei, lanjut Agung, akan dikukuhkan dalam rapat pimpinan nasional khusus pada Juli mendatang. "Sekarang sistem survei, hasilnya akan dikukuhkan di Rapimnas nanti," katanya.
Terkait dengan menggunakan metode survei yang tidak sesuai tradisi Partai Golkar, Agung mengatakan dengan survei dirasa lebih baik ketimbang sistem konvensi. Selain itu, metode survei juga bukanlah sesuatu yang baru. "Kalau lebih bagus survei, ya pakai survei, karena money politics-nya (konvensi) yang enggak tahan, ngajarin yang enggak benar ke bawah-bawah, makanya enggak usah dech, sudah benar sistem survei," tegasnya.(ful)